Transhumanisme: Solusi atau Desepsi?
Oleh: Tony Doludea*
Rick Deckard adalah sebuah Blade Runner yang bertugas memburu setiap Replicant yang bertindak di luar kendali. Saat itu Deckard ditugaskan untuk menyelidiki dan memburu empat Replicant, yang melarikan diri dari proyek kolonisasi. Mereka adalah Batty, Leon, Zhora dan Pris yang cerdas mengolah informasi, piawai melakukan penyamaran dan ahli intimidasi lawan mereka.
Film Blade Runner (1982) ini menggambarkan Deckard berkarakter individualis, dingin, cerdas dan memiliki intuisi tajam, layaknya seorang detektif berpengalaman.
Replicant adalah manusia buatan (android) oleh Tyrell Corporation, direkayasa secara genetik ditingkatkan secara biologis dengan kemampuan para-fisik dan sepenuhnya terdiri dari bahan organik.
Replicant tersebut dibuat dengan teknologi yang sangat canggih sehingga mereka mampu berpikir dan bertindak layaknya manusia normal. Satu-satunya jurang pemisah antara manusia dan Replicant adalah perasaan. Para Replicant tidak mampu merasa atau berempati layaknya manusia.
Namun perasaan yang dimiliki Replicant bersumber pada kenangan masa kecil yang diberian Tyrell Corporation. Kenangan masa kecil tersebut memicu emosi dalam diri mereka seiring dengan bertambahnya usia mereka. Mereka pun akhirnya merasa menjadi manusia seutuhnya.
Replicant dibuat untuk menjadi budak bagi manusia agar hidup manusia menjadi lebih mudah. Namun dengan kecerdasan buatan yang mereka miliki, tidak sedikit Replicant yang memberontak. Maka Replicant dilarang di muka bumi karena memberontak saat bertugas. Maka Blade Runner diperlukan untuk memensiunkan para Replicant yang memberontak tersebut.
Kemudian Deckard menemukan beberapa fakta terkait Replicant. Yaitu, pemberian kenangan palsu ke dalam ingatan Replicant dan pemberian batas umur 4 tahun kepada Replicant model Nexus 6. Menurut Eldon Tyrell, pendiri Tyrell Corporation, hal ini dimaksudkan agar Replicant tetap berada dalam jangkauan kendali mereka.
Untuk memastikan perbedaan Replicant atau manusia, Blade Runner melakukan tes Voight-Kampff, untuk memicu respon emosional. Namun Leon bahkan berhasil mengelabui dan membunuh sebuah Blade Runner ketika sedang melakukan uji Voight Kampff itu.
Deckard justru semakin tidak memahami tujuan pemberian hal-hal tersebut pada Replicant. Kecanggihan teknologi dalam tubuh Replicant tersebut tidak memikatnya sama sekali.
Informasi-informasi ini justru melahirkan kebimbangan pada diri Deckard. Muncul pertanyaan di dalam lubuk hatinya, “Apakah tujuan penciptaan Replicant ini sesungguhnya?”
Perubahan pandangan Deckard terhadap Replicant tersebut benar-benar terasa setelah ia bertemu dengan salah satu replicant yang diburunya, Batty.
Setelah Deckard diselamatkan Batty dan mendengar seluruh curahan hatinya. Deckard kemudian sadar bahwa sesungguhnya ia tidak sedang berhadapan dengan keganasan Replicant, melainkan dengan kesombongan, kediktatoran dan kekejian manusia itu sendiri.
********
Transhumanisme adalah suatu gerakan yang berkembang pada era 90-an. Gerakan ini berusaha mendorong suatu pendekatan interdisipliner untuk mengerti dan mengevaluasi peluang bagi peningkatan kemampuan manusia (human enhancement) dan membuka hidup manusia bagi pemajuan teknologi.
Istilah “human enhancement” secara umum itu sama artinya dengan “human genetic engineering”, yang sering digunakan untuk menunjuk kepada penerapan menyeluruh secara bersama nanotechnology, biotechnology, information technology dan cognitive science (NBIC) untuk meningkatkan performa manusia.
Melalui teknologi tersebut manusia dijanjikan akan ditingkatan keadaannya terkait kesehatan, penghapusan penyakit, pengenyahan penderitaan dan penambahan kemampuan kecerdasan, fisik dan perasaan manusia. Semumya itu sesungguhnya untuk memperpanjang hidup dan kebahagiaan manusia.
Transhumanisme mendaku mendorong kebahagiaan semua mahluk hidup, namun menolak rasisme, seksime, spesiesme, nasionalisme dan intoleransi agama. Transhumanisme mencakup wilayah ekonomi, sosial, pembentukan lembaga-lembaga, pengembangan budaya dan teknik serta kekuatan psikologis manusia.
Yuval Noah Harari, ahli sejarah di Hebrew University Yerusalem dan penasihat the World Economic Forum (WEF) menjelaskan perkembangan ini dalam bukunya Homo Deus (2016). Bahwa para bioengineer akan memanfatkan homo sapien, yaitu dengan menulis ulang kode genetiknya, meningkatkan kemampuan otaknya, mengubah keseimbangan biokimiwianya dan bahkan mengganti anggota tubuhnya. Dengan demikian mereka menciptakan para dewa (Allah) yang berbeda dari homo sapien, sebagaimana homo sapien berbeda dari homo erectus.
Perkembangan teknologi pada akhirnya membuat homo sapien yang mubazir ini menjadi Homo Deus, yaitu manusia Ilahi. Sementara Klaus Martin Schwab, pendiri dan ketua eksekutif the World Economic Forum (WEF) menegaskan bahwa 4th Industrial Revolution tidak hanya akan mengubah apa yang dikerjakan manusia, tetapi bahkan akan mengubah manusia dan ini berarti memberi tantangan tentang gagasan apa itu artinya menjadi manusia.
Yuval yakin bahwa hampir tidak ada halangan teknis untuk menghasilkan manusia super semacam itu. Hanya gangguan politis dan etis saja yang memperlambat proses transhumanisasi ini. Namun kemungkinan yang terbuka lebar untuk memperpanjang hidup manusia dan meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan manusia ini akan segera menyingkirkan gangguan tersebut.
Menurut Harari, setelah Humanisme menggantikan agama tradisional, kelihatannya ia akan segera digantikan oleh “techno-religions”, yang meliputi “techno-humanism” dan “dataism”. Dataisme memandang umat manusia sebagai suatu jejaring pengolahan data dan kamajuan efisien historisnya diukur oleh pertambahan jumlah, keragaman pengolahannya, hubungan di antara mereka dan kebebasan gerak hubungan tersebut.
Tujuan tertinggi dan hukum terutama dataisme adalah untuk memperdalam dan memperluas aliran informasi di semesta raya ini. Aturan matematislah yang menentukan algoritma biokimiawi mahluk hidup dan algoritma elektronis komputer dan hal ini dapat saling bertukar.
Kemanusiaan ditakdirkan untuk digantikan oleh suatu sistem pengolahan data yang sangat efisien dan global, yaitu jejaring informasi super cerdas, yang disebut sebagai “the Internet-of-All-Things”.
Manusia adalah alat untuk menciptakan the Internet-of-All-Things, yang dapat disebarluaskan dari Bumi ke segenap galaksi, bahkan ke seluruh jagad raya. Sistem pengolahan data semesta ini akan mirip seperti Allah sendiri. Ia ada di mana saja dan akan mengendalikan segala sesuatu dan manusia ditakdirkan untuk menyatu dengannya.
Bagi Harari, tidak ada Allah yang menciptakan dunia ini, tetapi ada yang lain yang dapat melakukannya. Gabungan teknologi kesadaran manusia dan kecerdasan buatan ini oleh Ray Kurzweil disebut sebagai titik singularitas, yang sepadan dengan Allah sendiri.
Dalam kitab Taurat, Nabi Musa menceritakan tentang peristiwa di taman Eden. Pada waktu TUHAN Allah mengambil manusia dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
TUHAN Allah kemudian memberi perintah kepada manusia, bahwa semua pohon dalam taman itu boleh dimakan buahnya dengan bebas. Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah dimakan buahnya, sebab pada hari ia memakannya, ia pasti mati.
Ular (Ibrani: נָחָשׁ, nakhash) adalah binatang yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada Hawa, “Allah tentu berfirman, semua pohon dalam taman itu tidak boleh dimakan buahnya.” Namun Hawa menjawab ular itu, bahwa buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh dimakan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, tidak boleh dimakan ataupun raba, karena mereka akan mati.
Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu, “Sekali-kali kamu tidak akan mati tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”
Hawa melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang, lalu mereka mengambil daun pohon ara dan membuat cawat. (Kejadian 3: 1-7)
Namun para transhumanis sudah terlanjur bergairah dengan gagasan singularitas, bahwa manusia akan dapat mengupload pikirannya ke dalam sebuah supercomputer yang sangat kuat. Salah satu upaya awal keyakinan ini sedang dilakukan oleh Elon Musk melalui proyek Neuralink.
Dengan Neuralinknya itu Musk telah mengembangkan chip yang akan membuat otak manusia dapat mengontrol perangkat elektronik yang kompleks dan pada akhirnya menggabungkan otak manusia dengan kecerdasan buatan.
Keyakinan bahwa kesadaran manusia dapat diperkuat bahkan diabadikan seperti itu, sesungguhnya tidak didasarkan pada kenyataan, bahwa manusia belum pernah berhasil memahami hakikat kesadarannya itu sendiri. Apakah kesadaran manusia itu sifatnya fisik atau non-fisik? Apakah otak manusia itu adalah kesadaran manusia? Konsep tentang kesadaran manusia ini masih selalu diselimuti misteri. Para transhumanis sangat gegabah menyimpulkannya.
Sementara di sisi lain, kemegahan teknologi CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) yang digunakan untuk menyunting gen (gene editing) kelihatannya juga akan mengubah dunia.
CRISPR adalah sebuah cara menemukan sebuah DNA tertentu di dalam sebuah sel, lalu menyunting dengan cara mengubah DNA itu. Namun CRISPR juga digunakan menghidupkan atau mematikan tanpa harus mengubah rangkain DNA tersebut.
Rekayasa genetika ini dapat digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit dari bayi yang belum dilahirkan. Bahkan diterapkan juga untuk mengubah rangkaian genom anak tersebut. CRISPR telah mengubah dunia medis, membuat manusia tidak hanya menyembuhkan namun bahkan mencegah banyak penyakit.
Memang CRISPR dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh satu gen, misalnya sel anemia. Namun tidak dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh faktor yang kompleks dan beragam seperti penyakit cardiovascular.
Hal yang sama terkait gagasan merekayasa bayi dengan cara memilih dan menentukan secara genetika bayi yang akan dilahirkan. Oleh sebab itu, para transhumanis memikul beban berat untuk memberikan bukti nyata tentang keyakinannya ini.
Transhumanisme berurat akar pada reduksionisme. Namun manusia sebagai sebuah sistem biologis tidak dapat direduksi sebagai interaksi antara sel dan gen. Sedangkan sistem sel tidak dapat direduksi sebagai interaksi antar benda kimiawi. Sistem kimiawi tidak dapat direduksi sebagai interaksi antar atom.
Bahkan Mekanika Kuantum sendiri membuktikan bahwa atom itu tidak dapat direduksi hanya sebagai interaksi antara proton dan elektron. Tetapi para transhumanis nampaknya terlampau percaya bahwa seperti itulah cara kerja Alam Semesta Raya ini.
********
Transhumanisme merupakan suatu gerakan budaya yang telah membisikkan seduksi pada generasi ini. Bahwa manusia sedang berada di puncak evolusinya. Sangat mirip dengan disepsi ular kepada manusia ketika di taman itu. Bahwa manusia akan menjadi Homo Deus dan tidak akan mati dan tahu tentang banyak hal, sehingga manusia dapat menentukan sendiri tujuan hidupnya.
Sesungguhnya manusia berada dalam bahaya serius ketika ingin menjadi sempurna. Tidak seorang manusia pun diharapkan harus menghapus semua kekurangan dalam dirinya dan mencapai keselarasan transendental menyeluruh atau keutuhan tatanan jasmaniahnya.
Shel Silverstein (1930-1999) pengarang cerita anak-anak yang terkenal itu pernah mendongeng tentang seiris segitiga, bentuknya seperti sepotong kue tart, tengah tergeletak sendirian di tepi jalan. Bentuk dirinya itu membuatnya tidak dapat menggelinding.
Ia merindukan dapat bertemu sebuah lingkaran yang dapat pas menampungnya. Supaya mereka akan menggelinding bersama-sama, pergi ke suatu tempat. Berbagai macam bentuk datang dan pergi, namun tidak ada satu pun yang pas menampung bentuk dirinya itu.
Tetapi ia selalu saja berusaha sekuat tenaga untuk menggelinding. Meskipun nyaris tak bergerak dan penuh pedih duka. Kesakitan dan kehabisan tenaga ia tersungkur di rerumputan tepi jalan. Ia menghirup wangi rerumputan di udara segar, menyaksikan kumbang dan kupu-kupu berterbangan di antara warna-warni bunga bakung liar dan merdu suara burung-burung.
Saat malam tiba, sambil tetap tergelatak tak bergerak, ia meyaksikan jutaan bintang menerangi gelapnya langit. Mendengar suara belalang, jangkrik dan burung malam. Atau bulan terang serta kabut tebal membawa aroma bunga malam dan mimpi tentang kehidupan.
Sepengal bentuk segitiga itu tetap menggerakkan dirinya supaya menggelinding. Tawa dan tangis, sedih dan bahagia menjadi bagianya.
Suatu ketika, sebuah lingkarang yang tidak utuh lewat dan mampir mencocokkan pecahan dirinya dengan seiris segitiga itu. Ternyata mereka pas dan menjadi sebuah lingkarang yang utuh.
Mulai dari saat itu lingkaran tersebut menggelinding, ke sana ke mari. Dengan cepat ia dapat pergi dan sampai ke tempat-tempat jauh yang hanya ada di dalam impiannya.
Saking lincah dan kencang, lingkaran itu tidak lagi dapat bergerak lambat atau bahkan berhenti untuk menikmati aroma rerumputan, bersenda gurau, bertepuk ramai-ramai dengan belalang dan kupu-kupu. Menyingkap langit malam dengan jutaan bintang.
Lingkaran utuh bulat itu pun tidak menyadari bahwa kini larinya limbung, tidak seimbang. Karena segitiga itu telah bertumbuh menjadi besar. Membuat bentuk lingkaran menjadi tidak rata lagi.
Maka lingkaran itu pecah mengeluarkan sepotong segitiga tadi dari dalam keutuhannya. Lingkaran yang sudah tidak utuh lagi itupun kembali menggelinding gontai. Tertatih-tatih dengan derita perih dan harapan untuk dapat kembali utuh.
Sepenggal segitiga itu pun tergeletak di rerumputan tepi jalan sunyi, seperti sediakala.
Kepustakaan
Harari, Yuval Noah. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper Collins, New York, 2017.
Kurzweil, Ray. The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology. Viking, New York, 2005.
Lee, Newton. (Ed) The Transhumanism Handbook. Springer, Switzerland, 2019.
Schwab, Klaus. The Fourth Industrial Revolution. Crown Business, New York, 2017.
Silverstein, Shel. The Missing Piece Meets the Big O. Harper Collins, New York, 1981.
Silverstein, Shel. The Missing Piece. Harper Collins, New York, 2006.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia