Seni dan Ikhtiar Berdamai
Oleh: Zastrow Al-Ngatawi*
Menjaga martabat dan merawat nilai-nilai kemanusiaan melalui karya seni menjadi sebuah keniscayaan, terlebih, di dunia yang semakin cepat dan kompleks. Berbagai macam peristiwa kemanusiaan tidak pernah kunjung usai. Konflik individu, konflik antar kelompok, dan bahkan antar negara, sebagaimana terjadi di negara-negara Timur Tengah, yang penyelesaiannya masih jauh api dari panggang.
Segala negosiasi sudah dilakukan untuk menggapai perdamaian, namun demikian, suara-suara seruan perdamaian itu seakan hanya menggema di ruang hampa. Saling serang antar negara tidak saja mengakibatkan banyak kerugian dan penderitaan, namun lebih daripada itu, juga meluluh lantakkan martabat kemanusiaan dan menghancurkan peradaban.
Disaat segala diplomasi dan negosiasi politik tak membuahkan hasil, maka seni seni menjadi sebuah ikhtiar agar hati dan nurani tersentuh. Memang, seni tak akan bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan yang diakibatkan oleh perang secara langsung, tapi untuk berdamai dibutuhkan hati yang lembut, karena hati yang lembut akan mudah tersentuh oleh rasa kemanusiaan. Seni adalah sarana yang efektif untuk melembutkan dan menghidupkan hati. Menurut Imam Ghozali, seni budaya, khususnya musik dan tarian dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyibak hati manusia dalam hal mencapai ekstase.
Karya-karya seni (apa pun genrenya), dapat digunakan untuk melihat kadar hidup matinya hati manusia. Hati yang hidup akan tersentuh oleh keindahan seni, demikian sebaliknya, sebagimana dinyatan oleh Imam Ghozali: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka jiwanya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”
Seni mengajarkan kita untuk merasakan empati, menghargai keberagaman, membangun solidaritas, memberi ruang untuk berintrospeksi. Dengan demikian, seni bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang menjaga hubungan kemanusiaan dan melatih kepekaan agar kita lebih peduli kepada sesama.
Menjaga dan merawat hati agar terus tergerak untuk berempati dan peduli kepada sesama tidaklah mudah, tapi juga tidak sulit, bagi yang, jauh di lubuk hatinya memiliki cinta dan hati yang peka. Merawat dan menjaga kesadaran dalam diri bahwa, kemanusiaan berikut perbedaan adalah rahmat yang mesti dirayakan tanpa melihat warna, agama, etnis, dan bahkan ideologi.
Ungkapan di atas menekankan, betapa pentingnya seni dalam kehidupan kita; ia membuka pintu menuju empati dan pengertian yang lebih dalam. Seni, dalam berbagai bentuknya, bertindak sebagai jendela yang memungkinkan kita melihat ke dalam jiwa manusia, memahami emosi dan pengalaman yang mungkin tersembunyi di dalam diri kita sendiri maupun orang lain.
Seni adalah bahasa universal yang dapat melampaui batas-batas budaya, agama, dan etnis. Seperti senja yang menyapa setiap sudut bumi, seni menyentuh hati manusia tanpa memandang asal usul. Ketika seorang pelukis menggoreskan kuas di atas kanvas, ia menciptakan dunia baru yang mengajak kita untuk berpikir, merenung, dan merasa.
Kita dapat merasakan emosi sang seniman yang tertuang dalam setiap warna dan bentuk. Ketika kita melihat patung seorang ibu yang memeluk anaknya, kita tidak hanya melihat bentuk dan tekstur, tetapi juga merasakan kasih sayang yang universal. Kasih sayang ini melampaui segala perbedaan, menunjukkan bahwa pada dasarnya, manusia memiliki rasa yang sama, walaupun di tempat yang berbeda.
Musik, dengan melodi dan ritmenya, dapat membuat kita menangis, tertawa, atau merenung, tanpa perlu memahami lirik yang dinyanyikan. Begitu juga dengan karya sastra, seperti puisi dan prosa, adalah manifestasi lain dari seni yang melampaui batas-batas manusia.
Dalam karya sastra: novel, cerpen, dan puisi, kita menemukan refleksi dari diri kita sendiri, serta pelajaran tentang kehidupan yang dapat kita renungkan. Seni sastra mengajarkan kita bahwa di balik setiap kata terdapat dunia yang menanti untuk dijelajahi, penuh dengan makna dan keindahan yang tak terbatas.
Sejarah telah membuktikan, bagaimana kekuatan seni mampu meneyentuh nurani, menggetarkan jiwa hingga menjadi kekuatan dahsyat yang berggeral menjebol sekat dan dinding yang membelenggu kemanusiaan. Dalam novel-novel Nawal el-Sadawi dan Najib Mahfuz, misalnya, mampu menggerakkan isu kesetaraan gender lewat teks-teks novelnya yang indah dan menggugah.
Di Indonesia, bagaimana teks puisi yang kemudian kita kenal dengan Sumpah Pemuda yang ditulis oleh Muhammad Yamin, menjadi pondasi sekaligus pemersatu anak-anak bangsa. Juga lagu-lagu perjuangan yang menggelorakan semangat perjuangan kaum muda di era revolusi kemerdekaan Indonesia. Novel-novel Pramudya Ananta Toer yang mengibarkan kepekaan sosial para pemebacanya.
Demikianlah seni, seni adalah bahasa yang mampu menjangkau hati manusia di mana pun berada. Seni mengingatkan kita bahwa meskipun kita hidup di dunia yang penuh dengan perbedaan, kita semua terhubung oleh kemampuan untuk merasakan, bermimpi, dan mencintai.
****
Depok Terluar, 2024
*Zastrow Al-Ngatawi S.Ag., M.Si. (lahir 27 Agustus 1966) adalah seorang budayawan dari kalangan nahdliyin. Karya-karyanya yang sudah terbit, antara lain, Politik Islam di Jawa; Wali Songo dalam Sejarah Tutur Masyarakat Pesisir Jawa (1997); Reformasi Pemikiran (1998); Muhasabah Kebangsaan (2020); dan berbagai macam makalah dan artikel di jurnal, media massa, dan buku-buku ilmiah.