Puisi Mantra Sutardji Calzoum Bachri: Gerbang Ganda dalam Portal Kata

Oleh: Gus Nas Jogja*

Catatan Kuratorial Gus Nas Jogja

Sutardji Calzoum Bachri, penyair kelahiran Rengat, Riau, Indonesia, telah lama menjadi ikon dalam dunia sastra Indonesia dengan puisinya yang unik dan revolusioner, sering kali disebut “puisi mantra.” Karyanya menantang konvensi bahasa dan puisi, menggiring pembaca ke sebuah perbatasan di mana makna logis menipis dan pengalaman transendental mengemuka. Untuk memahami sepenuhnya keajaiban “portal kata” dalam puisi Sutardji, kita perlu menyelaminya dari tiga lensa utama: linguistik, estetika, dan epistemologi sastra.

Analisis Linguistik: Membongkar Mekanisme Portal

Sutardji memandang kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sebagai entitas mandiri yang memiliki kekuatan intrinsik. Pendekatan ini secara radikal berbeda dari linguistik strukturalis konvensional yang memandang kata sebagai penanda arbitrer dari petanda.

Fonologi: Bunyi sebagai Energi Primer

Dalam puisi Sutardji, fonologi—ilmu tentang bunyi bahasa—menjadi medan utama eksperimen. Ia membebaskan bunyi dari “penjara” makna semantik.

Sutardji sering menggunakan pengulangan bunyi konsonan awal (aliterasi) dan vokal (asonansi) hingga batas maksimal, menciptakan efek hipnotis dan ritualistik.

Ambil contoh puisi “O” atau “Kapak.” Bunyi vokal /o/ atau konsonan /k/ dan /m/ diulang-ulang. Fonem-fonem ini, menurut Sutardji, membawa vibrasi tertentu. Dalam linguistik, fonem adalah unit bunyi terkecil yang membedakan makna. Namun, bagi Sutardji, fonem bukan hanya pembeda makna, melainkan pembawa energi. Pengulangan /o/ bisa diasosiasikan dengan bentuk mulut saat mengucapkan Om dalam tradisi spiritual, atau bentuk lingkaran kesempurnaan. Pengulangan /k/ mungkin terasa keras, cepat, mendesak.

Pengulangan bunyi ini menciptakan musikalitas internal yang memukau, melampaui ritme yang biasa. Ini adalah harmoni non-konvensional yang menarik pembaca ke dalam pengalaman auditif yang meditatif, terkadang membingungkan, tetapi selalu intens.

Puisinya seringkali tidak terikat pada metrum atau rima tradisional, tetapi menciptakan irama yang berulang secara internal melalui repetisi kata atau frasa.

Kata-kata seperti “dam,” “telah,” “mati” diulang berkali-kali dalam sebuah pola yang menyerupai mantra. Setiap pengulangan adalah sebuah “pukulan” ritmis yang memperkuat efek. Jika kita menganalisis pola suku kata atau penekanan, kita akan menemukan bahwa meskipun tidak ada pola skansional yang ketat (seperti lambic pentameter), ada sebuah ritme internal yang dibangun dari akumulasi dan akselerasi.

Ritme ini membangun intensitas emosional dan transisional. Pembaca seolah-olah ditarik ke dalam pusaran bunyi dan makna, sebuah lorong yang terbentuk dari gelombang suara. Ini adalah estetika dari repetisi yang mengikat.

Morfologi: Dekonstruksi dan Re-kreasi Kata

Sutardji sering “membongkar” kata-kata, memperlakukan morfem (unit terkecil bermakna) sebagai blok bangunan yang bisa disusun ulang.

Terkadang ia memisahkan prefiks atau sufiks dari akar kata atau bahkan memecah akar kata itu sendiri, seperti dalam puisi “Q” atau “Pot.”

Misalnya, kata “pot” yang diulang-ulang, terlepas dari konteks kalimat, memisahkan morfem dasar “pot” dari segala afiksasi atau infleksi. Ini menghilangkan makna gramatikal dan semantik yang kompleks, menyisakan esensi atau bunyi primitif. Dalam analisis morfologi, ini adalah isolasi morfem bebas.

Aksi ini adalah perlawanan terhadap konvensionalitas bahasa. Ini menciptakan rasa “ketidaknyamanan” linguistik yang memaksa pembaca untuk tidak mencari makna, tetapi merasakan keberadaan kata itu sendiri. Estetika yang muncul adalah kejutpilihan (defamiliarization), membuat yang akrab menjadi asing dan baru.

Reduplikasi, yang dalam linguistik adalah proses pengulangan elemen linguistik (kata, morfem, atau fonem), digunakan Sutardji tidak hanya untuk penekanan atau intensitas, melainkan untuk menciptakan nuansa makna atau bahkan makna baru yang tidak ada dalam bentuk tunggal.

Contoh “hati-hati Winka-Sihka.” Secara linguistik, ini adalah reduplikasi penuh yang mengindikasikan intensitas atau kehati-hatian. Namun, Sutardji bisa menggunakan reduplikasi dengan cara yang lebih radikal, seperti “mantra pengantin” tidak hanya berarti ijab kabul, tetapi juga esensi “Kawin-Kasih.” Atau jika ia membuat reduplikasi parsial yang tidak lazim, “Sihka-Winka.”

Reduplikasi ini menciptakan resonansi makna. Makna kata tidak hanya dikonfirmasi, tetapi diperluas, diperdalam, atau bahkan “dilepaskan” dari batasan semantik aslinya, membentuk estetika gaung semantik.

Sintaksis: Melampaui Tata Bahasa

Sutardji dikenal karena “melanggar” kaidah sintaksis, menyusun kata-kata tanpa mengikuti aturan subjek-predikat-objek yang lazim.

Kalimat-kalimatnya sering fragmentaris, terputus, atau disusun dengan inversi yang ekstrem.

Jika kita menganalisis diagram pohon (syntactic tree) dari kalimat-kalimatnya, kita akan menemukan struktur yang tidak lengkap atau terbalik. Frasa nominal bisa berdiri sendiri tanpa verba, atau verba tanpa subjek. Ini adalah violasi valensi verba atau kelalaian konstituen wajib.

Penyimpangan ini menciptakan ketegangan dan kejutan. Pembaca dipaksa untuk tidak mencari logika linear, tetapi merasakan alur emosi atau energi yang dihasilkan dari susunan kata yang tidak konvensional. Estetikanya adalah kebebasan dari kungkungan tata bahasa, sebuah ekspresi murni dari pikiran atau perasaan yang tidak terikat oleh aturan.

Semantik: Makna yang Dilepaskan

Sutardji bertujuan membebaskan kata dari bebannya untuk merujuk pada objek di luar dirinya.

Kata-kata dalam puisinya cenderung mandiri, tidak terlalu bergantung pada konteks kalimat untuk mendapatkan makna. Maknanya bukan ditentukan oleh objek referensial, melainkan oleh posisi, pengulangan, dan bunyi kata itu sendiri.

Dalam linguistik, ini dikenal sebagai non-referensialitas ekstrem atau pengurangan valensi semantik. Kata “batu” dalam puisi Sutardji mungkin tidak merujuk pada objek fisik batu, melainkan pada kekerasannya, keheningannya, atau esensi “kebatuan” itu sendiri sebagai sebuah konsep.

Ini menciptakan ambiguitas yang disengaja dan pluralitas makna. Pembaca diajak untuk tidak mencari satu makna tunggal, tetapi untuk merasakan resonansi dan implikasi yang tak terbatas dari kata-kata. Ini adalah estetika makna yang melayang bebas.

Kata-kata diperlakukan sebagai ujaran performatif yang memiliki daya magis, bukan hanya deskriptif.

Konsep ilokusi dan perlokusi dari teori tindak tutur J.L. Austin sangat relevan di sini. Kata-kata Sutardji bukan hanya mengucapkan sesuatu (ilokusi), tetapi juga melakukan sesuatu (perlokusi) pada pembaca atau pada realitas itu sendiri. Ketika ia menulis “Mati,” pengulangannya bertujuan untuk menciptakan efek “kematian” secara imajinatif atau spiritual, bukan hanya menggambarkan fenomena.

Ini mengangkat puisi ke level ritual atau invokasi. Estetika yang dihasilkan adalah daya magis bahasa, di mana kata-kata tidak hanya indah tetapi juga berkuasa.

Estetika: Keindahan dalam Transendensi

Estetika puisi Sutardji tidak terletak pada keindahan yang konvensional, melainkan pada pengalaman yang dihasilkan dari dekonstruksi bahasa. Ini adalah estetika yang mengarah pada transendensi.

Estetika Kejutpilihan dan Keterasingan

Sutardji memanfaatkan defamiliarisasi Victor Shklovsky untuk membuat pembaca melihat bahasa dan realitas dari sudut pandang baru.

Dengan melanggar aturan sintaksis dan semantik, ia membuat bahasa menjadi “asing” kembali. Ini memaksa pembaca untuk melambat, merasakan setiap kata, dan merenungkan esensinya tanpa bias kebiasaan.

Keindahan tidak lagi dicari dalam narasi atau gambaran yang jelas, melainkan dalam sensasi langsung yang ditimbulkan oleh bunyi dan ritme. Ini adalah estetika yang lebih fenomenologis, fokus pada bagaimana pengalaman puisi terasa dalam diri.

Estetika Meditasi dan Kontemplasi

Pengulangan yang intens dan struktur yang minimalis mendorong pembaca ke dalam keadaan meditasi.

Seperti mantra, puisi Sutardji memusatkan perhatian pada bunyi dan getaran internal. Ini mengalihkan fokus dari dunia luar ke dunia batin, memungkinkan kontemplasi yang mendalam tentang keberadaan atau kekosongan.

Keheningan dalam suara. Meskipun penuh bunyi, puisi-puisinya sering menciptakan ruang untuk keheningan. Pengulangan yang terus-menerus bisa membatalkan makna dan membawa pembaca pada titik ketiadaan makna, dari situlah mungkin muncul pemahaman yang lebih tinggi. Ini adalah estetika dari kosong dalam penuh.

Estetika Primordial dan Absolut

Sutardji berusaha menangkap esensi bahasa sebelum ia “terkontaminasi” oleh makna dan representasi sosial.

Kembali ke asal. Ada upaya untuk kembali ke “bahasa pertama,” bahasa yang paling fundamental, yang mungkin dekat dengan tangisan, desahan, atau bunyi alam. Ini adalah estetika yang primitif dan murni.

Pencarian absolut. Dengan mengurangi bahasa menjadi esensi bunyinya, ia mencari sesuatu yang absolut, yang universal, yang melampaui budaya dan waktu. Estetikanya adalah pencarian kesucian melalui penyucian bahasa.

Epistemologi Sastra: Jalan Lain Menuju Pengetahuan

Epistemologi sastra membahas bagaimana sastra menawarkan bentuk pengetahuan yang unik. Puisi mantra Sutardji menantang epistemologi konvensional yang mengandalkan logika dan rasionalitas.

Pengetahuan Non-Diskursif

Sutardji menyiratkan bahwa ada bentuk pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan atau diakses melalui bahasa diskursif atau rasional.

Keterbatasan bahasa logis. Sebagaimana filsuf bahasa seperti Martin Heidegger yang mengkritik bahasa metafisis Barat yang terlalu rasional, Sutardji menunjukkan bahwa bahasa sehari-hari kita terbatas dalam menangkap realitas yang lebih dalam, terutama yang spiritual atau intuitif.

Pengetahuan melalui pengalaman. Puisi mantra menawarkan pengetahuan yang bersifat experiential, bukan proposisional. Pembaca tidak memahami puisi, tetapi mengalami puisi. Pengetahuan ini tidak bisa diartikulasikan sepenuhnya dalam kata-kata, melainkan dirasakan dalam jiwa dan tubuh. Ini mirip dengan pengetahuan mistik yang hanya bisa dicapai melalui pengalaman langsung, bukan penjelasan verbal.

Intuisi sebagai Sumber Kebenaran

Alih-alih logika, puisi Sutardji mengandalkan intuisi sebagai gerbang menuju kebenaran.

Melampaui rasionalitas. Pengulangan dan dekonstruksi sintaksis berfungsi untuk “mematikan” fungsi kritis dan analitis otak. Ketika pikiran rasional lelah mencari makna, intuisi punya kesempatan untuk berbicara. Pengetahuan datang sebagai kilasan, perasaan, atau pemahaman yang tiba-tiba.

Kebenaran yang diresapi. Kebenaran dalam puisi mantra Sutardji tidak “ditemukan,” melainkan “diresapi.” Ia meresap melalui bunyi, ritme, dan vibrasi kata, membentuk pemahaman non-konseptual yang lebih mendalam. Ini adalah epistemologi di mana kebenaran lebih mirip revelasi pribadi ketimbang deduksi logis.

Sastra sebagai Mediasi Transendensi

Puisi, dalam pandangan Sutardji, bukan hanya hiburan atau ekspresi diri, melainkan sarana untuk mencapai transendensi.

Bahasa sebagai kendaraan spiritual. Sama seperti doa atau ritual, bahasa dalam puisi Sutardji menjadi kendaraan yang membawa pembaca atau penyair melampaui batas-batas dunia material menuju alam spiritual atau kesadaran kosmis.

Tujuan akhirnya bukan sekadar pemahaman intelektual, tetapi transformasi internal. Puisi menjadi katalisator bagi perubahan kesadaran, memungkinkan pembaca merasakan koneksi yang lebih dalam dengan diri sendiri, alam semesta, atau yang Ilahi. Ini adalah epistemologi yang berpusat pada pengubahan diri melalui sastra.

Puisi Mantra sebagai Realitas Berdaya

Puisi mantra Sutardji Calzoum Bachri adalah manifestasi kuat dari “gerbang ganda dalam portal kata.” Secara linguistik, ia secara radikal mendekonstruksi bahasa untuk membebaskan bunyi dan kata dari kungkungan makna konvensional, mengembalikan mereka ke esensi vibrasi dan primordial. Dari sisi estetika, ia menciptakan keindahan yang tidak konvensional, mendorong pengalaman meditasi, kejutan, dan pencarian yang absolut. Dan secara epistemologi sastra, ia menawarkan jalan pengetahuan yang non-diskursif, mengandalkan intuisi dan pengalaman langsung untuk mencapai kebenaran dan transformasi transendental.

Dalam karya-karya Sutardji, kata-kata bukan hanya indah, bukan hanya bermakna, tetapi berdaya. Mereka adalah portal yang membuka tidak hanya keindahan bahasa, tetapi juga ke dalam kedalaman spiritual dan realitas yang lebih luas. Melalui puisi-puisi ini, Sutardji mengundang kita untuk tidak hanya membaca, tetapi untuk merasakan, untuk larut, dan untuk melampaui. Ini adalah sebuah pengingat bahwa di balik susunan huruf dan bunyi, ada kekuatan yang jauh melampaui pemahaman kita, menunggu untuk dibukakan oleh “kata-kata yang tepat.”

***

*Gus Nas Jogja, Budayawan.