Candi Borobudur Dan Proyek “SON ET LUMIÈRE” (Catatan Kecil 30 Tahun Candi Borobudur Sebagai Warisan Budaya Dunia)
Oleh Nunus Supardi
/1/ Pengantar
Pada 2021 ini, Candi Borobudur menginjak tahun ke-30 diterima masuk ke dalam Daftar Warisan Budaya Dunia (World Heritage List) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Tepatnya diterima pada 13 Desember 1991, dengan nomor urut 348, dan kemudian diperbaharui menjadi No. C 592. Kode ―C‖ berasal dari kata Culture yang berarti Candi Borobudur merupakan Warisan Dunia dalam kategori budaya. Sementara itu, Candi Prambanan diterima sebagai warisan budaya dalam World Heritage List dengan nomor 49, dan sejak 1991, diperbaharui dengan nomor 642 pada 1998.
Setelah Candi Borobudur selesai dipugar dan diresmikan pada 23 Februari 1983, disusul oleh beberapa kebijakan baru. Pada 1991 badan dunia Unesco mengakui Candi Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia. Pada 2 Januari 1992 keluar Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 1992 Tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan serta Pengendalian Lingkungannya. Berdasarkan Keppres tersebut sejak 1992 dibentuklah PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Salah satu program yang akan dikembangkan oleh Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Deparpostel) dan PT TWC dan menambah daya tarik wisatawan nusantara (wisnus) dan wisatawan mancanegara (wisman) untuk datang ke kedua destinasi itu. Muncullah kemudian pada 1994/1995 gagasan untuk membangun proyek “Son et lumière” di Candi Borobudur dan Prambanan.
Tentang proyek ini banyak orang yang sudah lupa atau tidak tahu, dan banyak pula yang belum memahamai apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Son et lumière” itu. Proyek itu batal dilaksanakan karena penempatannya dinilai tidak selaras dengan amanat UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, pada 2011 berubah UU No. 10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya. Dalam rangka memeringati 30 Tahun pengakuan Candi Borobudur dan Prambanan sebagai Warisan Budaya Dunia, ada baiknya ditampilkan latar belakang dan alasan mengapa proyek itu batal dilaksanakan. Pembatalan proyek itu pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab pemerintah RI – dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan – untuk melindungi situs Candi Borobudur dan Prambanan sebagai Warisan Budaya Dunia.
/2/ Daya tarik Candi Borobudur
Pada saat “ditemukan” tahun 1815 candi Borobudur belum tampak bentuknya karena tertimbun tanah dan ditumbuhi pepohonan. Setelah dibersihkan tampaklah “bleger” atau tampilan candi meski beberapa bagian dalam keadaan runtuh. Meskipun keadaannya masih berantakan tetapi telah menarik perhatian banyak orang. Menurut Marieke Bloembergen dan Martijn Eickhoff reruntuhan bangunan candi keagamaan itu berubah menjadi situs arkeologi, membentuk titik-titik baru di peta baru yang memberikan kedalaman sejarah pada imajinasi geografis dan politik kontemporer¹. Tahun 1907-1911 Theodoor van Erp melakukan pemugaran fase pertama. Hasilnya membuat banyak orang kagum dan takjub yang melihatnya. Meskipun hasil pemugaraan belum sempurna, tetapi hasilnya telah membuat bangunan dengan bentuk segi empat dan sangat besar itu tampak kembali megah dan indah.
Selain keindahan dan kemegahannya, candi itu juga sarat dengan ajaran hidup dan kehidupan yang masih tetap aktual hingga kini. Ajaran itu dituangkan dalam bentuk relief yang kalau dijumlahkan mencapai luas sekitar 2.500 m2, dibingkai dalam 1.460 pigura, serta dipajang di sebelas selasar. Relief itu melingkari tubuh candi, seperti “halaman buku terbuka” (ada yang menyebut komik terbuka) yang jika diukur panjangnya mencapai hampir 3 km. Dari balik keberadaan Borobudur kita dapat mengungkap dan mengangkat simbol dan nilai-nilai budaya yang universal seperti nilai-nilai: spiritual, budaya, ilmu pengetahuan, politis, ekonomis, arkeologis, historis, dan seni dll.
Itulah sebabnya Borobudur ditempatkan sebagai salah satu tapak sejarah yang menjadi kebanggaan nasional. Borobudur adalah sebuah “cultural masterpiece” yang tidak hanya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan dunia. Sebuah karya “local genius” yang didasari oleh keterampilan, pandangan, dan daya kreativitas yang tinggi. Hal itulah yang membuat bangsa Indonesia berjuang keras untuk mengembalikan kondisi candi yang kian rusak untuk pulih seperti semula. Memasuki Repelita I 1969/1970 candi Borobudur kembali dipugar. Kalau pemugaran tahap I (1907-1911) dipimpin oleh bangsa Belanda, Theodoor van Erp, pemugaran tahap II dipimpin seorang ahli bumiputra, Prof. Dr. R. Soekmono.
Untuk menyelesaikan proyek multinasional dengan membongkar seluruh tubuh candi diperlukan waktu sepuluh tahun lebih. Pada 23 Februari 1983 purnapugar candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Soeharto. Untuk pemugaran kompleks candi Prambanan, diselesaikan secara bertahap. Yang pertama diresmikan purnapugarnya adalah Candi Brahma, pada 23 Maret 1987, Candi Wisnu 27 April 1991, dan peresmian Candi Wahana pada 1993. Semuanya diresmikan oleh Presiden Soeharto. Berbeda dengan pemugaran candi Borobudur, pemugaran kompleks Candi Prambanan dibiayai oleh pemerintah RI dan ditangani oleh tenaga ahli Indonesia.
Setelah diresmikan tugas berat berikutnya adalah melakukan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan candi. Dalam hal pemanfaatan, hasil pemugaran berbagai candi adalah untuk berbagai kepentingan: sosial, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan untuk kepentingan ekonomi. Salah satu upaya untuk mendukung kepentingan ekonomi, candi Borobudur dan juga candicandi yang lain dijadikan obyek kunjungan wisata dalam dan luar negeri. Candi Borobudur dan Prambanan sebagai karya masterpiece memiliki daya tarik yang tinggi. Banyak wisatawan nusantara dan asing berdatangan ke Borobudur dan Prambanan.
Meskipun telah banyak mendapatkan kunjungan, di sekitar tahun 1993, Deparpostel yang bertanggung jawab di bidang pemanfaatan untuk pariwisata menilai jumlah pengunjung itu masih dapat ditingkatkan. Untuk lebih meningkatkan jumlah pengunjung, pada 1994/1995 Deparpostel menggulirkan sebuah proyek, yang dikenal dengan sebutan proyek “Son et lumière” atau “Multi Media Show Borobudur and Prambanan Project”. Sebuah proyek bantuan lunak (soft loan) dari Prancis sebagai negara penemu model pertunjukan yang diberi nama “Son et lumière” tersebut.
/3/ Apakah Son et Lumière itu?
Menurut kamus Son et lumière, bererti hiburan dari luar yang menggunakan suara, lampu, dan seringkali cerita lisan untuk menceritakan sejarah suatu tempat². berasal dari bahasa Perancis diucapkan “sɔ e lymjɛʁ” atau dalam bahasa Inggris “sound and light” atau dikenal dengan nama “multimedia show”. Dalam bahasa Indonesia frasa itu diterjemahkan menjadi “suara dan cahaya”, atau “suara dan pertunjukan cahaya”. Pertunjukan Son et lumière pada dasarnya sama dengan pertunjukkan film dengan memanfaatkan efek cahaya secara khusus yang diproyeksikan ke façade bangunan atau sisa bangunan tua. Belakangan ini muncul pula nama Video Mapping yang pada dasarnya mirip dengan Son et lumière.
Façade bangunan yang akan dijadikan sasaran “tembak gambar” dapat bermacam-macam bentuk, seperti bangunan utuh gedung bersejarah, sisa bangunan bersejarah, candi, gereja, istana, patung dll. Selain menggunakan façade bangunan atau sisa bangunan tua sebagai layar, ada pula yang menggunakan layar khusus, yaitu menggunakan layar yang terbentuk dari air yang dimasukkan ke dalam pipa kemudian dengan tekanan tinggi disemprotkan ke atas. Hasilnya, berupa bentangan “layar air” yang panjang dan tingginya bisa diatur berdasarkan besar-kecilnya tekanan. Melalui proyektor cahaya yang biasanya dibuat warna-warni, gambar ditembakkan ke sasaran. Tembakan cahaya itu biasanya diiringi dengan suara yang direkam atau bisa juga dengan narasi langsung, dan musik untuk mendramatisasikan kisah sejarah yang diangkat. Selain menembakkan cahaya warna-warni, ada pula yang dipadu dengan adegan gambar hidup (film) yang berisi kisah atau cerita sesuai dengan tema cerita yang akan ditayangkan. Dengan cara menembakkan cahaya warna-warni, atau rekaman gambar yang mengandung cerita, diiringi suara narasi atau musik, maka Son et lumière sebagai pertunjukan yang diselenggarakan dalam suasana gelap menjadi menarik, mirip dengan menonton film di gedung bioskop. Untuk penayangan di tempat terbuka seperti di candi Borobudur dan Prambanan, untuk mendapatkan suasana gelap pertunjukan dilaksanakan pada malam hari.
Sebagai sebuah pertunjukan yang mirip dengan pertunjukan film di gedung bioskop, pertunjukan Son et lumière di tempat terbuka juga menggunakan beberapa peralatan yang sama dengan pertunjukan di gedung bioskop. Komponen peralatan itu antara lain: (1) Genetor listrik (Generating Set); (2) proyektor (Film Projector); (3) Sound sistem; (4) layar air (Water Screens); (5) Water Wall; (6) Inflatablefabric Screens; (7) Tightfabric (tulle) screen and telescopic mats; (8) Sound Installation; (9) Image Projection; (10) Light Projector and Control; (11) Laser; dan (12) Special effet, flashes, lights, and rockets.
Gambar1: “Son et lumière” di kastil de Chambord di Prancis, 1952. (https://www.google.com/search?q=Son+et+lumi%C3%A8re+at+kastil+de+Chambord)
Mengenai sejarah awal berdirinya Son et lumière ada dua pendapat. Ada yang menyebut, Son et lumière diciptakan oleh Piere Long sejak 1947. Tetapi sumber lain menyebutkan model pertunjukan pertama kali ditemukan oleh Paul Robert Houdin, seorang kurator dari Château de Chambord (kastil Chambord) di Prancis. Penemuannya itu pertama kali diluncurkan pada tahun 1952 di Château de Chambord, Prancis, tempat ia bekerja. Setelah peluncuran, hasil ciptaan Paul Robert Houdin itu cepat merebak ke berbagai negara. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti India, Thailand dan Malaysia, Indonesia termasuk yang masih tertinggal.
/4/ Son et lumière di beberapa negara
Setelah diluncurkan 1952, minat untuk memasang ―Son et lumière semakin berkembang. Tidak hanya di lingkungan negara Prancis tetapi juga beberapa negara di Eropa, Amerika, Kanada, Afrika, dan Asia. Pada awal 1960-an di lokasi Piramida Agung Giza di Mesir sebagai negara di benua Afrika yang pertama kali dipasang Son et lumière. Minat wisatawan untuk berkunjung ke Giza pun meningkat tajam.
Gambar 2: “Son et lumière” diPiramida Giza di Mesir
(https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Son_et_lumi%C3%A8re_sound_and_light_show_at_Giza_2.JPG)
Di Asia pertama kali dipasang di New Delhi, India pada 1965 oleh India Tourism Development Corporation. Yang telah dipasang berikutnya antara lain di Amber Fort, Rajasthan; Akbari Quila, Ajmer, Jantar Mantar, Jaipur; Purana Qila, Delhi; Benteng Golconda Andhra Pradesh, India Gate, Delhi; Victoria Memorial, Kolkata; Beating Retreat, Vijay Chowk, Delhi; Cellular Jail, Port Blair; dan Brindavan Gardens, Mysore. Berikutnya, Malaysia menampilkan Son et lumière pada 1965 di kota tua Malacca dan berikutnya Menara Kembar, Petronas.
/5/ Son et lumière di Indonesia
Sebagaimana halnya tujuan pembangunan Son et lumière di beberapa negara, rencana diselenggarakannya pertunjukan malam hari di candi Borobudur dan Prambanan adalah untuk menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke kedua candi itu. Dengan kehadiran para turis di malam hari, diperhitungkan akan menambah lama tinggal (long stay) para turis. Dengan penambahan waktu tinggal itu berarti akan menambah jumlah pengeluaran para wisatawan, yang berarti akan mnambah jumlah devisa negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Konsep penambahan daya tarik khusus untuk candi Borobudur dengan pemasangan Son et lumière itu merupakan salah satu pilihan dari sekian upaya pernah dirancang. Rencana lain yang pernah diangkat adalah dengan mencanangkan program “Second Restoration” yang diarahkan pada penataan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar candi. Pernah pula muncul gagasan untuk menjadikan Borobudur sebagai pusat kunjungan spiritual umat Buddha dari seluruh dunia dengan mengusulkan agar diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Wisata Ziarah. Melalui penetapan itu arus wisatawan, khususnya wisman dari Thailand, Birma, Kamboja, Vietnam, Jepang yang akan datang ke Borobudur meningkat. Gagasan itu tidak terwujud, karena banyak kalangan yang tidak setuju. Dari hasil kajian ulang akan lebih banyak mendatangkan banyak kendala dan dampak negatif.
Muncullah gagasan dari Joop Ave sebagai Menparpostel, setelah mendapatkan inspirasi dari keberhasilan proyek Son et lumière di beberapa negara. Sebagai penggagas, Deparpostel bertindak sebagai penanggung jawab proyek (Project Officer) mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Sebuah pertunjukkan malam yang baru pertama kali untuk di Indonesia. Dengan demikian program baru itu akan banyak mengundang bengunjung datang ke dua candi tersebut.
Gambar 3: Logo proyek ―Son et lumière‖ atau Multi Media Show di Borobudur dan Prambanan
Proyek itu mendapat bantuan lunak (soft loan) dari pemerintah Prancis, sehingga Indonesia hanya menyediakan sejumlah dana pendamping. Sebagai pelaksana, ditunjuk perusahaan ―LIGHT CIBLESI dari Prancis yang memiliki keahlian di bidang itu. Perusahaan itu didirikan oleh Louis Clair 1983 dan memiliki jaringan kerja di 27 negara termasuk Indonesia. Tim penanggung jawab dalam hal teknis pelaksanaan adalah Louis Clair (Light Conception), Bernard Dorleans (French Export and Trade Advisor, dan Jacques Dumarcay (Architect/Archaeologist), dibantu oleh sejumlah ahli di bidangnya. Tim pelaksana dibagi menjadi: bidang administrasi; pencahayaan (lighting); penayangan (scenography); dan arsitektur (architecture).
/6/ Konsep penyajian
Mengenai konsep penyajian Son et lumière di candi Borobudur dan Prambanan telah dibuat sebuah rencana gambar yang cukup rinci (99 halaman), lengkap dengan pendahuluan, analisis sejarah dan arkeologis, gambar lokasi dan penempatan peralatan, tema dan babak adegan pertunjukan, bagan organisasi dan personalia, serta jadual waktu pelaksanaan. Untuk keseluruhan gambar rencana pemasangan Son et lumière untuk di Candi Borobudur lebih lengkap dan rinci dibandingkan dengan renacna pemasangan di Candi Prambanan. Sesuai gambar rencana, Son et lumière akan dipasang di dekat candi (Zona I) dengan alasan untuk mendapatkan sudut penyorotan sinar dari proyektor secara baik dan tepat sasaran. Lokasi yang dipilih adalah di zona Inti candi. Berbeda dengan di banyak negara, penayangan gambar di Borobudur, akan meng-gunakan layar yang dibuat dari air (water screen) dengan cara menekan air dalam pipa yang ditanam tanah dengan tekanan tinggi. Tekanan tinggi itu akan menghasilkan layar air raksasa dengan ukuran, tinggi 17 m dan lebar layar 70 m. Untuk itu akan dibutuhkan air sebanyak 135 m3, arena penon-ton seluas seluas 1100 m2, dan generator listrik sekitar 400 Kw. Sementara itu untuk di candi Prambanan belum di buat secara detil, tetapi sudah dirancang volumenya lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di Borobudur. Layar air yang digunakan hanya sekitar 8 m, kebutuhan air sebanyak 95 m3, arena penonton seluas 280 m2 dan kebutuhan listrik sekitar 60 Kw.
Untuk pertunjukan di Borobudur, tema yang diangkat sesuai dengan sejarah berdirinya Candi Borobudur sebagai Candi Budha, yaitu mengenai kisah kehidupan Sang Budha Gautama mulai dari lahir, remaja, dewasa hingga moksa sebagai tema utama. Berikutnya adalah menayangkan gambar kehidupan masyarakat Borobudur zaman dulu dan detil dari beberapa panel relief terpilih. Semua adegan itu dengan proyektor akan ditembakkan ke permukaan layar air, kecuali ketika Sang Budha Gautama moksa, arah cahaya gambar Sang Budha Gautama secara perlahan-lahan akan diarahkan naik ke puncak candi dan kemudian gambar Sang Budha Gautama lenyap sebagai penggambaran saat-saat moksa.
Dalam hal penayangan materi tersebut akan dibagi menjadi 4 babak atau sequence, yaitu: Sequence #1 menggambarkan kehidupan sehari-hari masya-rakat Borobudur (Show Living/ Everyday life); Sequence #2 menggambarkan kisah Karmawibhangga; Sequence #3 menggam-barkan kisah Maitrakanyaka (The Story of Maitrakanyaka); dan Sequence #4 menggambarkan kehidupan Sang Siddhārta Budha Gautama (Mara‘s Attempt to stop Budha on his way).
Mengenai alasan mengapa lokasi pemasangan Son et lumière berada di dekat dengan tubuh candi Borobudur (Zona I), didasarkan pada pertimbangan teknis, yaitu untuk mendapatkan gambar dan suasana yang menarik dan artistik. Digambarkan, karena suasana malam dan gelap, kedatangan penonton akan dipandu dengan penerangan obor minyak yang akan dipasang di sepanjang jalan menuju arena. Untuk memberikan efek dramatik relijius, obor itu juga akan dipasang di kaki candi dan tangga candi hingga ke atas candi.
/7/ Tanggapan pihak Direktorat Jenderal Kebudayaan
Sebelum proyek itu dilaksanakan, pihak Deparpostel menyelenggarakan rapat koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Hadir mewakili Direktorat Jenderal Kebudayaan penulis dan Drs. Samidi (almarhum). Penjelasan mengenai proyek itu mulai dari awal disampaikan langsung oleh Menparpostel, Joop Ave. Dalam penjelasan itu disebutkan bahwa proyek sudah dalam status “on going project”, dan dengan demikian kehadiran para undangan hanya untuk mendengar uraian tentang proyek tersebut. Tentu saja penjelasan itu membuat para undangan bertanya-tanya. Bagi Direktorat Jenderal Kebudayaan proyek itu menjadi sangat penting untuk ditanggapi, karena lokasi Son et lumière ada di zona I candi Borobudur. Sesuai ketentuan dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, kewenangan pemanfaatan Zona I ada pada Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Bagi Direktorat Jenderal Kebudayaan proyek Son et Lumière di Borobudur-Prambanan sebagai yang pertama di Indonesia, dan akan mendongkrak daya tarik wisatawan datang ke Borobudur, memberikan dukungan penuh. Selain itu, bila dibandingkan dengan Son et Lumière di beberapa negara, yang akan dipasang di Indonesia termasuk yang paling unik di dunia. Di tempat lain belum ada yang menggunakan layar air, dan menayangkan sebuah cerita (kisah Budha Gautama) secara lengkap. Dengan demikian proyek pertama dan paling unik itu akan menambah jumlah wisatawan datang ke kedua candi. Dengan meningkatnya jumlah wisatawan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelebihan yang lain, proyek itu merupakan proyek soft loan dari pemerintah Prancis, sehingga tidak terlalu membebani anggaran pemerintah. Pemerintah Indonesia hanya menyediakan dana pendamping yang jumlahnya tentu tidak terlalu besar.
Tetapi di balik beberapa kelebihan proyek itu ada beberapa catatan penting yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Meskipun proyek itu telah dinyatakan sebagai “on going project”, tetapi karena belum diawali dengan koordinasi yang solid dengan instansi lain terkait, maka pihak Ditjenbud menyampaikan beberapa pertimbangan.
Pertama, Ditjenbud sangat mendukung pemilihan lokasi Son et Lumière di candi Borobudur dan Prambanan. Kedua, karena pemasangan peralatan dan operasionalisasi Son et Lumière di Zona Inti, pihak Direktorat Jenderal Kebudayaan menyarankan agar di tempatkan di zona II. Di dalam UU No. 5/1992, telah diatur mengenai mintakat (zonasi) situs. Zonasi itu dibagi menjadi tiga. Pertama adalah Zona Inti, yakni lahan situs yang tidak ada bangunan tambahan.
Kedua adalah Zona Penyangga, yakni lahan sekitar situs yang befungsi sebagai penyangga kelestarian situs, dan ketiga adalah Zona Pengembang, yakni zona yang dapat dikembangkan untuk fungsi sosial, ekonomi dan budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian.
Ketiga, pertunjukan Son et Lumière akan berlangsung di malam hari dan di tempat terbuka, maka dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap masalah pengamanan pengunjung yang bisa jadi dalam jumlah besar. Yang diperlukan bukan hanya pengamanan di sekitar pertunjukan tetapi juga pengamanan pada badan candi dari “serbuan” pengunjung yang dikhawatirkan akan naik ke atas candi.
Keempat, pertunjukan Son et Lumière akan menggunakan layar air yang akan disemprotkan ke atas dalam jumlah besar. Dikhawatirkan percikan air itu akan menjadi “embun”, tertiup angin dan dengan demikian akan membasahi badan candi. Kelembaban candi yang secara terus menerus akan mengundang berkembangnya jamur dan berbagai jenis tumbuhan yang dapat mengganggu stabilitas batu candi.
Kelima, pemakaian Genset berkekuatan tinggi dan pompa air bertekanan tinggi akan menimbulkan getaran yang dikhawatiran akan berpengaruh pada soliditas struktur bangunan candi.
Keenam, pada 1991 UNESCO telah menetapkan Borobudur bersama candi Prambanan sebagai warisan budaya bangsa Indonesia sebagai milik dunia (The World Heritage). Sebuah pengakuan resmi yang sangat membanggakan, karena tidak semua bangsa atau Negara memiliki aset budaya yang mendapatkan pengakuan seperti itu. Menjadi kewajiban UNESCO, pemerintah dan warga bangsa untuk bersama-sama menjaga, melindungi dari berbagai ancaman yang dapat mengganggu kelestarian candi. Oleh karena itu rencana pembangunan proyek Son et Lumière perlu juga mendapatkan lampu hijau dari UNESCO.
Dengan adanya beberapa catatan tersebut, proyek Son et Lumière belum dapat dilaksanakan, dan perlu dilakukan pertemuan koordinasi dengan instansi terkait. Pertemuan itu antara lain difasilitasi oleh Menteri Sekretariat Negara, Moerdiono. Tetapi karena tidak menemukan titik temu, akhirnya disimpulkan proyek Son et Lumière di Candi Borobudur dan Prambanan batal dilaksanakan.
/8/ Penutup
Ketika kedua candi itu masih dalam keadaan runtuh memang tidak banyak pihak yang menaruh perhatian. Terutama dalam hal kesulitan yang harus dihadapi para pelaksana dalam memugar, memelihara dan melindungi benda cagar budaya yang semakin rapuh dimakan usia dan ancaman bencana alam. Tidak hanya menghadapi masalah teknis saja, tetapi juga terbatasnya jumlah dan kemampuan SDM, dan masalah terbatasnya peralatan dan dukungan dana. Kendala yang juga tidak kalah pelik adalah mengenai pembebasan dan penataan lingkungan candi. Berkat bantuan dari berbagai pihak termasuk negara donor, pemugaran candi Borobudur dapat diselesaikan dengan memakan waktu lama dan biaya yang besar.
Setelah purnapugar diresmikan, candi tampak utuh dan megah, ternyata permasalahan baru bermunculan. Antara lain masalah pembagian kewenangan antara lembaga yang bertanggung jawab dalam hal pelindungan dengan lembaga yang bertanggung jawab dalam pemanfaatan candi sebagai obyek kunjungan wisata. Juga masalah kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Masyarakat juga mulai menanyakan tentang manfaat yang didapat setelah candi itu dipugar. Selain itu ada pula pihak yang mempermasalahkan penetapan candi Borobudur dan Prambanan sebagai bangunan mati atau dead monument. Mengapa setelah selesai dipugar bangunan itu tidak dimanfaatkan seperti fungsi semula? Munculnya berbagai ide, usul, hingga tuntutan pemanfaatan dari berbagai pihak, harus dapat diselesaikan dengan bijak.
Sebagai departemen yang bertanggung jawab dalam hal menambah jumlah wisatawan berkunjung ke candi, Menparpostel Joop Ave memang dituntut untuk melakukan berbagai upaya untuk mendongkrak daya tarik candi Borobudur dan Prambanan. Pembangunan proyek Son et Lumière sebagai sebuah model pertunjukan baru di Indonesia tentu saja pihak Depdikbud sangat mendukung. Masalah penempatan proyek tersebut disarankan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk ditempatkan pada lokasi di luar Zona I yang memiliki sudut tayang (angle) yang tepat. Pilihan itu diasumsikan tidak akan mengurangi mutu tayang, dan tidak akan mengganggu kelestarian candi. Saran itu didasarkan pada amanat UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan amanat dari pihak UNESCO yaitu untuk menghindari berbagai dampak negatif terhadap kelestarian candi dalam menerapkan kebijakan berkenaan dengan situs tersebut.
Sayang, saran pihak Ditjenbud untuk menempatkan proyek Son et Lumière di luar zona I menemui jalan buntu. Akhirnya proyek Son et Lumière dibatalkan.
Sumber:
- Marieke Bloembergen, Marieke & Martijn Eickhoff. 2013. Exchange and the Protection of Java’s Antiquities: A Transnational Approach to the Problem of Heritage in Colonial Java . The Journal of Asian Studies Vol. 72, No. 4 (November): 893-916.
- Rancang bangun Son et Lumière setebal hampir 100 halaman disimpan di Perpustakaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/son-et-lumiere.
- https://www.google.com/search?q=Son+et+lumi%C3%A8re+at+kastil+de+Chambord
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Son_et_lumi%C3%A8re_sound_and_light_show_at_Giza_2.JPG
Gambar 4. Atas: Anak panah menunjukkan tempat layar air, di zona I candi Borobudur
Gambar 5. Bawah kiri:Sketsa rencana layar airdiBorobudur, dengan ukuran lebar 70 m tinggi 17 m.
Gambar 6. Bawah kanan: Sketsa proyektor yang akan menayangkan rekaman gambar ke permukaan layar air.
Gambar 7 dan 8: Materi gambar ( film) yang diangkat dari relief-relief Candi Borobudur yang akan “ ditembakkan” pada layar air muncrat.
Gambar 9 dan 10. Atas: Materi gambar (adegan film) Candi Borobudur secara utuh yang akan “ ditembakkan” pada layar air muncrat .
Bawah: Kamera fokus ke arah kemuncak candi, dan Sang Sidharta Gautama moksa dari kemuncak candi.
Gambar 11 dan 12. Atas: Rekaman gambar (Film) tentang kehidupan Sang Sidharta Gautama mulai sejak lahir hingga moksa. Bawah: Sang Sidharta Gautama sedang bertapa di bawah pohon Bodhi
Gambar 13 dan 14. Atas: Materi gambar candi Borobudur secara utuh yang akan ditembakkan ke layar air muncrat.
Bawah: Kamera akan fokus mengarah puncak candi, dan di atas puncak itu Sang Sidarta Gautama hilang moksa.
————-
¹Marieke Bloembergen & Martijn Eickhoff. The Journal of Asian Studies Vol. 72, No. 4 (November) 2013: 893-916.
²https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/son-et-lumiere.
*Penulis adalah Budayawan dan Pemerhati dunia kepurbakalaan Indonesia