Lintas Zaman Topi Seniman

Oleh Agus Dermawan T.

Baret ternobatkan sebagai topi seniman, walau baret juga trade mark tukang copet dan preman. Namun topi fedora, yang disebut sebagai topi mafia, diam-diam menggeser baret ke pinggiran. Selintas tinjauan kosmologis.

———–

Pada suatu hari di tahun 1984 Basoeki Abdullah gugup. “Wah, Perry sudah datang! Mana baret saya?” Sekretarisnya, Bernadetta, segera mengambil baret berwarna hitam. “Bukan yang itu!” kata Basoeki. Sang pelukis lantas mengambil sendiri satu baret di ruang kerjanya. Keluar dari studio, baret warna maroon telah dikenakannya 

Lalu Basoeki pun dipotret oleh Perry Pieter, fotografer profesional. Hasilnya manis: sosok Basoeki berkemeja merah sedang tepekur, dengan tangan menopang kepalanya yang ditudungi baret berwarna maroon. “Tanpa baret ini, saya bukan Basoeki,” katanya.

Beberapa bulan kemudian foto bagus itu oleh perancang grafis Ipong Purnomo Sidhi dijadikan gambar sampul buku monografi R.Basoeki Abdullah RA – Duta Seni Rupa Indonesia, terbitan Gramedia. Beberapa bulan kemudian sampul “baret maroon” itu mendapat penghargaan Sampul Buku Non Fiksi Terbaik 1985 dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). “Kalau tak ada baretnya, sampul buku itu tidak dipandang siapa-siapa,” kata Basoeki bercanda. Basoeki dan baret (yang berbros logo Hanoman) adalah kesatuan tak terpisahkan. 

Sampul buku dengan ilustrasi Basoeki Abdullah mengenakan baret. (Sumber: Penulis)

Baret adalah topi kain yang berbentuk bulat pipih memanjang, dengan dua model ikonik sepanjang zaman. Pertama, model yang bagian pipihnya diarahkan ke samping kanan. (Ingat baret pejuang perang Che Guevara, atau baret perkasa John Wayne dalam film Green Berets). Kedua, model yang bagian pipihnya diarahkan ke depan, dengan “lidah” pendek penghadang cahaya yang akan menimpa mata. (Ingat topi detektif Sherlock Holmes, yang juga disebut pet-baret).

Tinjauan kosmologi mencatat, baret ini diam-diam terkenal dengan sebutan “topi seniman” di Indonesia sejak 80 tahun silam. Masyarakat bisa melihat, selain Basoeki Abdullah, sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dramawan Putu Wijaya, aktor Ikranegara dan Slamet Rahardjo, pelukis Tino Sidin, Abas Alibasyah, Sudjono Abdullah, Barli, Siont Teja dan ratusan seniman lain memakai baret sebagai pelindung kepala. Termasuk seniman sulap Deddy Corbuzier serta dosen seni rupa Citra Smara Dewi pada dekade terakhir. Di sela-sela jumbulan aneka baret itu Om Pasikom beraksi sejak tahun 1960-an. Tokoh karikatur Kompas ini, sekalian dengan penciptanya – karikaturis GM Sudarta – selalu menjunjung baret sebagai ikon di kepala.

Potret pelukis Abas Alibasyah (kiri) dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dengan baret. (Sumber: Penulis)

Om Pasikom, tokoh karikatur yang selalu mengenakan baret. (Sumber: Penulis)

Kurator dan dosen seni Citra Smara Dewi, dengan baret.(Sumber: Penulis)

Pelukis Siont Teja dengan baret. (Sumber: Penulis)

Tak jelas siapa yang memulai tren baret. Namun ada yang menceritakan bahwa Aoh K. Hadimadja – yang kemudian terkenal sebagai sastrawan -adalah anak muda pertama yang memakai baret di republik ini. Meski gaya-bergaya Aoh dengan baret tidak berlangsung lama. Dikabarkan bahwa Aoh mendapatkan baret itu dari sang ayah, Raden Edjeh Karta Hadimadja, yang tercatat sebagai Patih Kabupaten Bandung, di masa Hindia Belanda. Setelahnya, Raden Edjeh juga memberikan baret lain kepada Ramadhan KH, adik Aoh dari isteri berbeda. Ramadhan kelak juga ternama sebagai sastrawan. Baret-baret itu didapat Raden Edjeh dari pemberian koleganya, orang-orang Belanda. 

Seniman asing di era Hindia Belanda seabad lalu memang banyak yang memakai topi itu. Pematung plontos Joseph Mendes da Costa acap tampil dengan baret, pada awal abad 20. Hilda May Gordon menampang dengan baret ketika pameran di Bataviasche Kunstkring tahun 1926. Henry van Velthuysen dengan baret menyusupi Batavia. Emil Rizek, Auke Sonnega, Antonio Blanco, dengan baret menelusuri Pulau Dewata. 

Baret seniman

Baret adalah topi. Kita pun ada alasan menelisik sekilas hikayat si topi. Syahdan topi sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. Kala itu topi difungsikan ganda : selain untuk menutupi kepala dari ganasnya sinar matahari, juga untuk menandai status sosial dan birokrasi. Maka topi raja berbeda dengan topi para bawahannya. Sedangkan rakyat tidak diberi hak untuk memakai topi.

Pada abad-abad berikutnya jagad pertopian ini masuk ke Yunani. Uniknya, di Yunani Kuno topi hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berani mati bela negara. Karena itu topi cuma dikenakan oleh para perwira dan perajurit saja. Di Romawi topi didesain sebagai bagian dari properti personil angkatan perang, sehingga bentuk topi makin berkembang. Di sini berbagai jenis topi menandai kepangkatan.

Topi terus melompat dari kepala ke kepala dalam lintas masa. Pada abad 14 topi serta-merta populer di Belanda, Prancis, dan Inggris, karena menjadi bagian dari busana musim dingin. Nah, topi yang dikenakan di sini umumnya berbentuk baret, dengan rongga yang dalam. Sehingga topi bisa menutup kepala sampai hampir menyentuh mata. 

Topi baret “rongga dalam” ini semakin populer ketika para seniman Belanda dan Prancis selalu menggunakannya kala melukis on the spot di hari-hari musim dingin. Dengan bertudung topi itu Rembrandt, Jan Vermeer, Caravaggio mengamati pemandangan sekitar. Ketika masuk studio, topi itu dibiarkan bertengger memberi kehangatan. Pada saat musim dingin berlalu, dan musim semi atau musim panas tiba, topi yang sudah menjadi sahabat itu tetap saja dikenakannya. Sejak itu muncul sebutan: baret adalah topi seniman (baca: pelukis). Sementara seniman (lukis) kala itu dihargai dan menjadi panutan, karena ia dianggap sebagai genius sekutu para bangsawan, amicus ecclesiae (sahabat gereja) dan teman orang-orang kaya. Lalu baret sebagai topi seniman pun menjadi mode yang pelan-pelan diikuti.

Potret diri Rembrandt van Rijn dengan baret. (Sumber: Penulis)

Lukisan potret Jan Vermeer (kiri) dan Tino Sidin yang memakai baret. (Sumber: Penulis)

Tapi popularitas baret juga diangkat oleh berbagai ihwal. Di antaranya oleh faktor industri. Misalnya, pada suatu masa di abad 16 beberapa negara Eropa, terutama Inggris, mengalami kelebihan produk wol. Pemerintah Inggris lalu memerintahkan agar wol juga digunakan untuk membuat topi yang kala itu sedang menarik perhatian, yakni baret, yang oleh mereka disebut flatcap, atau topi datar. 

Untuk meningkatkan pemakaian, pemerintah Inggris menganjurkan agar topi flatcap dikenakan oleh lelaki dan perempuan, apa pun status sosialnya dan apa pun profesinya. Bahkan untuk meningkatkan penggunaan, flatcap wol diwajibkan untuk dipakai seluruh masyarakat pekerja pada setiap hari Sabtu. Ya, semacam kampanye baju batik di Indonesia, yang harus dikenakan para karyawan pada setiap hari Jumat! 

Tradisi memakai topi baret ini berketerusan. Orang-orang Eropa dan Amerika yang bekerja di pabrik dan perkebunan, mengenakan baret sebagai topi penanda profesi. Baret pun sangat populer. 

Foto para pekerja perkebunan di Amerika yang mengenakan baret. (Sumber: Penulis)

Bahkan pada perkembangan berikutnya baret dengan penuh aksi dikenakan oleh para anggota geng yang senang berantem dan tukang palak. Jangan dilupa, dalam cerita mafia Itali dan Amerika, tukang eksekusi musuh adalah para bandit bertopi baret, yang muncungnya miring ke depan! Pada bagian lain, baret juga disebut sebagai topi tukang copet. Ini dampak dari popularitas novel Oliver Twist karya Charles Dickens, tentang pencopet cilik bertopi baret sedang beraksi di pasar.

Poster tentang mafia dengan topi fedora di kepala. (Sumber: Penulis)

Namun, meski baret menyimpan stigma “topi pencoleng”, para seniman  tetap ramai memakainya. Tak perduli ia seniman muda belia atau seniman sudah sangat tua. Yang sama sekali belum terkenal sampai seniman yang sangat ternama. Dan itu meliputi segala sektor: dari aktor sandiwara, pelukis, pematung, penyair, novelis, filsuf, sampai penulis naskah drama. 

Syahdan pada abad 19 sangat banyak seniman yang berkumpul di Paris, Prancis. Sebagian besar dari mereka bergaya dengan baret dan pet-baret. Prancis pun jadi negeri baret yang tiada taranya. Suatu hal yang menyebabkan baret juga disebut sebagai “topi Prancis”. Daya tarik baret ini lantas menelusup ke angkatan bersenjata. Maka atas usul desainer Chasseur Alpins, pada 1889 perajurit Resimen Tank Kerajaan Prancis mengenakan baret sebagai bagian dari uniformnya. Baret seniman lantas menjadi tren yang menjalar ke segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. 

Berkuasanya topi fedora

Tapi kelindan topi baret seniman ini di Indonesia pada dua dekade terakhir berusaha disaingi oleh topi fedora.

Tak jelas asal-usulnya mengapa topi fedora mendadak dikenakan oleh para seniman dan budayawan penting kita. Seperti perupa Sunaryo, kurator Suwarno Wisetrotomo dan Jim Supangkat, pelukis dan rektor perguruan seni Wayan Kun Adnyana, wartawan budaya & pengamat seni Tempo Seno Joko Suyono, penari dan koreografer Sardono W. Kusumo, pengarang Hilmi Faiq dan Putu Fajar Arcana, dan seterusnya. 

Kurator Jim Supangkat (kiri) dan koreografer-penari Sardono W.Kusumo dengan topi fedora. (Sumber: Penulis)

Wartawan budaya dan pengamat seni Tempo, Seno Joko Suyono dengan topi fedora.

Pengajar seni Suwarno Wisetrotomo (kiri) dan musikus Tompi dengan topi fedora. (Sumber: Penulis)

Pelukis cum rektor perguruan seni Wayan Kun Adnyana, dengan topi fedora. (Sumber: Penulis)

Padahal topi (yang juga disebut bowler) itu termasuk kuno, lantaran sudah ada sangat lama, sebagai reka desain dramawan Prancis Victorien Sardou pada 1882 dalam lakon Fedora. Topi yang sesungguhnya untuk perempuan ini kemudian populer pada 1920-1930, semakin terkenal ketika dimodifikasi oleh Charlie Chaplin, dan jadi favorit Hollywood tahun 1950-an. Dalam jagad musik, topi fedora juga bertengger di kepala musisi jazz Duke Ellington dan Louis Amstrong.

Belum ada kajian mengapa fedora jadi pilihan. Namun tafsiran yang paling dekat adalah yang dikatakan Humprey Bogart, bintang film Casablanca, yang dalam perannya mengenakan fedora. “Boleh diyakini fedora akan membawa seseorang menjadi kelihatan elegan, manis, intelek, berpikir serius dan….misterius!” 

Tapi alasan yang paling masuk akal secara sosiologis adalah soal hirarki tudung kepala itu. Topi fedora dianggap punya kasta lebih tinggi dibanding topi baret. Dan anggapan itu diberangkatkan oleh cerita mafia. Dalam dunia mafia Italia dan Amerika, baret dipakai oleh para penyiksa dan pembunuh yang menunaikan tugas lantaran diperintah. Sedangkan fedora dipakai oleh sang Don alias bos mafia, plus para saudara serta orang dekatnya, yang punya otoritas memerintah.

Akhirnya tersimpul lucu juga, lantaran menyimpan paradoks. Baret yang dalam sejarah pernah terstigma sebagai topi tukang copet dan tukang pukul, tetap diangkat menjadi topi seniman dan budayawan. Sementara topi fedora yang pernah jadi tudung kepala para bos sindikat dan pendesain kejahatan, tetap dijunjung sebagai topi intelektual seni dan filsuf. Sekali lagi, ini bukan cuma di Indonesia saja, tetapi juga di dunia.

Dari sini lalu tersembul perasaan Sang Nusantara: alangkah sedih hati peci (kopiah, songkok), blangkon, udheng, topopong, kupluk dan lain-lain, yang kurang (bahkan tidak) tidak mendapat tempat di kepala para pelaku kebudayaan dan kesenian Indonesia. ***

*Agus Dermawan T. Pengamat seni rupa. Penulis buku-buku budaya dan seni.