Masa Depan Seni dan Seniman di Era Algoritma

Oleh: Eko Yuds*

 

Ketika seni berpindah dari ruang perenungan ke arena keterlihatan, yang dipertaruhkan bukan hanya bentuk karya, melainkan keberadaan seniman sebagai subjek yang berpikir.

———————

Seni hari ini tidak hanya berubah medium, tetapi berubah medan kehidupannya. Ia berpindah dari ruang penciptaan menuju ruang sirkulasi; dari pengalaman yang dialami perlahan menuju visibilitas yang diperebutkan cepat. Perubahan ini bukan sekadar akibat kemajuan teknologi, melainkan perubahan struktural dalam cara seni hadir, dibaca, dan diberi nilai. Dalam dunia yang dipandu algoritma, seni semakin sering berhadapan dengan logika perhatian: siapa yang terlihat, seberapa sering, dan sejauh mana narasi itu beredar. Di titik inilah masa depan seni dan seniman dipertaruhkan—bukan pada kebaruan bentuk semata, melainkan pada kemampuan menjaga makna.

Situasi ini menandai kondisi seni kontemporer yang tidak lagi bergerak dalam satu garis sejarah yang pasti. Setelah apa yang oleh Arthur C. Danto disebut sebagai “akhir sejarah seni”, karya tidak lagi diukur melalui kemajuan gaya atau medium, melainkan melalui kesadaran yang melahirkannya. Seni tidak mati, tetapi kehilangan narasi besar yang dulu menjadi penuntun. Dalam praktik hari ini, kondisi pasca-sejarah ini tampak ketika sebuah karya tidak lagi diperdebatkan karena teknik atau bentuknya, melainkan karena narasi yang menyertainya: pernyataan seniman, teks kuratorial, atau isu yang dibawanya. Karya hadir sebagai pernyataan kesadaran, bukan sebagai tahap perkembangan gaya. Kebebasan ini membuka kemungkinan luas, namun sekaligus membuat seni rentan terseret oleh logika eksternal yang paling dominan—hari ini, logika itu adalah perhatian.

Dalam lanskap global yang semakin multipolar, seni juga tidak lagi memiliki pusat tunggal. Seperti dibaca oleh Hans Belting, pameran, festival, dan forum seni tumbuh di berbagai wilayah dengan bobot yang relatif setara. Seni Indonesia bergerak di dalam jaringan global ini sebagai simpul yang aktif, bukan sebagai pengekor. Legitimasi tidak lagi datang dari satu pusat, melainkan dari banyak titik yang saling terhubung. Namun ketiadaan pusat juga berarti ketiadaan kompas. Ekosistem seni menjadi ruang yang dinamis sekaligus rapuh: kaya akan kemungkinan, tetapi rawan kehilangan orientasi bersama. Dalam kondisi ini, seni semakin mudah diukur melalui sirkulasi, bukan perenungan.

Algoritma bekerja sebagai struktur kultural yang tak kasatmata. Ia tidak mencipta karya, tetapi mengatur arus keterlihatan. Apa yang muncul di linimasa, apa yang tenggelam, dan apa yang dianggap relevan ditentukan oleh sistem yang mengutamakan keterlibatan dan kecepatan. Dalam ekonomi perhatian, nilai karya makin sering ditakar melalui jangkauan, eksposur, dan intensitas peredaran narasi. Dalam praktik sehari-hari, hal ini terlihat ketika karya yang fotogenik, mudah dipotong menjadi konten, dan cepat dipahami lebih mudah beredar dibandingkan karya yang menuntut waktu, keheningan, dan keterlibatan tubuh penonton. Di sinilah terjadi pergeseran halus namun menentukan: seni bergerak dari pengalaman menuju sinyal.

Pada fase terbaru ini, algoritma tidak lagi berhenti pada distribusi, tetapi mulai memengaruhi keputusan penciptaan itu sendiri. Format karya, durasi, bahkan intensitas visual kerap disesuaikan dengan logika platform sebelum gagasan benar-benar selesai dipikirkan. Pilihan artistik tidak selalu lahir dari kebutuhan estetik atau konseptual, melainkan dari perkiraan tentang apa yang “akan bekerja”. Dalam kondisi ini, seni menghadapi risiko yang subtil namun serius: keputusan kreatif digantikan oleh kalkulasi probabilitas.

Kehadiran kecerdasan buatan memperumit situasi tersebut. Ketika mesin mampu menghasilkan gambar, teks, dan komposisi dengan cepat, kreativitas terancam direduksi menjadi soal efisiensi. Namun persoalan utamanya bukan pada mesin, melainkan pada cara manusia memposisikan dirinya. Jika seniman menyerahkan sepenuhnya proses penciptaan pada sistem otomatis, maka seni kehilangan dimensi reflektifnya. Yang tersisa hanyalah produksi visual tanpa pertanyaan, tanpa jarak kritis, dan tanpa keterlibatan batin.

Perubahan medan ini berdampak langsung pada peran seniman. Seniman tidak lagi hanya bekerja sebagai pencipta karya, tetapi juga sebagai pengelola posisi, narasi, dan kehadiran publik. Ia menulis pernyataan, merawat jejaring, dan menjaga kontinuitas visibilitas. Ini bukan penyimpangan moral, melainkan konsekuensi struktural dari ekosistem seni hari ini. Energi kreatif pun terbelah antara pendalaman artistik dan tuntutan tampil berkelanjutan. Tantangan mendasarnya bukan pada produktivitas, melainkan pada otonomi batin: bagaimana tetap berpikir dan berkarya dengan jujur ketika keberadaan semakin ditentukan oleh sistem keterlihatan.

Dalam konteks Indonesia, regenerasi seniman berlangsung cepat dan intens. Regenerasi ini tidak semata ditandai oleh pergantian usia, melainkan oleh perubahan cara menjadi seniman. Belajar tidak lagi hanya melalui institusi formal, tetapi melalui residensi, festival, art fair, dan forum wacana. Jejaring menjadi bagian dari proses pembentukan diri. Regenerasi hari ini adalah regenerasi ekosistem, di mana seniman tumbuh bersama sistem yang mendukung sekaligus membentuk cara berpikir dan bekerja mereka.

Di dalam ekosistem tersebut, infrastruktur kultural memainkan peran penting. ArtJog membiasakan seniman berpikir tematik dan konseptual serta mempertemukan karya dengan publik luas dalam ruang dialog yang intens. Jogja International Art Fair membuka ruang sirkulasi dan profesionalisasi, mempertemukan seniman dengan galeri, kolektor, dan institusi. Borobudur Writers & Cultural Festival mempertemukan seni dengan sastra, sejarah, filsafat, dan spiritualitas, serta memperpanjang usia makna seni dalam percakapan kebudayaan. Ketiganya membentuk fondasi regenerasi yang saling melengkapi: eksperimentasi, sirkulasi, dan refleksi.

Namun justru karena ekosistem ini semakin produktif dan terbuka, tuntutan untuk menyertai karya dengan narasi, riset, dan bahasa konseptual menjadi semakin kuat. Dalam konteks kritik seni Indonesia, M. Dwi Marianto mengingatkan bahwa riset seni—meski lentur—tidak bebas dari tanggung jawab metodologis. Riset yang kehilangan kejelasan asumsi, konsistensi logika, dan relevansi konteks tidak bekerja sebagai alat berpikir, melainkan sebagai perlindungan simbolik yang menutupi kelemahan karya. Dalam praktiknya, kecenderungan ini tampak dalam riset yang hanya mengumpulkan referensi tanpa pertanyaan, mengangkat isu besar tanpa kerja konteks, atau memproduksi jargon yang memberi kesan kedalaman tanpa keterhubungan dengan pengalaman artistik.

Persoalan ini diperparah oleh budaya visual kontemporer yang gemar mengemas estetika sebagai ideologi. Seperti dikritisi oleh Hal Foster, kompleksitas bahasa dan konsep sering diproduksi bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk memberi kesan kecanggihan. Dalam ekonomi perhatian, bahasa yang terdengar rumit lebih mudah menarik atensi. Istilah teoritis dipinjam tanpa benar-benar bekerja pada karya. Maka lahirlah ilusi kedalaman: karya tampak serius, tetapi miskin keterhubungan dengan pengalaman artistik.

Masalah bahasa ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat bagaimana makna bekerja. Ludwig Wittgenstein mengingatkan bahwa makna tidak lahir dari istilah itu sendiri, melainkan dari cara ia digunakan dalam praktik. Istilah seperti “arsip”, “memori kolektif”, atau “dekonstruksi” kerap muncul dalam teks karya, tetapi ketika ditelusuri bagaimana ia bekerja dalam bentuk, medium, atau pengalaman penonton, jawabannya tidak selalu ditemukan. Ketika bahasa seni tidak berakar pada proses dan konteks karya, ia menciptakan pseudo-makna. Penonton mengernyit bukan karena diajak berpikir, melainkan karena bahasa gagal menjalankan fungsinya.

Perubahan medan seni juga berdampak pada cara publik mengalami karya. Waktu mengalami penyempitan. Pengalaman estetik yang dahulu menuntut kehadiran penuh kini bersaing dengan notifikasi, linimasa, dan aliran gambar yang tak henti. Seni tidak lagi dinikmati dalam keheningan, melainkan dikonsumsi dalam sela-sela perhatian yang terfragmentasi. Ini bukan soal penurunan kualitas publik, melainkan perubahan struktur pengalaman. Dalam kondisi seperti ini, seni yang menuntut waktu—yang tidak segera memberi hasil—berada dalam posisi rentan. Namun justru di situlah potensi kritiknya. Seni yang lambat, tidak segera terbaca, dan menolak disederhanakan dapat menjadi bentuk perlawanan paling sunyi terhadap ekonomi perhatian, dengan memaksa penonton berhenti, menunda, dan berpikir.

Ketika bahasa dan riset kehilangan fungsi klarifikatifnya, persoalan seni pun bergeser ke pertanyaan yang lebih mendasar: ke mana seni diarahkan. Di titik ini, persoalan seni kembali pada orientasi makna. Seyyed Hossein Nasr mengingatkan bahwa seni yang tercerabut dari orientasi spiritualnya akan kehilangan daya reflektif dan penyembuhannya. Seni membutuhkan poros yang melampaui keterlihatan—kesadaran bahwa penciptaan adalah bagian dari pencarian makna yang lebih dalam.

Kesadaran ini berkaitan langsung dengan posisi seniman sebagai subjek kreatif. Muhammad Iqbal menempatkan kreativitas bukan sebagai bakat pasif atau kemampuan teknis semata, melainkan sebagai tindakan eksistensial yang lahir dari kehendak dan kesadaran diri. Bagi Iqbal, manusia adalah ego kreatif—subjek yang terus menjadi melalui pilihan-pilihan sadar, bukan sekadar bereaksi terhadap sistem di luar dirinya. Dalam konteks seni di era algoritma, pandangan ini menjadi relevan secara kritis. Ketika keputusan artistik ditentukan oleh pola yang terbukti bekerja—oleh statistik, tren, dan prediksi sistem—seniman berisiko kehilangan posisinya sebagai subjek. Ia tidak lagi mencipta, melainkan menyesuaikan; tidak lagi memilih, melainkan mengikuti. Seni yang lahir dari kondisi semacam ini mungkin efisien dan mudah beredar, tetapi miskin intensitas eksistensial.

Iqbal menolak gagasan manusia sebagai makhluk yang larut dalam mekanisme. Kreativitas, baginya, selalu mengandung unsur risiko: keberanian mengambil keputusan tanpa jaminan keberhasilan, keberanian berpikir sebelum sistem memberi izin. Dengan demikian, krisis seni di era algoritma bukan pertama-tama krisis teknologi, melainkan krisis subjek. Ketika seniman masih berani mengambil keputusan artistik yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi, seni tetap memiliki masa depan. Tetapi ketika seluruh proses penciptaan direduksi menjadi optimalisasi sistem, seni kehilangan salah satu unsur paling mendasarnya: kehendak manusia yang sadar akan dirinya sendiri.

Jika ada satu pelajaran yang dapat ditarik dari seluruh perubahan ini, maka itu adalah bahwa seni selalu lebih dari sekadar produk kultural. Ia adalah ruang kesadaran. Ketika seni direduksi menjadi konten, seniman direduksi menjadi operator, dan publik direduksi menjadi metrik, yang hilang bukan hanya makna seni, tetapi pengalaman manusia itu sendiri. Masa depan seni dan seniman Indonesia tidak akan ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang digunakan atau seberapa luas jangkauan distribusinya. Ia ditentukan oleh pilihan-pilihan kecil namun konsisten: bagaimana seniman berpikir, bagaimana ia menggunakan bahasa, bagaimana ia memosisikan riset, dan bagaimana ia menjaga relasi antara karya, konteks, dan batin. Seni mungkin tidak lagi memiliki pusat, peta, atau narasi besar. Namun selama masih ada seniman yang memilih untuk berpikir jernih, bekerja jujur, dan menjaga orientasi makna, seni tidak kehilangan masa depannya. Ia hanya menuntut kedewasaan baru—kedewasaan untuk hidup di dalam sistem tanpa kehilangan kesadaran, dan untuk hadir di dunia tanpa sepenuhnya larut di dalamnya.***

 

Jakarta, 20 Desember 2025

 

Daftar Pustaka:

Belting, Hans. The End of the History of Art? Chicago: University of Chicago Press, 1987.

Danto, Arthur C. After the End of Art: Contemporary Art and the Pale of History. Princeton: Princeton University Press, 1997.

Foster, Hal. The Return of the Real: The Avant-Garde at the End of the Century. Cambridge, MA: MIT Press, 1996.

Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 1986.

Marianto, M. Dwi. Seni dan Daya Hidup dalam Perspektif Metodologis. Yogyakarta: Scritto Books, 2015.

Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Art and Spirituality. Albany: State University of New York Press, 1987.

Wittgenstein, Ludwig. Philosophical Investigations. Translated by G.E.M. Anscombe. Oxford: Blackwell Publishing, 1953.

Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs, 2019.

Crary, Jonathan. 24/7: Late Capitalism and the Ends of Sleep. London: Verso, 2013.

Bishop, Claire. Artificial Hells: Participatory Art and the Politics of Spectatorship. London: Verso, 2012.

 

—————-

*Eko Yuds (TitahManahWening), teaterawan.