Estetika yang Tak Peduli, Seni yang Asyik Sendiri


Oleh: Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum.*

Konon, seni adalah bentuk paling tinggi dari kesadaran manusia. Ia bukan hanya cermin, tetapi juga palu, kata Bertolt Brecht dalam Esai “Theatre for Pleasure or Theatre for Instruction” (1936) yang memahat wajah realitas. Tapi, barangkali hari ini seni sudah kehilangan palunya. Atau mungkin ia terlalu sibuk berdandan di depan cermin, mengagumi dirinya sendiri. Dalam dunia yang porak poranda oleh kebrutalan kekuasaan, kerakusan modal, dan kemapanan yang mengeras jadi dogma, seni justru larut dalam pesta-pesta galeri, aroma anggur, residensi internasional, atau hashtags yang estetik. Yang membakar tak lagi lukisan yang menggugat, melainkan hanya cahaya lampu pameran.

Estetika yang Kehilangan Luka

Estetika hari ini tampaknya sedang sakit, meski tubuhnya tampak segar, bersih, dan fotogenik. Ia sudah terlalu nyaman dengan keindahan formal, dan melupakan bahwa keindahan yang sejati lahir dari luka dan pengorbanan. Keindahan, kata Daisetz T. Suzuki, melalui Zen and Japanese Culture (1949) “bukan soal bentuk, melainkan soal kedalaman jiwa.” Tapi kedalaman kini terasa asing dalam percakapan seni. Yang ramai justru permukaan. 

Bahkan dalam negeri yang penuh luka—korupsi yang menular dari ruang kekuasaan ke kampus, dari gedung parlemen ke dalam kampung—seni tampak tenang-tenang saja. Ia tak gelisah. Ia seperti selembar kain putih yang dilipat rapi dalam lemari. Padahal estetika, dalam tradisi Timur maupun Barat, adalah jalan kepekaan. Ia seharusnya menggugah kesadaran, bukan sekadar memanjakan mata.

Di Jawa, seni lahir dari laku. Keindahan adalah buah dari ketekunan batin dan penempaan diri. Dalam Serat Centhini, seni tidak bisa dipisahkan dari laku spiritual, dari keberanian menghadapi penderitaan hidup. Tapi hari ini seni lebih mirip aksesori—dipakai, dipamerkan, diganti. Bukan dihayati, bukan diperjuangkan.

Estetisisme dan Kekosongan

Estetika yang membebaskan berubah menjadi estetisisme yang meninabobokan. Dalam istilah Walter Benjamin, lewat karyanya The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936), kita menyaksikan “aestheticization of politics,” di mana yang brutal pun bisa tampak indah dalam kemasan artistik. Seni tak lagi menggugat kuasa, ia justru menjadi komoditas lunak yang ikut menjual citra kekuasaan.

Tak jarang, karya seni tampil manis dan bersih—tanpa konflik, tanpa kritik. Seperti ruang pameran yang wangi dan sunyi, seni tampak steril dari bau penderitaan rakyat. Ia takut kotor, takut luka, takut marah. Padahal Aristoteles percaya seni adalah ruang katharsis—pelepasan emosi yang bisa membebaskan jiwa. Tapi kini, yang dibebaskan hanyalah ego-ego seniman yang ingin tampil sebagai “ikon”, bukan sebagai saksi.

Nietzsche dalam The Birth of Tragedy (1872) pernah mengingatkan bahwa seni sejati adalah “kekuatan dionysian”, yang berani menari di atas puing-puing, yang tidak takut pada kegelapan. Tapi yang kita lihat hari ini adalah seni apollonian yang terlalu rapi, terlalu halus, terlalu takut kehilangan sponsor. Ia asyik sendiri dalam dunia yang sedang terbakar.

Seni, Novelty, dan Pemberontakan

Dalam sejarahnya, seni selalu berdiri di barisan mereka yang tak puas. Dari lukisan gua yang menggugat maut, hingga teater rakyat yang menyindir penguasa, seni adalah bentuk perlawanan terhadap tatanan yang membusuk. Keindahan dalam seni bukan hasil kompromi, tapi justru ledakan dari ketegangan yang tak bisa ditampung oleh bahasa biasa.

Novelty—kebaruan—dalam seni bukan soal teknik atau gaya baru, melainkan keberanian untuk menyeberang batas. Ia lahir dari hasrat untuk tak tunduk pada kemapanan. “Seni adalah pemberontakan yang bertahan,” kata Albert Camus lewat dalam The Rebel, (1951). Tapi pemberontakan itu kini lebih sering muncul dalam desain produk ketimbang dalam isi karya. Kebaruan menjadi sekadar gimmick, bukan lagi gestur eksistensial.

Dalam estetika Nusantara, perlawanan bukan berarti kekerasan. Ia bisa tampil sebagai sindiran halus, ironi yang menusuk, atau keheningan yang mengguncang. Tapi apapun bentuknya, seni tetap menjadi jalan untuk menyuarakan kebenaran yang terluka. Ketika ia diam dalam kebiadaban, maka ia sedang berhenti menjadi seni.

Keindahan Tanpa Kehidupan

Estetika yang sejati memuliakan kehidupan. Ia bukan meniru kenyataan, tapi memperjuangkan kemanusiaan. Ia harus berpihak—pada yang tertindas, pada yang dibungkam, pada yang dipinggirkan. Tapi seni hari ini seringkali netral, bahkan apolitis, seolah menjadi netral adalah puncak kebijaksanaan. Padahal netralitas dalam zaman ketidakadilan adalah keberpihakan pada penindas.

Simone Weil dalam Waiting for God (1950) pernah berkata, “Perhatian yang murni adalah bentuk cinta tertinggi.” Tapi seni hari ini seperti kehilangan kemampuan untuk memperhatikan. Ia tak lagi merasakan jerit petani yang digusur, anak sekolah yang dibodohi, atau aktivis yang dibungkam. Seni sibuk menata ruangnya sendiri, sementara di luar dinding galeri, sejarah sedang berdarah.

Apakah ini karena para seniman takut? Atau karena mereka sudah terlanjur nyaman dalam sistem yang meninabobokan? Apakah seni masih sanggup menjadi saksi zaman? Mungkin sudah saatnya kita bertanya: untuk apa kita membuat seni hari ini? Jika ia tak lagi menggugah, tak lagi gelisah, tak lagi resah pada yang tak adil, apakah ia masih bisa disebut sebagai seni? Atau ia telah berubah menjadi semacam kebisingan visual, sebuah “seni selfie” yang hanya mengabdi pada ego, bukan pada hidup?

Dalam dunia yang sudah terlalu banyak pura-pura, seni harus menjadi yang paling jujur. Ia harus menggarami luka zaman. Jika tidak, ia akan menjadi sekadar hiasan di pesta kematian nurani.

Karena itu, seni jangan asyik sendiri. Ia harus kembali membuka matanya, merasakan denyut kehidupan di luar bingkai. Ia harus kembali menjadi perlawanan. Bukan untuk menang, tapi untuk tetap menjadi manusia. Seperti kata Rendra dalam pengantar Orang-Orang di Tikungan Jalan (1990), “Seni harus berani menyatakan tidak! pada keangkuhan kekuasaan.” Kalau tidak, seni hanya akan menjadi estetika yang tak peduli. Sebuah keindahan yang kehilangan kehidupan.

Dalam tradisi sufistik, keindahan bukan semata bentuk, melainkan pancaran kebenaran. “Al-jamāl huwa al-ḥaq,” tulis Ibn Arabi dalam Fusūs al-Ḥikam (1229). Tapi jika keindahan tidak lagi bersanding dengan kebenaran, maka ia hanyalah ilusi. Ia menjadi kosong. Menjadi benda mati yang hanya menghibur, bukan membebaskan. 

Maka kita kiranya perlu bertanya: untuk apa kita membuat seni hari iniJika ia tak lagi mengganggu, tak lagi menyentuh, tak lagi menyela ketidakadilan, apakah ia masih bisa disebut seni? Atau ia telah berubah menjadi sesuatu yang lain—sebuah kebisingan visual  yang menyamar sebagai perayaan?

Seni memang tak harus menjawab. Tapi seni yang baik, selalu mengajukan pertanyaan. Karena itu, barangkali yang dibutuhkan hari ini bukan seni yang pandai berkata, tapi seni yang tahu kapan harus diam. Dan dalam diam itu, ia mendengar. Ia menyerap. Ia menggetarkan. Karena dalam dunia yang penuh kepalsuan, seni yang paling jujur adalah yang masih bisa merasakan luka. Dan mungkin, itulah satu-satunya keindahan yang masih kita perlukan.

—-

*Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum., Guru Besar Fakutas Bahasa, Seni, dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta.