Gambar-Timbul Medali Asian Games
Oleh Agus Dermawan T.
Memahami gambar-timbul dalam medali Asian
Games XIX Hangzhou, Asian Games IV Jakarta, dan Asian Games XVIII Jakarta-Palembang.
Banyak ceritanya, luas mendalam maknanya.
———–
PADA 8 OKTOBER 2023 olahragawan seluruh Asia telah selesai memperebutkan medali dalam pesta olahraga Asian Games XIX di Hangzhou, Tiongkok. Para juara pertama, kedua dan ketiga telah dikalungi medali emas, perak dan perunggu. Medali itu dengan khidmat dipegang, dielus, ditempelkan di kelopak mata, atau bahkan digigit sebagai manifestasi syukur dan kebanggaan. Usai perhelatan, kini para juara ada waktu untuk menyimak dan membaca makna citra gambar timbul yang tertera dalam lempengen.
Citra gambar-timbul yang ada dalam medali memang menarik. Seperti halnya yang terdapat dalam medali Asian Games Hangzhou kemarin, yang mengusung filosofi Shan Shui atau Gunung (dan) Air, yang dimaknai sebagai pemandangan. Penjunjungan atas lanskap ini merujuk kepada budaya Liangzhu (5.300-4.300 SM), yang memang memuja perbukitan dan danau di kota Hangzhou itu sejak dulu.
Maka bisa dilihat, dalam lempeng medali tampak gambaran alun air yang tenang, dengan impresi beberapa pagoda yang berdiri damai di hamparan. Di tengah danau terlihat bentang jembatan yang sejak berlaksa kurun menjadi lambang pertemuan peradaban. Di bagian atas matahari tampak menghiasi cakrawala yang dihampari bukit-bukit. Sementara format medali, yang berbentuk empat persegi tumpul dan bundaran di tengah, merujuk kepada ukir batu giok, benda ritual warga Hangzhou ribuan tahun silam. Secara keseluruhan medali ini sangat puitis. Bahkan bagi yang memahami Hangzhou, medali membawa ke perasaan manis.
Hangzhou memang negeri yang setiap waktunya ditebari puisi, sehingga sangat surgawi. “Jika di langit ada surga, di bumi ada Hangzhou”, mungkin perkataan yang hiperbolis. Tapi puji-pujian itu tidak datang dari orang-orang Tiongkok sendiri, lantaran juga muncul dari hati dan pena Marco Polo, pelancong Itali yang singgah di Tiongkok pada abad 13. Lantas Hangzhou pun pantas untuk mengisi tabung kenangan siapa saja, termasuk para olahragawan yang kemarin bertanding dan berlomba.
Hangzhou adalah wilayah di provinsi Zhejiang. Di barat laut Hangzhou ada danau nan elok : Xi Hu, atau Danau Barat. Sejarah meyakini, ungkapan kekaguman Marco Polo itu tumbuh dari keindahan danau yang sudah disanjung sejak lebih dari 2.000 tahun lalu ini. Dengan bentangan 3,3 kilometer dari utara ke selatan dan 2,8 kilometer barat ke timur, sang danau hadir bagai cermin raksasa. Pohon-pohon dan perdu yang subur di sekitarnya bagai pigura yang menjaga.
Sejarah memberikan fakta, betapa estetika Xi Hu, yang terbagi dalam 5 bagian dengan 3 lintasan, sudah membius seniman. Sehingga lahir ribuan lukisan dan syair yang amat indah dari sekujur Tiongkok. Sang danau jadi obyek limpahan cinta-rasa dan metapora yang luar biasa. Dan warga Hangzhou yang memelihara bukit dan danau, ditaburi puji-puja.
Sangat banyak para seniman yang membikin rumah berkarya di situ. Yang kemudian diikuti oleh agamawan, penguasa dan orang kaya, dengan membuat kuil, taman dan pagoda di sekitarnya. Jejak para pelukis dan penyair itu dapat terlacak di Museum Kebudayaan Xi Hu, yang menceritakan sejarah alam Zhejiang. Lalu, apa boleh buat, apabila memandangi gambar medali (serta logo) Asian Games Hangzhou, boleh saja lukisan Wu Li sampai Wu Guanzhong, dan syair karya Su Tung Po, Wang Wei sampai Li Ching Chao berkelindan dalam ingatan.
Panah Rama di Asian Games Jakarta
Dari medali Asian Games Hangzhou, kita boleh melaju ke masa lalu, Asian Games IV di Jakarta, 1962. Medali Asian Games IV bergambar-timbul orang memanah. Gambaran yang diinspirasi oleh mitos Rama sang pendekar panah dalam cerita Ramayana. Dan itu diberangkatkan dari mitologi yang tertera dalam bentang relief di candi Prambanan.
Kisahnya diawali ketika Rama diminta oleh isterinya yang cantik, Dewi Sinta, untuk menangkap seekor kijang di dalam hutan. Namun kijang itu selalu bersijingkat, sampai akhirnya menjauh. Setelah menitipkan Sinta kepada adiknya, Laksmana, yang juga ikut bertamasya dalam hutan, Rama pun mengejar si kijang kencana. Tapi kijang tak juga bisa ditangkap, sampai akhirnya Rama mengeluarkan keterampilannya. Kijang itu dipanah, kena, lungkrah, dan lantas menguap serta menjelma jadi raksasa Marica. Lalu roman besar Ramayana pun dimulai.
Presiden Sukarno faham benar kisah Rama ini. Presiden pun menginstruksi agar Rama memanah sebagai gambar-timbul medali.
Bahwa ihwal panah-memanah jadi simbol dari obsesi perjuangan Sukarno, itu terbaca sejak 20 tahun sebelum Asian Games IV berlangsung. Syahdan pada 1942 ia sangat tertarik kepada lukisan Henk Ngantung, Belajar Memanah yang dipamerkan oleh Keimin Bunka Sidhoso, Jakarta. Setelah pameran usai, Sukarno bertandang ke studio Henk. Tujuannya untuk membeli lukisan tersebut. Henk mengatakan bahwa lukisan itu belum selesai. Ada bagian lengan pemanah yang belum sempurna. Sukarno mengatakan bahwa Henk bisa menyelesaikan saat itu juga. Henk mengatakan bahwa untuk menyelesaikan, harus ada modelnya. Demi perjuangan, Sukarno menawarkan diri sebagai model lengan lukisan itu.
Atas gambaran orang memanah, Sukarno memang selalu terpesona. Itu sebabnya ia lantas suka memesan lukisan beradegan ini kepada sejumlah pelukis, seperti Soeharto PR. Tak perduli, gambaran itu diberangkatkan dari wayang atau kehidupan sehari-hari. Lalu untuk menghiasi halaman Istana Merdeka, ia memesan patung logam kepada Zsigmond Kisfaludi Strobl. Bahkan Bung Karno menyempatkan diri berkunjung ke studio Strobl di Hungaria. Kini patung itu berdiri aksi di depan Istana Negara, Jakarta. Bagi Bung Karno : orang memanah adalah gambaran orang yang memiliki hasrat terus berjuang, dan punya keberanian, keterampilan, tujuan dan target.
Asian Games IV tiba. Sukarno puas ketika melihat medali “Rama Memanah” dikalungkan kepada para olahragawan. Selanjutnya ia menginstruksikan agar di kompleks Gelanggang Olahraga (Gelora) Senayan, tempat Asian Games digelar, didirikan patung Memanah. Patung Rama yang juga diidentifikasi sebagai Arjuna (jagoan memanah dari kisah Mahabharata) itu gagah menjaga pintu Gelora.
Mengapa tema Rama memanah jadi pilihan gambar-timbul medali, Sukarno mengungkapnya juga dalam pidato kala meresmikan Hotel Indonesia pada 5 Agustus 1962. Hotel yang khusus didirikan untuk menyambut perhelatan olahraga Asian Games IV.
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya dan Saudara-saudara sekalian. Di dalam kitab Ramayana itu Rama memerintahkan semua panglima untuk mencari Sinta, permaisurinya yang hilang. Dan pencarian harus dilakukan ke pelbagai negara.”
Pidato itu lalu menjelaskan bahwa akhirnya Rama menemukan Sinta di Suarna Dwipa, Negeri Emas, alias Nusantara. Dan Rama pun, yang cinta kepada perdamaian dunia, dan benci kepada exploitation de l’homme par l‘homme (penindasan manusia atas manusia) memilih tinggal di Suarna Dwipa. Rama yang selalu siaga dengan busur dan panahnya, adalah manusia Nusantara yang memiliki sasaran jelas dalam meniti kehidupan dan kejayaan. Demi menyusuri jalan kebenaran untuk menyongsong kebesaran.
Batik dalam medali Asian Games 2018
Pada tahun 2018 Indonesia untuk kedua kalinya ditunjuk sebagai penyelenggara Asian Games. Dalam Asian Games XVIII yang diadakan di Jakarta dan Palembang itu disediakan hampir 470 medali yang dirancang khusus. Rancangan itu merupakan hasil seleksi dari 18 desain yang ditawarkan ke INASGOC (Indonesian Asian Games Organizing Committee), yang diketuai Erick Tohir. Rancangan yang dipilih adalah karya tiga desainer yang berada dalam kolaborasi. Mereka adalah Erwin Pratawa, Sera Prestasi dan Elysa Munster.
Gambar-timbul dalam medali mengimpresikan unsur motif ornamentasi kain batik yang dikenakan oleh tiga suku besar di Indonesia, yakni Jawa (Jakarta), Sumatera (Palembang) dan Papua. Jakarta dan Palembang dipilih karena dua kota ini yang menghelat penyelenggaraan. Sedang Papua diangkat untuk menandai negeri Timur Indonesia yang sedang (dan semakin) bergelora dalam pembangunan.
Impresi simbolis ini juga kuat dipesankan lewat boneka maskot yang dicipta, yakni Bhin Bhin (mewakili Asmat), Atung (mewakili Jakarta) dan Kaka (mewakili Palembang). Ketiga boneka itu – yang menyatu sebagai Bhinneka Tunggal Ika – mengenakan kain batik bermotif khas suku masing-masing. Motif kain itulah yang kemudian diterakan sejumput-sejumput dalam medali. Mengapa motif batik menjadi pilihan utama, tentu lantaran dilandasi niat untuk menjunjung batik sebagai anak kebudayaan Indonesia yang khas, dan tiada duanya di dunia.
Munculnya pernak-pernik ornamen kain batik itu dikomposisi dengan bidang-bidang geometris, yang mengimpresikan bentuk Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan. Maka, medali berdiameter sekitar 8 cm itu, dengan ketebalan sekitar 0,8 cm hadir dengan cita seni milenial.
Ayal, medali olah raga seperti Asian Games bukan hanya sebentuk suvenir prestasi saja, tetapi juga tanda-tanda adab budaya yang sedang ditunjukkan oleh negeri penyelenggara. Dalam lempeng emas, perak dan perunggu itu tersimpan banyak makna. ***
Agus Dermawan T.
Penulis Buku Budaya dan Seni. Penikmat pemandangan Hangzhou, Tiongkok.