Ekspropriasi Nilai Budaya dan Luka Sosial Tubuh Lengger

Oleh Purnawan Andra*

Lengger, sebagai salah satu bentuk pertunjukan tradisional Nusantara, merupakan cermin yang mengungkapkan perjalanan budaya, estetika, dan politik kebudayaan Indonesia. Awalnya, lengger muncul sebagai ritual sakral yang menghubungkan manusia dengan alam dan kekuatan spiritual melalui gerakan yang simbolis. 

Namun, di tengah arus modernisasi dan komersialisasi, makna dan fungsi lengger telah mengalami pergeseran dramatis. Tubuh para penari yang semestinya menjadi media ekspresi identitas kultural kini seringkali direduksi menjadi objek konsumsi visual, sehingga menimbulkan luka sosial yang mendalam. 

Secara historis, lengger berakar pada tradisi masyarakat yang hidup selaras dengan alam dan kearifan lokal. Di beberapa daerah, terutama di Jawa dan Bali, lengger merupakan bagian dari upacara adat yang menandai siklus kehidupan dan keharmonisan kosmik. Penari lengger dihormati karena gerakan tubuhnya yang sarat makna, menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan dimensi spiritual. 

Namun, seiring dengan masuknya modernitas dan orientasi pasar, pertunjukan lengger mengalami transformasi. Nilai-nilai sakral dan estetika tradisional pun mulai tereduksi ketika lengger dijadikan komoditas hiburan, mengaburkan konteks kultural aslinya dan membuka ruang bagi eksploitasi ekonomi.

Devaluasi Identitas Kultural

Dalam ranah estetika, nilai keindahan lengger tidak hanya terletak pada penampilan visual atau gerak-gerik yang memesona, melainkan juga pada kedalaman makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Pemikiran para filsuf estetika seperti Theodor Adorno dan Immanuel Kant mengajukan bahwa seni harus dinilai secara holistik dengan mempertimbangkan konteks historis dan kulturalnya. 

Sayangnya, dalam prakteknya, pertunjukan lengger sering kali disederhanakan untuk memenuhi selera pasar global, sehingga mengorbankan kekayaan simbolik yang selama ini menyematkan nilai budaya. Proses komersialisasi ini menghasilkan kontradiksi antara nilai seni yang mendalam dengan bentuk pertunjukan yang dipoles demi keuntungan ekonomi, mengakibatkan devaluasi identitas kultural penari.

Teori identitas kultural, yang dikemukakan oleh pemikir seperti Stuart Hall (1995), menegaskan bahwa identitas suatu komunitas dibentuk melalui interaksi simbolik yang diwariskan secara turun-temurun. Tubuh lengger seharusnya menjadi representasi autentik dari identitas budaya lokal. 

Namun, ketika pertunjukan ini direkayasa ulang oleh kekuatan pasar modern, identitas kultural tersebut terfragmentasi. Ekspropriasi nilai budaya terjadi ketika narasi tradisional ditafsirkan ulang untuk keuntungan ekonomi, sehingga nilai asli lengger—sebagai medium perlawanan terhadap ketidakadilan dan sebagai ekspresi spiritual—tereduksi.

Logika feminisme kultural juga menawarkan sudut pandang kritis terhadap bagaimana tubuh perempuan penari lengger direpresentasikan. Pemikir seperti Hélène Cixous dan Judith Butler menekankan pentingnya bahasa dan ekspresi seni sebagai alat perlawanan terhadap struktur patriarki. Dalam banyak pertunjukan lengger, tubuh perempuan diobjektifikasi dan dijadikan konsumsi visual, sehingga memperkuat stereotip gender yang telah lama mengakar. 

Dari perspektif feminisme kultural, lengger seharusnya menjadi arena di mana perempuan dapat mengekspresikan diri secara otentik, melawan dominasi dan mengklaim kembali narasi identitas mereka. Namun, realitas komersialisasi sering mengikis potensi transformasi ini, menghasilkan luka sosial yang mendalam bagi para penari.

Tubuh sebagai Konstruksi Sosial

Dengannya, tubuh penari lengger, seturut pemikiran Michel Foucault dan Pierre Bourdieu, tidak hanya sebagai entitas biologis, melainkan sebagai konstruksi sosial yang dibentuk oleh hubungan kekuasaan, budaya, dan ekonomi. Menambahkan perspektif ini, teori tubuh sosial Anthony Synott (2007) menegaskan bahwa tubuh merupakan medan pertempuran simbolis di mana berbagai kekuatan berinteraksi. 

Synott berargumen bahwa tubuh sosial adalah representasi dari identitas kolektif yang dapat direkayasa dan direpresentasikan melalui praktik-praktik budaya. Tubuh merupakan konstruksi sosial yang dibentuk melalui interaksi berbagai faktor—kekuasaan, budaya, dan ekonomi—yang saling berinteraksi secara dinamis. Dalam konteks lengger, tubuh penari bukan hanya entitas fisik, melainkan cermin dari konflik antara nilai tradisional yang mengedepankan kearifan lokal dengan logika pasar modern yang eksploitatif. 

Menurut Synnott, tubuh adalah medan di mana narasi perlawanan dapat muncul; dengan mengungkap dan merekonstruksi makna yang melekat pada tubuh tersebut, potensi untuk transformasi sosial terbuka lebar. Tubuh lengger, dengan demikian, menjadi simbol pertempuran antara keberlanjutan kultural dan kekuatan ekonomi yang mencoba mengkomersialisasi identitas tersebut.

Politik kebudayaan dalam era globalisasi juga turut berkontribusi terhadap transformasi (tubuh) lengger. Kebijakan budaya yang tidak sensitif terhadap nilai-nilai lokal sering mengutamakan keuntungan ekonomi dan homogenisasi budaya. Hal ini menyebabkan pertunjukan lengger dieksploitasi secara komersial, di mana nilai-nilai sakral dan estetika tradisional tersingkir. 

Dominasi narasi modern yang mengedepankan efisiensi dan profit mengikis kearifan lokal, sehingga tubuh lengger direduksi menjadi objek visual belaka. Kritik tajam terhadap fenomena ini mengajak kita untuk merevitalisasi kembali nilai-nilai kearifan lokal melalui pendidikan budaya dan kebijakan publik yang inklusif.

“Kebudayaan Manusiawi”

Pembangunan masyarakat semestinya tidak hanya mengutamakan nilai tambah benda (produk nasional bruto/GNP), tetapi juga nilai tambah human. Dalam hal ini pemerintah melalui pembangunan seharusnya mengembangkan ”kebudayaan manusiawi” (human culture) yang mencakup semua nilai hidup dan kehidupan manusia. Terlebih di negara multikultur seperti Indonesia, strategi pembangunan seharusnya berbasis budaya yang menomorsatukan manusia dan menekankan pembentukan modal manusia dalam wujud ketentuan, ukuran, dan norma yang dihayati selaku panduan bagi perilaku bersama.

Strategi kebudayaan ini harus dipahami sebagai sarana untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya, memperkuat hubungan sosial antarwarga, dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai fondasi peradaban umat manusia. Caranya adalah dengan menghidupkan kembali tema-tema penting dalam kehidupan bersama—seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, dan pembangunan kesejahteraan secara menyeluruh, baik dalam dimensi moral maupun materiil. 

Kebudayaan berperan sebagai wadah bagi jiwa untuk membangun toleransi, menanamkan nilai kemanusiaan, dan menumbuhkan kesadaran akan kehidupan bersama. Oleh karena itu, setiap aktivitas hendaknya dijalankan dengan orientasi kemanusiaan yang berakar pada nilai kehidupan, bukan semata-mata berdasarkan logika kekuasaan atau kepentingan tertentu.

Pendekatan semacam ini idealnya diwujudkan melalui wacana yang hadir dalam ruang publik yang terbuka, egaliter, dan saling menghargai—tidak hanya dalam pergaulan sosial dan respon komunal, tetapi juga dalam ekspresi seni budaya dan religiusitas. Hal ini juga relevan untuk lengger yang terus hidup dan berkembang di wilayah budaya tertentu. 

Lengger, sebagai fenomena zaman, menyimpan makna yang tidak hanya tercatat dalam sejarah, melainkan juga sebagai pemahaman mendalam tentang realitas sosial dan kearifan lokal. Ia terletak di antara tantangan dan kekayaan budaya, antara personalitas dan komunalitas, yang pada akhirnya menegaskan makna lengger yang transendental dan identitas kultural yang otentik.

***

*Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan, Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan & Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan.