Estetika-Estetika Musik Pascanormal

Oleh Joko Suranto Gombloh

Pandemi Covid-19 meluluh-lantahkan semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam bidang kehidupan seni musik. Bencana virus nyaris menghentikan laju perkembangannya, bahkan mematikan praksis penciptaan maupun desiminasinya secara kehidupan normal sebelumnya. Virus telah memaksa pelaku musik untuk menciptakan perilaku baru, tradisi baru, bahkan kebudayaan baru bermusik—di luar kebiasaan normatif yang telah memberikan rasa nyaman para pelakunya. Dengan kata lain, bencana telah membuat para pemusik takluk dan tunduk untuk menaati covid jika tak hendak terpapar olehnya.

Namun, bagi insan kreatif, bencana semestinya tidak sepenuhnya mudharot. Beberapa mampu “hidup berdampingan dengan Covid-19”, semisal dengan mengadakan konser daring dan bentuk-bentuk transmedium lainnya. Lebih dari itu, mampukah mereka menaklukkan sang virus dengan ide dan tindakan kreatif yang menjawab normalitas baru dengan menemukan bentuk-bentuk estetika baru dalam bermusik? Sejarah mencatat, secara periodik jenis-jenis musik ditentukan oleh periode-periode yang merujuk gejala atau tren musik sejaman serta perkembangan teknologinya. Di sisi lain, kelahiran musik juga dicatat lantaran fenomena khusus di luar perkara musik, extra ordinary, yang mampu mengubah perilaku atau tradisi musik sebelumnya sampai melahirkan musik baru, seperti fenomena revolusi industri di Inggris yang melahirkan bentuk atau jenis musik pop yang langsung mewabah secara global.

Artinya, wabah, bencana, serta apapun yang menjadi ancaman kehidupan tradisi  bermusik akan menjadi berkah ketika para pemusik mampu menemukan kreativitas baru baik dalam mengeksplorasi ide, merancang strategi, membangun metode, menciptakan teknik dan prosedur, hingga melahirkan karya yang mampu mengawali tradisi baru dalam bermusik. Bentuk, jenis, genre atau aliran baru yang terjadi sepanjang kehidupan musik dunia terlahir di antaranya tersebab situasi extra ordinary yang jauh dari persoalan musik, sebagaimana yang kita rasakan hari-hari ini ketika Covid-19 belum berlalu! Artikel ini memaparkan periode-periode kehidupan musik yang yang ditandai tradisi baru bermusik melampaui normalitas estetika musik sebelumnya.

Estetika “Old ‘n New” Masa Lalu 

Harus diakui bahwa dinamika secara progresif tradisi musik dunia dimulai setelah Perang Dunia ke II (PD II). Sebelumnya, sejarah musik dunia (maaf menggunakan referensi sejarah musik Barat karena risalah atau catatan sejarah musik non barat masih sangat langka pada masa itu) hanya ditandai periodisasi besar: jaman klasik, pertengahan, barok, dan era musik modern. Sementara, progresifitas bentuk-bentuk baru bermusik setelah PD II tampak lebih revolusioner secara waktu, konsep, pendekatan garap, dan teknologinya.

  1. Diawali tahun 1950-an, ditandai oleh perubahan pardigma yang disebut dalam musik barat sebagai era ekpresionisme. Tokoh utamanya: Arnold Schönberg dan Igor Stravinsky. Schönberg menolak tonalitas nada, sementara Stravinsky suka memainkan ritme-ritme tak beraturan.

Pada lapis lain, Karlheinz Stochausen bereksperimen dalam teknologi elektro-akustik yang mendasarkan “rumus” dan “meditasi”. Konsep rumus tidak terlepas dari aliran serialisme yang mendasarkan pada keteraturan karya yang mana ketaraturan tersebut lebih sering bersifat matematis. Temuan elektro-akustik Stockhausen tersebab perkembangan teknologi elektronik memungkinkan untuk dieksplorasi dalam dunia musik.

Sebelum itu, pada tahun awal 1940-an, Alan Lomax mencatat temuannya pada ekspresi musik di delta Mississipi yang ia sebut sebagai Roccking n Reeling. Temuan Lomax membelalakkan mata bahwa tradisi musik barat telah dikoyak dalam perilaku “musik baru” yang menjadi akar musik blues, rock n roll, dan puncaknya musik pop!

Pada masa perubahan paradigma penciptaan musik tersebut, kritikus musik di Jerman, Georg Kalzer, berujar: “Membuat komposisi pada masa kini sangat mudah, karena semua mungkin. Membuat komposisi pada masa kini sangat sulit, karena semua mungkin.”

  1. Lalu era Musique Concrète dan Musik Elektronis. “Ternyata semakin mesin menjadi suatu ‘organisme’ tersendiri, semakin manusia menjadi tidak penting.” Demikian kritik Fred K. Prieberg untuk bentuk-bentuk musik yang terlahir dari kemajuan teknologi mesin. Kritik ini terutama untuk para pemuja teknologi musik hingga mengombang-ambingkan aspek estetika dan hakekat musik. Lahirnya bentuk-bentuk musik elektronik ini tidak terlepas dari serbuan teknologi canggih ke dunia musik.

Penyebarluasan melalui media massa adalah gejala utama yang ditandai oleh perkembangan musik pop yang massif dan diasporanya hingga ke dunia global. Pada posisi ini, musik elektronis disebut sebagai musik “abstrak”! Tokoh-tokoh awal pada bentuk musik ini, selain Stochausen terdapat Luc Ferrari, Iannis Xenaxix, juga Franco Evangelesti. Dua dekade kemudian, Ketch Emerson, Rick Wakeman, juga John Lord mengembangkan musik elektronik dalam bingkai musik rock progresif.

Musik Elektronis lantas dipertentangkan dengan Musique Concrète yang bertolak dari filsafat bahwa setiap bunyi realistik memili dimensi bunyi yang otonom. Jelaslah kemudian bahwa musik ini berdasarkan materi konkrit, bukan abstrak atau dalam angan-angan. Ini yang menjadi landasan argument para komponisnya seperti Pierre Schaeffer, Pierre Henry, juga Luigi Russolo, bahwa mereka menampilkan materi bunyi asli secara objektif dan otonom. Musik konkrit lebih kosmologis ketika Schaeffer membuat eksperimen baru dengan menggunakan alat elektronis loudspeaker yang ditempatkan di tengah ruang pergelaran.

Di studio, para komponisnya terus melakukan eksperimen yang menggunakan alat-alat alektronik hingga pengertian musik konkrit tidak lebih seperti musik elektronik, kecuali menghasilkan kekayaan ragam sumber-sumber bunyi yang tidak terjangkau oleh formalism musik elektronik. Dan diaspora musik ini pun menjangkau Amerika, ditandai oleh banyak berdirinya studio musik elektronik, seperti Columbia Princeton Electronic Musik Center (Vladimir Ussachevsky dan Otto Luenig), Cooperative Studio for Electronic Musik (Gordon Mumma dan Robert Ashley), San Fransisco Tape Musik Center (Morton Subotnik dan Ramon Sender), serta Bell Telephone Laboratories-nya Max Mathes. Beberapa malah menciptakan alat baru seperti Buchla Synthesizer dan Robert Moog.

  1. Mantra Olivier Messiaen dan terbukanya ruang penciptaan musik yang tak terhingga. “Kesalahan dari para musisi adalah bahwa mereka berpendapat: Hanya fenomena bunyi sendiri yang pentin. (Padahal) Elemen terpenting dari musik adalah ritme.” Demikian “kredo ritmis” yang dilangitkan oleh Messiaen dengan manambahkan catatan bahwa hal itu pun masih berada pada aras teknis, sebab tanpa inspirasi atau imajinasi, musik belum selesai!

Dengan kredonya, seturut Dieter Mack, membuat karya-karya Messiaen sangat sinkretis: Melampaui dimensi formalisme musik, berkelindan antara pola-pola ekstrem, antusiasme religious, gairah erotic serta surialisme yang ajaib. Ia dikenal dengan konsep “melodi burung” dan “ritme aditif” yang meresap, terutama dari kompleksitas “tala” dari India. Messiaen menyebutnya personages rythmiqueatau “individu-individu ritmis”. Yaitu, suatu ritme dengan berbagai motif dasar yang memiliki suatu identitas tersendiri: struktur ritmis dan metriknya sendiri akan tetapi digabung.

Messiaen seorang komponis yang mengambil motivasi dan kekuatan dari kesadaran religious yang amat mendalam. Ia Katolik, tapi ia sangat tertarik pada Hinduisme, Budhisme, dan religiusitas lain. Messiaen melahirkan para genius musik seperti Stochausen dan Pierre Baulez. Mereka suka meributkan hal-hal yang belum ada di dunia musik.

  1. Avantgarde di Amerika dan kecenderungan sikap “anti historis” para komponis Amerika. Sikap anti historis ini berangkat dari asumsi dasar bahwa dalam penciptaan musik segalanya dimungkinkan. Dengan kata lain, jika semua mungkin dalam musik, maka mengapa mempedulikan sejarah? Pernyataan ini rupanya menjadikan John Cage bilang, “Saya tidak mengerti mengapa orang-orang takut terhadap ide-ide baru. Saya takut dengan semua yang kuno!”

Jelaslah bahwa sikap tersebut menunjukkan bahwa orang harus bisa membedakan antara ketergantungan sejarah dan sejarah sebagai system pengetahuan. Pada yang pertama, yang muncul adalah banalitas karya yang mengimitasi karya-karya lama. Sementara yang kedua berorientasi pada ikhtiar untuk menemukan hal-hal baru dalam bermusik yang boleh jadi merupakan reflesksi dari momen-momen musikal yang telah lewat. Dengan ini, Cage, misalnya dengan “String Quartet”-nya menawarkan fase baru di bawah pengaruh zen-Budhisme, hingga sampai pada konsep “diam adalah akar bunyi”. Sampai pada karyanya, “4.33”, Cage sampai menyebut, “Bunyi dibiarkan pada bunyi itu sendiri. Para pendengar sendiri yang dapat menyelesaikan karyanya.” Artinya apa? Persepsi (an sich) para penontonlah yang menjadi inti dari karya tersebut!

Avantgardisme Amerika atau dikenal dengan “Kelompok New York” selain dihuni oleh Cage, juga ada Earle Brown, Alexander Calder, Jacson Pollock, Christian Wolff, Morton Feldman. Brown dikenal dengan penulisan “partitur grafis” yang bertumpu pada ekspresi spontan di mana komposisi langsung ditulis tanpa pikiran panjang, mirip konsepnya Pollock, dan dengan “bentuk terbuka”, serupa konsep “mobile”-nya Calder.

Di luar basis musik Barat, beberapa komponis di Amerika juga terjangkit pengaruh musik etnis sebagaimana ditunjukkan pada karya-karya Colin Mcphee dan Lou Harrison. Mcphee sangat dikenal oleh para etnomusikologis sebagai komponis yang sangat dekat dengan musik Bali. Konsep ritmikalnya sangat mirip dengan pola kotekan karawitan Bali. Adapun Harrison sangat kuat kesan “world musik”-nya karena ia gemar melakukan riset dan perjalanan di beberapa bangsa terutama di Jepang, Korea, Taiwan, Jawa dan Selandia baru. Di Jawa ia berguru pada KRT Wasitodipuro da menjadikannya pengajar di Universitas Berkeley, California. Harrison juga membuat perangkat gamelan sendiri yang di dalamnya terhimpun para komponis “Aliran gamelan Amerika” seperti Jody Diamond, Barbara Benari, Dan Schmidt, Evon Zyporin, dan lainnya.

  1. Fluxus, Concept Art, Mixed Media, Happening, dan Musik Minimalis oleh para musikolog secara umum dilandasi oleh pengaruh musik-musik etnis dunia, baik dari India, Indonesia, dan Asia tenggara pada umumnya serta Afrika. Beberapa tokoh terkemuka di jalur ini, seperti La Monte Young—yang identik dengan Fluxus dan Serialisme—sebelumnya mendalami nyanyian-nyanian India; Terry Riley, seorang jazzer beraliran Fluxus, sebelumnya menyerap musik India; Steve Reich yang kerap menggarap Concept Art, pernah studi musik Ghana dan karawitan Bali; dan Philip Glass sembari studi musik Barat di Paris juga melakukan studi tentang musik India.

Seperti banyak disebut para musikolog, bentuk atau aliran musik-musik seperti ini tidak menuju ke suatu gaya musik tertentu. Seturut Mack, ia adalah suatu sikap atau cara komposisi. Ia, seperti didengungkan oleh Cage, adalah satu upaya untuk mengobjektifir musik. Pada aliran-aliran seperti ini, komposer hanya merumuskan berbagai tindakan, proses, atau aturan yang harus dilakukan oleh pemusik. Dan inti dari aliran ini adalah (proses) pelaksanaan lebih utama daripada hasil! Yang agak membedakan adalah Fluxus menolak pendapat ilmiah dan rasional, karena justru pendekatan ini adalah salah satu yang akan dibongkar oleh para penganutnya. “Fluxus hanya bisa dialami secara live, demikian Dieter Mack.

Yang menarik adalah aliran-aliran ini dipelopori oleh gerakan Dadaisme dan Futurisme yang digelombangkan olah para perupa. Karena itu, sebagaimana Dadaisme dan Futurisme, Fluxus, Concept Art dan Mixed Media harus dilihat bukan semata sebagai musik an sich. Lalu bagaimana dengan Musik Minimalis? Beberapa musikolog merumuskan: terlepas dari cara garap composer, hubungan dialektis apresiator dan creator ditiadakan; kesesesaatan yang memunculkan kesan dinamis; ada keterpengaruhan dengan musik etnis; aspek teknik repetitive dalam komposisi menonjol; garapannya kelihatan sangat abstrak, atau teknis saja; ada perubahan-perubahan mikro yang sifatnya psikoakustik yang dilakukan oleh pemusik lantaran bentuk atau struktur musiknya sangat sederhana.

Ekspresi Pascatradisional di Indonesia

Perkembangan musik di Indonesia tentu tidak terlepas dari dinamika yang terjadi di Barat. Hanya, atas alasan teknologi dan distribusi pengetahuan yang kurang pesat di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, menjadikan progresifitas musiknya terlambat. Satu era yang harus dicatat di sini adalah even regular Pekan Komponis Muda (PKM) yang dihelat Dewan Kesenian Jakarta. PKM melahirkan komponis-komponis tersohor di Indonesia. Beberapa masih eksis hingga kini, sebagian sudah mangkat, sebagian lagi berkonsentrasi pada bidang lain. Adapun fase berikutnya, yang sangat mewarnai tren musik di negeri ini adalah era “world musik” yang menjadi bagian dari imbas diaspora musik global.

  1. Pekan Kompones muda dan perayaan Concept Art yang baru lahir. Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 19 Desember 1979, adalah momen luar biasa kebangkitan musik Indonesia. Otto Sidharta, lewat komposisi “Kemelut” mendedah konsep Musique Concrète menggunakan air sebagai medium dan sumber bunyinya. Ini debut awalnya ketika Otto mulai menyuntuki teknologi akustik sebagai basis penciptaan komposisi musiknya. Otto, pada masa itu telah meminjam sikap “concept art” dengan menempatkan pengaturan bunyi lebih menonjolkan aspek gerak dan warna dari bunyi-bunyi yang tersusun keseluruhan.

Selama 3 hari berikutnya, PKN perdana ini tampak dipenuhi komponis-komponis yang sangat bergairan untuk, meminjam ungkapan Messiaen: “meributkan hal-hal yang belum pernah ada dalam dunia musik!” Komposisi “A dan B” karya Kristiyanto Christinus, misalnya, berangkat dari perbedaan konsep laras, juga harmoni, yang dimainkan secara tidak konsekwen seturut aturannya masing-masing. Kris bilang, hal tersebut tidak masalah. Satu argumen yang cukup menantang cara-cara normal!

Sutanto, komponis asal desa mendut, Magelang, membabar “Sketsa Ide” yang menggunakan alat-alat mainan anak yang bersanding dengan biola, flute, dan cello. Tanto menyebut, karya ini merupakan benturan berbagai ide yang bertebaran. Karya di sini menjadi beban keraguan perancangnya sendiri. Tanto belum yakin atas konsep dan ekspresi karyanya sendiri. Ia terlalu hati-hati untuk tidak terjebak pada peniruan aliran-aliran pascamodern yang telah lebih dulu dirayakan oleh para pemusik Barat.

Gejala pascamodernism semakin merebak pada tahun-tahun berikutnya PKM. Frankie Raden mendedahkan Musique Concrète lewat komposisi “Dilarang Bertepuk Tangan Dalam Toilet”. Sebagai seorang komponis par intelektual, karya Frankie tampak lebih kuat secara teori. Medium elektro-akustis dirasa mampu untuk memproyeksikan nilai-nilai di sekelilingnya, baik secara estetis, sosial, cultural maupun religious. Gagasan dari sesuatu yang ada di selingkung komponis tampak juga pada komponis I Wayan Sadra. Lewat “Lad-Lud-An”, Sadra menyapa audiens dengan kalimat: “Memanfaatkan dan menggarap ‘apa-apa yang belum pernah ada’, boleh jadi ia hanya fisik atau gaya ungkap saja.” Sadra, pada perjalanan selanjutnya tidak luput dari kerja eksploratorium bunyi karena penasaran untuk menemukan sesuatu yang baru di dalam musiknya.

Harry Rusli tak mau lewat dari gairah nafas avant gardism. Ia melempar teror bahwa ide utama dari komposisinya yang berjudul “Tanpa Judul” adalah mengkreasikan suara/bunyi menjadi sesuatu yang dapat dilihat dan bermain di kepala Anda, Saya, dan Kita. Sikap untuk menemukan kebaruan yang meledak-ledak ini agak kontras dengan cara B Subono yang menyikapi dunia komposisi secara lebih “halus”, juga I Nyoman Astita yang mentransfer nada Slendro dan Pelog pada gamelan Semarpagulingan saih pitu (Septatonis). Hampir senada, Rahayu Supanggah, dengan komposisi “Gambuh”, cenderung mengembangkan dan memperluas musik tradisinya.

PKM juga memunculkan nama-nama seperti Sri Hastanto, Nano Suratno, Pande Made Sukerta, I Gde Bagus Suarsana, I Wayan Rai, Yoes Djailani, Rochdiat, Al Suwardi, Sutedjo Hadi, Royke B Koapaha, Gusmiati Suid, I Nyoman Windha, I Ketut Gede Asnawa, Wayan Berata, Djaduk Ferianto, Marusya Nainggolan, Sukamso, juga Suwarmin. Dari PKM tampak dua kategori makro perspektif: musik baru dari komponis berlatar musik Barat dan yang berlatar musik tradisi/etnis yang digeluti sebelumnya. Karya-karya Otto Sidharta, Sutanto, Harry Rusli, Frankie Raden, Djailani, atau Royke yang berlatar tradisi musik Barat, misalnya, tampak berorientasi pada aliran-aliran musik Barat paska PD II tadi. Sementara pada Subono, Astita, Supanggah dan nama-nama lain yang berlatar belakang musik tradisi di daerahnya, cenderung menawarkan bentuk-bentuk pengembangan garap dari tradisi musik yang digelutinya.

  1. World Music, ekspresi baru yang mengkounter dominasi musik industri yang kapitalistik dan menciptakan alienasi para artisnya. Mewakili dunia musik industri, Peter Gabriel, pesohor rock progresif dari kelompok Genesis, mengampanyekan estetika lokal musik-musik Asia Timur, Asia Tengah, Afrika, juga Eropa Timur dalam proyek World of Music, Arts and Dance (WOMAD), di Inggris, 1982. Gabriel meyakinkan bahwa budaya musik-musik etnis mulai dilirik oleh kalangan pemusik pop. Hasilnya, sebuah formula blending musik (pop) Barat dan musik-musik etnis di dunia. Dengan dukungan media dan industri musik global, penetrasi formula musik ini berlangsung cepat dan berdiaspora ke seluruh pelosok dunia. Industri musik dan media massa global seperti Motown, Hollywood, Warner, Sony, BMG, Billboard, Majalah Rolling Stones, juga kanal penyiaran Musik Television (MTV) sangat berperan di sini.

World Music lantas menjadi suatu bentuk musik ekletik yang kerap ditunjukkan para pemusik Indonesia. Ia mendominasi material musik pada festival atau forum musik tanah air. Sebutlah misalnya, pesta musik Riau Hitam Putih yang menghadirkan para pemusik yang menggabungkan warna-warni musik local dengan, terutama musik pop Barat. Ada pula Bali World Musik Forum; juga beberapa forum jazz seperti Bandung World Jazz, Ngajogjazz, Solo City Jazz Festival, Jazz Mahakam, Jazz Maumere yang menampilkan para pemusik jazz campuran; Solo International Ethnic Music Festival; Bukan Musik Biasa yang lebih kelihatan “ideologis” dengan menampung ekspresi-ekpresi musik “tanpa batas”.

Esensi dari setiap forum musik di atas adalah ekspresi musik yang didominasi oleh tampilan yang seragam: musik campuran! Pada even Parade Lagu Daerah Tingkat Nasional—yang diselenggarakan setiap tahun sejak 1984 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)—sejak awal tahun 2000-an didominasi  ekspresi musik campuran seperti itu. Pendeknya, World musik menjadi orientasi baru para komponis Indonesia. Nyak Ina Raseuki (Ubiet) berkolaborasi dengan Dotty Nugroho, menarasikan kebhinekaan musik Nusantara lewat tema lirik-lirik yang mengisahkan folklore musik Sabang hingga Merauke. Wayan Balawan dengan Batuan Ethnic Fussion menggabungkan musik (gamelan) Bali dalam balutan jazz yang menawan; Irwansyah Harahap (Suarasama) menarasikan tema sufistik dalam bangunan musik Melayu yang berintegrasi dengan modal musik-musik Kawali, India, bahkan jazz; I Wayan Sadra (Sonoseni Ensemble) mentransformasikan idiomatika khasanah musik-musik etnik dalam bingkai instrumentarium combo-band, Djaduk Ferianto (Kua Etnika) bermain-main dalam kekentalan orkes gamelan dengan beberapa tradisi musik luar dalam struktur musikal yang lebih kompleks dan ekletik; Gondrong Gunarto yang lebih memilih komposisi gamelan secara industrial, Elizar Koto (Talago Buni) yang tradisi musik Minang dalam lansekap world cross culture, atau Rino Reza Pati (Riau Rhythm) yang membuat musik melayu dekat dengan orkestrasi Barat yang megah. Tentu masih banyak komponis yang melakukan pendekatan serupa.

Sejarah mencatat bahwa projek World Music di negeri ini tidak lepas dari program “Dua Warna” stasiun televisi RCTI pada akhir tahun 1990-an. Program yang mempertemukan Djaduk Ferianto dengan Aminoto Kosin tersebut menginspirasi perilaku banyak pemusik untuk melakukan pendekatan yang sama. Kalangan pebisnis musik tak mau ketinggalan untuk menerbitkan album kelompok Sambasunda. Formula Sambasunda ini segera diikuti debut album-album sejenis, seperti Sunda-Jawa, Sunda-Bali, dan Sunda-Afrika. Beberapa tahun sebelum album-album tersebut terbit, kelompok jazz seperti Krakatau dan Karimata telah pula memasukkan idiom-idiom musik etnik ke dalam garapan musiknya.

Pada saat yang sama, grup musik Campur Sari Gunung Kidul (CSGK) bentukan Manthou’s, tengah popular dan jaya di saentoro Nusantara. Musik Manthou’s yang menampilkan ensemble gamelan Jawa dan beberapa instrumen musik Barat (terutama keyboard-synthesizer) telah pula menginspirasi kelompok-kelompok musik tradisi gamelan lainnya untuk mengerjakan bentuk musik yang sama.

Simpul

Pada mereka semua harus diapresiasi bahwa sesuatu yang “belum ada” di dalam musik telah coba “diadakan”, “dilahirkan”, atau “ditemukan”. Bahkan beberapa justru meributkan keadaan yang normal, mapan, sebagai sesuatu yang harus dibongkar, diganti dengan konsep baru, perspektif beda, sehingga melahirkan bentuk, aliran, atau gaya baru.

Saat ini, ketika pandemi Covid-19 telah memaksa seluruh masyarakat dunia untuk berperilaku hidup baru, normalitas baru, maka dalam kehidupan musik hal ini menjadi peluang bagi para pemusik untuk menciptakan yang “belum ada” di atas normalitas musik sebelum ini.

 

*Penulis adalah Pengamat Musik