Perjalanan Tubuh: Narasi Mistik Darah dan Ruh
Oleh Abdullah Wong*
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
MUNGKIN Chairil Anwar tak semata berkisah tentang Isa. Mungkin tentang Husein yang dipenggal Yazid di Karbala, atau al-Hallaj yang dipancung di Baghdad. Karena di sajak itu, Chairil sedang menyorot tubuh. Tubuh yang mengucurkan darah. Darah pada tubuh yang mengucur keluar. Lantas bagaimana dengan tubuh yang kucuran darahnya berlangsung di dalam lantaran tak disalib dan dipenggal hingga mengucur keluar? Seperti darah yang mengalir dari manusia agung yang dihormati dengan lantunan shalawat. Darah dari Baginda Nabi Muhammad. Apakah tubuh seorang yang di dalamnya mengalir darah Muhammad juga rubuh dan patah hingga bertanya aku salah?
Peradaban manusia memang tak pernah tuntas tentang tubuhnya sendiri. Dalam tradisi Yunani kuno, setidaknya ditemukan tiga pandangan tentang tubuh yang berlaku. Pertama, pandangan yang dibangun oleh Cyrenaic. Baginya, “kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental”. Pandangan kedua didirikan oleh Epicurus yang percaya bahwa “kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental”. Mazhab terakhir didirikan oleh Orpheus yang mengatakan bahwa “tubuh adalah kuburan bagi jiwa” (the body is the tomb of the soul). Meski mazhab terakhir ini tidak populer, aliran ini sangat memengaruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates hingga Plato.
Dalam Bahasa Arab, kita bisa berangkat dari diksi jasad (جسد), jism (جسم), jasmani (جِسْمَانِيّ), hingga badan (بَدَن). Tapi apakah semua diksi itu menjelaskan hakikat tubuh manusia? Terhadap tubuh manusia, Al-Quran memberi gambaran tentang model penciptaan tubuh manusia. Meski manusia hanya satu spesies, tapi sebenarnya terdapat empat tipe yang berbeda. Pertama tubuh Adam, dimana Allah menciptakan (tubuh manusia) tanpa laki-laki dan perempuan sebagai sebab; yang kedua tubuh Hawa, yakni saat Dia menciptakan dari laki-laki tanpa perempuan; ketiga adalah tubuh anak Adam dan Hawa, yakni saat Dia menciptakan dari laki-laki dan perempuan yang merupakan jasad keturunan Adam dan Hawa; dan yang keempat adalah tubuh Isa, saat Dia menciptakan dari perempuan tanpa laki-laki. Keempat tipe tersebut sejatinya hendak menegaskan bahwa dalam tipe apapun manusia, Allah Sang Pencipta adalah Pelaku Utama.
Dari keempat tipe tubuh di atas, tubuh manusia senantiasa mengalami dan membentuk sejarah. Tubuh manusia seakan subjek sekaligus objek sejarah. Saat peradaban mulai terbentuk, agama merupakan satu produk kebudayaan sebagaimana bahasa, sains, mitos, hingga seni. Saat itu berlangsung, terjadi perubahan dari mode of being menjadi mode of having; dari mode of living menjadi mode of doing. Tentu hal ini membawa konsekuensi besar. Agama bukan lagi unsur intrinsik tapi bagian ekstrinsik hidup manusia. Agama bukan lagi amal internal tapi jadi amal eksternal. Singkat kata, saat agama menjadi produk masyarakat, maka agama menjadi komoditi.
Dalam situasi ini, sejarah agama berkelindan bersamaan dengan sejarah tubuh manusia. Perjamuan Kudus dalam upacara suci umat Kristiani misalnya, menandakan keselamatan dari Yesus bagi seluruh umatNya. Dalam Perjamuan Kudus itu, berlangsung prosesi memakan roti dan meminum anggur yang menjadi simbolisasi tubuh dan darah Yesus. Dari sini, apresiasi atas tubuh sebagai kesadaran sakral juga dikukuhkan oleh Santo Ambrosius. Seorang Uskup Milan sekaligus gubernur di wilayah Liguria dan Emilia pada abad ke-4 Masehi ini memahami pembaptisan sebagai transformasi tubuh menuju keadaan tak berdosa dalam tubuh Kristus yang murni. Kemudian Santo Sirilus, seorang uskup yang menggantikan Maximus di Yerusalem menegaskan bahwa pengurapan beberapa bagian tubuh merupakan bagian penting dalam pembaptisan. Ritus tubuh menjadi jalan untuk pembentukan pribadi seorang kristen baru.
Urgensi tubuh dalam pengalaman spiritual juga ditegaskan Santo Agustinus dari Hippo. Seorang mistikus yang dikenal mengembangkan konsep Gereja sebagai suatu Kota Allah yang spiritual, berbeda dengan Kota Duniawi yang profan dan material. Baginya, pengetahuan kita akan dunia secara langsung membawa kita pada pemahaman akan Allah. Artinya, indera maupun batin manusia punya peran penting dalam mengalami cinta Allah.
Begitu juga menurut Santo Bonaventura atau Giovanni, seorang uskup, kardinal dan Pujangga Gereja di dalam sejarah Gereja Katolik Roma. Santo yang bergelar Seraphic Doctor itu berpendapat bahwa pengetahuan akan Allah selalu dimediasi pengalaman badani seperti pengalaman “rasa manis.” Di sini, pengalaman akan Allah selalu terjadi dalam pertemuan badani. Betapa kuasa tubuh tak dapat lepas dari institusi bernama agama.
Tubuh sebagai wadah sekaligus wasilah memang tak bisa diabaikan begitu saja bagi seorang pendaki di wilayah ruhani. Nabi Muhammad sendiri saat menerima wahyu pertama kali diriwayatkan menggigil kedinginan. Sekujur tubuhnya berkeringat sebagai ekspresi fisik atas apa yang berlangsung di dalam ruhaninya. Hal demikian juga dialami Nabi Musa yang kemudian tak sadar diri saat menyaksikan api di bukit Tursina. Betapa peristiwa ruhaniyah yang begitu dalam dan tak terjelaskan kata-kata ternyata menubuh pada keterbatasan unsur-unsur dalam tubuh itu sendiri.
Bahkan dalam wacana poskolonial, sebagaimana diyakini Sara Upstone, tubuh dibagi secara metaforis dan metonimis. Tubuh metaforis adalah tubuh (perumpamaan) dalam konstruksi kolonial yang bisa dibagi-bagi seperti halnya kota/negara; sementara tubuh metonomis adalah tubuh sebagai bagian yang mengawali tapi tidak mengalami keterbagian atau hubungan-hubungan hierarkis. Dalam tubuh metonimis, kekacauan dan ambiguitas bisa muncul sehingga punya resistensi terhadap wacana kolonisasi. Dalam perjalanannya, tubuh hanya simbol dan bukan sebagai tujuan menyeluruh. Tubuh hanya konstruksi ruang perumpamaan dengan aneka akun dan avatar yang dikonsepsikan.
Mengapa kehormatan manusia sering diupayakan dengan bagaimana dirinya menata dan memerlakukan tubuhnya? Selain orang gila, siapa yang bersedia bugil tanpa penutup tubuh untuk berkeliaran di jalanan? Kenapa tubuh manusia mesti dibalut busana demi ukuran sosial dan kehormatan? Bahkan spiritualitas yang murni dari predikat apapun ternyata sering ditampilkan dengan pilihan busana tertentu seperti jubah, sorban dan cadar? Seakan, semakin salih seseorang ia mesti hati-hati dengan busana yang dikenakan.
Kini, apa jadinya jika tubuh itu sendiri yang menjadi busana? Tubuh yang konon menyimpan darah suci dari manusia agung dari Quraisy itu. Jika benar darah suci itu yang mengalir, maka darah itu akan senantiasa mengucur. Rubuh. Patah. Karena segala yang suci akan selalu menebar menjadi ragam partikular dari dirinya untuk tidak malah mengental menjadi satu gumpalan. Karena keragaman itu sendiri adalah keutuhan yang suci. Begitu juga darah suci.
Tapi bagaimana darah di dalam tubuh (bukan di luar tubuh) itu dapat terus mengucur? Rubuh. Patah. Satu hal, darah itu tak akan disiarkan atau ditumpahkan kepada siapapun. Jika dirinya pamer darah, maka ia mengeluarkan darah. Selain cengeng, sebenarnya orang semacam ini butuh pertolongan.
Mengapa setiap ibu yang mengandung tak mengeluarkan darah haid? Tentu karena sang ibu sedang menyimpan janin suci. Janin suci inilah yang menjadikan sang ibu terbebas dari haid sehingga secara syar’i dirinya diperbolehkan menjalankan berbagai jenis peribadatan. Janin yang sakral dan bersamayam pada arham ibunda inilah yang memungkinkan darah tak mengucur keluar. Tapi bila janin yang sakral itu dilahirkan, dikeluarkan, maka darah akan kembali mengucur keluar. Kini, siapapun yang menyimpan darah suci, apakah dia bersedia seperti ibunda untuk tetap menyimpan darah itu tanpa dikeluarkan? Jika ia mengucur, yang terjadi adalah rubuh, patah.
Ketika di satu sisi muncul individu yang bangga lantaran dalam dirinya mengalir darah suci, di sisi lain muncul manusia yang merasa mendapat makna dari klaim kemengaliran darah suci. Yakni umat yang lebih suka untuk bertemu sosok yang tampak dan kongkrit. Ini mirip dengan mitos Deus Otiosus yang berkisah tentang Tuhan yang dianggap semakin jauh dari kehidupan manusia. Umat cenderung menyukai apa yang terlihat di depan mata sehingga memberi kepuasan secara langsung. Seperti kaum Israel yang tak sabar menunggu Musa sehingga menghadirkan anak lembu dari emas demi merasakan kehadiran-Nya lewat sensasi kasat mata dan bisa diraba. Hal ini mirip Seinvergennsenheit yang dibayangkan Martin Heidegger saat manusia lupa akan “adanya” (Sein), sehingga terlena dalam kehidupan jahiliyyah. Masyarakat yang belum mendalam (rasikhun) dalam pengetahuan, cenderung kehilangan makna tapi akan menemukan kepuasan saat menemukan pengganti yang dekat dan mudah dijangkau dalam keseharian.
Darah dan Al-Quran
“Daging dan darah tidak sampai kepada Allah, tapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dirimu. Demikian Dia menundukkan untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” Surat Al-Hajj: 37
Dalam bahasa Al-Quran, kata darah dituang dalam bentuk Dam (دَم، دَمَوِيّ). Dari sini lahir kata berdarah atau suka pertumpahan darah (دَامٍ). Kemudian muncul kata memutar, berotasi, berputar (دَوَّمَ – يُدَوِّمُ); Kemudian hadir kata berlanjut, terus-menerus, tetap berlaku, hidup, bertahan, tinggal (دَامَ – يَدُوْمُ). Dari kata ini pula lahir kata mengabadikan, mengekalkan, melanggengkan, memelihara, menyimpan, melestarikan (أدَامَ – يُدِيْمُ). Lalu lahirlah kata yang bermakna selama (دَامَت – دَام). Dan satu hal, Nabi dan manusia pertama itu dikenal dengan nama Adam (آدم).
Darah, dalam Al-Quran ternyata tentang keberlanjutan. Kemengaliran. Memelihara, melestarikan hingga mengabadikan. Pertanyaannya, apa yang mesti dialirkan, dipelihara, dilestarikan dan diabadikan? Jika menyadari keberadaan darah, ia berada di dalam tubuh yang mengalir secara rahasia. Maka darah manusia mesti dijaga jangan sampai ditumpahkan. Dalam tradisi tasawuf dikenal ungkapan, الانسان سرّي و أنا سرّه, yang artinya “Manusia adalah Rahasia-Ku, dan Aku adalah Rahasia manusia.” Dalam istilah Jawa dikenal ungkapan, “Jalma tan kena kinira, Gusti tan kena kinaya apa.”
Terkait hal tersebut kita dapat merujuk bagaimana kekhawatiran malaikat yang diabadikan dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 30, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan di dalam bumi seorang khalifah.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan di dalam bumi itu pribadi yang merusak dan menumpahkan darah?, padahal kami bertasbih, memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ayat di atas, terutama kegelisahan malaikat seperti menjelaskan bahwa manusia punya potensi melakukan tindak destruktif (ifsad), bahkan potensial menumpahkan darah. Kekhawatiran malaikat kemudian terjadi. Saat Qabil menginginkan Ikrima dari Habil, keduanya diperintahkan untuk memberikan kurban. Tapi kurban yang diberikan Qabil gagal. Qabil kemudian mengancam membunuh Habil. Dalam Surat Al-Maidah ayat 27 disebutkan, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Qabil berkata, “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil:” Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa.”
Inilah sejarah pertumpahan darah pertama (the first blood) dari manusia di muka bumi. Qabil hasud dan murka kepada Habil lantaran dirinya merasa lebih baik dari Habil sehingga merasa pantas mendapatkan Ikrima. Sejak itu, sejarah manusia tak pernah lepas dari tragedi pertumpahan darah demi sesuatu atau atas nama apapun. Bahkan darah yang ditumpahkan atas nama Tuhan dan Agama. Dalam situasi ini, agama yang merupakan acuan dan referensi perjalanan kembalinya ruh tak bisa lepas dari keberadaan tubuh.
Tubuh dan Penampilan Ruh
Dalam Deru Campur Debu, Chairil Anwar kembali meneruskan sajak Isa,
kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Sebagian besar kaum sufi memahami bahwa meski ruh yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya (wakil), juga sebagai pengatur tubuh, namun sekali lagi, tubuh senantiasa terpenjara oleh alam dan unsur-unsurnya. Maka tak ada cara untuk membebaskan jiwa dari penjara alam kecuali melalui latihan dan ikhtiar. Ini mengapa para sufi menggambarkan sebuah jalan dengan stasiun (maqom) dan kondisi (ahwal), yang di sekelilingnya berputar latihan tubuh dan perjuangan melawan jiwa (nafs).
Pemahaman singkat yang dapat dicerna, bila seorang makin mendalam perjalanan ruhaninya, maka ia semakin terlepas dari kepadatan tubuhnya. Hingga tubuh yang ada hanya apa yang dibutuhkan tubuh untuk menjalani hidup yang tersisa. Tentu saja pemahaman ini tidak dapat dijadikan ukuran dan penilaian. Karena meski tirakat yang dijalani seseorang berbuah pencerahan, tapi dampak tersebut belum tentu menjadi tanda bahwa “seseorang sedang menempuh perjalanan” apalagi diyakini telah mencapai Puncak perjalanan.
Secara fitrah, ketika lahir manusia berwujud sama meski dalam rupa yang berbeda. Tapi saat kembali kepada-Nya, wujud benar-benar berbeda. Saat kembali, ada manusia yang berwujud kuda, kera, anjing, babi, bahkan lebih buruk lagi. Memang ada yang berwujud sangat mulia sehingga lebih baik wujudnya saat di di dunia. Demikian pendapat Syekh Akbar Ibnu Arabi, saat membaca ayat Innaa lillaahi wa inna ilayhi raji’un, “Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali.
Dalam mistisisme Islam, bentuk tubuh tak selalu berbanding lurus dengan bentuk ruh. Wujud raga manusia mungkin saja tampan, cantik, dan sebagainya. Tapi ruh manusia tak selalu demikian. Bisa jadi ruh manusia berwujud binatang buas, binatang peliharaan, atau binatang yang menyeramkan dan menjijikkan.
Menurut Imam Ghazali, wujud ruh manusia dibentuk oleh apa yang disembah atau diperjuangkan. Apa yang disembah dan dikejar itu yang kemudian menguasai sekaligus membentuk wujud ruh manusia. Jika yang menguasai ruh manusia adalah nafsu hewan-hewan, maka itulah bentuk ruh manusia. Jika yang menguasai adalah nafsu syaithani, maka begitu pula bentuk ruh manusia. Tapi jika yang menguasai ruh manusia adalah Tuhan, maka ruh manusia menyerap Asma-Nya, menikmati Cahaya-Nya, memancarkan segala Kebaikan-Nya. Singkat kata, menurut penulis Kitab Ihya Ulumuddin dan al-Munqidz min al-dhalal itu, bentuk ruh manusia di dunia ini tergantung dari apa yang disembah. Seorang mungkin salat menyembah Allah Swt, tapi hati dan ruhnya malah menyembah yang lain.
Demikian narasi mistik tubuh manusia. Dari sini kita menyadari bahwa tubuh yang di dalamnya diklaim mengalir darah suci sekalipun, justru akan ringkih dan rapuh bahkan rubuh dan patah jika dijadikan ukuran pencapaian derajat tertinggi dari manusia atas manusia lain. Darah yang sakral itu mestinya tidak menjadi kebanggaan diri sebagaimana darah yang dimuliakan untuk tidak dikonsumsi manusia. Karena saat seorang bangga dan takabur lantaran darah yang mengalir dalam dirinya, ruh dalam tubuh akan berkuasa untuk kemudian menjelma Iblis yang merasa lebih baik dari tanah.
Padahal, seluruh kebanggaan atas nama apapun itu bertolak belakang dengan Al-Quran, Surat Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian mencapai ma’rifat. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Wallahu a’lam
اللّهمّ صلّ على روح محمّد فى الأرواح
وعلى جسد محمّد فى الأجساد
وعلى قبر محمّد فى القبور
وعلى آله وصحبه وسلّم.
*Penulis adalah Pengasuh Padepokan Umah Suwung, bukan habib dan bukan ahli nasab.