Filsafat Seni Nusantara: Rasa dan Transedental
Oleh Dea Lunny Primamona*
Definisi Filsafat Seni Nusantara menurut saya harus terlebih dahulu dipahami sebagai produk intelektual dan spiritual tentang keindahan seni yang lahir dan berkembang di nusantara atau negara kepulauan (archipelago). Seni dan dimensi filsafatinya tersebar dalam berbagai bentuk warisan budaya benda seperti artefak, naskah kuno, bangunan, bagian dari bangunan, senjata, pakaian, dan lain-lain, hingga warisan budaya tak benda seperti musik angklung, pantun, tarian, makanan, dan lain-lain.
Menurut berita terbaru, setidaknya ada 11 warisan budaya tak benda yang sudah diakui dunia, dan baru saja menyusul gamelan yang menempati posisi ke-12 sebagai warisan budaya tak benda yang telah diakui oleh UNESCO (Armani 2021; Simangunsong 2021). Nusantara terdiri dari beragam etnis dengan produk kesenian yang beragam pula. Hal yang menarik dari Filsafat Seni Nusantara adalah keragaman tersebut dibangun dan dipertahankan dalam semangat “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun satu jua.
Esensi Estetika Nusantara itu bersumber pada perayaan kehidupan yang humanis, indah, mulia, dan selaras dengan alam dan Tuhan Yang Memberi Hidup, di mana transendensi tersebut bersumber pada agama, kepercayaan, dan nilai-nilai local genius yang sudah mengendap dan melebur dalam budaya masing-masing etnis. Estetika Nusantara harus dijalani dengan laku atau tindakan nyata, misalnya sebagai peneliti tentunya kita melakukan penelitian yang berbasis pada konsep Estetika Nusantara itu sendiri. Tujuan akhir kehidupan dalam perspektif Estetika Nusantara adalah mencapai keselamatan, damai, dan sejahtera secara sosial dan religiositas. Puncak dari mata rantai kehidupan adalah religiositas.
Keanekaragaman Pemaknaaan
Di nusantara, warna-warna yang menjadi semesta ide bagi para seniman memiliki pemaknaan yang tidak pernah seragam. Contohnya, warna putih dalam suatu komunitas dimaknai sebagai simbol kesucian, namun di komunitas lain warna hitam justru menjadi simbol yang paling ideal untuk melambangkan kesucian atau kemurnian. Alasannya, warna hitam merupakan gabungan dari segala warna, yang menjadi capaian paling sempurna. Oleh karena itu, dalam perspektif Estetika Nusantara, penafsiran makna simbol saja akan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan,
Ada dua teori yang dirumuskan dalam memahami Estetika dan Kebhinekaan Nusantara, sebagai berikut. Pertama, Teori Ritual. Seni merupakan ritus dan berhubungan dengan upacara untuk menghormati dan memuliakan kehidupan yang misterius, eksotis, dan dahsyat. Karena itu, teori ritual seni menempatkan estetika sebagai bagian dari ritus religi, khususnya religi bumi yang menghormati kesuburan dan kepercayaan bahwa ada sumber kehidupan, ada awal dan ada akhir, ada alpha dan omega, sehingga siklus kehidupan mulai dari lahir, dewasa, menikah, memiliki anak, dan kematian memiliki makna dalam ekspresi ritual atau ekspresi keseniannya. Pemahaman ini dapat kita temukan dalam seni ritual masyarakat seperti upacara menanam dan memanen padi (Astono 2001; Mantiral, Istiandini, dan Fretisari, t.t.; Suharto 2014; Ardini 2018; Fitria 2019; Primamona 2020a), upacara kirab pusaka (Nita 2006), upacara perkawinan (Daulay 2015; Primamona 2020b), upacara adat turun mandi anak (Mustika, Toruan, dan Syeilendra 2014), dan lain-lain.
Kedua, teori Pengalaman Estetis. Teori ini berusaha merumuskan secara logis hal-hal yang beyond logic (melampaui yang logis), seperti: apa itu titik estetis dan apa itu yang tidak terucapkan lagi ketika orang berdecak kagum dalam ekstase estetis atau tersentuh secara mendalam dalam tragedi hidup melalui drama. Untuk merumuskan pengalaman estetis dipakailah metode fenomenologi deskripsi. Fenomenologi deskripsi sebuah penikmatan atas kedahsyatan suatu karya seni akan menggambarkan bahwa titik keindahan adalah pengalaman keindahan saat yang mencengangkan dan sublim merasuk dan dialami mirip dengan pengalaman psikologis religius dan ekstase. Keindahan dalam pengalaman estetis dipahami sebagai as such as it is (tidak lebih dan tidak kurang atau presisi). Jalan seni untuk mencapai penghayatan keindahan memiliki syarat mutlak apresiasi terhadap bentuk-bentuk seni di Nusantara.
Berkaca dari pengalaman penelitian tentang lesung di Magetan bahwa yang mantap (istilah emik disebut lontas) dan bergema secara berulang-ulang, meliuk, dan saling jalin menjalin (istilah emik disebut jumengglung), dibangun dari potensi tunggal panjak (penabuh lesung) yang bertemu, dan dihadirkan secara bersama-sama dengan potensi-potensi tunggal dari panjak lainnya (Primamona 2021). Esensi Estetika Nusantara dalam kesenian lesung ini tampak dalam nilai gotong-royong atau kebersamaan, kekerabatan, kedisiplinan, dan lain-lain, yang menjadi syarat terjadinya gejala bunyi yang presisi dan selaras, yang tentunya juga diejawantahkan ke dalam kehidupan sosial, budaya, dan religiositas keseharian.
Estetika hanyalah satu di antara banyak jalan untuk memahami kehidupan yang maha kaya dan multidimensional. Dalam filsafat sistematis rasional logis, wilayah kehidupan dibangun atas tiga dimensi yakni: a) verum (ilmu pengetahuan dan epistemologi); b) bonum (etika); dan c) pulchrum (estetika). Sementara itu, kehidupan diyakini memiliki dimensi yang lebih multidimensional. Kehidupan nusantara yang maha kaya dan multidimensional terdiri atas ragam identitas ras, agama dan kepercayaan, bahasa, dan suku bangsa. Kehidupan yang majemuk di nusantara telah lama disadari, dirumuskan, dirangkum, dibangun, dan dihidupi dalam spirit kebinekaan oleh para pendahulu kita. Oleh sebab itu, penting bagi kita sebagai generasi masa kini untuk memahami bahwa yang indah dan beraneka ragam tersebut harus diterima dengan rendah hati dan toleransi yang tinggi, sebagaimana ditunjukkan pada pepatah, “Lain ladang lain ilalang” dan “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Tentang Keutamaan Rasa
Sebelumnya telah dipaparkan bahwa sumber estetika adalah apa-apa yang dialami sebagai mulia dan indah dari kehidupan dalam menghayati kehidupan itu sendiri. Rasa adalah kepekaan mata batin untuk menghayati kehidupan. Konsep tentang rasa dibangun berdasarkan dua cara yaitu melalui rasionalitas barat (rasional sistematis logis) dan rasionalitas nusantara (rasional multidimensi kehidupan nusantara). Estetika rasa dalam rasionalitas barat dicetuskan oleh Immanuel Kant dan G. W. Hegel, filsuf modernisme. Bagi Kant, rasa ditimbulkan dari persepsi inderawi, dan seni berfungsi untuk membangkitkan pengalaman yang indah, membuat orang-orang mengapresiasi, berbagi rasa, dan menghormati kepekaan satu sama lain sebagai manusia (Sutrisno 2010, 102). Bagi Hegel estetika adalah momen perkembangan roh menuju kesempurnaan, yang terdiri dari: a) sublim, di mana roh menang atas materi; b) tragis, di mana roh kalah atas materi; dan c) lucu, di mana makna menang atas nilai; dan d) jelita, di mana yang bernilai mengalahkan makna. Sementara itu, estetika rasa di nusantara adalah dasar-dasar rasionalitas pengalaman rasa seni pemuliaan kehidupan (merayakan, mengolah, dan mensyukuri berkat yang diberikan bumi pertiwi atas kesuburan tanahnya, gunung-gunung suci, dan air dari langit yang menghujani Nusantara). Rumusan teori ini berawal di abad ke-19, dan sejak itulah rumusan tentang apa itu seni; kriteria dan dasar rasionalitas pengalaman seni; dan rumusan estetika dapat dimengerti dan dipahami (secara akal budi).
Dalam perspektif Estetika Nusantara, rasa dianggap sebagai cara untuk melihat dan menghayati kehidupan nyata dan sebagai pengalaman estetis dari penghayatan dari dan dalam kehidupan itu sendiri. Di Jawa, konsepsi rasa dibedakan menjadi dua: a) bhawa, yaitu emosi-emosi yang spontan atau secara langsung muncul sebagai reaksi murni secara ketika menghayati hidup yang nyata ini; dan b) raos, yaitu emosi-emosi yang sudah disaring, diseleksi, dengan keheningan samadhi budi dan hati untuk dapat mawas diri, memahami siapa diri di dalam tatanan semesta ini. Di Minang estetika rasa dikenal dengan istilah raso jo pareso, yang ujarannya disertai dengan ekspresi menunjuk bagian dada dan kepala pengujarnya. Di Bali estetika rasa dikenal dengan istilah taksu, sebagai sumber pengarah seniman untuk karya-karya seni yang berguna, berdaya hidup, dan berkontribusi untuk kehidupan (misalnya membuat hidup lebih harmonis, lebih indah, dan lebih utuh).
Dalam estetika rasa dikenal konsep “guna” yang berarti memberi manfaat, memberi daya hidup, memberi kualitas, dan sumbangsih untuk semesta. Di Jawa, contohnya dikenal dalam ungkapan “Amemayu hayuning bawana” (membuat semesta semakin indah, semakin ayu untuk hidup di dalamnya). Ungkapan tersebut mengandung energi atau daya hidup atau “dayaning kagunan” yang menjadi ukuran, dasar, atau kriteria untuk karya-karya seni di nusantara. Guna dan kagunan juga diartikan sebagai “cerdas bijaksana dalam hidup”. Dengan demikian, estetika rasa dan guna di nusantara merupakan dasar-dasar rasionalitas, kebijaksanaan, atau sumber pengarah terhadap pengalaman keindahan yang memberi manfaat dalam penghayatan kehidupan, sehingga kenyataan yang chaos menjadi kosmos (harmonis, indah, dan utuh) dan mencapai kebahagiaan.
Hal Transendental
Dalam perspektif Estetika Nusantara, karya seni dipahami sebagai pertemuan antara aku sebagai individu yang bersifat personal, subyektif, dan unik dengan Tuhan yang bersifat impersonal, obyektif, dan universal. Contohnya pada puisi-puisi atau lagu-lagu religi, bangunan stupa, masjid, katedral, dan perwujudan karya seni religi lainnya. Karya seni digunakan oleh seniman di nusantara sebagai media ungkap kekaguman terhadap Sang Pencipta atas kasih-Nya yang tidak mengenal batas kepada makhluk ciptaan-Nya, ucapan syukur atas karunia karena diberi raga yang dapat membuat sesuatu menjadi indah, dan merangkum keseluruhan sumber semesta (warna-warni) kehidupan yang satu.
Walaupun demikian, keunikan manusia terletak pada keterbatasannya, sehingga kalimat pada bait puisi dibatasi oleh ruang kosong pada kertasnya dan warna-warni goresan tangan pada sebuah lukisan terbatas pada bingkainya. Tujuan dari seni adalah menghayati kehidupan, menghargai semesta yang diberikan, menghargai harkat martabat manusia, dan mengingatkan untuk kembali kepada Sumber Segala Kasih yang Maha Kaya. Hening.
Keragaman Seni Lesung, Sebuah contoh
Berkaitan dengan tema Estetika Nusantara , kita patut berterima kasih atas penyelenggaraan BWCF (Borobudur Writers Culture Festival) ke-10 yang mengangkat tema Estetika Nusantara. Melalui BWCF kita dapat mengenal sosok Claire Holt yang telah mengabdikan hidupnya yang ditulis dalam buku Art in Indonesia: Continuities and Change yang kemudian dialihbahasakan oleh Prof. Dr. R. M. Soedarsono dalam buku Melacak Perkembangan Seni di Indonesia (Holt 2000).
Salah satu rangkaian diskusi BWCF adalah bedah relief dengan tajuk “Seni Pertunjukan dan Alat-Alat Musik Kuno pada Relief Candi Borobudur di hari ke-3 pada 20 November 2021. Forum tersebut diisi oleh pemateri Drs. Handaka Vidjjananda, Apt., Prof. Dr. Timbul Haryono, dan Drs. Haryanto, M. Ed (Vijjananda, Haryono, dan Haryanto 2021). Presentasi sesi terakhir oleh etnomusikolog Drs. Haryanto, M. Ed memberi pencerahan kepada saya dalam meneliti keanekaragaman kesenian lesung di nusantara.
Beliau memperkenalkan metode genomusikologi sebagai salah satu metode untuk melacak bunyi dari data-data musikalnya. Metode ini digunakan dalam membaca relief-relief yang menggambarkan adanya alat-alat musik kuno di Candi Borobudur. Tidak menutup kemungkinan, metode ini dapat dipakai untuk menelusuri jejak data-data musikal lesung di Nusantara.
Kesenian lesung tersebar di berbagai wilayah nusantara. Kesenian tersebut memiliki nama atau penyebutan yang berbeda-beda, memiliki corak yang sangat identik dengan daerah asalnya, dan tidak hanya disajikan dalam bentuk bebunyian yang teratur, namun juga disajikan dalam bentuk tarian dan teater. Saya berusaha melacak bebagai ragam jenis lesung. Berikut adalah tabel yang saya buat untuk memperlihatkan betapa kayanya tradisi musik lesung di nusantara.
Tabel Ragam kesenian lesung di berbagai daerah di Nusantara, dihimpun oleh Dea Lunny Primamona
Adalah menarik melihat keragaman musik lesung di seluruh nusantara itu. Adalah menarik untuk melihat bagaimana lesung itu didekati dengan rasa dan asumsi perspektif transedental. Saya kira bila ada yang meneliti fenomena musik lesung dari dua perspektif itu dan menarik benang merah nya tentu akan semakin menambah pemahaman kita tentang estetika nusantara.
*Penulis Mahasiswa S3 ISI Solo.
————–
REFERENSI
Ardini, Yollanda Wahyu Novella. 2018. “Upacara Menanam Padi di Desa Lambeyan Wetan, Kecamatan Lambeyan, Kabupaten Magetan.” Haluan Sastra Budaya 2 (1): 100–119.
Armani, Mela. 2021. “11 Warisan Budaya Tak Benda yang Diakui Dunia,” 1 November 2021. https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/01/160000465/ini-11-warisan-budaya-tak-benda-indonesia-yang-diakui-dunia.
Astono, Sigit. 2001. “Kebangkitan Suatu Bentuk Kesenian yang Pernah Mati Kothekan Lesung Banarata, Karanganyar, Jawa Tengah Sebagai Fenomena Acuan.” Disertasi Program Doktoral, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Daulay, Ismail Rahmad. 2015. “Nilai-Nilai Edukatif dalam Lirik Nyanyian Onang-Onang Pada Acara Pernikahan Suku Batak Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan.” Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 1 (2): 141–52.
Fitria, Eni. 2019. “Tradisi Tabuh Lesung Sebagai Sumber Nilai Karakter Masyarakat Kembangbilo Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban” 07: 15.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung: arti.line.
Mantiral, Vincentia Sepriana, Winda Istiandini, dan Imma Fretisari. t.t. “Makna Simbol Properti dalam Tari Ngajat Lesung di Desa Seluas Kabupaten Bengkayang,” 11.
Mustika, Nuzula, Jagar Lumban Toruan, dan Syeilendra Syeilendra. 2014. “Bentuk Penyajian Ronggeng dalam Upacara Adat Turun Mandi Anak di Muaro Kiawai Kecamatan Gunuang Tuleh Kabupaten Pasaman Barat.” Jurnal Sendratasik 3 (2): 10–16.
Nita, Cicilia Ika Rahayu. 2006. “Bentuk dan Fungsi Pertunjukan Jathilan dalam Upacara Ritual Kirab Pusaka pada Masyarakat Kampung Tidar Warung Kelurahan Tidar Magelang.”
Primamona, Dea Lunny. 2020a. “Mortar Music Tradition as the Javanese Agrarian Folklore in Magetan, Indonesia.” Dalam , 21–31. Atlantis Press.
———. 2020b. “Pemahaman Aspek Metafora Gending Kupu Tarung Pada Musik Lesung.” Sorai: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Musik, 1 Juli 2020, 13 (1): 1–12.
———. 2021. “Lontas Sebagai Konsep Estetika Musik Lesung di Desa Turi Magetan.” Tesis S2 Prodi Seni, Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta.
Simangunsong, Wasti Samaria. 2021. “UNESCO Tetapkan Gamelan Indonesia Jadi Warisan Budaya Tak Benda,” Desember 2021. https://travel.kompas.com/read/2021/12/15/201010227/unesco-tetapkan-gamelan-indonesia-jadi-warisan-budaya-tak-benda.
Suharto, Siti Aesijah. 2014. “The Lesung Music in the Village of Ledok Blora Regency.” Harmonia: Journal of Arts Research and Education 14 (1): 65–71. https://doi.org/10.15294/harmonia.v14i1.2851.
Suryajaya, Martin. 2016. Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer. Yogyakarta: Gang Kabel.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutrisno, Mudji. 2010. Ranah-Ranah Estetika. Kanisius.
Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak. 1994. Estetika: Filsafat Keindahan. Penerbit Kanisius.
Vijjananda, Handaka, Timbul Haryono, dan Haryanto. 2021. “Seni Pertunjukan dan Alat-Alat Musik Kuno pada Relief Candi Borobudur.” Zoom Discussion, November 20. https:bit.ly/BedahRelief.