Badan Bahasa dan Penghargaan Sastra Cerpen
Oleh : Agus Dermawan T.
Badan Bahasa – Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaaan, Riset dan Teknologi) menggelar sosialisasi Penghargaan Sastra Cerpen 2023 pada 13 November lalu. Dalam acara yang diadakan di Hotel Best Werstern Premier, Jakarta Timur, itu para sastrawan yang buku kumpulan cerpennya masuk dalam Lima Besar Penghargaan Sastra Cerpen 2023 diundang untuk berbicara. Mereka adalah Sony Karsono (dengan buku Sentimentalisme Calon Mayat), Dadang Ari Murtono (Cerita dari Brang Wetan), Felix K.Nesi (Kapten Hanya Ingin ke Dili), Kiki Sulistyo (Bedil Penebusan) dan Agus Dermawan T (Odong-odong Negeri Sulap).
Kegiatan pengenalan sastra itu diikuti dengan antusias oleh sekitar 150 peserta sejak pukul 9 pagi sampai pukul 4 sore. Dengan diseling makan siang dan rehat kopi, peserta yang sebagian besar generasi milenial dan bahkan generasi z itu khusyuk mendengarkan penuturan sastrawan di mimbar. Bahkan mereka aktif melontarkan pertanyaan serta pernyataan.
Maka Ahmad Arianto, ahli linguistik yang didapuk jadi moderator berkata begini : “Diyakini para guru humaniora, guru bahasa, penerbit buku, pengasuh rubrik sastra, penyelia blog sastra, para sastrawan serta para penulis yang sekarang hadir, banyak memetik manfaat besar dari acara ini. Dan semakin memahami bahwa cerpen adalah ruang bebas dari ekspresi pikiran dan hati masyarakat, dan sekaligus tanda-tanda zaman dalam bentuk literasi.”
Mencatat diskusi
Sony Karsono PhD, asisten profesor di Hankuk University of Foreign Studies Yongin, Korea Selatan, hadir sebagai sosialisator pertama. Ia membeberkan proses penciptaan 8 cerpennya yang terkumpul dalam Sentimentalisme Calon Mayat (Anagram, 2023, vi + 147 halaman). Buku yang memenangi Penghargaan Sastra Cerpen 2023.
Ia mengatakan bahwa cerpen-cerpennya sering diinspirasi oleh situasi sosial yang chaos, dengan diiringi suasana hati yang kemelut. Dalam cerpennya ia lalu menyeret pembaca ke dunia para tokoh yang absurd. Sony mengisyaratkan bahwa di sekitar kita begitu banyak orang sakit mental. Dan semua itu ditumbuhkan oleh situasi sosial, yang dalam kehidupannya mengacu kepada era Orde Baru.
“Dalam seputar kehidupan saya di Surabaya, yang tampak di depan mata adalah rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, kantor polisi, markas tentara, kebingungan, ambulans, kematian, pekuburan dan kesedihan,” tuturnya. Itu sebabnya sastrawan Afrizal Malna berkomentar bahwa : cerpen-cerpen dalam buku itu merupakan representasi akuarium Orde Baru. Akuarium obskur dalam sejarah Indonesia dan sejarah sastra Indonesia.
Sementara Triyanto Tiwikromo, juri penghargaan ini (selain Seno Gumira Ajidarma dan Nukila Amal) memberi catatan : “Manusia-manusia dalam cerita Sony memiliki luka jiwa dan sekaligus mempunyai cara mengatasi persoalan dengan khas. Tak semua berakhir kepada kehidupan, karena bisa juga berakhir menuju (bukan sampai) kematian. Teks-teks menyediakan keterbukaan penyelesaian (opera aperta). Selain itu cerpen Sony ada ikhtiar bermain-main dengan bentuk, sehingga yang terlahir tidak seperti cerpen pada umumnya. Kumpulan cerpen ini membuktikan bahwa cerita bisa ditulis secara canggih dengan struktur yang kompleks.”
Meski fiksi dan sering khayali, cerpen-cerpen Sony Karsono dalam buku ini dipetik dari pengalaman observatif. Dunia akademi yang ditempuh di Universitas Airlangga dan Universitas Ohio di Amerika Serikat memaksa ia telaten menelisik terang di tengah kegelapan itu. Sehingga dalam cerpen-cerpennya ia tidak membawa pembaca ke arah fatalisme.
Kumpulan cerpen Cerita Dari Brang Wetan (Diva Press, 2022, 168 halaman), karya Dadang Ari Murtono, juga berangkat dari pengalaman observatif. Sebelum menulis buku ini Dadang, kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, terlibat dalam perkumpulan ludruk Karya Budaya. Diawali dengan nyebeng – memperhatikan aktor ludruk lain berperan di panggung – Dadang akhirnya juga naik pentas. Keterlibatan ini menyebabkan ia terpikat kepada kehidupan para pemain ludruk, dan cerita-cerita yang dipentaskan ludruk. Kenyataan hidup dan lakon di panggung tersebut ia olah menjadi 17 cerpen dalam buku.
Ketertarikannya kepada jagad ludruk, agaknya membuat Dadang melupakan hal-hal yang sangat dekat dengan dirinya : dunia kosmetik dan mitos keindahan perempuan masa kini. Perlu diketahui, isteri Dadang adalah seorang dokter kecantikan, yang banyak mengumpan inspirasi.
Penentangan observasi
Namun ihwal penelitian dan observasi ini “ditentang” oleh Felix K Nesi, sastrawan asal Dili yang menghasilkan buku Kapten Hanya Ingin ke Dili (Marjin Kiri, 2022, vi + 116 halaman). Felix menganjurkan agar para penulis tidak dibayangi oleh ketentuan bahwa cerpen harus melewati penelitian atau observasi realitas. “Tulis saja apa yang ada dalam pikiranmu. Lempar saja itu semua dalam kata-kata. Kalau kau memikirkan modal penulisan dan ketepatan soal penulisan, kau tidak akan pernah menghasilkan karangan apa-apa!”
Dan itu ia buktikan lewat salah satu ceritanya yang mengisahkan tentang sebuah pulau yang tak ada, dengan penduduk yang tidak pernah ada, tapi bisa berkata-kata dalam bahasa yang tidak pernah ada. Dan penduduk dari pulau yang maya itu lalu dicemplungkan dalam kehidupan konkrit, yang semuanya serba nyata.
“Fiksi itu memang harus mengada-ada. Tapi masalahnya adalah bagaimana caranya kita membuat agar yang tidak ada itu menjadi seolah ada dalam kehidupan kita,” ujarnya.
Felix juga mengatakan bahwa kehadirannya sebagai sastrawan, memutar balik anggapan masyarakat bahwa orang Dili itu pemberontak, tukang berkelahi. “Tidak! Tidak! Orang Dili itu halus-halus dan artistik juga! Orang Dili juga bisa bersastra! Meskipun harus saya akui, saya tidak tahu apa itu definisi sastra. Sehingga sebutan sastra untuk karya saya, itu urusan orang lain.”
Kiki Sulistyo, sastrawan asal Ampenan, Lombok, dalam presentasinya menjelaskan bahwa dirinya menggabungkan kenyataan dan imajinasi. Dalam buku Bedil Penebusan (Marjin Kiri, 2022, vi + 97 halaman) yang memuat 12 cerita, ia menggabungkan realitas dengan khayalan. Ia menyebut bahwa cerpen-cerpen itu memuat kejadian-kejadian yang pernah ia alami. Atau kejadian yang dilihat oleh orang lain, dan diceritakan kepadanya. Dan semua kejadian itu ia gubah dengan imbuhan imajinasi. Seperti cerpen Bedil Penebusan, yang mengisahkan perselisihan besar kakak dan adik, yang merupakan sahabat dari tetangga temannya.
“Saya adalah pengarang yang mengagumi fiksi Robohnya Surau Kami, karya A.A. Navis. Cerita itu mendorong saya untuk mengarang cerpen Marbut Kembar, yang juga ada dalam buku Bedil Penebusan. Jadi, inspirasi cerpen juga bisa muncul dari karya sastra orang lain. Dan yang ingin juga saya katakan, cerpen itu sebenarnya adalah tulisan yang menggubah sejumput atau setitik cerita. Namun dalam penuturannya tidak dilarang untuk berpanjang-panjang. Jadi cerita pendek boleh juga panjang,” kata Kiki, yang pada kurun terakhir dinobatkan sebagai pengarang Nusa Tenggara Barat paling terpandang.
Apa yang dikatakan Sony Karsono, Dadang Ari Murtono, Felix K.Nesi dan Kiki Sulistyo tak ada yang meleset, meski di antaranya boleh jadi bergesekan. Karena apa yang mereka katakan sesungguhnya ada dalam buku saya (Agus Dermawan T), yakni Odong-odong Negeri Sulap (Kepustakaan Populer Gramedia, 2022, x + 350 halaman).
Dalam 30 cerpen yang ada dalam buku ini, kandungan realitas dan fantasi selalu mendekat, menjauh, dan kadang menjadi satu. Ada karya yang seratus persen observatif, seperti cerpen Fiksi Basuki, yang menceritakan kehidupan fiksional pelukis Basoeki Abdullah. Ada yang biografis, seperti cerpen Fragmen Asmara Herder – Cerita dari Sela Korona. Ada cerpen yang semata fantasi ugal-ugalan dengan aroma surealis, seperti Ode Api. Ada juga yang berbau mistik seperti Odong-odong Negeri Sulap. Yang menurut Triyanto Tiwikromo membaurkan alam nyata dan alam gaib. Dan membiarkan pembacanya menatap sesuatu dalam situasi ada dan tiada.
Keberbagaian konten tersebut disebabkan karena buku ini menghimpun cerpen yang tercipta sejak 1982 sampai 2022. Dalam rentang 40 tahun itu berbagai kecenderungan memang memungkinkan untuk bermunculan.
Ujung kalam, penyelenggaraan Sosialisasi Karya Penghargaan Sastra Cerpen 2023 yang digelar oleh Badan Bahasa – Kemendikbudristek ini sungguh patut dihargai. Karena ini menumbuhkan kepercayaan diri para cerpenis sebagai insan seni yang berguna di tengah masyarakat. Dan sekaligus menarik masyarakat untuk ikut terlibat dalam penciptaan dan pembacaan cerpen. Lantaran sastra cerpen sesungguhnya bukan hanya hiburan, tetapi pengajaran dan tuntunan.
Upaya Badan Bahasa dalam mendeteksi 370 judul buku sastra cerpen 2022-2023, serta membaca lebih dari 60 buku yang diajukan penerbit, adalah pekerjaan yang luar biasa. Apalagi ketika diketahui bahwa Badan Bahasa juga menyelenggarakan sosialisasi semacam ini untuk sastra novel, sastra puisi, sastra esai dan sastra naskah drama. ***
Agus Dermawan T.
Pengamat Seni Rupa dan Sastrawan. Penulis buku “Odong-odong Negeri Sulap”.