Adi Prayuda Ruang Jeda

Apa Itu Pencapaian?

Oleh Adi Prayuda

“Rasa senang, rasa sedih, rasa kecewa, rasa marah, rasa cemburu, bahkan rasa haru memang berbeda-beda sensasinya di tataran fisik dan mental, namun apakah yang menyadari rasa-rasa itu adalah juga berbeda-beda?”

Pencapaian di titik A bagi seseorang bisa jadi bukanlah sebuah pencapaian bagi orang yang lain, bahkan bisa jadi bukan sesuatu yang menarik atau penting untuk diupayakan. Ada dimana “titik-titik” yang kita anggap penting untuk dicapai itu? Apakah “puncak-puncak” itu benar-benar berharga? Dimana kita diantara “puncak” dan mungkin “lembah” itu? Apa jadinya diri kita seandainya semua itu tidak ada? Siapakah kita tanpa itu semua? Masihkah kita adalah kita?

Rick Warren pernah bicara sangat indah terkait ini. “Dulu aku pikir hidup adalah bukit dan lembah – kita melewati masa yang gelap, kemudian kita mencapai puncak gunung, dan terus begitu. Sekarang aku tidak percaya lagi. Hidup bukanlah bukit dan lembah, tapi seperti dua rel kereta api, dan di sepanjang waktu, kita mendapatkan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk dalam hidup. Terlepas dari seberapa bagusnya segala sesuatu dalam hidup kita, selalu ada sesuatu yang buruk yang perlu diolah. Dan terlepas dari seberapa buruknya segala sesuatu dalam hidup kita, selalu ada sesuatu yang baik yang bisa disyukuri.”

Kahlil Gibran dalam syairnya sangat jelas menuliskan bahwa kesenangan dan kesedihan tinggal satu rumah. Ini kutipan salah satu puisinya:

…….
Semakin dalam kesedihan menggali lubang dalam wujudmu, semakin banyak kesenangan yang akan dapat kau tampung.
Bukankah gelas yang menyimpan anggurmu adalah gelas yang dibakar bersama tembikar?
Dan tidakkah seruling yang melambungkan jiwamu adalah bambu yang dikerat dengan pisau
Ketika engkau gembira, lihatlah di kedalaman hatimu, dan engkau akan melihat bahwa sebenarnya engkau sedang meratapi sesuatu yang pernah menjadi kebahagiaanmu.
Diantaramu ada yang berkata, “Kesenangan lebih besar daripada kesedihan,” dan yang lain berkata, “Bukan, kesedihanlah yang lebih besar.”
Tapi kukatakan kepadamu, keduanya tak terpisahkan.
Bersama mereka datang, dan ketika salah satu duduk bercengkerama bersamamu di beranda, maka yang lain sedang berbaring menunggumu di tempat tidur.
Sesungguhnyalah engkau bergerak seperti skala yang berayun antara kesedihan dan kesenanganmu.
Hanya jika engkau kosong, maka engkau dapat berada pada keadaan tetap dan seimbang.
…….

“Ketika kita bercengkrama dengan kesenangan di beranda, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur.” Kesedihan dan kesenangan ada dan tinggal bersama. Kita yang sering “merasakannya” datang silih berganti. Itu semua karena, baik disadari maupun tidak, kita punya syarat-syarat. Ada momen yang dikategorikan sebagai momen indah dan tidak indah dalam hidup ini. Sehingga respon rasanya pun berbeda.

Pagi dan malam apakah datang silih berganti? Iya, bila kita hanya mengamati dari lokasi tertentu saja. Bila pengamatan kita meluas, kita akan tau bahwa pagi dan malam terjadi secara simultan atau bersamaan. Pagi di suatu lokasi adalah malam di lokasi yang lain pada waktu yang sama. Dengan berkah kedua mata dan telinga ini, kita bisa melihat dan mendengar banyak hal. Namun, dengan saringan yang ada di balik mata dan telinga, semua yang banyak itu dikategorikan menjadi paling sedikit dua aspek. Baik-buruk, positif-negatif, benar-salah, sukses-gagal, senang-sedih, diterima-ditolak, putih-hitam, pagi-malam, terang-gelap, surga-neraka, suci-hina, hidup-mati, aku-kamu, dll. Semua yang serba dua itu adalah produk yang dihasilkan persepsi. Dan untuk urusan menghancurkan persepsi, koan-koan Zen bisa sangat membantu, “Bisakah engkau melihat dengan telinga dan mendengar dengan mata?”

Bila kita cermati secara menyeluruh dan mendalam, apakah benar-benar ada inti dari semua konsep yang serba dua itu? Apakah intinya juga ada dua? Untuk tujuan praktis, konsep-konsep itu tentu ada manfaatnya. Bahkan banyak manfaatnya dalam hidup keseharian di ranah relatif. Namun, bagi yang mau merenungi dan menyelami hidup, semua yang serba dua itu bukanlah sesuatu yang solid. Kalau kita mau beranjak sedikit dari kenyamanan kita sehari-hari, dan mencoba memasuki ruang jeda, menelusuri apa yang menjadi esensi semua pengalaman, mungkin kita akan menemukan bahwa yang serba dua tadi tidak benar-benar dua.

Pengalaman kita yang paling menyenangkan dan pengalaman kita yang paling menyedihkan, apakah bahan intinya berbeda? Rasa senang dan rasa sedih, ketika diselami, apakah sumbernya dua? Pikiran dan perasaan, apakah benar-benar terpisahkan? Masa lalu, masa depan, bahkan masa kini, bukankah pabriknya sama? Rasa senang, rasa sedih, rasa kecewa, rasa jengkel, atau bahkan rasa haru yang muncul dalam jeda memang tidak sama rasanya, namun apakah yang menyadarinya pun berbeda? Sang penyair rupanya sudah mengetahui dan menyadari ini, sehingga mampu berkata, “Hanya jika engkau kosong, maka engkau dapat berada pada keadaan tetap dan seimbang.”

*Penulis adalah pengasuh “Ruang Jeda”