Buton dan Bhinci Bhinciki Kuli
Oleh Soffa Ihsan
Baubau adalah sebuah pemerintahan kota di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Banyak simbol yang berfungsi membawa jejak ingatan di Buton. Sejak pertama memasuki Kota Bau-Bau, kita akan dihadapkan dengan sejumlah monumen yang menjadi tapak memori tersebut. Beberapa simbol masa silam diantaranya Benteng Keraton Buton, Masjid Agung Keraton Buton, Simbol Naga dan Nanas, rumah adat dan artefak kesultanan, naskah kuno, tradisi atau pesta adat. Lambang resmi kesultanan Buton adalah buah nanas yang melambangkan kesejahteraan karena nanas bisa tumbuh pada segala musim. Di kota Baubau yang dulunya menjadi pusat Kesultanan Buton terdapat ukiran buah nanas dan naga yang menjadi simbol Kesultanan Buton. Simbol nanas dan naga merupakan akulturasi antara budaya Buton dan Cina.
Begitupun, hampir semua atap rumah panggung dan gedung-gedung di Pulau Buton, bisa ditemukan pahatan nanas serta naga kecil di belakangnya. Ketika melihat rumah adat atau atap berbentuk rumah adat, maka di atasnya selalu ada gambar nanas dan naga. Dua benda ini seakan saling melengkapi dan terletak di atas atap, baik sisi depan dan sisi belakang.
Selayak daerah di Nusantara, Buton hidup dengan mengembangkan kebudayaannya sendiri. Kebudayaan Buton adalah pusaka warisan leluhur suku bangsa Buton yang patut dipelihara, dijaga dan dilestarikan baik yang berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).
Buton identik dengan laut yang menghampar luas. Persentuhan dengan lautan, telah mengasah kecakapan orang Buton dalam menaklukan laut. Sampai-sampai, antropolog Christian Pelras (2010) menyebut hanya lima bangsa di Nusantara yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa pelaut. Lima bangsa itu adalah Bajo, Makassar, Mandar, Buton, dan Using (Madura).
Ya, Buton sebuah ‘enklave’ budaya yang masih terpelihara di negeri ini. Saya dua kali ikut semacam ekspedisi budaya di Buton. Senarai perjalanan budaya yang memesona. Buton menjadi salah satu yang menambat saya diantara sekian rihlah budaya yang saya ikuti di beberapa daerah di negeri ini.
Asal Muasal
Selama ini, nama Buton dikenal sebagai pulau penghasil aspal terbesar kedua di dunia. Secara harfiah, ‘Buton’ memiliki banyak arti. Dalam konteks geografis, ‘Buton’ berarti ‘Pulau Buton’ yang terletak di ujung semenanjung Sulawesi Tenggara. Dalam konteks politik, ‘Buton’ berarti ‘Kabupaten Buton’ yang berada di Propinsi Sulawesi Tenggara dan terdiri atas bagia selatan pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi, Pulau Kabaena, beberapa pulau kecil dan sebagian semenanjung Sulawesi Tenggara. Sedang dalam konteks kesultanan, ‘Buton’ bisa digunakan untuk menyebut orang-orang dari daerah Buton termasuk dari kepulauan Muna. Di pulau ini, dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang bernama Buton atau Wolio yang beribukota di Baubau. Daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi, selain Pulau Buton, juga beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku (Tasrifin Tahara, 2014).
Asal muasal nama Buton ada sejumlah versi. Salah satu versi menyebut bahwa nama ‘Buton’ berasal dari bahasa Arab, ‘butun’ yang berarti ‘perut’ seperti tercantum dalam al-Quran. Dinamai demikian karena negeri Buton diyakini mengandung banyak isi sebagaimana halnya perut atau ‘butun’ yang berisi makanan. Menurut pemahaman dalam tradisi setempat, ‘isi’ dimaksud adalah berupa hikmah, ilmu dan kekayaan alam yang terpendam didalamnya. Budayawan Buton, La Ode M. Budi Wahidin yang saya temui mengungkapkan bahwa istilah Buton sudah tertera dalam pembahasan sebuah kitab tafsir al-Quran, yaitu Tafsir al-Maraghi, yang ditulis oleh ulama ahli tafsir (mufassir) asal Mesir, yaitu Musthofa al-Maraghi. Adanya pemahaman masyarakat Buton mengenai asal-usul nama Buton yang dikaitkan dengan al-Quran ini tampaknya dapat dipahami dalam kerangka emosi sufistik masyarakat Buton itu sendiri.
Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara Kertagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Sebelum bangsa Eropa singgah dan mengabarkan kepada dunia tentang pulau ini, bangsa Majapahit telah lebih dulu mengenal Pulau Buton. Setidaknya, demikian tercatat dalam satu naskah kuno Majapahit, yaitu Kakawin Negarakertagama yang ditulis Empu Prapanca pada tahun 1364. Dalam kitab tersebut, Empu Prapanca menyebut sumpah Gajah Mada yang dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu, Gajah Mada menyebut sejumlah negeri yang harus dikuasai Kerajaan Majapahit, yang satu diantaranya adalah Buton. Ungkapan tersebut berbunyi,“Ikang sakasanuasa Makasar Boetoen Banggawi” yang maknanya: “Yang dimaksud Kesatuan Nusantara adalah Makassar, Buton, Banggai (Abdul Rahim Yunus, 1995).
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke 13. Penyebutan ini sesungguhnya menunjuk pada sebuah negara berdaulat sebagaimana halnya Bantaeng, Makasar, Banggai, Solor dan sebagainya. (Era Muhammad Saidi, 2002).
Tahun 1332 berdiri kerajaan Buton. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan, yaitu Ratu Bulawambona. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua diantaranya perempuan, yaitu Ratu Wa Kaa Kaa dan Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum.
Tentang Ratu Wa Kaa Kaa, menurut hikayat dia adalah seorang gadis yang lahir dari bulu bambu, sehingga orang-orang Buton menggelarinya Mobetena Yi Tombula. Namun, versi lain mengatakan bahwa Wa Kaa-Kaa sebenarnya adalah putri dari dinasti Mongol, anak Kubilai Khan, yang memerintah Mongol ketika itu. Wa Kaa-Kaa diutus ke Buton untuk mencari dan menggagalkan usaha Gajah Mada, patih yang sangat masyhur dari Kerajaan Majapahit yang merupakan musuh dinasti Mongol. Menurut cerita, Gajah Mada ketika itu juga sedang berada di tanah Buton dan untuk misi itulah Wa Kaa-Kaa diutus ke Buton. Tidak ada bukti sejarah yang jelas kecuali mitologi menyebutkan bahwa raja pertama Buton bergelar Wa Kaa Kaa. Dalam perkembangan selanjutnya, anak Wa Kaa Kaa dikawinkan dengan seorang putra bangsawan Majapahit. Keturunan dari perkawinan itu adalah raja yang bergelar Tuarade. Dialah yang telah berkunjung ke istana Majapahit. Tuarade bukanlah nama pribadi, melainkan gelar yang berasal dari kata ‘tuan’ dan kata ‘raden”. Dialah yang membawa simbol dan kelengkapan upacara kerajaan. Adapun kelengkapan istana raja ‘Syara Jawa’ adalah payung kain, permadani, Gambi (payung terbuat dari kain, dan Somba atau sembah (Susanto Zuhdi:1994).
Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah wafat, dia lebih dikenal dengan gelarnya sebagai Sultan Murhum.
Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan “Murtabat Tujuh”, suatu ‘aliran’ dalam tasawuf yang dirumuskan oleh Muhammad al-Burhanunpuri, seorang sufi dari Gujarat, India melalui kitab At-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi. Madzhab tasawuf ini populer di Nusantara pada abad ke 17. Penyebar ajaran ini diantaranya adalah Syamsudin As Sumatrani, mufti kesultanan Aceh. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit
Peranan tasawuf sangat besar dalam kesultanan Buton. Ini terlihat misalnya dalam sistem kekuasaannya atau ketatanegaraan yang dibangun di kesultanan Buton. Ini pula yang membuat sistem pemerintahan di Buton kala itu sangat menarik karena konsep pemerintahannya demoktratis, tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik. Dan ini pulalah yang menjadi kekhasan budaya Buton bahwa pemerintahan raja dan sultan di Buton tidak bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau kerajaan Melayu lain. Namun melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh Dewan/Sara yang menerapkan prinsip musyawarah (La Ode M Budi Wahidin, 2010).
Selama ini ada anggapan bahwa masyarakat Buton adalah masyarakat yang homogen, misalnya memiliki bahasa serta adat istiadat yang sama sepanjang bekas wilayah kesultanan. Hasil pemetaan bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan adanya sekitar 16 bahasa yang digunakan di bekas wilayah Kesultanan Buton, bahkan ada yang menyebutkan ada 30 bahasa dan lebih seratus dialek. Pandangan ini bertolak belakang dengan fakta yang ada yang kian mengukuhkan bahwa Buton adalah wilayah yang sangat heterogen dengan banyak etnis dan bahasa didalamnya. Sebagai contoh dapat diajukan di sini adalah orang Kalisusu yang mendiami Buton Utara dan orang Cia Cia yang mendiami Buton Selatan. Dua sub etnis ini masing-masing memiliki bahasa dan kebudayaan sendiri. Ada juga etnis Bali yang mendiami di suatu wilayah Buton. Ada juga satu kelompok yang disebut Katobangke yang juga bagian dari masyarakat Buton.
Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat Buton, yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kolencusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.
Demikian pula, heterogenitas masyarakat Buton terlihat dari latarbelakang dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut disaturagakan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Bahkan beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Pengelolaan keragaman menjadi satu kekuatan yang menyebabkan di tanah ini tidak pernah terdengar ada konflik berskala masif. Hingga kini, belum ada semacam “perang sipil“ di kalangan etnis-etnis yang ada di Buton. Pada masa kesultanan, konflik-konflik itu justru dikelola dengan positif secara internal melalui mekanisme pemerintahan yang di dalamnya terdapat otonomi atas 72 kadie (wilayah kecil). Dalam ulasan Tasrifin Tahara (2014), masing-masing kadie, memiliki otonomi dan kebebasan tersendiri untuk melaksanakan ritual kebudayaannya. Penduduk masing-masing kadie dilarang mengambil atau menggarap lahan di kadie lain, tanpa memenuhi syarat yang ditetapkan penduduk kadie yang bersangkutan. Pembagian wilayah menjadi 72 kadie (pitupulurua kadie) ini dipengaruhi oleh hadits Nabi yang menyatakan umat Islam akan terbagi menjadi 72 golongan.
Nama Wolio–yang dulunya menjadi pusat kesultanan—tak luput dari Islamisasi. Kata Wolio menurut Abdul Rahim Yunus dalam Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19 (1995), berasal dari kata Waliyullah. Buton dan Tanah Wolio disebut sebagai negerinya para wali, yaitu mereka yang menggelamkan dirinya pada aktifitas sufistik. Pandangan masyarakat ini menunjukkan pandangan dunia orang Buton seiring dengan masuknya agama Islam yang kemudian menjadi pedoman dalam menyusun tata perundang-undangan serta adat yang berlaku di dalam kesultanan. Mereka memilih kata Butuni dan Wolio sebagai pertanda akan tradisi sufisme yang kuat sehingga Islam menyentuh segala aspek kemasyarakatan termasuk asal-muasal nama. Sejarah bertutur di zaman ketika Islam mulai menyebar di jazirah Nusantara, masyarakat Buton sudah menjelmakan Islam dengan tradisi sufistik sebagai peta untuk mengatur segala urusan ketatanegaraan dan keseharian.
Bhinci Bhinciki Kuli
Ada satu falsafah hidup Buton yang menarik kembali diangkat. Falsafah ini diterima dan berlaku bagi seluruh umat manusia, tanpa mengenal perbedaan warna kulit, ras, asal keturunan, agama dan aliran kepercayaan maupun faham politik. Falsafah tersebut adalah Bhinci-Bhinciki Kuli. Dikemas hanya dalam tiga kata bahasa Wolio-Buton, singkat, padat dan sarat makna.
Bhinci-Bhinciki Kuli ini memiliki makna harfiah jika setiap orang mencubit kulit tubuhnya sendiri pasti akan terasa sakit. Dengan ungkapan lain, sebelum merasakan sesuatu sebaiknya dirasakan oleh diri sendiri terlebih dahulu. Yang digugah adalah kejujuran pada hati nurani kemanusiaan dalam mengekspresikan “rasa” yang dalam terminologi bahasa Wolio disebut “namisi”. Sebab, konsep rasa itulah yang menjadi akar persamaan manusia yang menjadi satu dengan sesamanya yang mana kejujuran dan kedalaman hati nurani merupakan kunci penentu yang menggerakan akal budi manusia. Konsep rasa inilah yang menjadi akar persamaan manusia yang menjadi satu dengan sesamanya. Setiap manusia mempunyai rasa dan perasaan yang menjadi hak-hak asasinya yang hakiki yang wajib dipertahankannya dan dihormati serta dijunjung tinggi.
Bhinci-bhinciki kuli dalam pergaulan sehari-hari dimanifestasikan dalam bentuk saling menyayangi satu sama lain, saling menghormati satu sama lain, saling memelihara satu sama lain dan saling taat menaati. Taat menaati bukan karena kedudukan atau jabatan seirang sehingga ia ditaati, tetapi karena setiap manusia memiliki hak lebih, yaitu hak asasi. Hak ini tidak boleh dilanggar oleh siapapun (Abubakar, 1999). Dalam hal ini, falsafah Bhinci Bhinciki Kuli mampu merekat masyarakat yang majemuk menjadi masyarakat harmonis.
Falsafah Binchi Binchiki Kuli seperti diungkap oleh La Ode Turi ( 2007) adalah turunan dari falsafah “Man arafa nafsahu faqad arafa nafsahu” (barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya). Falsafah ketuhanan ini termaktub dalam mukaddimah Undang-undang “Martabat Tujuh” yang menjadi dasar falsafah Buton. Dari falsafah tersebut kemudian dijabarkan menjadi falsafah kemanusiaan. Dan jika kedua falsafah tersebut dilaksanakan dengan baik, maka seseorang akan menjadi insan kamil atau manusia paripurna.
Tak heran bila dikaitkan dengan masuknya Islam ke Buton terbukti tidak menimbulkan “benturan” dalam masyarakat. Hal ini oleh karena humanisme Islam mendapatkan tempat dalam pangkuan falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli. Falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli dengan humanisme Islam yang mendorong terjadinya “akulturasi budaya” dan menjadikan Bhinci Bhinciki Kuli sarat dengan muatan makna serta nuansa simbol-simbol baru yang mampu merekatkan masyarakat Buton yang majemuk menjadi masyarakat damai dalam perjalanan sejarah yang panjang beberapa ratus tahun yang lampau.
Falsafah Bhinci-bhinciki Kuli sesungguhnya berdasar dan berujung pada kemanusiaan/diri manusia atau nafsahu telah dikembangkan oleh para bijak bestari lokal (local genius) di Buton pada zamannya. Walaupun sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan pada saat ini sudah tidak berjalan secara formal di lingkungan masyarakat lokal, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih mengakar dan melekat serta merasuk dalam lubuk hati sanubari masyarakat Buton hingga sekarang.
Demikianlah, falsafah Bhinci-Bhincki Kuli merupakan sebuah sistem nilai yang sesungguhnya sarat dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Eksistensi manusia, baik ia golongan elite maupun rakyat ditempatkan sesuai harkat dan martabat kemanusiaannya. Dalam ungkapan singkat, falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli identik dengan “perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Di ujung remujung ini, bolehlah mencuplik Ernest Renan, bahwa proses membangsa adalah proses hasrat bersama untuk bersatu. Bersatu bukan hanya dalam arti fisik, melainkan ada toleransi aktif untuk saling menerima, menghargai dan ikut memelihara persatuan tersebut. Indonesia merupakan negara yang dihasilkan oleh keringat dan bekas tangan-tangan kolektif. Bukan tangan agama tertentu, bukan pula keringat suku tertentu. Indonesia adalah mahakarya huruf-huruf alfabet tanpa terkecuali.
*Penulis adalah seorang penggiat literasi Eks Napiter dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)