Hikayat Perupa dalam Sinema # 2: Basoeki dan Dullah, Wanita Penjuru dan Desing Peluru
Oleh Agus Dermawan T.*
Basoeki Abdullah dan Dullah sama-sama besar di era revolusi dan era Indonesia merdeka. Keduanya pelukis legendaris. Namun atmosfir yang melingkupi mereka sungguh berbeda. Glamoritas dan wewangi Basoeki seperti keajaiban fiksi. Debu, peluru dan anak-anak Dullah adalah fakta yang gila. Sumber cerita bagi sinema.
————–
Basoeki Abdullah: semesta wanita dan istana raja
KEHIDUPAN Fransiscus Xaverius Raden Basoeki Abdullah (1915-1993) sangat bergelora dan menggemparkan. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya, Abdullah Suriosubroto, adalah putera tokoh pergerakan nasional Dr. Wahidin Sudirohusodo. Namun meski anak bangsawan, Abdullah hidup susah, lantaran isterinya ada beberapa dan anaknya banyak. Basoeki lalu diambil sebagai anak-angkat oleh Raden Ayu Umuri, isteri ketiga pamannya, Sulaiman Mangunhusodo, dokter untuk Keraton Yogyakarta. Selain untuk meringankan beban hidup Abdullah, sosok Basoeki dianggap sebagai pemancing kehamilan Umuri, yang belum juga memiliki anak.
Dengan hidup di lingkup keraton, maka Basoeki sejak kecil bersahabat dengan Gusti Raden Mas Dorodjatun, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Dan lantaran berkelindan di Yogyakarta, Basoeki mengenal mitos Nyai Roro Kidul. Ia pun sering bertandang ke Pantai Parangtritis untuk bercakap-cakap dengan Ratu Pantai Selatan itu.

Basoeki Abdullah sedang melukis modelnya, di Belanda. (Sumber: Dokumen)
Basoeki memulai karir melukis dari sebuah pasar malam tahunan (Jaarbeurs XIV) di Bandung 1933. Lukisan yang dipamerkan kala itu, Perkelahian Gatotkaca melawan Antasena. Pada suatu malam ada wanita cantik berkebaya hijau menaruh nampan berhias di meja dekat lukisan. Para pengunjung Belanda yang terpana kepada keindahan lukisan, lalu menaruh uang di nampan misterius itu. Sampai uang pun menumpuk. Basoeki curiga: yang menaruh nampan itu adalah Nyai Roro Kidul! Setelah sukses pameran itu Basoeki mendapat beasiswa untuk belajar melukis di Den Haag, Belanda.
Aktivitas seni Basoeki berhubungan erat dengan Revolusi 1945, Kemerdekaaan Indonesia, Penyerahan Kedaulatan 1949. Kiprah kesenimanan Basoeki sangat dekat dengan politik kebangsaan. Ia pembela Indonesa Raya nomer satu. Namun sebaliknya, oleh Belanda ia dianggap “orang dalam” Kerajaan Belanda. Itu sebabnya Belanda geram ketika pada 1949 Basoeki ditengarai membocorkan strategi diplomasi Belanda dalam perundingan Konferensi Meja Bundar.
Sementara itu Sultan Hamengku Buwono IX jengkel benar ketika pada September 1948 Basoeki berpesta pora dalam lomba melukis Penobatan Ratu Juliana di Belanda. Padahal kala itu tentara dan penduduk Yogyakarta sedang perang melawan Belanda dalam Agresi Militer Belanda II (Operatie Kraai, atau Operasi Gagak). Untung dalam lomba tersebut lukisan Basoeki mengalahkan 87 lukisan karya seniman Eropa.

Basoeki Abdullah melukis Ratu Sirikit di Istana Kerajaan Thailand. (Sumber: Dokumen)
Setelah bersekolah dan bekerja di Belanda, dan setelah dua kali nikah- cerai, ia diangkat menjadi pelukis Istana Kerajaan Thailand. Di negeri itu menikahi gadis bar, untuk kemudian bubar lantaran tak henti diledek keluarga kerajaan. Ia lalu terpikat kontestan ratu kecantikan, Nataya Nareerat.
Hidupnya makmur sehingga Basoeki bisa membeli tanah dan rumah di Bangkok. Namun karena warga negara asing tak boleh memiliki tanah di situ, ia minta saran kepada Raja Bhumibol Adulyadej. Basoeki disarankan bercerai dulu. Setelah bercerai, Nataya yang “single” membeli tanah itu. Setelah tanah itu di tangan, Basoeki dan Nataya menikah lagi. “Saran Raja ini bijaksana sekaligus curang dan lucu!” kata Basoeki.
Berkat kepiawaiannya dalam melukis dan keluwesannya bergaul, ia dekat dengan orang terkemuka di Indonesia dan dunia. Sehingga Sukarno, Mohamad Hatta, Soeharto, Imelda Marcos, Norodom Sihanouk, serta sejumlah pangeran kerajaan Jepang menjadi sahabatnya.
Meski beragama Katolik, pelukis ganteng ini menjalani hidup dengan petunjuk Nyai Roro Kidul. Namun di sebalik yang mistik dan tradisional itu ia hidup sangat modern dan glamor. Ia dikelilingi para wanita jelita. Dari isteri pangeran, penyanyi dan bintang film perempuan, sampai ratu kecantikan. Separuh hidupnya dipakai untuk keliling dunia dan jadi pelukis istana di Filipina, Kamboja, Malaysia, Brunei Darussalam, selain di Thailand dan Belanda.
Unik, ketika ia merayakan ulang tahun ke-70 di Taman Ismail Marzuki pada 1985, Jakarta, isteri keduanya, penyanyi seriosa mezzosoprano Maria Michel (Maya) hadir bersama Saraswati, puteri Basoeki dari isteri pertama, Josephine. Di situ Maria menyanyikan Serenade gubahan Franz Schubert. “Tahu nggak, mereka semua sayalah yang mengundang,” ujar Nataya Nareerat, isterinya yang keempat.

Basoeki Abdullah dan Nataya Nareerat, isterinya. (Sumber: Basoeki Abdullah)
Namun tokoh besar ini ternyata wafat dengan tragis di Jakarta. Basoeki Abdullah meninggal karena dibunuh maling yang akan mencuri koleksi arlojinya. Bukan mencuri lukisannya yang mahal itu. Popor senapan angin yang ada di kamar dipakai untuk menghunjam dirinya. Indonesia gempar selama lebih dari dua minggu. Info, salah seorang malingnya adalah mantan tukang kebunnya sendiri. Si maling tak sengaja mengaku ketika mengigau lantaran mabuk di kompleks prostitusi Kalijodo, Jakarta.
Kini rumahnya difungsikan sebagai Museum Basoeki Abdullah, yang dikelola pemerintah, atas wasiat Basoeki sendiri, beberapa minggu sebelum dirinya terbunuh. Senapan angin dan arloji yang jadi sumber perkara pembunuhan, juga ada di sana.
Keraton Yogyakarta, istana para raja dan presiden, Nyai Roro Kidul, api revolusi, para hartawan, kota-kota di belahan dunia, para pemimpin negara, seratus wanita, dan maling, menjadi bagian dari hidup Basoeki. *
Buku acuan pilihan :
Biografi Basoeki Abdullah – Sang Maestro (Solichin Salam, Keluarga Basoeki Abdullah, 1994) ; R.Basoeki Abdullah – Sebuah Biografi (Drs.Suratmin, APU dkk, Museum Basoeki Abdullah, 2009) ; Basoeki Abdullah – Sang Hanoman Keloyongan (Agus Dermawan T, Kepustakaan Populer Gramedia, 2015) ; Basoeki Abdullah – Painter of the Kings (Agus Dermawan T, Masterpiece, 2016). Sumber: Agus Dermawan T, Dunia Koleksi – Hulu Hilir Kepemilikan Kaya Seni, Penyunting M.Kholid Arif Rozaq dan Sudjud Dartanto, Penerbit Ombak, 2019. *
Dullah: anak-anak dan desing peluru
DULLAH (1921-1996) adalah pelukis realis yang menyimpan banyak cerita di sepanjang hidupnya. Lelaki bertubuh kecil ini adalah gerilyawan yang gigih melawan Belanda. Ia pernah ditangkap Jepang, masuk penjara dan disiksa. Pada masa revolusi ia menjadi model poster perjuangan yang amat terkenal, “Boeng Ayo Boeng!” yang digambari Affandi, dengan teks gubahan penyair Chairil Anwar.
Setelah Penyerahan Kedaulatan 1949, Dullah dipanggil Presiden Sukarno untuk jadi Pelukis Istana Presiden. Pekerjaan prestisius ini ia lakoni pada 1950 sampai 1960. Namun dari setumpuk cerita kehidupannya, ada bagian yang paling menarik. Yakni kisah kenekatan Dullah kala mengerahkan sejumlah bocah dan ABG (Anak Baru Gede) untuk masuk ke dalam kancah perang, demi mendokumentasikan pertempuran. Ceritanya begini.

Lukisan potret diri Dullah. (Sumber: Agus Dermawan T)
Alkisah, saat Belanda mengobrak-abrik Yogyakarta pada akhir 1948, pawiyatan melukis anak-anak yang dipimpin Dullah dibekukan. Dullah lantas ikut ramai-ramai memanggul senjata, dan berperang di berbagai wilayah. Namun di tengah gerilya itu tiba-tiba Dullah kembali ke Yogyakarta. Di kota ini ia mencari anak-anak yang pernah belajar melukis kepadanya. Dengan cat air seadanya, anak-anak itu diminta melukis perang secara on the spot. Dullah mengatur strategi untuk semua itu.
Di tengah letusan peluru, ledakan granat dan dentuman meriam, Mohamad Toha (11 tahun), Mohamad Affandi (12), Sardjito (14), Sri Suwarno (14) dan F.X. Supono Siswosuharto (15) melukis dengan gesit, meski dengan hati tak henti berdebar. Agar tak diketahui musuh, anak-anak itu diajari melakukan penyamaran. Misalnya sebagai penjual rokok eceran dengan kotak yang digantung di depan dada. Di bawah kotak itu tertaruh kertas, pinsil, dan cat air.
Dengan penyamaran itu anak-anak dapat memandang langsung tank yang melintas, melihat dari dekat serdadu Belanda yang sedang menindas. Juga bagaimana pesawat cocor merah musuh mengebomi daerah Maguwo. Misi nekat Dullah berhasil. Mohamad Toha misalnya, menghasilkan puluhan lukisan yang amat dokumental dan bagus. Namun Sardjito tertangkap tentara Belanda, diadili dan divonis hukuman tujuh tahun. ABG malang ini disekap di penjara anak-anak Tangerang.
Dullah menyimpan 84 lukisan mereka. Intel Belanda mengetahui adanya lukisan dokumentasi itu, dan kemudian memburunya di segala penjuru. Oleh Bibi Fatima, isterinya, setumpuk lukisan tersebut dibungkus rapat-rapat dan disembunyikan di plafon rumah yang terbuat dari bambu. Ketika Belanda pergi dari Indonesia akhir tahun 1949, lukisan itu disimpan dalam lemari. Sampai akhirnya didisplay di Museum Dullah, Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo 15, Solo, menjelang 1990.

Tentara Belanda sedang menembaki gerilyawan Indonesia pada Agresi Militer Belanda II, 1948. (Foto: Dokumen)
Pada 1992 Pemerintah Belanda berhasrat meminjam 45 lukisan Mohamad Toha untuk dipamerkan di Legermuseum (Museum Militer) di Delft. Mereka menganggap, karya Toha (dan kawan-kawannya) merupakan dokumentasi perang satu-satunya di dunia yang dibikin anak-anak dan ABG. Tapi Dullah tidak setuju dengan peminjaman itu.
“Sebaiknya dibikin reproduksinya saja. Saya curiga, Belanda akan menyemprot lukisan-lukisan kertas itu dengan cairan kimia, sehingga beberapa tahun kemudian lukisan akan rapuh dan hancur. Saya tahu siapa Belanda,” kata Dullah.
Namun Toha, si pemilik hak cipta, mengijinkan. Lukisan pun dibawa ke Belanda. Karya-karya cat air di atas kertas yang berukuran sejengkalan tangan itu lantas diasuransikan satu juta gulden oleh Pemerintah Belanda. Dalam pameran, panitia membuat patung lilin Toha yang sedang menyamar sebagai penjual rokok. Toha, yang waktu itu jadi karyawan PT.Nindya Karya, Jakarta, hadir dalam pameran. Pameran berlangsung sukses.

Pelukis cilik Mohamad Toha bersama ibunya. (Sumber: Dokumen)

Lukisan on the spot Mohamad Toha, “Belanda Menangkapi Penduduk”, 1948. Cat air di kertas, 7,2 x 10,5 cm. (Sumber: Agus Dermawan T)
Sepulang dari Belanda, 45 lukisan Toha itu tidak balik ke Solo, lantaran dicegat dan disimpan oleh Toha sendiri, di Jakarta. Toha menganggap bahwa lukisan itu adalah ciptaannya, jadi sesungguhnya adalah miliknya. Sementara Dullah menganggap bahwa lukisan-lukisan itu adalah dokumentasi dari pawiyatannya, sehingga harus disimpan di museum.
Dullah sangat marah dan kecewa. Setiap hari ia menggerutu, darah tinggi, sampai akhirnya stroke. Ia tutup usia tahun 1996. Sementara belasan lukisan tersebut oleh Toha akhirnya dijual ke Rijksmuseum, Belanda. Oh ya, Mohamad Toha meninggal pada 2007 dalam usia 70 tahun.
Kisah Dullah dan Toha bisa menjadi film anak-anak yang seru dan menegangkan, lantaran “dihiasi” debu, intrik, pertengkaran, percik darah, tank, panser, pesawat udara dan desingan peluru. * (Bersambung).
—–
Buku acuan pilihan :
Lukisan-lukisan Koleksi Ir. Dr. Sukarno (Dullah, Jakarta, 1956) ; Dullah, Raja Realisme Indonesia (Drs.Sudarmaji, Sanggar Pejeng – Bali, 1988) ; Karya dalam Peperangan dan Revolusi (Dullah, Asuransi Jiwa Bumiputera 1912, 1982) ; Lukisan Rakyat Dullah (Agus Dermawan T, Yayasan Seni Rupa AiA, Jakarta, 1996) ; Dokumentasi kliping tulisan Dullah di koran Merdeka (Museum Dullah). Sumber : Agus Dermawan T, Dunia Koleksi – Hulu Hilir Kepemilikan Kaya Seni, Penyunting M.Kholid Arif Rozaq dan Sudjud Dartanto, Penerbit Ombak, 2019. *
——
*Agus Dermawan T. Kritikus seni rupa. Penulis buku-buku budaya dan seni.