Dalam Kesunyian Padang Rumput Mongolia
Oleh Petrus E. Handoyo
Tulisan ini bertalian dengan budaya nomaden Mongol di padang rumput, yang terletak di Republik Mongolia, Asia Tengah. Selama berabad-abad, orang Mongol secara batin dikenal sebagai orang-orang nomad. Budaya subjektif nomaden mereka tampak jelas sekali saat mereka yang sudah menetap di wilayah perkotaan pulang kembali ke padang-padang, entah padang rumput atau padang gurun, dan mengerjakan kegiatan harian seperti layaknya orang nomad.
Istilah “nomad”, dalam bahasa Yunani nomas, berarti “berkelana atau mengembara untuk mencari padang rumput”, “gembala yang mengembara”. Bila ditilik dalam konteks luas, orang-orang nomad memang mendiami banyak wilayah di bumi ini. Namun, kita sebenarnya tidak akan mendapati sebuah kota atau tempat tinggal mereka yang tetap. Mereka senantiasa on the move!
Mereka selalu berpindah atau berkelana dari satu daerah ke daerah lain, hutan ke hutan lain, sungai ke sungai lain, dan dari padang ke padang yang berbeda. Inilah suatu pengembaraan nomaden nan autentik. Pengembaraan nomaden yang tak bertepian! Pada sisi tertentu, jejak mereka pun boleh jadi sulit ditelusuri secara pasti ke mana mereka berkelana atau pergi. Mereka acapkali menghilang, tidak terjangkau, maupun terabaikan. Terlebih lagi, mereka gampang terlupakan oleh sebagian besar dari kita, masyarakat yang telah mapan.
Panggilan Hidup yang Pribadi
Orang nomad sungguh memiliki panggilan hidup yang bersifat personal untuk menempuh kehidupan nomaden atau seminomaden. Panggilan itu seringkali sukar ditelusuri serta dipahami lewat perspektif khalayak umum seperti kita semua, orang-orang yang hidup di era digital sekarang ini. Sebetulnya, itulah sebuah nomadisme yang begitu unik untuk diketahui.
Orang nomad Mongol dan padang-padang bersentuhan erat. Di padang rumput dan padang gurun Gobi itulah, mereka menjalani pola hidup nomaden tiap hari. Alam padang yang luas telah menjadi bagian hidup mereka. Ikatan batin di antara keduanya itu pun mampu menawarkan sebuah personalitas diri yang tulen. Sebuah dunia yang begitu fenomenal tempat orang nomad benar-benar menikmati kemerdekaan diri di padang-padang bersama kuda, unta, yak, ger (гэр, dalam bahasa Mongol, tenda bulat), terpaan angin padang, langit nan membiru, gurun nan gersang, maupun kesunyian padang itu sendiri.
Emee Tserenkhuu. Begitulah saya memanggilnya. Emee (эмээ) berarti “nenek”. Saat cuaca membekukan badan di negeri Mongolia sedang menyelimuti seluruh wilayahnya, saya mengunjungi nenek Tserenkhuu untuk pertama kali di akhir bulan November 2010. Cuaca dingin sekali.
Di padang rumput sekitarnya, suhu beku anjlok 20° C kendati hari masih siang. Salju turun dan angin dingin bertiup kencang sekali. Tanah di sekitar ger Tserenkhuu tertutup oleh salju ringan, lantaran angin dingin yang sangat kencang menghempas butiran salju maupun dinding tenda nomaden itu. Goyangan angin serta bunyinya benar-benar terasa di dalam ger. Boleh jadi, di padang rumput terbuka seperti itu kecepatan angin bisa bergerak antara 40-55 km/jam.
Ger adalah tenda berbentuk bulat dengan dinding warna putih. Inilah tenda nomaden Mongol yang khas. Tempat kediaman tradisional itu melambangkan sebuah arsitektur yang sangat khusus di Mongolia. Garis tengah dalam ger terbentang 5-6 meter. Itu juga tergantung pada ukuran ger. Dan, tingginya mencapai 3 meteran dengan bagian atap tengah yang meruncing. Menariknya lagi, di seluruh negeri Mongolia, pintu ger selalu menghadap arah selatan. Bila orang tersesat di tengah-tengah padang rumput ataupun padang gurun Gobi, ia dapat mengetahui arah mata angin melalui posisi pintu ger.
Tserenkhuu seorang wanita tua berusia 70 tahunan. Semenjak gadis kecil, dia sudah menjadi perempuan nomad yang tinggal di padang-padang rumput. Dia terlahir sebagai seorang anak nomad. Dia memiliki hubungan sangat karib dengan alam padang rumput sedari kecil. Lagi pula, sebuah padang belantara baginya bisa menjadi sebuah kediaman elok menawan, dan bukan lagi daerah yang sepi menyeramkan.
Kedekatan yang mengesankan dengan padang rumput nan lapang sejatinya sudah tercipta di usianya yang dini. Terlebih lagi, Tserenkhuu mengakui, dia tidak dapat menetap di daerah perkotaan. Dia merasa “menyangkal” panggilan hidupnya kalau dia harus berdiam di kota. Ini memang keberadaan dirinya sesungguhnya sebagai seorang wanita nomad. Dan, padang belantara kini menjadi segala-galanya bagi perempuan tua tersebut.
Suatu sore, saya bertanya pada nenek Tserenkhuu perihal harapannya dalam menjalani kehidupan nomaden di tengah-tengah tantangan zaman kini. Sewaktu saya menanyakan itu, Tserenkhuu dengan wajah tersenyum menjawab singkat dan penuh arti. “Kehidupan yang baik. Padang rumput sungguh indah. Ternak berkembang baik”. Jawabannya barangkali cukup menghibur bagi orang-orang yang melakukan penelusuran budaya nomaden Mongol. Apa yang pernah diucapkan oleh seorang biksu Buddhis Zen amat tepat, “Orang yang tahu tak berkata. Orang yang berkata tak tahu”.
Tserenkhuu tinggal di padang rumput berpegunungan bernama Usnii Khutul. Ini bukanlah daerah tempat tinggalnya yang permanen. Terletak 40 km dari Zaamar sum (semacam kabupaten), Provinsi Tuv, Mongolia Tengah. Padang Usnii Khutul juga berada di paling barat provinsi tersebut dan berbatasan langsung dengan Provinsi Bulgan. Padang tersebut berjarak lebih 300 kilometer dari kota Ulaanbaatar, ibukota Mongolia. Dari jarak tersebut, sejauh 190 kilometer jalannya beraspal dengan sejumlah lubang. Sisanya, jalanan didominasi oleh tanah kuning, batuan kerikil kecil, dan selalu berdebu.
Ketika Tuvshintug (sang sopir), Luvsongombo dan keluarganya, Batsukh (anak lelaki dari nenek Tserenkhuu), dan saya berangkat menuju padang rumput Usnii Khutul di suatu siang, kami tersesat banyak kali. Batsukh, menetap di kota Ulaanbaatar, yang pernah menjalani hidup nomaden di padang-padang pun lupa-lupa ingat arah menuju kediaman ibunya. Sang sopir juga sering geleng-geleng kepala lantaran ke sasar di padang-padang rumput yang maha luas dan berangin kencang itu. Mobilnya, Mitsubishi Delica, termasuk dalam kategori four-wheel vehicle dan ngadat mesin pula di tengah-tengah suhu membekukan yang menusuk tulang. Dan, padang Usnii Khutul nampaknya belum dipetakan ke dalam atlas Mongolia.
Keluarga Luvsongombo pernah menghubungiku lewat pesan aplikasi Messenger dan bercerita bila mereka terakhir kali mengunjungi padang rumput itu sebelum pandemi Covid-19 melanda negeri Mongolia di akhir Januari 2020. Selama wabah terjadi, seluruh akses jalan dari kota Ulaanbaatar ke daerah-daerah ditutup. Akibatnya, banyak keluarga nomad menjual hasil olahan ternak mereka di wilayah-wilayah provinsi sekitarnya.
Siklus Perpindahan Nomaden
Sebagai orang nomad, Tserenkhuu dan keluarganya tidak bisa lepas dari siklus perpindahan nomaden. Mereka bersama ternak dan perkakas ger bergerak pindah dari satu padang ke padang lain sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Sepanjang musim dingin di bulan Oktober-Maret, mereka menetap di padang belantara Usnii Khutul. Tempat lengang ini berlokasi dekat bukit. Sedikit terlindung dari angin kencang yang datang kapan saja. Angin padang sungguh tidak dapat diterka kedatangannya. Di bulan-bulan seperti Desember-Februari, temperatur beku dapat turun antara 45° C hingga 28° C.
Tempat sekarang yang mereka tinggali disebut kamp musim panas. Bagaimana mereka mendapatkan air kalau di situ tak ada sungai kecil maupun sumber air? Keluarga Tserenkhuu menaruh hidup mereka pada salju dan sumber air di padang lain. Dari situ, mereka memperoleh air untuk kebutuhan harian dan juga sebagian untuk ternak kecil.
Di suatu petang, saya berjalan-jalan sekitar padang Usnii Khutul. Memang, saya tak menemukan sumber air sama sekali! Dan tak ada satu pohon pun di sana! Keadaan sekitar sangat sunyi senyap! Karenanya, menjalani gaya hidup nomaden di padang-padang perlu kecerdikan dan inovasi. Mereka memanfaatkan kotoran ternak kering sebagai bahan bakar untuk tungku dapur setiap hari. Untuk menghimpun aliran listrik, mereka memakai solar panel diletakkan di atas atap ger, yang diubah menjadi daya listrik dengan watt terbatas. Keluarga nomad bisa menyalakan lampu di malam hari dan mengecas telpon selular.
Musim dingin yang panjang memiliki tantangannya tersendiri bagi keluarga Tserenkhuu. Dia memiliki 300 ternak. Terdiri dari puluhan kuda dan sisanya domba-kambing. Mereka berkeingin, ternak bisa berkembang biak dengan baik selama musim dingin dan musim-musim lain pula. Beberapa tahun terakhir ini, keluarga Tserenkhuu harus membeli rumput jerami kering selama musim dingin dari beberapa pengusaha lain. Mereka membelinya sebanyak satu angkutan truk. Terkadang, mereka pun mesti beli rumput kering beberapa angkutan truk lagi.
Di samping itu, anak perempuan nenek Tserenkhuu dan keponakannya adakalanya pergi ke kota kabupaten untuk menjual susu, mentega, keju olahan, maupun daging. Atau, beberapa pedagang datang ke padang tersebut untuk membeli langsung hasil olahan ternak mereka. Selama masa pandemi Covid-19 di negeri Mongolia, harga-harga daging pun mulai merambat naik. Menurut National Statistics Office of Mongolia (NSOM, 2021), harga daging kuda per kilogram di pasar-pasar berkisar 8.500 tugrug (Rp 46.870). Dan, daging domba per kilogram dihargai 12.500 tugrug (Rp 68.926). Setiap hari penduduk Mongolia kebanyakan mengonsumsi daging domba ini. Mereka mengikuti pola meat-based culture.
Hal lain yang begitu menarik di negeri nomaden Mongolia adalah bahwa setiap bulan Desember, pemerintah pusat berkolaborasi dengan National Statistics Office of Mongolia mengadakan Sensus Ternak secara serentak. Ternak di sini meliputi kuda, unta, yak sapi, domba, dan kambing. Kegiatan penghitungan jumlah ternak tersebut diselenggarakan sekitar dua minggu pada bulan Desember 2020 lalu di tengah-tengah suhu yang membekukan badan dan wabah Covid-19.
Jumlah kuda di Mongolia pada Desember 2020 mencapai 4.093.861. Jumlahnya turun begitu signifikan dibandingkan dengan penghitungan ternak per Desember 2019, yaitu 4.214.818. Sedangkan, populasi unta malah naik menembus 472.934. Yak sapi berjumlah 4.732.010. Dan akhirnya, jumlah domba dan kambing masing-masing 30.094.428 dan 27.720.253. Populasi penduduk Mongol sendiri adalah 3.357.542 jiwa (NSOM, 2020).
Bila bulan Maret menjelang, keluarga Tserenkhuu harus meninggalkan padang Usnii Khutul. Mereka lalu berkelana lagi menuju kamp musim semi. Jaraknya lebih kurang 30 kilometer dari kamp musim dingin. Kadang-kadang, itu bisa lebih jauh lagi! Mereka bergerak pindah mengikuti sungai kecil yang menempus padang rumput yang mahalebar. Semua ternak (domba, kambing, dan kuda) bisa digiring langsung menembus padang-padang rumput. Atau, semua ternak (domba dan kambing) bisa diangkut dengan truk tua. Di daerah rumput yang baru, keluarga nomad itu mulai mendirikan ger dan mulai jalani kehidupan nomaden di situ.
Suami Tserenkhuu telah lama meninggal. Tetapi, dia tidak tinggal seorang diri di padang belantara. Seorang anak perempuannya kini menetap bersama dia. Juga, ada seorang keponakan dan cucu membantu pekerjaan nomaden setiap hari. Tserenkhuu punya tujuh anak. Satu anak perempuan dan satu anak laki-laki kini berada di kota Ulaanbaatar, yakni Tsetsegee dan Batsukh. Dan, empat orang lagi tinggal di Lun sum (130 km dari Ulaanbaatar) dan di Zaamar sum di Provinsi Tuv (sekitar 210 km dari Ulaanbaatar, sebagian jalan tanah dan berkerikil). Selain itu, nenek Tserenkhuu bercucu banyak. Ada beberapa cucu bersekolah di Zaamar sum. Saat libur panjang, mereka selalu menghabiskan waktu bersama sang nenek di padang rumput.
Sosok Tserenkhuu boleh jadi merupakan wanita nomad yang sejati. Dia sebenarnya berasal dari Provinsi Gobi Altai, di bagian barat Mongolia. Ayah ibunya juga orang-orang nomad di padang gurun. Memiliki keterikatan nan kuat dengan dunia nomaden. Ada juga adik perempuan Tserenkhuu yang menjalani hidup sebagai seorang nomad di Provinsi Gobi Altai. Bagaimana pula, Tserenkhuu menjadi generasi ketiga dalam garis keluarganya yang meneruskan kehidupan nomaden dengan setia.
Nenek Tserenkhuu tak akan pernah meninggalkan padang rumput untuk pindah ke kota bersama anak-anak dan kerabatnya. Di padang rumput, dia memang telah menemukan keberadaan dirinya. Dia terus menjalani kehidupan nomaden di padang rumput yang sunyi dengan hati yang terbuka.
*****
*Penulis adalah misionaris lintas-budaya, pernah menetap di Mongolia.