Hukum Besi Sepak Bola
Oleh Damhuri Muhammad
“No penalty,” kata Arsene Wenger pada beIN Sports, seperti dilansir www.mirror.co.uk (8/7/2021). FIFA’s Chief of Global Football Development itu, sangat menyesalkan keputusan wasit Danny Makkiele, yang memimpin laga semifinal EURO 2021 Inggris versus Denmark. “Saya tidak mengerti mengapa mereka tidak meminta wasit untuk melihat layar betul-betul,” lanjut mantan pelatih Arsenal itu. Kejadiannya berlangsung di Stadion Wembley, London, pada babak perpanjangan waktu saat skor imbang 1-1. Pemain belakang Denmark, Joakim Maehle, menjatuhkan Raheem Sterling di area terlarang. Wasit langsung menunjuk titik putih karena menganggap Maehle melakukan pelanggaran. Bahkan setelah melakukan pemeriksaan Video Assistant Referee (VAR), wasit tetap menganggap itu penalti. Padahal, dalam siaran ulang terlihat, Sterling dan Maehle hanya mengalami minim kontak, dan tak seharusnya berakibat pada “hadiah” tendangan penalti untuk Inggris. “Tim terbaik menang, Inggris pantas menang. Inggris fantastis, tetapi bagi saya itu tidak pernah menjadi pinalti,” tegas Jose Mourinho, pelatih AS Roma, seperti dikutip talkSport (8/7/2021)
Apa boleh buat! Peluit sudah dibunyikan. Keputusan penalti sudah mutlak. Eksekusi yang dilakukan oleh Harry Kane menggetarkan gawang Kasper Schmeichel, dan skor berubah 2-1 untuk Inggris.”Pada saat seperti itu, penting bagi wasit untuk benar-benar yakin bahwa itu adalah penalti,” kata Wenger lagi. Bagi pelatih asal Prancis itu, ini bukan aksi diving Sterling yang pertama, karena saat Manchester City melawan Arsenal pada 2017, Sterling juga “sukses” melakukan diving yang membuahkan skor 3-1 untuk City. Waktu itu aksi Sterling pun berujung dengan tendangan penalti. “Saya yakin itu bukan penalti. Kami tahu, Raheem Sterling melakukan diving dengan sangat baik,” kenang Wenger. Bukan Wenger saja yang mengecam diving yang sukses membawa The Three Lions ke final Euro 2021 itu, komentar pedas juga datang dari legenda Manchester United, Peter Schmeichel. “Dia (wasit) membuat kesalahan yang sangat besar dalam penalti dan ini akan diperdebatkan untuk waktu yang sangat lama. Ini sulit dilakukan karena itu bukan penalti,” kata Peter Schmeichel sebagaimana dikutip oleh Daily Mail (8/7/2021).
“Saya tahu menurut pendapat Anda dan pendapat semua orang, telepon saya tidak berhenti berbunyi, semua orang mengatakan itu bukan penalti, jadi saya cukup yakin bahwa saya (benar mengatakan itu),” lanjut mantan kiper Manchester United, yang juga ayah kandung dari penjaga gawang Denmark, Kasper Schmeichel. Sekali lagi apa mau dikata, Stadion Wembley yang keramat itu, telah berguncang hebat oleh sorak-sorak selebrasi kemenangan Inggris. Mau tau tak, anak-anak asuh Kasper Hjulmand mesti menerima kenyataan pahit, dan melupakan impian The Dinamite mengulang kembali kejayaan kala mereka menjuarai Piala Eropa 1992. Gelandang bernasib malang Christian Eriksen yang mengalami gagal jantung saat pertandingan babak penyisihan grup dan kini masih dalam perawatan, mesti merelakan kepulangan awal kawan-kawannya dari turnamen besar itu. “Kami sangat, sangat kecewa, dan sulit bagi saya untuk membicarakannya. Mungkin akan lebih mudah bagi saya untuk mengatakan apa yang saya rasakan dalam beberapa hari,” ungkap Kasper Hjulmand, sebagaimana dikutip laman ESPN (8/7/21).
Rupa-rupa kecurangan mungkin sudah ratusan kali terjadi dalam sejarah sepak bola dunia. Dalam catatan Radhar Panca Dahana (2010), itu adalah deviasi bahkan kriminalisasi yang kita terima dan kita legalkan. Itulah hukum menyimpang sepak bola. Atas nama sebuah kekuatan, dalam sepak bola, ada sebuah kekuasaan yang tak terbantahkan: wasit. Betapapun ribuan bahkan milyaran manusia menjadi saksi atas sebuah kesalahan atau kecurangan, begitu wasit menetapkannya secara berbeda, jumlah besar itu tak dapat membantahnya. Keputusan itu bagai dikunci mati! Bahkan ketika teknologi menyediakan sarana canggih guna pembuktiannya, wasit dan FIFA bergeming: kekuasaan di lapangan tetap ada pada peluit yang dijepit oleh sepasang bibir wasit.
Bukan hanya soal diving, tapi juga teror sinar laser yang sengaja ditembakkan ke arah mata Kasper Schmeichel dari tribun penonton yang tak henti-henti memproduksi dengungan yang tersimak bagai teror. Cuplikan gambar dari sebuah stasiun televisi memperlihatkan ada laser hijau yang mengarah ke wajah Kasper Schmeichel. Meski begitu, ia berhasil menghalau tendangan Harry Kane. Sayangnya, bola tepisan Schmeichel mengarah kembali pada Kane. Kesempatan itu disambar oleh striker Tottenham Hotspurs itu untuk membawa The Three Lions unggul 2-1. Skor tersebut bertahan hingga laga usai, dan membuat Denmark tersingkir dari Piala Eropa 2021. Kasper mengaku telah memberitahu wasit, tapi toh histeria Tuan Rumah yang mengklaim sepak bola mesti kembali ke tanah asalnya, begitu sukar dibendung. “Saya pikir ingatan terbaik yang saya miliki hanyalah tentang tim ini dan negara ini. Kebersamaan dan fakta bahwa kami telah bersama selama hampir enam minggu dan kami masih belum siap untuk mengucapkan selamat tinggal,” kata Kasper Schmeichel.
Sejatinya sudah berkali-kali Simon Kjaer dan kawan-kawan mengingatkan wasit perihal keputusan penalti itu, tapi protes dan keberatan, tidak banyak berguna. Tak ada lagi suara sang liyan (other), tiada lagi mayoritas, tak ada pula posisi bagi kebenaran publik; runtuh semua pilar yang menegakkan sistem sosial utama di muka bumi ini: demokrasi. “Sepak bola adalah anak kandung kesayangan peradaban manusia yang melawan anak terbaik dan tercerdasnya sendiri: demokrasi,” ungkap Radhar Panca Dahana. Seorang wasit, bukan lagi sebuah juru tanding, pengatur dan pengelola pertandingan. Namun ia adalah kaisar, lengkap dengan slogan otoriternya: le foot est moi, “(pertandingan) sepak bola adalah aku”. Dan begitulah FIFA, lembaga tertinggi olahraga ini, menempatkan diri.
Siapa yang kemudian telah tercatat sebagai korban dari wasit yang seolah-olah ternobat sebagai kaisar lapangan itu? Daftarnya lumayan panjang untuk disebut. Tak hanya publik dunia yang terbius, jam kerja yang kacau, produktivitas mengendur, pemain yang bunuh diri, pelatih yang tercela sepanjang usia, hingga kekuasaan politik yang runtuh karenanya.Belum lagi kalau kita sempat menyebut bangsa-bangsa yang kesebelasannya menderita karena ulah licik itu. Seperti yang dialami Irlandia, tatkala gagal menuju Afrika Selatan, karena gol hand-ball yang dilakukan Thierry Henry, dalam pertandingan penentuan 18 November 2009. Sebuah kesalahan yang diakui sang striker, bahkan juga oleh presiden Prancis yang harus meminta maaf pada PM Irlandia atas insiden itu.
Apa boleh buat! Para pendukung Denmark, netizen yang berdiri di belakang Schemeichel, harus berlapang dada menelan kekalahan janggal itu. Kekecewaan mereka tersembunyi di gegap-gempita lagu Football’s Coming Home di kanal-kanal Yutub pendukung The Three Lions. Selamat tinggal untuk EURO 2021 mungkin sudah diungkapkan oleh Kasper Dolberg dan kawan-kawan, tapi selamat tinggal pada momentum kekalahan di Wembley itu, tentulah tak semudah membasuh tangan dengan hand sanitizer. Sebab, ia akan menjadi jejak luka di sepanjang usia.
Luka-luka yang disebabkan oleh hukum besi sepak bola itulah yang barangkali membuat Raja Edward (1307-1327) melarang rakyat Inggris memainkan si kulit bundar itu, karena kejahatan yang dapat ditimbulkannya. Hukumannya deraan dan penjara. Hingga Raja Henry VIII bahkan Ratu Elizabeth I, ketentuan ini masih diberlakukan, yang bahkan lebih tegas, “menghukum siapa saja yang bermain bola, dengan penjara selama satu minggu.” Tapi di masa kini, siapa yang sanggup menghadang histeria sepak bola? Bahkan Pemerintah Iran pasca revolusi Islam 1979 tak bisa melakukannya. Dalam waktu singkat mereka memang berhasil mengikis habis budaya pop peninggalan rezim Syah, “membersihkan” para diva dan melarang pemutaran film yang mengumbar semangat ketubuhan. Tapi, ketika pemberangusan itu mengarah pada sepak bola, para Mullah mulai ragu dan mendua. Melarang sepak bola sama saja dengan menghadang gejolak terbesar rakyat Iran. Menutup stadion Azadi yang berkapasitas 120 ribu kursi itu, agaknya tidak sepadan dengan ongkos politiknya.
Ketika tim Iran berlaga di piala dunia (Jerman 2006), pandangan mata mereka tak dapat dialihkan dari papan-papan iklan PlayStation, Doritos dan Nike di setiap sisi lapangan. Gaya hidup yang ditolak kalangan ulama konservatif. Biasanya para editor foto koran-koran Iran akan memburamkan iklan yang menempel di sisi depan seragam para pemain. Tapi, mereka tak mungkin memburamkan foto pemain. David Beckam misalnya, gaya rambut yang kerap berubah dari acak-acakan, mohawk sampai ekor kuda tetap terlihat mewakili gambaran tentang kebebasan. “Demam” kebebasan ini juga melanda para pemain Iran. Mereka tampil di lapangan dengan gaya rambut terpangkas rapi, tanpa jenggot. Mereka idola kaum muda, banyak yang merumput di Jerman, Inggris dan benteng-benteng ekonomi global lainnya. Mungkin itu sebabnya Mohammad Khatami mendekatkan diri ke stadion dan kerap berfoto dengan pemain-pemain top Iran sebelum Pemilu 1997. Secara mengejutkan, ia berhasil menduduki kursi presiden, mengalahkan rival beratnya Ali Akbar Nateq-Nouri.
Demikianlah pesta sepak bola, akan terus menyala-nyala di seantero dunia, tentu bersamaan dengan luka-luka yang disebabkannya. Sang Kaisar tetap saja akan bertahta di lapangan dengan tiupan peluit panjangnya, yang sama sekali tak akan hirau pada ratap senyap orang-orang kalah, dan luka-luka dalam, akibat ketajaman hukum besinya…
*Penulis adalah Kolumnis dan Penyuka Sepak Bola