Menakar Mitos dan Ritus Kematian Mayadanawa (Tinjauan Kambing Hitam Rene Girard)
Oleh I Gede Sarjana Putra
Setiap 210 hari, tepatnya Buda (Rabu) Umanis Wuku Galungan masyarakat Bali yang beragama Hindu melaksanakan ritual perayaan Hari Raya Galungan. Jauh hari sebelum puncak perayaan sudah ada rentetan upacara ritual, sebagai persiapan menuju upacara puncak hari raya. Ritus Hari Raya Galungan ini selalu dengan tema ‘Kemenangan Dharma melawan Adharma.’
Mitos yang terbangun dalam perayaan upacara ini adalah kematian Mayadanawa oleh Dewa Indra. Diceritakan, tokoh Mayadana adalah tokoh atheis, memakan daging manusia dan merusak banyak tempat suci. Sebagai langkah penghentian kejahatan ini, turunlah Dewa Indra membasmi Mayadanawa yang terkenal sakti. Sebagian besar peristiwa mitos ini berlokasi di Kabupaten Gianyar, di Desa Tampaksiring, Banjar Tatiapi, Desa Pejeng, Sungai Petanu dan lokasi lain yang sampai saat ini masih ada. Sehingga mitos kematian Mayadanawa diikuti ritus Perayaan Hari Raya Galungan, sebagai perayaan kemenangan. Sehari sebelum puncak perayaan, terdapat ritus penampahan (Pemotongan Babi) Galungan. Penampahan Galungan dengan aneka pengolahan daging disimbolkan sebagai pemotongah hawa nafsu yang ada di dalam tubuh manusia.
Ditarik ke Teori Asal Usul Mitos, Rene Girard (1923-2015) menjelaskan dimana asal-usul perayaan ini adalah mekanisme kambing hitam, sebagai puncak dari proses kekerasan. Substitusi ini memungkinkan adanya penyaluran kekerasan, dimana setiap kekerasan membutuhkan penyaluran. Praktik penampahan atau memotong Babi ini diartikan sebagai salah satu praktik terpenting di dalam agama guna mempertahankan eksistensinya. Rene Girard menambahkan pelaksanaan ritus-ritus memperlihatkan kesamaan, betapapun berbedanya masing-masing kebudayaan. Sehingga dengan adanya praktik pemotongan hewan tersebut, selain sebagai peristiwa penyaluran kekerasan, yang sekaligus sebagai penebusan. Menebus ketidaksucian dari kesalahan, dan dipilihnya binatang yang paling mempunyai karakter dekat dengan manusia, seperti kemalasan, egois, pemarah, nafsu dan lainnya. Binatang peliharaan ini menjadi dekat dengan penyaluran kekerasan.
Bagaimanakah Rene Girard menjelaskan asal-usul mitos dan ritus dan mana yang terlebih dulu lahir. Apakah mitos melahirkan ritus atau sebaliknya ritus melahirkan mitos. Namun Rene Girard mengajak untuk mencermati “Apa yang awali”. Di dalam tindakan pembunuhan atas nama korban tersebut diawali dengan suatu kejadian historis tunggal atau kejadian prahistoris yang kemudian diperingati secara universal. Bisa dicermati, bila mengamati sehari sebelum puncak Hari Raya Galungan, semua masyarakat Bali (Hindu) merasa mengalami pembunuhan itu. Pengalaman inilah yang membuat orang tidak asing terhadap ritus korban, ketika mereka mengenangkan atau melaksanakan peringatan akan pembunuhan, dan meniru, mengulangi dalam mitos dan ritus secara berkala, turun temurun.
Kekerasan yang generative ini, bisa jadi sebagai alternative penyaluran kekerasan, guna melahirkan ketentraman. Terlebih lagi, kematian seorang tokoh dalam mitos diikuti ritual yang biasanya dianggap sebagai asal usul tata kultural. Tokoh dalam mitos ini biasanya diusir, diasingkan, dibunuh melalui perang atau duel. Dengan hilangnya tokoh antagonis tersebut, disebut sebagai pemulihan ketentraman masyarakat. Sebagi tindakan pengenangan, selain mewariskan kekerasan generatif juga secara generatif pula kematian tokoh tersebut diwacanakan sebagai pembawa berkah, pemulihan keadaan, kesuburan, cuaca baik dan seterusnya. Dalam ritus Hari Raya Galungan, tokoh Mayadanawa kematiannya dirayakan yang bahwa apapun warisan ideologinya adalah salah dan secara generatif sampai saat ini dirayakan. Kematian Mayadanawa sebagai mitos yang juga sebagai penanda lahirnya ritus.
Mitos diciptakan untuk mengandaikan apa yang awali, sebagai titik berakhirnya kondisi tertentu seperti kekacauan oleh penguasa. Mitos juga menandai tindakan penghancuran yang sebelumnya kemudian penciptaan (dunia baru) yang menerangi atau membuat menjadi lebih baik. Apa yang ‘Awali’ ini meninggalkan kesan yang dalam yang dianggap sebagai titik tolak sehingga lahirnya ‘Ritus’. Manusia tidak akan menciptakan mitos dan ritus bila tidak ada pengenangan apa yang awali atau titik balik peristiwa, seperti halnya lahirnya mitos Mayadanawa. Ritus yang terus berulang ini oleh masyarakat menjadi perayaan (Hari Raya), melahirkan tema dan tema umumnya adalah ‘Kemenangan’. Selama ritus terpelihara, maka mitosnya juga tetap hidup.
Lalu yang manakah di-Kambing Hitamkan dalam mitos ritus kematian Mayadana yang kemudian lahir Hari Raya Galungan. Sosok Mayadanawa, jelas korban pertama dari pertarungan ideologi saat itu. Dan sifat-sifat buruk Mayadanawa juga di anggap masih melekat pada generatif berikutnya. Pembunuhan sisa-sisa sifat Mayadanawa yang masih melekat ini, dikambing hitamkan pada Babi. Binatang ini juga dianggap mendekati sifat-sifat buruk manusia, malas, mau menang sendiri (egois) dan sederet sifat buruk lainnya. Penampahan (pemotongan) babi ini juga dianggap sebagai simbol pembunuhan sifat-sifat buruk tadi. Yang dalam istilah lazimnya disebut membunuh Sad ripu. Sad artinya enam, ripu artinya musuh. Enam musuh dalam diri manusia meliputi Kama-nafsu yang negatif, Lobha artinya rakus, Krodha artinya kemarahan, Moha artinya mabuk, Matsarya artinya iri hati/dengki. Kematian Mayadanawa juga membutuhkan kambing hitam dengan enam musuh dalam diri manusia, buruknya perilaku manusia juga membutuhkan kambing hitam dan sebagai jalan tengah, ritusnya adalah penampahan Galungan.
Sebagai pengenangan terhadap ritus, lahirlah tema-tema pengenangan. Pada Hari Raya Galungan, temanya adalah Hari Kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma. Rene Girard melalui Raymund Scahwager menyebutkan ada empat aliran teologi. Pertama teologi politik yang focus perhatiannya adalah sejarah, dimana rakyat yang menjadi korban oleh kekuasan. Kedua teologi pembebasan, yang pokok perhatiannya adalah option for the foor, atau penindasan kaum kapitalis terhadap kaum miskin. Ketiga teologi feminis yang pokok pemikiran, perempuan sebagai korban dari tatatanan patriarki dan terakhir Teologi ekologis, dengan pokok pemikiran alam telah menjadi korban oleh sistem ekonomi, teknis dan keserakahan. Sebagaimana tema Kemenangan Dharma melawan Adharma, pendekatan teologinya mengarah pada teologi politik. Dimana pemenanglah yang membuat sejarah, pemenanglah yang menentukan ideologi apa yang wajib terpelihara. Tema ini akan terus terpelihara, selama ideologi Mayadanawa sebagai korban tidak bisa membalikkan keadaan.
Nah, seperti apakah sesungguhnya ideologi Mayadanawa atau seberapa bahaya ideologi Mayadanawa sehingga harus disingkirkan dan tanpa ingatan apapun berkait ideologinya, selain seorang atheis, menentang pemujaan terhadap dewa-dewa.
*I Gede Sarjana Putra S.Fil jurnalis media cetak di Bali dan Cerpenis