Anomali Program MBG

Oleh: Gus Nas Jogja*

Program Makanan Bergizi (MBG) digagas sebagai sebuah terobosan mulia, sebuah manifesto kebangsaan untuk mengikis stunting dari akar tani dan menumbuhkan kemandirian ekonomi di desa. Dengan alokasi anggaran yang fantastis, program ini seolah menjadi jawaban atas banyak persoalan struktural di Indonesia. Namun, di tengah gemuruh pujian dan harapan, sebuah anomali menyakitkan mencuat: indikasi bahwa program mulia ini telah terseret ke dalam pusaran kepentingan pragmatis, mengkhianati prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi yang seharusnya menjadi fondasinya.

Tulisan ini adalah sebuah analisis mendalam yang bertujuan untuk menelanjangi patologi program MBG. Kita akan menjawab pertanyaan krusial: “Siapa pemain dan siapa pengawas?” dan mengapa organisasi masyarakat yang memiliki kapasitas dan basis massa kuat justru tersisih. Pada akhirnya, kita akan menawarkan solusi struktural yang bertujuan untuk merekonstruksi akuntabilitas dan integritas program ini, sehingga visi mulianya dapat kembali ke jalan yang benar.

Dilema Konflik Kepentingan: Ketika Pengawas Menjadi Pemain

Literasi keadilan sosial mengajarkan bahwa sebuah sistem yang adil mensyaratkan pemisahan tegas antara pihak yang membuat kebijakan, pihak yang melaksanakan, dan pihak yang mengawasi. Ketika garis pemisah ini menjadi kabur, sebuah kegagalan struktural tidak terhindarkan. Disinyalir, banyak anggota DPR, TNI, dan Polri aktif terlibat dalam pengelolaan dapur MBG, baik secara langsung maupun melalui jaringan bisnis yang terkait. Hal ini memunculkan sebuah paradoks yang membingungkan: siapa yang menjadi pemain yang mengejar keuntungan, dan siapa yang menjadi pengawas yang bertanggung jawab atas anggaran negara?

Konflik kepentingan ini adalah patologi pertama. Secara saintifik, sebuah penelitian korporat menunjukkan bahwa seorang individu yang memiliki dua peran yang berlawanan secara otomatis akan memprioritaskan kepentingan pribadi mereka di atas kepentingan publik. Seorang anggota DPR yang seharusnya bertugas mengawasi anggaran dan kinerja program, tidak dapat secara etis jujur dalam mengkritik sebuah proyek di mana ia menjadi salah satu pemain kuncinya. Hal ini secara sistematis meruntuhkan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas, menciptakan sebuah lubang hitam di mana uang rakyat dapat hilang tanpa jejak.

Patologi Keadilan Ekonomi: Tersingkirnya Pemain Sejati

Literasi keadilan ekonomi menekankan bahwa sebuah program pembangunan harus mampu mengalirkan manfaat secara merata, terutama ke lapisan masyarakat yang paling membutuhkan. Program MBG dirancang untuk menggerakkan ekonomi lokal melalui dapur-dapur komunitas dan keterlibatan petani setempat. Namun, data di lapangan mengungkapkan sebuah disparitas yang menyakitkan.

Organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah, yang memiliki jejaring luas hingga ke pelosok desa dan telah terbukti kapasitasnya dalam mengelola program sosial, dijanjikan slot hingga 1000 dapur. Namun, realisasinya jauh dari harapan, bahkan hanya puluhan dapur saja. Apa yang salah?

Jawabannya terletak pada patologi kedua: sistem yang tidak adil. Mekanisme distribusi proyek cenderung terpusat dan menutup diri dari partisipasi organisasi yang benar-benar berbasis masyarakat. Alih-alih mengalirkan dana ke entitas yang mampu menjangkau grassroots, program ini justru memilih saluran yang terkait dengan kekuasaan. Ini bukan hanya masalah ketidakadilan sosial, tetapi juga ketidakadilan ekonomi. Dana yang seharusnya menggerakkan roda ekonomi di tingkat lokal melalui jejaring organisasi masyarakat dikuasai oleh pemain baru yang hanya mengejar keuntungan proyek tanpa memperhatikan kualitas dan manfaat jangka panjang.

Kegagalan realisasi bagi Ormas terpercaya ini menunjukkan sebuah kegagalan sistemik untuk mengidentifikasi dan memberdayakan aktor yang tepat. Program ini telah kehilangan tali jiwanya, beralih dari proyek kemanusiaan menjadi proyek bisnis para elit.

Solusi Struktural: Jalan Kembali Menuju Akuntabilitas dan Integritas

Untuk mengatasi anomali dan patologi ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan evaluasi permukaan. Diperlukan sebuah revolusi struktural yang menegakkan kembali prinsip akuntabilitas dan integritas. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diterapkan:

Pemisahan Kewenangan yang Tegas

Secara hukum, harus ditetapkan bahwa pihak yang bertugas sebagai pengawas program tidak dapat terlibat dalam kapasitas apapun sebagai pelaksana. Ini berlaku untuk anggota DPR yang mengawasi anggaran, serta aparat TNI dan Polri yang memiliki fungsi penegakan hukum. Tugas mereka adalah mengawasi program agar berjalan lurus, bukan untuk menjadi bagian dari lingkaran bisnis proyek.

Transparansi Sistemik dan Partisipasi Publik

Seluruh data terkait alokasi anggaran, lokasi dapur, dan nama pelaksana harus dibuka secara terang benderang dan dapat diakses oleh publik secara real-time. Pemerintah harus membangun sebuah platform digital yang memungkinkan siapapun untuk melakukan verifikasi dan pelaporan jika terjadi anomali di lapangan.

Prioritas Kemitraan dengan Organisasi Masyarakat

Program MBG harus mengembalikan fokus pelaksanaannya kepada mitra yang memiliki integritas sosial dan kapasitas teruji, seperti NU dan Muhammadiyah. Mekanisme seleksi mitra harus transparan, berbasis meritokrasi, dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik. Dengan memberdayakan Ormas ini, program akan terdistribusi dengan lebih adil dan efisien, mencapai target yang sebenarnya.

Reformasi Model Bisnis berbasis Keadilan Ekonomi

Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap model bisnis program. Pastikan bahwa seluruh rantai pasok, mulai dari petani lokal hingga pengelola dapur, mendapat imbalan yang adil. Hindari praktik proyek yang mematikan ekonomi lokal demi keuntungan satu dua pihak.

Penutup:
Sebuah Panggilan untuk Kejujuran

Anomali program MBG adalah sebuah simbol dari krisis kepercayaan yang lebih luas. Ia mengajarkan kita bahwa sebuah visi mulia akan kehilangan maknanya jika pelaksanaannya ternodai oleh ketidakjujuran dan konflik kepentingan. Jalan keluar dari patologi ini bukanlah dengan menghentikan program, melainkan dengan melakukan reformasi struktural yang radikal.

Hanya dengan mengembalikan program ini ke jalur keadilan sosial dan keadilan ekonomi—dengan memisahkan pengawas dari pemain, dan dengan memberdayakan masyarakat daripada elite—kita dapat memastikan bahwa dana 71 triliun rupiah benar-benar menjadi investasi bagi generasi masa depan bangsa, bukan sekadar cerita tragis tentang ambisi yang terkoyak oleh korupsi.

—–

*Gus Nas Jogja, Budayawan.