Kembalilah ke Rel: Pembacaan Introspektif peran Dewan Kesenian untuk pemajuan Kebudayaan Indonesia
Oleh: Bambang Prihadi*
Tulisan ini berfokus pada rentang perjalanan 56 tahun Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai Dewan Kesenian tertua di Indonesia. Beberapa kondisi di bawah ini sangat berdampak pada ekosistem kesenian di kawasan PKJ TIM dalam dua dekade terakhir. Pertama, ketidakberpihakan para Gubernur Jakarta pasca Ali Sadikin terhadap pembangunan kebudayaan (Cq.kesenian) terutama pada keberlangsungan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM). Indikasinya dapat dilihat dari perubahan demi perubahan Pergub tentang AJ-DKJ-TIM di masa kepemimpinan mereka yang tidak membuat rantai kehidupan Kesenian di Jakarta menjadi lebih baik dari dekade pertama pendirian PKJ TIM. Kedua, kondisi politik Indonesia di masa orde baru sangat mempengaruhi arah artistik seniman dan menyusutnya organisasi kesenian. Ketiga, unsur birokrasi dan politisi perlahan masuk ke dalam struktur lembaga di kawasan PKJ TIM yang berdampak pada menurunnya otonomi dan kemandirian seniman. Keempat, terjadi pembungkaman suara kritis dan kebebasan ekspresi seni. Kelima, terbit Inmendagri nomor 5A tahun 1993 yang berisi instruksi pembentukan Dewan Kesenian di seluruh Indonesia. Sayangnya, tidak ada uraian atas aturan terkait peran, tugas, fungsi dan wewenang dewan kesenian dan usaha pemerintah daerah memperkuat instruksi Mendagri Rudini itu.
Dalam perjalanannya, DKJ menjadi referensi bagi kebanyakan Dewan Kesenian di seluruh Indonesia. Mulai dari. peran, tugas dan fungsinya di pusat kesenian Jakarta, kebijakan kesenian yang dilahirkannya, struktur organisasinya, bahkan berbagai program pembinaan dan pengembangan yang dilahirkannya. Namun yang sulit diadopsi adalah tata cara pemilihan anggotanya. Sebab di berbagai daerah tidak memiliki lembaga seperti Akademi Jakarta yang memiliki wewenang memilih dan menetapkan anggota DKJ, sebagaimana diatur dalam PERGUB. Lebih dari kondisi di atas, DKJ memang tidak bisa serta merta dapat diadopsi ke setiap daerah. Diperlukan lebih dahulu peta kebutuhan pelaku seni, masyarakat dan pemerintah setempat atas lembaga sejenis Dewan Kesenian. Diperlukan pemetaan sumber daya manusia dan strategi pembangunan kesenian di daerah tertentu Namun, apapun yang terjadi dalam dinamika keorganisasian DKJ dan proses pelemahan oleh berbagai pihak terhadap lembaga itu, masyarakat kesenian termasuk mayoritas pengurus dewan kesenian di Indonesia, tetap menjadikannya sebagai cermin kinerja mereka.
Mari kita awali dengan membaca kembali memori penjelasan dalam dokumen Keputusan Gubernur DKI Jakarta, tahun 1968, tentang maksud pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ);
Dewan ini bernama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dia merupakan dewan karena tugasnya yang hanya terbatas kepada “policy making”. Dalam menentukan “policy”nya ini, dia merupakan himpunan dari para seniman yang berbeda2 tentang seni. Karena itulah dia lebih tepat dinamakan Dewan, karena merupakan tempat pertemuan dari pelbagai titik pandangan yang akan membentuk suatu “policy” kesenian. Tidak dinamakan badan, karena badan mempunyai asosiasi kepada tugas eksekutif. Dinamakan kesenian dan bukan kebudayaan karena kebudayaan mempunyai arti yang luas. Misalnya kegiatan ilmu termasuk dalam pengertian kebudayaan sedangkan untuk ilmu sudah ada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang sama sekali bukan tujuan Dewan Kesenian Jakarta untuk membawahinya. Sedangkan Jakarta merupakan tempat Dewan Kesenian itu beroperasi, bukan berarti bahwa dewan ini hanya mengurusi kesenian Jakarta saja. Dengan demikian, Dewan Kesenian Jakarta mempunyai pengertian sebuah dewan yang menentukan “policy” kesenian yang akan dijalankan di Jakarta, dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan kesenian Indonesia.
Gubernur Ali Sadikin memberikan mandat dan tugas kepada DKJ untuk menentukan arah pembinaan dan pengembangan kesenian di Jakarta. Mendorong lahirnya karya seni kreatif yang berkelanjutan untuk mengimbangi pertumbuhan seni populer yang lebih mengutamakan aspek komersial. Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya seni terutama seni kreatif melalui media massa, lokakarya, penerbitan buku dan usaha lain. Membuat lembaga pendidikan seni untuk mendorong tumbuhnya calon seniman. DKJ berdiri pada 3 Juni 1968 yang didapuk Gubernur sebagai lembaga kesenian satu satunya dan tertinggi di Ibukota Jakarta. Tugas pertama, DKJ membuat standarisasi karya seni dan penjaringan seniman yang layak tampil di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM). Merumuskan tata kelola kawasan PKJ TIM yang sejalan dengan kebutuhan seniman atas ruang kreatif yang kondusif untuk menciptakan karya-karya inovatif.
Di tahun yang sama, PKJ TIM diresmikan tanggal 10 November oleh Gubernur Ali Sadikin. Kawasan seluas 7 hektar dibangun pemprov DKI sebagai ruang eksperimen atau laboratorium seni kontemporer dan etalase pencapaian estetika seni budaya Indonesia. Kepercayaan penuh pada daya tahan dan independensi para seniman membuahkan hasil yang sangat signifikan di masa kepemimpinan Ali Sadikin. Rantai kehidupan kesenian yang sinergis di kawasan PKJ TIM kala itu, berdampak luas bagi perkembangan seni budaya kontemporer di Indonesia. Berdampak kuat pada citra kota Jakarta sebagai kota berbudaya yang didiami hampir semua suku bangsa di Indonesia.
Sebagai lembaga strategis, DKJ menyusun kebijakan dan program pembinaan dan pengembangan dasar kesenian dari hulu sampai hilir, berupa kegiatan seni berjenjang, baik yang bersifat lomba maupun non-lomba. Membuat program lokakarya, sayembara, lomba seni, festival seni, residensi seni, diskusi, presentasi karya tumbuh dan kolaborasi seni. Dalam pengelolaan venue dan kawasan, DKJ memberi kuasa kepada para ahli manajemen yang memahami dunia kesenian. Untuk itu. Kepala PKJ TIM ditetapkan oleh DKJ untuk melaksanakan seluruh kebijakan dan program yang disusun DKJ dan menjalankan sistem pengelolaan pusat kesenian Jakarta.
Di tiga tahun pertama, DKJ melahirkan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ 1970) yang kemudian berubah menjadi Institut Kesenian Jakarta tahun 1980 an. Tahun 1970, DKJ melahirkan pula Akademi Jakarta, sebagai forum ahli kebudayaan yang bertugas memilih anggota DKJ dan memberikan pertimbangan serta nasihat (diminta atau tidak) kepada Gubernur DKI Jakarta mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pandangan dan pemikiran kebudayaan Indonesia dalam arti seluas-luasnya. Tahun 1973, DKJ mendorong lahirnya Yayasan Kesenian Jakarta yang bertugas mencari pendanaan swasta dan usaha lain di luar anggaran pemerintah. Artinya, semua lembaga tersebut menjadi stakeholder utama yang menghidupi kawasan Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki sebagai sumber “Mata Air” yang mengalirkan air kreatif ke berbagai penjuru negeri.
Dalam peresmian PKJ TIM, gubernur Ali Sadikin menyatakan;
“Tugas kami, Pemerintah Daerah adalah menyediakan infrastruktur, fasilitas berkreasi, bagi saudara-saudara seniman-budayawan di ibu kota. Selanjutnya kegiatan kreatif terserah kepada saudara-saudara. Kami, Pemerintah tidak akan turut campur……………………………….………..Dewan akan bekerja sama dengan semua perorangan dan Badan Kesenian yang ada, dalam dan luar negeri, dengan membuang segala prasangka yang sifatnya non-artistik……………………………………..…. TIM harus bersih dari intervensi politik. Saya tak mau lagi mendengar ada fitnah memfitnah, ganyang mengganyang dan polarisasi antara seniman tersebab urusan politik seperti pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Filsafat Politik sebagai panglima di bidang kebudayaan tidak boleh terjadi di Pusat Kesenian…………………… Investasi kultural tidak dapat diukur dengan uang. Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan di kompleks Pusat Kesenian Jakarta ini akan memberikan bunga dan buah karya-karya seni yang tak terhingga nilainya bagi seni kehidupan kultural kita di ibu kota di masa-masa mendatang.” (Ali Sadikin, 10 November 1968)
Dari dukungan luar biasa purnawirawan marinir itu, begitu banyak lahir karya inspiratif, seiring meluasnya jejaring seniman Jakarta baik di tingkat nasional maupun internasional yang memperkuat posisi DKJ sebagai penasehat dan mitra utama gubernur di bidang kesenian. Dampak dari itu, kehidupan kesenian berlangsung sehat dengan indikator lahirnya karya-karya seni avant garde, berkembangnya seni tradisi dan terciptanya dialog kesenian dan kebudayaan yang bernafas panjang. Didukung oleh pemberitaan dan kritik seni melalui media massa yang sangat dialektis, segar dan memberi gizi pada perkembangan kesenian di Jakarta. Kenyataan itu, membuat TIM menjadi mitos baru bagi para pelaku budaya dalam beberapa dekade selanjutnya. Menjadi barometer dan etalase karya seni modern di Indonesia.
Setelah purna masa kepemimpinan Ali Sadikin, relasi DKJ dengan pemerintah daerah tidak sehangat satu dekade pertama kelahirannya. Situasi politik mulai menampakan sikap otoritarian rezim Orde Baru dengan melakukan berbagai pembungkaman dan pembredelan. Sejak saat itu, Taman Ismail Marzuki mulai tidak lagi otonom dan independen, terutama setelah Rendra ditangkap aparat saat membaca puisi. Intel-intel berseliweran hampir di setiap kegiatan seni dan budaya di Jakarta. Lebih dari itu, terjadi sensor karya sastra, film, pembredelan surat kabar, pembakaran buku dan intimidasi kaum kritis dan aktivis. Para Gubernur Jakarta setelah Ali Sadikin melakukan intervensi calon anggota DKJ dan pergantian antar waktu anggota baru Akademi Jakarta. Bila perwakilan pemerintah dari kalangan militer disetujui masuk oleh rapat pleno anggota Akademi Jakarta, maka Gubernur akan segera membubuhkan tandatangan dalam surat keputusan anggota baru AJ dan DKJ. Situasi itu membuat relasi DKJ dengan pemerintah daerah dan partai politik mulai memburuk. Hubungan DKJ dengan berbagai stakeholder di kawasan PKJ TIM pun mulai dingin. DKJ tidak mampu melakukan advokasi seniman yang dituduh subversif oleh pemerintah. AJ pun mulai dilemahkan setelah mengirimkan surat berkali-kali kepada Gubernur untuk bertemu, namun tidak pernah menerima balasan, bahkan hingga kepengurusan AJ saat ini.
Hal itu tergambar dari arsip Pertemuan Seniman, Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki pada bulan Oktober 1985. Mayoritas peserta mengungkapkan kekecewaannya atas memburuknya hubungan politik dan seni, serta dinginnya pemerintah daerah pada upaya pengembangan kesenian di Jakarta, terutama di Kawasan Taman Ismail Marzuki. Namun pandangan Gus Dur sedikit berbeda. Lebih mengajak peserta pertemuan melakukan introspeksi. Pertama, gaya komunikasi seniman yang perlu disesuaikan ketika berhadapan dengan kalangan birokrasi yang terbiasa dengan rumusan bahasa dan aturan formal. Di kalangan pemerintah yang terbiasa membaca teks formal, tentunya akan sulit memahami cara berpikir seniman yang bebas. Kedua, terbangun kekhawatiran seniman yang berlebihan atas intervensi yang dilakukan pemerintah. Sebaliknya, menguat kekhawatiran dan ketakutan dari pemerintah daerah pada penyalahgunaan kawasan TIM untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Ketiga, terbangun komunikasi di kawasan TIM yang tidak berlangsung dengan baik antara DKJ dan PKJ TIM, AJ dan DKJ, IKJ dan DKJ, IKJ dan PKJ TIM, DKJ dan seniman, dan seterusnya. Situasi ini semakin mengeras dan membuahkan saling curiga antara satu sama lain yang berkepanjangan juga di kalangan seniman atau pelaku budaya itu sendiri.
Setelah rezim Orde Baru runtuh, keadaan tidak segera membaik. Di kawasan PKJ TIM, yang tersisa hanya tugas rutin dan wewenang dasar masing-masing lembaga yang jauh dari upaya upgrading. Saya mengenang pengalaman sebagai seorang aktivis teater mahasiswa yang begitu bergembira mendapatkan kesempatan untuk tampil di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki tahun 2000. Undangan bertanda tangan Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta, Ratna Riantiarno (masa itu). Saya langsung mengurus hal ihwal teknis pertunjukan langsung kepada Kepala PKJ TIM terkait urusan administrasi, biaya subsidi pementasan, materi publikasi, pembagian hasil tiket penonton dan aturan teknis penggunaan venue. Saat itu tidak ada keterlibatan anggota DKJ dalam urusan teknis penyelenggaraan dan pertunjukan setelah memberikan surat undangan dan rekomendasi. Ini menandai bahwa pembagian tugas masih berlangsung di TIM dan Badan Pengelola PKJ TIM masih cakap dan terampil melaksanakan kebijakan dan program yang disusun Dewan Kesenian Jakarta.
Kereta Anjlok
Lima tahun pasca reformasi, DKJ mulai menginisiasi banyak kegiatan seni bertaraf nasional hingga internasional, yang tak pernah dilakukan langsung oleh DKJ sebelumnya. Ratna Sarumpaet sebagai ketua harian mampu mengekspos kewibawaan DKJ di mata pemerintah daerah di masa Sutiyoso. Konon dengan dana cukup besar yang diberikan oleh Gubernur kala itu dapat langsung masuk ke rekening DKJ. Jumlahnya hampir sama, bahkan lebih besar dari hibah yang diterima Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (BP PKJ TIM) untuk mengelola pemeliharaan tempat, publikasi, dokumentasi kegiatan, arsip, gaji karyawan dan lain-lain. DKJ periode itu berperan langsung sebagai pembuat program sekaligus pelaksana kegiatan kesenian. Lambat laun, peran dan fungsi BP PKJ TIM mulai redup sebagai pelaksana program dan kebijakan DKJ di kawasan PKJ TIM. Sebaliknya, BP PKJ TIM dengan motif “emosional” membentuk Board artistic dalam tubuhnya dimana peran dan fungsinya tidak berbeda dengan DKJ.
Tradisi baru mulai bergulir di Pusat Kesenian Jakarta. DKJ mengambil alih peran BP PKJ TIM yang berjangka pendek. Dana hibah tahunan untuk program dikelola sendiri; mulai dari membuat perencanaan kegiatan, membuat struktur kepanitiaan, memimpin rapat-rapat persiapan, menghubungi pengisi acara, desain publikasi, hingga mengangkat manajer program. Dalam dua dekade terakhir, DKJ sibuk mengelola berbagai program seni, mencari tambahan sponsor, rekanan vendor panggung, atau pameran dan rekanan perusahaan untuk talangan modal. Setiap tahun kegiatan seni semakin beragam dan meriah. Mulai tingkat kota sampai tingkat nasional, bahkan internasional, bekerjasama dengan berbagai kementerian, sponsor swasta dan pusat-pusat kebudayaan asing. Tugas pokok DKJ bertambah dari sekedar pembuat kebijakan pembinaan dan pengembangan kesenian serta kurator venue, menjadi eksekutor kegiatan seni tahunan. Sehingga lahir keputusan untuk mengangkat karyawan tetap yang dapat mengelola program dan kegiatan jangka pendek setiap komite. Sialnya surat Keputusan ketua-ketua DKJ saat itu tidak memiliki kekuatan hukum dalam Pergub No. 64 Tahun 2006.
Dari niat kuat memberi sumbangsih pada kota Jakarta, anggota DKJ berjibaku dalam pusaran pelaksanaan program tahunan dengan kondisi ketidakpastian jumlah dana dan waktu pencairan hibah dari pemerintah daerah. Masalah yang berulang tiap tahun tersebut membuat anggota DKJ disibukan mencari dana talangan sana sini, mencari sponsor swasta demi terlaksananya kegiatan bermutu. DKJ yang dibayangkan Ali Sadikin sebagai lembaga kesenian yang sejatinya suntuk dalam ruang strategis sebagai pemangku kebijakan, advokasi kepentingan seniman dan kurasi program kesenian Jakarta, akhirnya terpenjara oleh kesibukan mengelola kegiatan seni di kawasan TIM. Ambisi menjaga kualitas setiap program yang dilahirkannya ternyata sangat bergantung pada semangat dan jejaring sosial yang dimiliki oleh para anggota DKJ dalam satu periode tertentu. Ini jauh dari impian berkelanjutan, karena terbatasnya periode keanggotan. Alih-alih mendapat apresiasi dari berbagai pihak atas mutu pencapaian sebuah program. Sebaliknya, DKJ malah dicap sebagai Event Organizer yang Money Oriented, bahkan menerima stigma buruk atas pengelolaan kegiatan seni yang dinilai kurang transparan oleh berbagai pihak.
DKJ lupa untuk mengedukasi UPT PKJ TIM yang masih memiliki TUPOKSI tidak jauh berbeda dengan BP PKJ TIM (sebelum adanya Board Artistic). Artinya, UPT PKJ TIM bukan hanya bertugas memelihara dan membersihkan venue. Tetapi juga turut mengelola venue dan program kesenian yang dirumuskan DKJ. Juga pengelolaan penonton, publikasi dan ticketing program kesenian. Namun bentuk kerjasama antara DKJ dan UPT PKJ TIM tidak pernah terumuskan. DKJ semakin suntuk menjaga keberlangsungan program kegiatan seni dan melahirkan program-program baru. Dalam perkembangannya, UPT berganti menjadi UP PKJ TIM yang nampaknya sama tapi berbeda. Ialah TUPOKSInya yang secara tegas menyempit yakni sekedar urusan pemeliharaan dan penyewaan gedung saja. Dampaknya penyelenggaraan kegiatan seni di TIM semakin dibebankan pada DKJ dengan segala resikonya dari dana hibah dan sponsor. DkJ menjadi produser kegiatan seni yang notabene melibatkan individu dari komunitas kesenian. Sesekali melibatkan EO yang berbadan hukum dan mempunyai dana talangan. Poinnya, bukan DKJ yang berkehendak menjadi pelaksana kegiatan seni. Tetapi ekosistem kesenian di kawasan TIM yang tidak seideal 1968-1978, telah mendorong DKJ mengambil inisiatif untuk melaksanakan langsung kegiatan seni. Pilihan ini yang kemudian mengaburkan peran utama DKJ sebagai pembuat kebijakan dasar pembinaan dan pengembangan kesenian yang berjangka panjang dan berdampak lebih luas bagi masyarakat.
Konsentrasi berjangka pendek tersebut membuat stamina DKJ susut dalam memperjuangkan kepentingan kesenian di level kebijakan politik dan birokrasi. Kenyataan itu membuat upaya adaptasi dengan perubahan yang terjadi sulit dilakukan DKJ. Pergub Nomor 64 tahun 2006 yang menjadi dasar hukum keberadaan DKJ tidak digunakan anggotanya sebagai landasan kerja. Di pihak lain, banyak aturan tata kelola pemerintahan yang menguatkan posisi kelembagaan pemerintah yang luput dari perhatian DKJ. Semakin banyak organisasi/komunitas seni budaya yang tumbuh berkembang dan memiliki akses langsung ke pemerintah dan akses sponsor swasta serta jejaring internasional. Semakin bertumbuh juga kantong-kantong kesenian selain di lima wilayah kota administratif, seperti di kepulauan seribu dan pinggiran Jakarta dengan berbagai kecenderungannya.
DKJ menjauh dari ruang-ruang politik dan birokrasi yang menentukan arah pembangunan daerah dalam jangka menengah dan jangka panjang. Pada saat yang bersamaan, kegiatan seni budaya di luar kawasan TIM tetap berjalan tanpa ada rencana yang matang dan pembacaan dari DKJ. Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata membuat perencanaan dan pelaksanaan program kesenian, yang notabene tidak terhubung dan bersinergi dengan program pembinaan dan pengembangan kesenian yang dirancang DKJ. Program Kesenian Terpilih dan Seni Ruang Publik misalnya, tidak memberikan ruang bagi DKJ untuk menjadi kurator untuk seniman yang berhak tampil di sebuah festival/forum nasional-internasional sesuai dengan tugas dan wewenangnya yang tercantum dalam Pergub. Kegiatan seni berskala nasional-Internasional yang lahir dari rahim DKJ dan telah berusia puluhan tahun tidak dibaca oleh Balai Kota sebagai aset budaya kota Jakarta. Padahal itu merupakan sumbangan masyarakat kesenian kepada negara. Jadi tidak aneh apabila tahun 2023, Jakarta menduduki rangking 20 dalam indeks pemajuan kebudayaan di tingkat nasional.
Ruang-ruang strategis yang tidak dimasuki DKJ sebagai instrumen politik kebudayaan, berakibat pada menyempitnya peran dan fungsi DKJ di mata pemerintah dan masyarakat. Puluhan tahun, DKJ tidak pernah dilibatkan dalam rencana pembangunan daerah sebagai rujukan kerja pemerintah untuk satu, tiga, lima atau dua puluh tahun ke depan. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022, sama sekali tidak ada buah pikiran DKJ sebagai pembuat kebijakan kesenian di Jakarta. Bahkan, tidak ada saran dan masukan AJ-DKJ dalam Rencana Pembangunan Daerah Jangka Panjang (RPJPD) tahun 2005-2025. Kondisi ini menunjukan betapa keberadaan DKJ, AJ, IKJ dan PKJ TIM sama sekali tidak dilihat dalam kerangka kebutuhan wajib dasar masyarakat dan visi pembangunan manusia di mata Balaikota. Melainkan hanya dilihat sebagai organisasi masyarakat yang sekedar membutuhkan legalitas keberadaannya dari pemerintah daerah. Organisasi masyarakat yang hanya menghabiskan dana negara di tanah seluas 7 hektar untuk penyelenggaraan kegiatan kesenian dan hiburan yang hanya dinikmati kalangan terbatas.
Puncak keruntuhan ekosistem kesenian di PKJ TIM secara formal ditandai dengan pembubaran BP PKJ TIM oleh Gubernur Ahok. Sosok pemimpin Jakarta yang ahistoris dengan dunia kesenian dan kehidupan seni di PKJ TIM. Ahok menggantikan para profesional BP PKJ TIM dengan perangkat ASN yang tidak memahami bagaimana mengelola venue dan program kesenian bertaraf nasional-internasional. Bahkan menggantikan seluruh pengelola venue kesenian yang dibangun di atas tanah Pemda dengan perangkat ASN. Resikonya, pengelolaan venue sebatas menjaga kebersihan dan pemeliharaan alat. Itupun tergantung dari skema anggaran pemerintah. Hingga sekedar mengganti bohlam mati dan plafon bocor mesti menunggu anggaran turun tahun depan. Terlalu banyak aturan, termasuk tidak diperbolehkan mengelola sistem tiket untuk setiap venue. Kenyataan ini semakin menjauh dari cita-cita awal pendirian PKJ TIM. Masyarakat drastis tidak teruji daya apresiasinya terhadap karya seni melalui pembelian tiket. Tak aneh sejak 2014 hingga hari ini, pengelolaan ekosistem kesenian di PKJ TIM semakin redup dan tak terarah. Makin jauh dari pencapaian yang pernah dilakukan pengelola PKJ TIM sebelumnya. HIngga saat ini, pengelola PKJ TIM tidak memiliki data base penonton, data base pengisi acara tetap, tidak ada sistem penjualan tiket, tidak ada operator ahli di setiap venue, tidak ada sistem registrasi satu pintu, tidak ada kalender bulanan dan SOP setiap venue, serta papan informasi utama di depan PKJ TIM.
Puncak keruwetan di TIM adalah saat terbit Pergub baru Nomor 4 tahun 2020 tentang AJ-DKJ yang hanya dirumuskan segelintir orang. Di dalamnya ada pasal pengintegrasian kesekretariatan AJ-DKJ di bawah struktur UP PKJ TIM (DISBUD). Sementara sejak tahun 2014 tidak pernah terjadi dialog bagaimana mendudukan posisi DKJ dan UP PKJ TIM pasca pembubaran BP PKJ TIM dalam konteks ekosistem kawasan TIM. Kenyataan ini membuat proses adaptasi dan sinergi tidak berlangsung antara kedua lembaga. Bahkan semua lembaga yang tercantum dalam pergub baru itu masih meraba relasi kerja satu sama lainnya. UP PKJ TIM masih berada dalam kebingungan bagaimana mengoptimalkan perannya sebagai pengelola pusat kesenian bertaraf internasional. Akibat perubahan Pergub yang gegabah, membuat 25 orang karyawan DKJ mengerang menghadapi ketidakpastian status. Sebagian berpindah menjadi karyawan honorer baru di bawah DISBUD dan melupakan hak-hak mereka yang pernah menjadi karyawan tetap DKJ. Sebagian memilih mundur dan melakukan tuntutan hukum kepada pemerintah daerah sampai saat ini. Situasi transisional yang tidak diantisipasi sejak dini oleh Gubernur Anies dan Balai Kota, berdampak pada memburuknya komunikasi antara stakeholder utama TIM. Salah satu peristiwa yang tidak mengenakan, ketika terbit Surat Mosi Tidak Percaya dari DKJ untuk Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Sejak saat itu, dimulailah babakan baru hubungan panas-dingin DKJ dan DISBUD, sebagai bentuk anti klimaks dari masa transisi yang tidak berjalan mulus.
Pergub memang bukan segalanya. Namun ketika keputusan dan ketetapan DKJ selama dua dekade tidak merujuk pada pergub 64 2006, apalagi bertentangan dalam praktiknya. Walhasil, DKJ periode 2020-2023 harus menanggung beban dan tumpukan kealpaan DKJ masa lalu. Suka tidak suka, periode ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbagai hal bersifat administratif dan non artistik. Pola kerja Tim Kecil Pergub No.4 2020 yang tidak pernah mengajak anggota AJ, DKJ, IKJ dan UP PKJ TIM dalam proses perumusannya berdampak keruh. Seperti ingin mengafirmasi dan mewariskan komunikasi buruk antara pelaku seni budaya Jakarta selama ini. Maksud baiknya hendak memperkuat kelembagaan AJ dan DKJ, tapi dalam banyak hal, justru memperlemah keberadaan AJ dan DKJ bahkan PKJ TIM. Berbagai pihak merasa dirugikan karena tidak mengetahui isi pergub, jauh sebelum proses implementasinya. Bahkan lingkaran UP PKJ TIM dan Dinas Kebudayaan sendiri tidak dapat mengantisipasi untuk sekedar membayangkan resiko administratif dari pergub baru itu.
Pukulan hook terakhir
Masuknya BUMD PT.Jakarta Propertindo (JAKPRO) sebagai pelaksana revitalisasi TIM 2019 adalah pukulan hook terakhir bagi keberlangsungan ideal ekosistem TIM. Gubernur Anies memberi karpet merah kepada JAKPRO, sekaligus mengamininya sebagai pengelola kawasan kesenian itu selama 28 tahun dalam nir pengalamannya melalui Pergub No.63 tahun 2019. Maka dalam lima tahun terakhir, DKJ, suka tak suka, harus berhadapan dengan entitas baru lagi, setelah UPT masuk kawasan TIM menggantikan BP PKJ TIM. Dari awal proses pembangunan TIM, DKJ, AJ dan IKJ tidak pernah secara intensif diajak untuk membicarakan sistem pengelolaan PK TIM pasca revitalisasi. Boro-boro dapat membayangkan arah pengembangan PKJ TIM, bahkan memonitor proses pembangunan venue baru untuk pertunjukan, diskusi dan pameran, ketiga lembaga itu absen. Akibatnya, pasca revitalisasi, kawasan PKJ TIM mengalami situasi mangkrak, karena sistem tata kelola belum disiapkan dan belum diintegrasikan oleh dua pengelola venue yang memiliki dua karakter yang berbeda. Bahkan untuk sekedar membuat kalender bulanan, pengelolaan setiap venue, sistem tiketing dan sistem promosi kegiatan kebudayaan di TIM, tampaknya dua instansi itu masih membutuhkan waktu lebih lama.
Di pihak lain, pandemi Covid-19 selama lebih dari 2 tahun memiliki imbas yang sangat besar terhadap kinerja seluruh anggota DKJ 2020-2023. Kebiasaan bertemu langsung tergantikan dengan pertemuan jarak jauh yang hemat melalui aplikasi Zoom. Namun suka tidak suka, banyak hal yang terdistorsi. Terutama sempitnya ruang debat dan dialog untuk membahas hal-hal krusial. Ditambah, sering terjadinya gangguan teknis sinyal. Hal-hal ini berdampak serius, misalnya; kurang yakin saat penggunaan hak suara untuk sebuah kesepakatan tertentu. Kondisi ini menyulitkan anggota DKJ untuk bertemu bahkan di setahun terakhir masa normal. Banyak anggota yang kurang aktif, baik dalam rapat Komite maupun dalam rapat pleno. Hampir tak ada percakapan berarti dari lintas komite untuk membaca perkembangan mutakhir kesenian hari ini. Waktu pun sangat terbatas untuk menjangkau ruang-ruang strategis, seperti; rapat dengar pendapat dengan DPRD dan pertemuan dengan Bappeda, membangun kerja sama dengan lembaga internasional dan pusat kebudayaan asing, serta berbagai lembaga non-pemerintah yang memiliki potensi untuk mendukung penguatan ekosistem kesenian dalam jangka panjang.
Kenyataan pada paragraf kedua itu, menambah ketidakoptimalan DKJ untuk memperjuangkan kepentingan seniman dan proses pemajuan kesenian di Jakarta dalam ruang-ruang strategis. Seperti efek domino dari ketidakhadiran AJ dan DKJ selama puluhan tahun dalam ruang politik kebijakan yang mempengaruhi minor mindset elit Balai Kota terhadap eksistensi DKJ. Meskipun kemudian, DKJ periode 2020-2023 berhasil merumuskan Panduan Sistem Kurasi Kegiatan Seni di PKJ TIM, dan Kepgub 1007 tahun 2022 sebagai kayu penolong bagi keberlangsungan Taman Ismail Marzuki di masa mendatang. Kedua kebijakan itu menjadi modal utama DKJ periode 2023-2026 untuk duduk bersama stakeholder baru TIM yang memiliki Pergub masing-masing. Kenyataan ini tentu tidak mudah untuk segera bisa membayangkan TIM kembali normal dan progresif. Pada tingkat implementasinya, DKJ periode ini memilih pendekatan persuasi dan edukasi terhadap kedua lembaga yang ahistoris atas sejarah TIM dan visi pembangunan kesenian Jakarta. Sejak akhir 2023, DKJ menyusun sistem satu pintu untuk penggunaan venue PKJ TIM berdasarkan panduan kurasi. Mendorong BLUD TIM sebagai penarik gerbong untuk tata kelola kawasan TIM yang visioner. Jadi disinilah tantangannya, sejauh mana sumber daya manusia yang ada didalamnya memiliki kinerja profesional dan keahlian di setiap bidang pengelolaan venue kesenian.
Ikhtiar mengembalikan lokomotif pada relnya
Merespon ajakan banyak pihak untuk mengembalikan Marwah DKJ dan PKJ TIM kepada tugas, peran, fungsi dan wewenang idealnya. Pertama-tama, Dewan Kesenian Jakarta harus memfokuskan diri pada tugas utama sebagai policy maker seturut pendiriannya yang dikukuhkan oleh Ali Sadikin tahun 1968. Meski status sebagai lembaga kesenian tertinggi dan satu-satunya tidak digunakan lagi. Tetapi peran DKJ sebagai pembuat kebijakan dasar kesenian di Jakarta tak pernah lepas dan surut sejak dulu. Karenanya perlu diperkuat. Salah satunya, dengan memasukan kembali satu pasal “Tugas DKJ” yang ada di PerGub No. 64 Tahun 2006 pasal 18g, yaitu; “Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesenian di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan melaporkan kepada Gubernur dan AJ”. Fungsi monitoring atau evaluasi bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh berbagai stakeholder kesenian saling terhubung dan terbaca outcome nya. Lebih dari itu DKJ memiliki pijakan untuk melakukan evaluasi pencapaian kesenian di Jakarta dan membantu pemerintah daerah mengoptimalkan tugas dan wewenangnya.
Status UP PKJ TIM telah berubah menjadi BLUD TIM tahun 2023. Namun TUPOKSI nya masih terbatas pada pemeliharaan venue dan pengelolaan pendapatan sewa venue. Karenanya, perlu diperkuat oleh peraturan Gubernur yang membuatnya dapat mengelola program,mengelola penonton, mengelola tiket, bekerjasama dengan berbagai pihak swasta dalam dan luar negeri, mengelola dana sponsor, serta menjadi produser kegiatan seni. Dibutuhkan keterbukaan BLUD TIM dan JAKPRO untuk belajar secara serius sebagai penyelenggara program dan kegiatan kesenian di PKJ TIM. Tak segan menghadirkan pengelola gedung pertunjukan dan pameran yang telah establish. Bekerja sama dengan Asosiasi Pekerja Panggung Indonesia untuk mensertifikasi tenaga teknis gedung. Melakukan studi banding dan mengadakan kerjasama dengan venue-venue berkelas internasional. Mengajak ahli manajemen dan venue seni untuk bekerja dalam tubuh BLUD TIM dan JAKPRO. Mengundang para pengisi acara yang memiliki manajemen kelompok yang baik untuk membuat perencanaan acara di TIM sejak satu-dua tahun sebelumnya. Bahkan mendorong BLUD TIM untuk bekerjasama dengan penyelenggara event untuk membantu pelaksanaan teknisnya.
Dalam konteks pengembangan PKJ TIM sebagai center of excellence, DKJ mengoptimalkan program non pagelaran yang berorientasi pada misi laboratorium dan pelaksanaan sistem kurasi satu pintu yang berorientasi pada misi TIM sebagai barometer kesenian nasional-internasiona. DKJ menyusun berbagai bentuk lokakarya, diskusi, sayembara, riset, penerbitan buku, work in progress, seleksi karya, residensi, dan pertukaran budaya yang berkelanjutan. Bekerjasama dengan berbagai pihak strategis; salah satunya adalah pusat-pusat kebudayaan asing, festival seni dan universitas serta berbagai lembaga yang memiliki irisan dengan misi pembangunan kesenian dan kebudayaan. Adapun terkait dengan misi barometer, DKJ menegakan sistem kurasi satu pintu untuk semua kegiatan yang dilaksanakan di kawasan PKJ TIM, bahkan yang dilaksanakan oleh DISPUSIP. Melalui website, publik dapat mengakses informasi tentang kegiatan seni dan budaya di kawasan TIM dan hal ihwal tentang berbagai venue kegiatan yang tersedia. Secara online, publik dapat mengajukan penggunaan venue yang dapat di track oleh DKJ, BLUD TIM dan JAKPRO. DKJ akan bekerja rutin melakukan kurasi dan seleksi setiap awal bulan untuk kegiatan seni-budaya yang akan diselenggarakan dua bulan ke depan.
Berkaitan dengan proses kurasi program dan karya, perlu juga keterbukaan dari DISBUD cq.UP PKJ TIM dan JAKPRO. Ini soal utama juga yang perlu kita perbaiki bersama. Kasus yang terjadi, banyak calon pengisi acara yang awalnya tidak lolos di proses kurasi, ternyata tetap dapat melakukan pentas atau berkegiatan di TIM. Ada banyak juga calon pengisi acara, karena sistem booking terbuka di website, maka mereka merasa telah lolos kurasi. Apalagi bila memiliki akses langsung ke Pemprov atau elit tertentu. Semua pihak perlu duduk bersama untuk memecahkannya secara terbuka. Bila Pemprov memiliki kepentingan atas target retribusi saya kira hal wajar. Selagi transparan hingga ada kuota yang jelas – berapa hari atau berapa pengisi acara atau program satu tahun yang benar-benar di bawah kurasi dan supervisi DKJ, selain program citra Kawasan. dengan tetap mempertimbangkan pendapatan UP PKJ TIM dan JAKPRO dan demi keseimbangan seni pop dan non-pop.
Pembenahan perlu segera dilakukan agar DKJ akan punya banyak waktu dan tenaga untuk membaca perkembangan kesenian di luar TIM, juga punya banyak kesempatan untuk menjaring kerja sama dengan berbagai pihak berjangka panjang. lebih dari itu, dapat bertemu dengan pihak-pihak strategis demi pemajuan kesenian di masa mendatang. Bahkan DKJ (bila dibutuhkan), akan memiliki waktu mendampingi penciptaan karya atau program yang lolos kurasi, atau mendampingi para eksekutor kegiatan kesenian yang terkoneksi dengan outcome dan impact-nya sesuai rumusan rencana pemajuan kesenian jangka menengah. Bahkan dapat memberi masukan atau berdiskusi terkait komponen keuangan yang tepat dengan staf birokrasi yang menginput RAB sebuah kegiatan. Hal ini adalah salah satu cara antisipatif untuk menyelaraskan kebutuhan di lapangan yang kerap kali terjadi ketidaksinkronan pelaksanaan kegiatan seni dengan DPA. Hal terakhir ini sebagai bonus tanggung jawab moral DKJ, menimbang belum kembalinya kerja pengelolaan kegiatan seni sebagaimana yang pernah dilakukan Gedung Kesenian Jakarta dan PKJ TIM tempo dulu.
Sebagaimana yang diamanatkan Bang Ali, paling tidak DKJ tetap diposisikan sebagai lembaga kesenian utama oleh pemerintah daerah, yang dalam konteks hari ini, bertugas menerjemahkan visi jangka panjang 25 tahunan, yang terumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. Seyogyanya rencana pembangunan itu disaripatikan dari pandangan AJ. Tentu dengan mekanisme tertentu hingga DKJ dapat melahirkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang masuk ke dalam dokumen RPJMD 2023-2027. Sebagaimana fasilitasi perumusan Renstra (Rencana Strategis) yang telah dimulai sejak tahun 2022 lalu oleh DKJ.
Tegasnya, DKJ bukan lembaga yang berurusan dengan hal-hal teknis penyelenggaraan event seni. Tradisi 20 tahun terakhir perlu ditinjau ulang, selain hanya akan berhadapan dengan masalah yang sama di lapangan, energi anggota DKJ terkuras untuk penyelesaian kegiatan tahunan. Program-program berskala besar yang telah dilahirkan DKJ dapat terus dikembangkan oleh Disbud, Disparbud, Sudin, organisasi/komunitas seni, dan siapapun yang dapat mengerjakan secara profesional. Sebagaimana yang dialami FTJ hingga usianya yang ke-50. Peran DKJ tak hilang sebagai inisiator dan pembuat pedoman pelaksanaan dalam kegiatan itu. Pada saat yang bersamaan, sinergi dengan Disbud dan komunitas teater setiap tahun untuk menyukseskan kegiatan itu tetap terjaga. Langkah selanjutnya, DKJ akan mengurus HAKI atau IP seluruh program yang pernah dilahirkan dari rahimnya untuk menjaga standar program atau kegiatan.
Sebagai lembaga kesenian yang fokus pada perumusan kebijakan kesenian dan perencanaan program jangka menengah, DKJ akan dapat melakukan penguatan ekosistem seni dari berbagai arah. Mulai dari advokasi kebijakan kesenian, perluasan jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga kesenian nasional-internasional, merekomendasi individu atau kelompok seni ke berbagai forum seni nasional-internasional, penguatan kerjasama dengan Disbud, Bappeda, DPRD, dan semua perangkat pemerintahan daerah, penguatan hubungan kultural dengan komunitas seni dan para seniman, serta merumuskan program program kreatif yang melibatkan partisipasi masyarakat luas. Dengan demikian, di masa mendatang keanggotaan DKJ sebaiknya lebih sedikit. Lebih ketat sistem pemilihannya. Tak mesti seorang berlatar seniman, namun seseorang yang siap bekerja untuk apa yang terbayang di atas. Fokus pada penguatan ekosistem kesenian di wilayah Jakarta (tidak hanya TIM) bersama siapapun yang memiliki spirit yang sama; memajukan kesenian. Pengisi program TIM yang ketat, serta memperkuat posisi strategis DKJ sebagai pembuat kebijakan kesenian Jakarta, dan sebaliknya, tidak menyibukkan DKJ sebagai pelaksana program atau kegiatan festival seni.
Penguatan landasan Hukum
Gambaran DKJ di atas hampir sama dialami oleh Dewan Kesenian seluruh Indonesia. Dalam konteks peran, fungsi, tugas dan wewenangnya yang jauh dari harapan masyarakat kesenian atau pelaku budaya. DK-DK di setiap daerah mayoritas lemah posisinya baik secara politis, ekonomis, sosial bahkan kultural. Landasan hukum atas keberadaanya tergantung pada preferensi setiap pemimpin daerahnya. Belum lagi cara melihat kalangan birokrasi kepada Dewan Kesenian yang masih mendudukkannya sebagai alat politik kekuasaan dan pelaksana kegiatan kesenian. Ditambah pandangan masyarakat umum yang masih melihat aktivitas kesenian sebagai hiburan semata dan suatu profesi yang tidak dapat menghidupi secara ekonomis. Kebudayaan masih dilihat sebagai barang lama yang tidak menguntungkan untuk digali dan dimanfaatkan.
Gayung bersambut. Setelah lahirnya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan NO.5 tahun 2017, pelaku budaya mulai menyadari keterlibatannya lebih aktif untuk mendorong penguatan ekosistem kebudayaan. Khususnya dalam hal kesenian sebagai salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan, sejumlah pengurus Dewan Kesenian menginisiasi sebuah Musyawarah Nasional untuk menjawab problematika di atas dan tantangan hari ini. Singkatnya, pada pertengahan Desember 2023 diselenggarakan Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan (DK) seluruh Indonesia yang didukung Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Ristek. Perhelatan itu dihadiri oleh 265 DK seluruh Indonesia yang membuahkan kesepakatan mendasar organisasi DK terkait Definisi, Peran, Fungsi, Tugas dan Wewenangnya yang sama. Kesepakatan standar organisasi tersebut cukup bersejarah karena baru pertama kali dilakukan sejak berdirinya DK di banyak daerah. Hasil itu menjadi pintu masuk pula untuk proses pembenahan DK baik secara internal maupun relasi strukturalnya secara eksternal dengan berbagai lembaga/instansi baik pemerintah maupun swasta.
Peran/Definisi DK sesuai kesepakatan MUNAS DK, merupakan Lembaga non-struktural yang merepresentasikan pemangku kepentingan kesenian dalam wilayah Provinsi/ Kabupaten/ Kota sebagai mitra Pemerintah Daerah dalam pemajuan kebudayaan. Dari peran itu DK menjalankan fungsinya melakukan Advokasi kebijakan, Mediasi berbagai stakeholder kesenian, Konsultasi artistik dan non artistik, mendorong penguatan ekosistem, melakukan Monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah daerah, serta merekomendasi, mensupervisi dan mengkurasi karya seni yang layak tampil di venue atau forum tertentu.
Adapun ruang lingkup tugas DK antara lain;
- Mendata dan memperbarui data base seluruh pemangku kepentingan kesenian
- Melakukan pendampingan para pemangku kepentingan dalam peningkatan tata kelola kesenian
- Membangun jejaring antar pemangku kepentingan kesenian
- Menyusun panduan kuratorial program/kegiatan di kawasan PKJ TIM atau Taman Budaya dan kuratorial program yang diusulkan oleh DK
- Melakukan analisis ekosistem kesenian secara berkala
- Membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan dan pemutakhiran dokumen PPKD
- Terlibat aktif dalam proses penyusunan RKPD, RPJMD, RPJPD bidang kesenian dan kebudayaan
- Menyusun rekomendasi kebijakan publik yang berhubungan dengan penguatan ekosistem kesenian
- Melakukan pengawasan atas implementasi rencana program dan kegiatan kesenian
- Melakukan evaluasi atas output (keluaran), outcome (hasil), impact (dampak), dan atas proses berlangsungnya program dan kegiatan kesenian.
- Menyusun Program tiga tahunan untuk Pengembangan Kesenian
- Mensupervisi pelaksanaan program Pergelaran dan non pagelaran yang dilaksanakan oleh UP PKJ TIM atau Taman Budaya
- Menjaga keseimbangan dalam perkembangan seni kreatif dan populer;
- Memperjuangkan dan menjaga kebebasan seniman dalam mencipta;
- Memantau perkembangan kehidupan kesenian
Wewenang DK;
- Menjadi anggota tim penyusun dan pemutakhiran PPKD
- Menjadi anggota tim pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PPKD
- Turut serta dalam penyusunan regulasi terkait pemajuan kesenian/kebudayaan
- Memberikan rekomendasi resmi tentang rancangan kebijakan publik yang berhubungan dengan penguatan ekosistem kesenian kepada pemda
- Memberikan persetujuan rancangan program kesenian yang disusun perangkat daerah melalui legislatif dan eksekutif.
- Memberikan rekomendasi resmi tentang hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan bidang kesenian.
- Menjadi tim penetapan standar remunerasi pelaku seni dan karya seni
- Melakukan kurasi seluruh kegiatan seni di kawasan PKJ TIM atau Taman Budaya
- Menjadi supervisor artistik (konten) atas program/kegiatan seni yang dilaksanakan UP PKJ TIM atau Taman Budaya
- Memberi rekomendasi pihak ketiga sebagai pelaksana program/kegiatan yang dirumuskan/diusulkan DKJ kepada UP PKJ TIM, DISBUD atau pihak lain (selaku kuasa anggaran atau sponsor).
- Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam Musrenbang terkait rancangan kebijakan dan program kesenian
- Memberi saran, pertimbangan dan pandangan-pandangan kepada UP PKJ TIM atau Taman Budaya dalam penyusunan Program Kesenian;
- Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan non pergelaran yang bersifat meningkatkan wawasan, pengetahuan, kreativitas dan keterampilan para seniman
- Mewakili seniman dalam memperjuangkan kepentingan kesenian
- Menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga kesenian baik di dalam maupun luar negeri
Hasil kesepakatan di atas tentunya tidak serta merta dapat terealisasi dalam waktu dekat. Menimbang kenyataan DK di berbagai daerah yang selama puluhan tahun berada dalam kondisi tidak tentu arah. Belum lagi komunikasi buruk seniman atau anggota DK dengan pemerintah setempat, menguatkan respon lambat pemerintah daerah pada urgensi pemajuan kesenian. Karenanya, dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk pembenahan dengan menggunakan beragam strategi dari berbagai arah mata angin. Bagaimana landasan hukum keberadaan DK menguat? Selain mendorong lahirnya perda pemajuan kebudayaan yang memasukan DK dalam salah satu pasalnya. Juga perlu didukung oleh PP tentang kesenian sebagai bentuk instruktif pada seluruh kepala daerah untuk menjalankan tanggung jawabnya memfasilitasi keberadaan DK sebagai mitra utama pemerintah daerah dalam pemajuan bidang kesenian. Dalam konteks ini dibutuhkan tim kecil untuk mendorong lahirnya simpul DK atau Badan Koordinasi yang berperan sebagai jembatan yang mempertemukan kepentingan antar DK dan pemerintah pusat. Penguatan fungsi dan wewenang perlu didukung pemerintah daerah dengan melibatkannya secara penuh dalam pembuatan RKPD, RPJMD dan RPJPD. Dengan demikian DK akan lebih fokus pada ranah strategi dan kebijakan pemajuan kesenian. Fokus pada kerja advokasi kebijakan, monitoring, supervisi, konsultasi, aspirasi, kurasi, rekomendasi dan penguatan jejaring nasional-internasional. Merumuskan peta jalan kesenian daerahnya dari empat pilar; pembinaan kesenian, pelestarian dan perlindungan kesenian, pengembangan kesenian dan pemanfaatan kesenian.
Perubahan struktural dalam tubuh organisasi pemerintah bidang kebudayaan perlu direspon oleh DK dalam posisi lebih mantap sebagai perumus kebijakan kesenian. Dibutuhkan kesadaran bahwa kerja-kerja setengah birokrasi hanya dilakukan oleh pelaku seni budaya yang sudah matang atau dalam posisi yang siap melayani orang banyak. Bukan seniman atau pelaku budaya yang masih sibuk dengan kepentingan kelompoknya dan problem eksistensialnya. Bukan kegiatan seni atau festival kesenian yang dilaksanakan DK yang jadi ukuran pencapaian kerjanya. Dalam arti konkrit dibutuhkan orang yang duduk sebagai dewan kesenian atau dewan kebudayaan yang memahami politik dan strategi kebudayaan. Memiliki kerelaan untuk melayani masyarakat kesenian di wilayah regulasi dan kebijakan. Dengan itu, konflik kepentingan dalam bertugas dapat diantisipasi sejak awal sebelum seseorang terpilih sebagai anggota Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan yang terhormat.
Dengan tugas, fungsi dan wewenang DK sebagai pembuat kebijakan, maka ukuran prestasinya, bukan seberapa banyak kegiatan seni atau festival kesenian yang dilaksanakan DK. Melainkan seberapa banyak kebijakan dan rekomendasi yang sudah dibuat/ dirumuskan/ diusulkan untuk pemerintah. Seberapa luas jejaring nasional- Internasional yang telah dibungun DK. Seberapa banyak kesepakatan kerjasama berjangka panjang yang telah dibuat DK dengan berbagai lembaga filantropi, kampus, NGO, sponsor swasta dan lembaga kebudayaan lain. Seberapa banyak kerjasama yang sudah dibuat berjangka panjang dengan pusat-pusat kebudayaan asing. Seberapa luas publik seni memahami keberadaan DK. Seberapa banyak lahir komunitas seni dan asosiasi profesi yang dapat bekerjasama dengan pengelola venue kesenian untuk menyelenggarakan kegiatan kesenian. Sejauhmana DK dapat melakukan advokasi kebijakan pemerintah terkait penguatan ekosistem kesenian. Bagaimana DK dapat memastikan implementasi kebijakan sistem kurasi dan sistem pengelolaan di ruang publik dan pusat kesenian.
Anggota DK khususnya Dewan Kesenian Jakarta periode ini memiliki keragaman latar belakang keilmuan dan pengalaman yang berbeda-beda. Hampir tiga puluh persen anggota bukan praktisi seni, melainkan akademisi, pengamat kesenian, pembaca kebijakan publik, dan manajer kesenian. Hal ini membuka pintu optimistik untuk penguatan kelembagaan DK di masa datang. Optimis apabila peran dan fungsi DK makin mantap sebagai mitra utama pemerintah untuk merumuskan kebijakan pembinaan dan pengembangan kesenian dan penguatan program citra kawasan TIM-yang notabene lahir dari rahim DKJ- sebagai aset kota. Sebaliknya bukan dilihat lagi sebagai kegiatan proyek jangka pendek DKJ.
Maka, melalui pembagian peran yang proporsional dan pola komunikasi yang setara, saling percaya dan luwes antar stakeholder utama kesenian, maka kita akan mendapat garansi kemajuan atas proses pemajuan kebudayaan yang baru berlangsung dalam tujuh tahun terakhir. Maka, Kementerian Kebudayaan yang baru lahir perlu didorong untuk menginisiasi pembuatan berbagai KEPRES, INPRES, PP dan PERMEN sebagai alat membumikan UU Pemajuan Kebudayaan 2017 ke seluruh daerah. Dampaknya akan lahir berbagai aturan yang berpihak pada kesolidan strategi pemajuan kebudayaan nasional. Ikhtiar ini, tak lain sebagai langkah stratgis dan taktis dalam semangat melanjutkan upaya pengarusutamaan kebudayaan sebagai aset terbesar negeri ini.
bersambung….
Jakarta, Oktober 2024
*Bambang Prihadi, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta