Madura Niskala
Oleh Royyan Julian
Kuburan tidak seseram, semuram, dan sesuram yang dibayangkan. Pada waktu-waktu tertentu, ia semeriah pasar. Seperti yang terjadi di Tempat Pemakaman Umum Branta Pesisir pada Kamis sore, 13 Mei 2021. Para peziarah berbondong-bondong memasuki kompleks kuburan desa pada momen lebaran itu. Jika di Peru ada Festival Ayar Mayar Killa dan di Meksiko ada perayaan Dia de los Muertos yang keduanya merupakan tradisi oplosan kebudayaan Inca dan Katolik serta diselenggarakan pada 2 November untuk mengenang orang-orang mati, warga Branta Pesisir nyekar berjamaah setiap bakda asar 1 Syawal dan 10 Zulhijah dalam almanak bulan. Mereka percaya, pada malam Idulfitri dan Iduladha, arwah sanak famili mudik untuk ‘bersilaturahmi’ dengan keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, mereka yang masih hidup perlu juga bersilaturahmi balik dengan mengunjungi kuburan keesokan harinya.
Walhasil, warga, terutama jamaah Nahdliyyin, tumpah ruah, meramaikan makam dalam kegiatan tahunan itu. Seorang penjual balon mainan berdiri tidak jauh dari ambang gerbang kuburan dan kembali pulang dengan barang dagangan yang sudah ludes. Sore yang agak mendung itu dicerahkan busana warna-warni peziarah. Biasanya, di hari lebaran mereka punya beberapa busana untuk dikenakan pada momen yang berbeda. Baju baru untuk silarahmi kepada sanak saudara berbeda dengan pakaian yang dikenakan di kuburan. Karena itulah pada hari lebaran, tanah orang-orang mati berubah menjadi pergelaran fashion week. Di Inggris era Victoria, para janda kelas menengah/atas berkabung dengan mengenakan busana hitam tanpa kehilangan selera fesyen, tidak kalah konsumeris ketimbang hari-hari biasa sehingga menjadi sasaran bisnis mode. Tetapi ziarah tahunan di Branta Pesisir bukan momen untuk berduka. Mereka hanya membaca Yasin dan tahlil yang dipimpin beberapa modin; dinyaringkan toa yang terpancang menjulang di tengah-tengah kompleks kuburan.
Warga Branta Pesisir—dan mungkin masyarakat Madura pada umumnya—tidak memiliki romantisme berlebihan pada kematian. Perkabungan atas kematian dilakukan secara wajar, bahkan nyaris tak terlihat, tertutupi acara tahlilan yang dilaksanakan selama tujuh hingga empat puluh hari. Ketika seseorang meninggal, pihak keluarga bergegas mengurusi jenazahnya untuk segera dikuburkan sesuai tuntunan Islam. Raga mati almarhum akan dimandikan anggota keluarga yang berjenis kelamin sama dengan sang jenazah, lengkap dengan sabun dan samponya. Gosokan pada jasad mendiang tidak boleh terlalu keras karena dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa sakit.
Pada prosesi mandi jenazah, air yang digunakan dicampur daun bidara sebagaimana anjuran Nabi. Al-Qur’an menyebut bidara sebagai pohon surgawi. Konon, pohon ini dijumpai Nabi ketika singgah di langit ketujuh pada peristiwa Perjalanan Malam. Melalui pohon bidara terjauh (sidrat al-muntaha), Tuhan berbicara kepadanya. Bidara terbakar juga menjadi medium percakapan Tuhan dengan Musa di sebuah lereng gunung sebelum orang-orang Israel eksodus dari Mesir. Di sini, selain digunakan untuk memandikan jenazah, daun bidara juga dipakai pada prosesi pembebasan seseorang dari sihir hitam dan kuasa roh jahat saat ritual rukiah.
Sementara mayat dimandikan, para perempuan membentuk kur, lalu melantunkan Al-Burda (sebuah himne untuk Nabi, karangan penyair Mesir abad ke-13, Busiri) dalam dwibahasa, Arab dan Madura. Masyarakat Madura biasa membaca Al-Burda untuk mengusir wabah, menenangkan orang sekarat, dan dalam ritus kematian. Pembacaan Al-Burda secara tak langsung merupakan bentuk perkabungan. Di banyak kebudayaan, tugas berkabung kerap dilimpahkan kepada perempuan. Secara psikoanalisis, saya menduga hal ini berkaitan dengan relasi perempuan dan dimensi prabahasa. Namun, Michael Kerrigan (2007) dalam risalahnya tentang sejarah kematian memberi perspektif menarik. Ia mencatat, secara alami perempuan melahirkan kita ke dunia dan yang akan menjadi penanda jalan ketika kita meninggalkan dunia. Dalam ikonografi Kristen, ia dilukiskan dengan ratapan Maria di kaki salib. Pada bentuknya yang paling ekstrem, perkabungan perempuan muncul dalam tradisi kuno Hindu-India, sati, di mana seorang janda terjun ke dalam kobaran api, menyusul suaminya ke alam baka.
Usai dimandikan, jenazah dibedaki, diwangikan dengan parfum, dan bagian-bagian tubuh tertentu ditutupi dengan kapas yang telah dicampur serutan kayu cendana. Tubuh terbujur itu dibungkus kafan dalam posisi tangan bersedekap seperti orang salat. Sebelum dibopong ke pekuburan, jenazah disalati secara berjamaah.
Empat pengusung keranda adalah anggota keluarga laki-laki. Iring-iringan itu terdiri atas keluarga inti, kerabat, dan para tetangga. Kur Al-Burda berganti lantunan selawat. Di atas salah satu sisi keranda, sepotong pakaian peninggalan sang jenazah diletakkan. Orang-orang yang tidak tahu bisa mengira benda itu akan dikuburkan bersama sang mayat. Di sejumlah ritual kematian, menyertakan benda-benda memang lumrah. Benda-benda itu dipercaya akan menjadi bekal mendiang di kehidupan keduanya. Bahkan, di beberapa kebudayaan kuno, hewan tunggangan, pengawal, dan pelayan dikorbankan sebagai pendamping almarhum yang memiliki kedudukan istimewa. Yang paling legendaris dari ritus absurd ini, yaitu pemakaman penguasa Tiongkok 206 M, Kaisar Shihuangdi, yang menyertakan lima ribu patung prajurit. Pasukan infanteri dan kavaleri tanah liat itu dilengkapi senjata dan kereta kuda beserta saisnya. Tetapi sepotong pakaian di atas keranda jenazah Branta Pesisir tidak dimaksudkan untuk dikenakan di dunia lain. Ia hanya menjadi penanda posisi kepala.
Di kompleks pemakaman, liang kubur telah disiapkan. Mayat diturunkan. Di lubang itu, kepala jenazah diletakkan di sebelah utara dengan posisi tubuh menyamping, menghadap Mekah. Tali pocong di ujung kepala—salah satu dari empat ikatan kafan—dilepas agar pipi mayat menyentuh tanah, asal-usul eksistensinya di dunia. Dari tanah kembali ke tanah. Lalu jenazah ditaburi kembang sebelum ditutup dengan dhindhing are, palang-palang kayu berukuran semeteran yang disandarkan diagonal ke sisi barat dinding liang, berjejer dari utara ke selatan sepanjang jasad. Jajaran dhindhing are dilingkupi daun-daun palembang. Saat ini orang-orang mengganti daun palembang dengan terpal plastik. Dhindhing are dan plastik digunakan agar jasad tidak langsung ditimpuki tanah.
Setelah mayat dikubur, di atas pusara basah yang penuh taburan bunga, seorang modin membaca talqin (secara harfiah berarti ‘mengajar’), semacam manifesto untuk mengingatkan sang jenazah tentang kontrak spiritualnya dengan Tuhan, janji-janji manis dan ancaman akhirat, serta bocoran kunci jawaban atas enam pertanyaan dua malaikat alam kubur. Tes komitmen iman semacam ini bukan hal baru. Dalam eskatologi Mesir lama, misalnya, paragraf-paragraf Kitab Kematian digurat di dinding piramida sebagai kunci jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penjaga gerbang kerajaan orang mati.
Warga Branta Pesisir percaya bahwa arwah mendiang tidak benar-benar terpenjara dalam barzakh (tembok batas). Arwah bisa mendengar suara langkah orang-orang yang meninggalkannya sendirian di makam. Tiga atau tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, arwah masih dianggap mengawang-awang di dunia manusia sebelum tinggal relatif ajek di barzakh. Pada hari-hari tertentu, arwah akan mengunjungi keluarganya yang masih hidup. Seorang warga indigo pernah bersaksi melihat rombongan arwah dengan busana putih berduyun-duyun keluar dari kompleks kuburan, menyebar ke rumah keluarga masing-masing pada Kamis magrib, lalu kembali ke barzakh di siang bolong keesokan harinya.
Maka, selain mempersembahkan doa-doa, tiap malam Jumat beberapa orang juga menghantar makanan (arebba) kepada seorang modin sebagai sedekah untuk mendiang. Meskipun ada yang menyangsikan kredibilitasnya, sejumlah hadis memang mengabarkan bahwa setiap malam Jumat, arwah akan kembali ke dimensi manusia, menandangi rumah dan berdiri di ambang pintunya, meratap serta memohon welas keluarga untuk mempersembahkan doa kepadanya. Ia akan kembali ke dunia arwah dengan patah arang jika harapannya tidak digenapi. Dalam keterasingannya di barzakh, kebahagiaan para arwah bergantung pada memori dan kemurahan hati sanak famili yang masih hidup.
Limbo (perbatasan) adalah ide tentang dunia transisi yang dimiliki banyak sistem kepercayaan. Dalam tradisi agama-agama Abrahamik, gagasan seputar alam batas dikenal dengan istilah sheon (Yudaisme), purgatori (Katolik), dan barzakh (Islam). Di limbo, para arwah bersemayam dalam penantian panjang hingga hari akhir tiba.
Ritual dan pandangan orang Madura tentang kematian nyaris diadopsi sepenuhnya dari kepercayaan Islam. Identitas Madura memang tidak lepas dari agama Jazirah Arab ini. Ketika seseorang mengaku berasal dari Madura, ia akan secara otomatis dianggap sebagai orang Islam. Kuatnya pengaruh Islam pada identitas orang Madura barangkali karena tidak memiliki kompleksitas kebudayaan semapan Jawa. Secara politis dan historis, kedaulatan Madura berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Jawa dalam waktu yang amat panjang. Alhasil, pada sejumlah elemen, kita bisa melihat kebudayaan Madura adalah akulturasi Jawa dan Islam. Di luar itu, kebudayaan Madura seringkali dibentuk oleh faktor fisik alamnya yang unik.
Anggapan bahwa pandangan orang Madura tentang kematian yang sepenuhnya bersumber dari Islam diamini budayawan Pamekasan, A. Sulaiman Sadik (86) ketika saya jumpai di kediamannya pada 23 Mei 2021. Ketika Islam masuk, orang-orang Madura mudah menerima pandangan kematian dari agama Muhammad ini karena sebelumnya mereka juga percaya ada kehidupan setelah kematian. Bedanya, pada masa Madura pra-Islam (juga pra-Hindu-Buddha), orang-orang Madura meyakini bahwa semua jiwa akan kembali ke surga. Tidak ada pertimbangan amal yang memungkinkan orang-orang bermasalah dihukum di neraka.
Di masa Madura lama, jasad mati bisa dibiarkan, tidak dikubur berhari-hari hingga meruapkan bau busuk. Orang-orang berkumpul di rumah duka, berbicara ngalor-ngidul. Dan semua itu berubah ketika Islam datang. Jenazah harus segera dikuburkan. Tradisi ngobrol ngalor-ngidul digeser oleh kenduri arwah dalam waktu yang dibatasi.
Sulit memahami pandangan kematian atau bahkan kosmologi Madura zaman baheula karena kedatangan Islam membabatnya nyaris tuntas, termasuk tradisi Hindu-Buddha. Sadik berkata bahwa pengaruh pandangan pra-Islam tentang dunia tak kasat memang masih ada, tetapi amat samar. Membakar kemenyan, merawat pusaka, memohon di kuburan (termasuk berwasilah kepada para wali), cenayang dan komunikasi dengan roh, serta kepercayaan tentang arwah gentayangan selama beberapa hari setelah kematian merupakan jejak-jejak iman pra-Islam yang masih dijalankan orang-orang Madura hingga kini. Bagi para penganut Islam puritan, tradisi-tradisi ini akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan penyekutuan Tuhan. Namun, para pemeluk Islam moderat yang memiliki corak keberagamaan lebih cair tidak akan kekurangan dalil untuk menjustifikasi praktik-praktik kuno tersebut.
Meskipun tidak merata, masyarakat di sejumlah daerah di Madura menjaga kuburan baru setiap malam—biasanya hingga empat puluh hari. Di beberapa tempat lainnya, orang-orang hanya menjaga kuburan mayat perempuan hamil atau bayi. Mereka percaya, orang-orang yang menjalankan aktivitas okultisme akan mencuri mayat-mayat sebagai syarat, misalnya para pelaku praktik pesugihan.
Di Inggris abad ke-18/19 marak pencurian mayat untuk dijual dengan harga amat tinggi kepada dokter-dokter jahat sebagai bahan riset. Sementara itu, di Madura, para pencuri jenazah memiliki wujud monster sebagai konsekuensi atas praktik pesugihan yang dilakukannya. Beberapa desa menyebut makhluk jadi-jadian ini dengan nama ‘mogut’. Tubuhnya dideskripsikan mirip kambing yang berdiri tegak dengan dua kaki seperti manusia—yang mengingatkan kita pada figur-figur satanik dalam tradisi Barat. Mogut tidak membutuhkan cangkul atau sekop untuk menggali makam. Dengan mengerahkan kekuatan magi, mayat itu mencuat sendiri dari dalam kubur tanpa merusak pusaranya.
Di daerah-daerah Madura lainnya, siluman pencuri mayat ini dikenal dengan nama ‘gogor’. Tetapi warga Branta Pesisir tidak melukiskan raganya seperti kambing dan tidak pula menyantap jenazah. Ia lebih seperti kriptid legendaris Amerika Latin, cupachabra (secara harfiah berarti ‘pengisap kambing’), yang digambarkan dengan raga anjing. Bedanya, hewan vampir dalam kepercayaan orang-orang Branta Pesisir ini hanya mengisap darah kambing putih. Oleh karena itu, pada musim gogor, orang-orang akan mewarnai kambing putih mereka dengan kesumba untuk mengecoh makhluk parasit tersebut.
Di kalangan generasi muda Branta Pesisir, mitos gogor sudah tidak populer. Juga beberapa kisah memedi lainnya. Cahaya lampu (dalam pengertiannya yang literal dan metaforis) melenyapkan ketaksaan visual yang disebabkan oleh kegelapan. Dahulu, orang-orang kerap bersaksi melihat penampakan hantu ketika berjalan di tempat gelap. Kini, fenomena salah lihat itu bisa diminimalisasi oleh penerangan lampu sehingga apa yang dahulu dianggap dedemit, ternyata cuma jemuran yang berkibar-kibar karena tiupan angin.
Meski demikian, yang niskala tidak begitu saja sirna dari benak warga Branta Pesisir dan orang-orang Madura pada umumnya. Mereka masih berobat kepada seorang syaman ketika dokter dianggap tidak sanggup mengatasi penyakitnya, berkonsultasi kepada paranormal untuk menyelesaikan masalah-masalahnya, mendatangi tukang tenung untuk mencederai rivalnya, dan sederet kuasa tak kasat lainnya yang dipercaya turut campur dalam kehidupan manusia. Maka, di desa seperti Branta Pesisir, seorang modin memiliki posisi amat vital. Sebagaimana cenayang, ia adalah penghubung dunia manusia dengan jagat gaib. Ia viator doa-doa: memberkati perahu-perahu nelayan, pemimpin ritus kelahiran, perjodohan, kematian, dan sebagainya.
Ajaran Islam tentang alam gaib dan eskatologinya nyaris menjadi satu-satunya sumber dan kawasan niskala bagi orang-orang Madura yang tidak memiliki filosofi metafisik yang khas sebagaimana etnis Jawa atau Bugis. Sebagai satu-satunya gagasan tentang yang niskala, Islam—dan ‘agama’ apa pun—sulit lenyap dalam benak manusia. Kalaupun harus pupus, yang terhapus hanya kulitnya tanpa menghilangkan esensinya. Inti ajaran agama tentang dunia alternatif adalah meme—dalam pengertian Richard Dawkins. Substansi agama akan terus bermutasi dan bereplikasi, sebab ia dibutuhkan sebagai pelipur atas keganaran eksistensial manusia menghadapi kekejaman takdir. Proyeksi alam baka yang ditawarkan agama adalah ekspektasi menghibur dan parodi gelap dari keadilan Ilahi yang tak pernah terjadi di dunia fana.
*Royyan Julian adalah penulis beberapa buku, bergiat di Universitas Madura dan Sivitas Kotheka, serta tinggal di Pamekasan.