Robohnya Bitcoin Kami…
Oleh Damhuri Muhammad
“Saya sedang mengembangkan aset kripto baru bernama IDRP. Saya pikir, mengapa tidak sekalian saja dijadikan sebagai mahar pernikahan,” kata Teguh Kurniawan Hamanda setelah ia menikahi Nadya Aprilia dalam prosesi ijab-kabul dengan mahar berupa aset kripto IDR Private, sebagaimana dikutip www.blockchainmedia.id (Januari 2020). Peristiwa itu ditandai sebagai pembayaran mahar nikah dengan aset virtual (senilai Rp 15.122.019) pertama di Indonesia. Aset kripto sebagai mahar yang disepakati, karena Manda sudah lama berkecimpung di dunia industri aset kripto dengan posisi strategis di Startup bernama tokocrypto. Kedua mempelai hendak memonumentasikan peristiwa bersejarah itu dalam sistem teknologi blockchain yang bersifat terbuka, tak bisa diubah (immutable) dan kekal selamanya, bagai cinta sepasang suami-istri.
Mahar yang tak lazim itu dapat menjelaskan perihal cryptocurrency (mata uang digital) yang semakin popular sejak melejitnya harga bitcoin. Aset kripto adalah bentuk baru dari simpanan atau investasi virtual berbasis tekonologi blockchain yang bersifat peer to peer (transaksi tanpa keterlibatan pihak ketiga), transparan, immutable (tak bisa diubah), tak terpusat (decentralized), dan sulit diretas. Bitcoin diciptakan pada 2008 oleh founder misterius dengan pseudonym Satoshi Nakamoto. Ia memulai proyek bitcoin dengan menyiarkan makalah 9 halaman berjudul: Bitcoin: A Peer to Peer Electronic Cash System. Dokumen yang menurut banyak pengamat tak ditulis oleh Satoshi seorang (tapi dikerjakan oleh tim yang belum menyingkap identitas mereka hingga kini) itu dianggap sebagai awal mula terciptanya bitcoin. Kepemilikan bitcoin pertama kali diterima oleh seorang pakar kriptografi dan kolektor mata uang digital Hall Finney (1956-2014) dalam aktivitas bitcoin mining yang dilakukan dengan memecahkan algoritma kriptografik. Finney berhasil menambang blok ke-70 dalam mata rantai transaksi pada sistem blokchain bikinan Satoshi Nakamoto. Atas penambangan itu Finney menerima reward 10 bitcoin dari Satoshi Nakamoto. Sementara pada 22 Mei 2008, pembelian dua pizza Papa John oleh Laszlo Hanyecz ditandai sebagai transaksi bitcoin perdana di dunia. Hanyecz dilaporkan telah menukarkan 10 ribu bitcoin untuk membeli dua pizza besar Papa John.
Menurut penelusuran situs www.techfor.id, dalam rentang 2009-2017, harga bitcoin sudah mengalami kenaikan sebanyak 61,940 kali. Harga bitcoin pada 2019 mencapai 155 juta per koinnya. Saat kolom ini ditulis, harga bitcoin menurut situs www.luno.com, adalah 844 juta/1 BTC. Sejak CEO Tesla, Elon Musk mengumumkan investasi 1,5 milyar dolar AS (21 T) pada Februari 2021, saham Tesla menanjak tajam di bursa Wall Street.Tesla juga mengabarkan bisa menerima uang digital itu sebagai pembayaran mobil. Dengan begitu Tesla menjadi perusahaan otomotif pertama yang menggunakan bitcoin sebagai alat pembayaran. Seperti dilansir www.cnbcindonesia.com (10/2/21), salah satu perusahaan yang meraup untung dari bitcoin adalah MicroStrategy. Perusahaan yang membeli 71.079 bitcoin dengan nilai lebih dari 3 milyar dolar AS (41 T) itu mengalami peningkatan keuntungan lebih dari 50% dan terus meningkat sampai 200%. Keuntungan besar juga diraih perusahaan fintech, Mogo. Desember 2020 Mogo menginvestasikan 1,5 juta dolar Kanada dalam bitcoin, keuntungannya menjadi 85% setelah pengumuman Tesla, dan nilai sahamnya menjadi 18 juta dolar AS (4,4 T).
Selain bisa dibeli oleh korporasi-korporasi besar, bitcoin juga dapat ditambang, atau yang biasa disebut bitcoin-mining, sebagaimana dilakukan oleh Hall Finney. Lazimnya, setiap transaksi yang terjadi dalam mata uang akan tercatat oleh bank, sistem poin, atau nota pembelian. Bitcoin mining melakukan pencatatan serupa, namun tanpa campur tangan institusi semacam bank sentral. Aktivitas tambang bitcoin terjadi ketika seorang penambang melakukan pencatatan transaksi dengan cara memasukkannya ke dalam sebuah blocks, dan menambahkannya ke dalam rekaman publik yang disebut blockchain. Titik komputasi (nodes) kemudian mengambil alih catatan blocks itu supaya dapat digunakan di masa depan. Setiap hari bisa terjadi lebih dari 500 ribu transaksi. Lantaran kerja penambang amat berat, mereka diberi imbalan bitcoin setiap kali berhasil menambahkan blocks of transaction baru ke dalam sistem blockchain. Aktivitas tambang bitcoin menggunakan komputer berkemampuan tinggi dan mampu menyelesaikan perhitungan matematika komputasional yang rumit. Selayaknya tambang emas, makin canggih alatnya, makin mudah proses penambangannya. Makin canggih spesifikasi komputer yang digunakan, makin cepat penambang menyelesaikan teka-teki matematika kriptografiknya. Semakin cepat pula keuntungan diperoleh.
Dari dunia pertambangan bitcoin kita mengenal nama Dmitry Marinichev, pengusaha Rusia yang menyulap bekas pabrik mobil menjadi pertambangan bitcoin, yang belakangan diklaim terbesar di dunia. Ia telah meraup laba sebesar Rp 21,6 milyar per bulan. Seperti dilansir www.liputan6.com (Januari 2018), Dmitry dan rekan berinvestasi sebesar 10 juta dolar AS dalam proyek itu. Mereka juga mendapat tambahan 43 juta dolar AS pada penawaran koin awal (Initial Coin Offering). Tambang bitcoin itu dilengkapi dengan berbagai komputer khusus yang dirakit oleh tim Dmitry. Sejak November 2016, pemerintah Rusia melegalkan penggunaan bitcoin dan mengakuinya sebagai salah satu mata uang yang beredar di negara itu. Pengesahan itu menggenjot peningkatan harga bitcoin di Rusia hingga Rp 10 juta/1BTC. Dengan begitu, Rusia dapat memonitor transaksi cryptocurrency untuk mengurangi risiko penggunaan mata uang digital seperti money laundry dan pendanaan terorisme.
Sebaliknya di Iran, aktivitas tambang bitcoin justru ditengarai sebagai penyebab krisis listrik. Awal Januari 2021, hasil investigasi yang dilakukan pemerintah Iran memastikan bahwa penyebab gelap gulita di kota Teheran selama beberapa minggu adalah tambang bitcoin yang menggunakan listrik secara berlebihan. Pemerintah Iran menutup tak kurang dari 1600 tambang bitcoin, termasuk tambang-tambang resmi. Aktivitas tambang kripto menyedot listrik begitu besar. Seperti dilaporkan oleh liputan khusus CNN Indonesia (2018), Indeks Konsumsi Energi dari Digiconomist 2018 mencatat, komunitas penambang bitcoin sudah menyedot 56,53 terawatt/jam atau setara 0,25% konsumsi listrik dunia. Dengan konsumsi sebesar itu, listrik yang disedot jaringan bitcoin dapat menghidupi 5,234 juta rumah tangga di Amerika Serikat.
Fakta tentang bitcon yang telah memberi keuntungan pada korporasi-korporasi besar, baik yang langsung terjun dalam spekulasi di pasaran aset kripto, maupun yang berperan sebagai modal ventura (venture capitalist) yang membiayai tambang bitcoin, pada prinsipnya bertolak belakang dengan sifat peer to peer yang sejak mula justru hendak meniadakan keterlibatan “pusat”. Besarnya kepercayaan (trust) pada aset kripto karena digerakkan oleh konsensus orang banyak (publik) ujung-ujungnya kembali menghadirkan korporasi-korporasi besar sebagai “pusat” yang sejak awal hendak disingkirkan itu. Begitu juga dengan prinsip ketakterpusatan (decentralized) sebagai fondasi sistem blockchain, alih-alih menjauh dari pusat, dalam spekulasi bitcoin yang tak terbendung justru membuat “pusat” itu makin berdatangan, makin dominan. Sampai di sini, prinsip immutable atau kemustahilan untuk diubah itu hanya tersisa dalam konotasi bahwa yang tak dapat diubah ternyata adalah kuasa kapitalisme berbasis korporasi.
Paradoks teknologi blockchain ini sama situasinya dengan konsep sharing economy yang disinyalir tumbuh pesat seiring dengan tumbuhnya pola interaksi consumer to consumer (C2C) di platform e-commerce. Seperti klaim Arun Sundarajan (2016) dalam The Sharing Economy: The End of Employment and The Rise of Crowd-based Capitalism bahwa praktik ekonomi di marketplace telah mendorong transformasi dari kapitalisme berbasis korporasi ke kapitalisme orang banyak atau kapitalisme kerumunan (Crowd-based Capitalism). Sistem ekonomi yang tampak lebih komunal itu, menurut Sundarajan menyediakan modal dan tenaga kerja melalui jaringan berbasis orang banyak (crowd-based), karena itu sharing economy lebih mengandalkan individu-individu ketimbang institusi yang tersentralisasi dan hierarkis seperti korporasi atau negara.
Dalam kenyataaannya, korporasi-korporasi besar dalam wujud modal ventura makin leluasa mengendalikan ekosistem perusahaan rintisan (Startup) global. Begitu sebuah platform e-commerce telah melewati fase skalabilitas tertentu, modal ventura segera mengakuisisinya, hingga para pendiri perusahaan rintisan tersingkir lantaran kepemilikan saham yang tersisa dalam prosentase 1 digit saja. Sharing economy mungkin terus berdenyut membesarkan platform e-commerce, tapi laba berlapis tetap mengalir ke mulut korporasi besar. Itu sebabnya sharing economy masih menimbulkan perdebatan. Sebagian pakar menimbangnya sebagai paradigma baru yang dapat memberikan kesempatan ekonomi lebih baik pada lebih banyak pihak yang terlibat. Sebaliknya, pakar lain berpendapat, sharing economy hanya kelanjutan dari paradigma ekonomi kapitalistik, dan hanya akan menguntungkan para pemain dominan di sektor teknologi. Kedua pandangan itu dapat dibuktikan. Sharing economy membawa kebaikan bersamaan dengan masalah-masalah yang dimunculkannya, sebagaimana prinsip “desentralisasi” dan kepercayaan berbasis konsensus publik dalam teknologi blockchain. Ketiadaan pusat, kebebasan dari kuasa pihak ketiga, sebagai cita-cita mulia para founder teknologi blockchain, justru berbalik menghadirkan korporasi-korporasi besar dalam lingkaran spekulasi aset kripto. Ujung-ujungnya, keuntungan dari bitcoin hanya dinikmati segelintir korporasi besar saja.
Jalan panjang bitcoin sebagai aset kripto bernilai tinggi tidaklah mulus belaka. Ekonom Nouriel Roubini menyebut bitcoin tak lebih baik dari mata uang zaman batu. Dalam sebuah wawancara dengan www.businessinsider.com (17/1/21) Roubini mengatakan, Flinstones (film lawas tentang kehidupan zaman batu) punya sistem keuangan yang lebih baik dari bitcoin. “Bitcoin bukanlah mata uang. Bukan unit akun, juga bukan alat pembayaran yang terukur, dan bukan penyimpan nilai yang stabil,” kata Roubini. Menurut ekonom New York University’s Stern School of Business yang pernah memprediksi Krisis Finansial AS (2008) itu, volatilitas bitcoin yang sangat ekstrim dapat menghilangkan nilainya dalam waktu sangat cepat. Meroketnya harga bitcoin disebabkan oleh manipulasi besar-besaran. Oleh sebab itu, baginya, bitcoin telah mengalami bubble. Pengamat dari Bank of America, Michael Hartnett, membenarkan bahwa bitcoin telah mengalami bubble. Dengan begitu, banyak pakar memperkirakan harga bitcoin yang menggila saat ini tak akan bertahan lama, dan ada kemungkinan nilainya akan terjun bebas.
Tak lama setelah munculnya prediksi tentang robohnya kedigdayaan bitcoin dari Roubini dan Harnett, pada 19 Mei 2021, situs coindesk.com melaporkan harga bitcoin tumbang ke posisi 30.201,96 dolar AS sebelum mendaki kembali ke level 36.000 dolar AS.Sementara harga bitcoin merosot tajam hingga 40% dalam 24 jam terakhir, 10 koin teratas lainnya ikut menukik parah seperti Ethereum jatuh 24,69%, Cardano turun 24,91%, dan XRP melorot 25.69%. Penurunan harga Bitcoin sebesar 40% dalammerupakan yang terbesar sejak 12 Maret 2020. Pada saat yang sama, bbc.com melaporkan, Beijing melarang bank dan perusahaan pembayaran untuk menyediakan layanan yang terkait dengan transaksi mata uang kripto. Itu terjadi seiring dengan kejatuhan parah harga bitcoin. Tesla, perusahaan otomotif milik Elon Musk, juga memastikan tidak lagi menerima bitcoin sebagai alat pembayaran.
Apakah spekulan aset kripto maupun para penambang bitcoin akan segera berhenti sampai di sini? Betapapun jungkir-baliknya harga bitcoin, harta karun itu sungguh nyata adanya. Tengoklah Chris Larsen, pemilik aset kripto bernilai 8 milyar dolar AS, atau keberlimpahan yang kini dimiliki Changpeng Zhao dan Matthew Mellon, dua pengusaha tajir-melintir karena investasi aset kripto. Dulu, bitcoin dicemaskan banyak orang, tapi juga barang paling dicari, karena keuntungan yang menggiurkan. Seperti kerja berdarah-darah memecah bongkahan batu cadas di lubang yang digali selama berhari-hari saat kita menambang Bacan Doko, batu akik yang pernah melangit harganya. Tak peduli seberapa banyak peluh telah terkuras, seberapa mahal perkakas tambang yang mesti dibiayai, bahkan berapa nyawa telah melayang karena terkubur hidup-hidup di lubang tambang yang longsor, meski akhirnya harga Bacan Doko terjerembab parah dan tak bangkit hingga kini. Demikian pula mimpi-mimpi tentang keberadaan bitcoin di dompet digital para penambang, telah mengerahkan banyak daya-upaya, biaya yang tak murah, daya listrik disedot habis-habisan, mesin-mesin komputasi yang tak bisa istirahat, demi harapan pada sekeping bitcoin dengan nilai yang tak lagi setakar mahar guna mempersunting kekasih pujaan, tapi dapat memakmurkan kehidupan bagi tujuh lapis keturunan ke depan.
*Penulis adalah Pengajar Filsafat, Fakultas Sastra Universitas Darma Persada, Jakarta