Catatan Akhir Tahun 2024 : BUNG KARNO Berseru di Saint Petersburg
Oleh Agus Dermawan T*
Monumen Bung Karno bakal dibangun di kota patung Saint Petersburg, Rusia. Akankah di sana Bung Karno beratraksi sebagai Sang Pemikir, Sang Budayawan, dan Pemimpin Besar Revolusi?
————-
PADA TENGAH September 2024 ada kabar menarik: patung monumen Presiden Sukarno (Bung Karno) akan dibangun oleh pemerintah Rusia. Yang satu akan diberdirikan di Taman Seni Museon, Moskow. Yang lain diletakkan di kompleks Universitas Saint Petersburg. Sehampar universitas paling bergengsi di Rusia.
Menurut Connie Rakuhandini Bakrie, Duta Besar Dunia Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Universitas Saint Petersburg, kompleks amat luas universitas itu paling tepat untuk lokasi monumen Bung Karno. Pasalnya, Bung Karno adalah pemikir akademis kelas dunia. Sementara Universitas Saint Petersburg adalah kampus yang selama dua abad terus melahirkan alumni yang kebesarannya tiada terkira, seperti ahli geologi Vasily Dokuchaev, matematikawan Gregori Perelman, fisiolog Ivan Pavlov, komposer Igor Stravinsky, sampai Presiden Vladimir Putin. Sehingga universitas ini melahirkan sembilan pemenang Hadiah Nobel. Gadang-gadang patung Bung Karno di Rusia akan menemani monumen sosok Bung Karno yang sudah ada di negeri lain, seperti Meksiko dan Aljazair.
Tak hanya Bung Karno, patung Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri, menurut Nikolai Kropachev, Rektor Universitas Saint Petersburg, juga akan dibangun di kampus itu. Megawati adalah penerus pikiran Bung Karno yang paling konsisten.
Dengan (akan) munculnya patung sosok Bung Karno dan Megawati, kota Saint Petersburg diyakini semakin melengkapi sejarahnya dan keartistikan semua sisinya.
Warisan Peter Yang Agung
Dari jendela pesawat yang siap mendarat di bandara Polkovo, keindahan peta kota Saint Petersburg sudah kelihatan. Teluk Finlandia, Sungai Fontana, kanal Obvosnyy dan Griboyedoya beserta jembatannya, dengan elok melengkapi pemandangan. Sehingga Saint Petersburg selayak ruang pameran raksasa, yang di dalamnya seribu karya seni tertata. Maka benar belaka apabila ada yang mengatakan bahwa Saint Petersburg adalah salah satu kota terindah di Eropa.
Kota ini sejak semula memang dikemas sebagai wilayah yang tak hanya untuk dihuni, tetapi juga untuk diindahkan, disenikan, dan dijadikan lambang peradaban estetika di Rusia. Ini diawali tahun 1703 ketika Peter Yang Agung (Peter the Great), tsar paling ternama di Rusia, menemukan sebuah dataran menarik di delta sungai Neva. Tsar lalu berinisiatif mengembangkan kawasan itu menjadi kota tidak biasa.
Lantas dipanggillah Domenico Trezzini. Arsitek Itali yang juga ahli konstruksi ini diminta untuk merancang aneka bangunan istimewa, yang kelak bisa dipakai sebagai stimulan berdirinya bangunan-bangunan baru di situ. Untuk melengkapkan kota sebagai negeri budaya, tsar juga mengundang pematung pilihan seperti Etienne Maurice Falconet, yang ciptaannya masih tegak berdiri sampai sekarang. Tsar dengan bangga menjadikan kota baru yang gemilang itu sebagai ibukota Kerajaan Rusia. Dan kota dipopulerkan dengan nama Saint Petersburg.
Kata “Peter” diambil dari nama tsar. “Burg” berasal dari bahasa Jerman, yang artinya kota. “Saint” artinya santo, nama apostolik bagi orang yang disucikan dalam agama Katolik Roma. Sementara kata Peter sendiri dalam bahasa Yunani berarti batu karang (rock). Tapi sebutan Petersburg agaknya kurang familiar bagi lidah orang Rusia. Lalu mereka pun memanggil kota ini dengan nama Petrograd. Petro adalah Peter di lidah orang Rusia. Sedangkan grad artinya kota besar. Peter Yang Agung sungguh bangga dengan kota ciptaannya. Ia pun berkata bahwa kota itu adalah salah satu legacynya.
Namun, seperti biasanya, gelora politik selalu saja merusak legenda. Saat Lenin berkuasa tahun 1917, kota ini diganti namanya jadi Leningrad, alias Kota Lenin. Dan ibukota Rusia – yang kemudian ganti nama jadi Uni Soviet – dipindahkan ke Moskow. Leningrad pun jadi kota oblas atau kota administratif belaka. Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991, dan berganti nama menjadi Rusia lagi, juluk Leningrad dihapus dari buku, dan sebutan Saint Petersburg muncul kembali. Warga dunia pun mengingat kembali gagasan Peter Yang Agung.
Swargaloka seni patung
Bagi yang menyukai kebudayaan dan kesenian, Saint Petersburg yang berluas 1.439 kilometer persegi dan berpenduduk 5,6 juta, memang swargaloka. Bagi pemuja gardening disediakan Istana Musim Panas Peterhof, yang dihiasi ratusan patung emas klasik dan air mancur.
Ada pula Museum Hermitage, yang gedungnya panjang menjulur bagai naga besar berukir. Inilah salah museum seni rupa terbesar di dunia. Museum ini semula adalah Istana Musim Dingin sejak Peter Yang Agung berkuasa abad 17. Di dalam ratusan ruang Hermitage itulah 3.000.000 koleksi dipajang dan disimpan. Termasuk ribuan patung karya seniman Rusia yang amatlah artistiknya.
Menghayati Saint Petersburg sebagai negeri budaya, ada banyak cara. Salah satunya dengan naik kapal kecil 50 penumpang yang menyusuri sungai Neva atau Fontana. Dari kapal kita bisa melihat kanal-kanal serta gedung-gedung berarsitektur menakjubkan.
Namun yang paling spektakuler dari semua itu ialah Katedral Ortodoks Rusia Voskreseniya Khristova atau Kebangkitan Kristus, yang dibangun pada akhir abad 19. Bukan main, gereja besar bertinggi 81 meter ini dihiasi 7.000 meterpersegi lukisan mozaik. Kubahnya menyerupai butir-butir bawang yang diselimuti warna-warna kontras. Sampai abad 21 – gereja rancangan Alfred Parland untuk memperingati terbunuhnya Alexander II pada 1881 – masih sangat aksentuatif dalam kehidupan pandang warga kota. Bangunan ini, sungguh, hadir bagai arca ganjil yang datang entah dari mana.
Dari kapal yang berjalan pelan di sepanjang kanal itu taman-taman indah dan rindang Saint Petersburg menghamparkan diri. Patung-patung yang berdiri di sela-sela hamparan bunga di sana seolah melambai-lambaikan tangan dengan ramah kepada siapa saja.
Saya membayangkan, di situ nanti patung Bung Karno presiden pertama kita, serta Megawati presiden Indonesia kelima, berdiri anggun. Lalu dua patung itu berseru kepada para pelancong seluruh dunia: “Halo! Halooo, Bro! Salam merdeka dari Indonesia Raya!”
Bung Karno gagah perwira
Lambaian itu tentu hanya imajinasi. Sementara apabila beranjak menuju kenyataan, muncul sejumlah pertanyaan. Akan seperti apakah monumen itu dibentuk? Bagaimana gestur patung itu akan digubah? Dalam momentum apa Bung Karno (dan Megawati) diperagakan sebagai patung? Pertanyaan itu wajar muncul, karena Rusia adalah negeri yang paling cakap menggubah patung monumen artistik dalam perniknya, dan atraktif dalam menggarap aspek gerak-gerik figurnya.
Indonesia, terutama kota Jakarta, faham benar reputasi para pematung monumen Rusia (dulu Uni Soviet), karena mereka pernah berpraktek intens di Jakarta. Kita tahu, patung Pahlawan (Monumen Pak Tani) di kawasan Prapatan, Jakarta adalah karya Matvey Manizer dan Ossip Manizer, pematung legendaris Rusia. Patung itu ikonik karena pilihan adegannya: seorang petani yang siap maju perang setelah direstui ibundanya. Matvey menggubah adegan puitis-dramatis itu setelah ia bertandang ke desa-desa di Pulau Jawa. Patung Pemuda (menggotong piring api) karya Moenir Pamoentjak di Jakarta Selatan serta monumen Dirgantara karya Edhi Sunarso di kawasan Pancoran, Jakarta, juga mendapat ide dari patung yang ada di Rusia.
Sangat diyakini patung Selamat Datang di Jakarta diinspirasi oleh bocoran rancang dasar monumen Mat’- Priroda Zovet (Ibu Pertiwi Memanggil) yang berdiri di bukit Mamayev Kurgan, Rusia. Masyarakat juga curiga bahwa relief logam di Sarinah, Jakarta, yang sampai sekarang belum diketahui pembuatnya, sesungguhnya adalah kreasi pematung Uni Soviet.
Di Taman Mataram, Jakarta, sejak 2021 berdiri patung Yuri Gagarin, kosmonot pertama Uni Soviet yang menembus ruang angkasa pada 1961. Patung atraktif yang didirikan untuk memperingati 70 tahun hubungan Indonesia-Rusia itu justru dibikin oleh seniman Rusia A.D. Leonov. (Bukan oleh pematung Indonesia!) Meski disayangkan, patung ini di Taman Mataram ini diletakkan mendarat di tanah, sehingga seperti pemain sepakbola saja. Tidak diimajinasikan sedang melejit ke angkasa raya, seperti yang dicontohkan oleh Monumen Yuri Gagarin di Moskow.
Lalu, pada pilihan usia berapakah sosok Bung Karno akan dipatungkan? Dalam kiprah apa Bung Karno akan diluhurkan – sebagai penggerak bangsa, pemerdeka negara, politikus, ahli pidato, pemikir atau budayawan? Lingkup sejarah mana yang dipetik sebagai pilihan? Adegan apa yang direkam untuk imajinasi patungnya? Para pematung Rusia yang terkenal observatif pasti telah mempelajari itu semua. Termasuk atas jiwa, pikiran dan psikologi Bung Karno, yang akan memunculkan detil gesturnya.
Bung Karno punya gestur menarik ketika ia bergurau dengan Nikita Khruschev. Bung Karno gagah perwira ketika mengacungkan tangan di hadapan ratusan ribu orang. Bung Karno anggun ketika berbicara lantang di forum Perserikatan Bangsa Bangsa. Bung Karno sangat ekspresif ketika meneriakkan anti imprealisme. Lalu, Bung Karno berkacamata hitam dan berbusana Pemimpin Besar Revolusi adalah pilihan piktorial mempesona. Ingat gestur Bung Karno kala berada di satu mobil bersama Presiden Amerika John F. Kennedy? Begitu pula saat Bung Karno mengenakan kopiah, berbusana khas “fashionalisme”, sambil mengempit tongkat saktinya. Seniman Rusia menyimpan gerak-gerik itu semua.
Pertanyaan lanjut, adakah nanti monumen Bung Karno di Rusia seperti patung Admiral Ivan Krusenstern, yang berdiri gaya dengan latar kapal-kapal layar lewat? Apakah seperti patung Menaklukkan Mars, yang menggambarkan pemimpin perang Alexander Suvorov mengarahkan pedang ke arah musuh? Atau seperti patung sastrawan Alexander Pushkin, yang berdiri di ketinggian pedestral, dengan gaya membacakan puisi? Apakah Bung Karno akan digubah di atas ketinggian bukit, seperti monumen penyair, penyanyi dan perajurit Salavat Yulayev?
Apabila harapan itu terkabul, maka “kekecewaan” atas puluhan patung (resmi) Bung Karno yang sudah berdiri di banyak kota di Indonesia, tercairkan. Lantaran di Indonesia monumen Bung Karno selalu tergubah klasikal, dengan pilihan adegan dari sejarah yang “itu-itu saja”. Belum lagi pada penggarapan sosok, yang menyangkut wajah dan anatominya. Amsal, di Pantai Indah Kapuk, Jakarta, berdiri patung Bung Karno (dan Bung Hatta) dengan kaki yang pendek, sehingga terlihat kontet.
Pada sisi lain, di Indonesia Bung Karno hampir selalu digambarkan dalam posisi cenderung pasif: berdiri kaku dengan membaca teks proklamasi, atau sedang menuding ringan ke satu arah. Bahkan ada yang merekam Bung Karno duduk leyeh-leyeh sambil melihat pemandangan Bandung Barat, atau merenung di bawah pohon sukun dengan mengenakan sandal.
Sejumlah patung yang punya niat baik merekam momentum, namun justru mengundang kemiskinan gestur. Sehingga patung Bung Karno hadir sebagai benda mati. Dan mendadak menyulap Bung Karno sebagai pegawai negeri yang santun, tak banyak daya, dan tidak memiliki api revolusi. Walaupun di antara yang lemes-lemes itu tentu ada yang agak istimewa. Seperti patung Bung Karno duduk membaca buku, yang digangun di halaman Gedung Lembaga Pertahanan Nasional, Jakarta.
O ya. Pada tahun 1969 pelukis dan pematung Dukut Hendronoto alias Pak Ooq “berani mati” mencipta patung Bung Karno. Banyak orang menghara ia menyuratkan aura dan gestur Bung Karno yang bergelora, lantaran Pak Ooq yang sukarnois sangat mengenal pemimpin yang jadi idolanya itu. Namun hasilnya ternyata biasa-biasa saja. Bung Karno digambarkan dalam gestur bersiap, berdiri kaku. “Saya tak berani bikin Bung Karno beraksi macem-macem. Takut ditafsirkan keliru oleh Orde Baru,” katanya. Patung itu pada 2012 dihibahkan oleh keluarga Pak Ooq kepada Istana Gebang, Blitar, rumah Bung Karno semasa muda.
Kini Orde Baru sudah tidak ada. Imajinasi atas gerak, tingkah, gestur dan aksi Bung Karno bebas dikembangkan. Rusia mungkin akan memberi contohnya.***
*Agus Dermawan T. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI. Catatan dari kunjungan ke Moskow dan Saint Petersburg.