100 Tahun Sartono Yang Sepi
Oleh Seno Joko Suyono
15 Februari ini tepat 100 tahun hari kelahiran almarhum Sartono Kartodirdjo. Sejarawan besar itu kelahiran Wonogiri tahun 1921 dan wafat di Rumah Sakit Panti Rapih 7 Desember 2007. Sartono seorang Katolik yang saleh. Tiap berbaring di tempat tidur ia membawa rosario. Kita bisa membayangkan saat tergolek lemah di Rumah Sakit Panti Rapih, rosario itu senantiasa digenggamnya. Usianya 87 tahun saat ia berpulang. Senin – tepat 100 tahun Sartono ini tapi tak terlihat banyak acara khusus memperingatinya – atau bahkan jarang. Di tengah meruyaknya webinar-webinar – yang begitu massif setiap hari, 100 tahun Sartono cenderung dilupakan. Sepi.
Sartono Kartodirdjo – siapapun tahu adalah tonggak sejarawan modern Indonesia. Ia yang memelopori sebuah pendekatan yang menolak histiografi dengan perspektif kolonial sentris. Ia melihat sejarah lebih dari perspektif lokal. Perspektif Indonesia sentris yang menempatkan orang kita sendiri sebagai pelaku utama, bukan pemerintah Hindia Belanda. Disertasinya: Pemberontakan Petani Banten 1888 (The Peasant Revolt of Banten in 1888) adalah suatu magnum opus yang mencerminkan hal itu.
Foto Sartono Kartodirdjo
Disertasi ini melihat ketidak puasan dan perlawanan masyarakat Banten terhadap pemerintah kolonial – bukan dari sudut pandang mata dan pemikiran aparat-aparat Belanda tapi dari penglihatan dan alasan-alasan kaum pribumi lokal. Sepanjang hidupnya ia memang berpendapat bahwa membesarkan peran elite dalam sejarah bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan. Ia aktif menyuarakan bahwa ”orang biasa” adalah juga penggerak sejarah tanah air. Ia menolak menempatkan petani sebagai: les peoples sans histoire.
Sartono berusaha merekonstruksi , mengapa, apa penyebab dan bagaimana peristiwa bersejarah pemberontakan petani itu kemudian berlangsung. Dia memakai pendekatan multidimensional. Ia konsisten berkeyakinan bahwa tidak ada sebuah kelompok pun yang paling berjasa membentuk sejarah Indonesia. Pada titik ini kita ingat ketika almarhum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto, dalam buku resmi sejarah Indonesia yang dibuatnya, menempatkan militer sebagai unsur paling dominan dalam politik modern kita, Sartono menolak.
Sartono melengkapi pendekatan sejarah dengan pendekatan sosiologis, psikologi dan sebagainya bahkan mempertimbangkan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap mitologi-mitologi lokal. Sejarah adalah multi aspek dan multi kausal. Sejarah tidak bisa dipahami dari satu sudut saja. Dan Sartono – saat menulis meledaknya perlawanan para petani itu berusaha menelusuri tenaga pendorong tak hanya pada kekecewaan mereka terhadap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial – tapi pada lapis yang lebih sublim yaitu kepercayaan dan pengharapan masyarakat agararis terhadap Ratu Adil atau Mesias.
Kita masih ingat dalam disertasinya itu bagaimana Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, Haji Marjuki – para ulama tarekat Kadiriyah itu, pada suatu hari—tepatnya 9 Juli 1888. menggerakkan petani Banten menyerbu pos-pos pejabat Belanda di Cilegon. Disertasi itu sangat detail. Adegan pengejaran asisten residen bernama Gubbels, misalnya, diceritakan begitu hidup. Gubbels dengan dokarnya menerobos 30-an petani yang menutup jalan. Kudanya ditusuk di perut, dada Gubbels ditombak. Dengan pendekatan sosiologis Sartono bisa menjelaskan bahwa pemberontakan petani Banten itu bukan sesuatu yang spontan, tapi telah direncanakan selama bertahun-tahun.
Ia sampai bisa membeberkan berbagai persiapan yang dilakukan para ulama Banten itu. Dari buku Sartono, kita tahu, masyarakat Banten saat itu demikian melarat akibat kerja wajib dan pajak tanah kolonial. Para kiai desa di Banten yang karismatis lalu membentuk jaringan mempersiapkan sebuah gerakan perang Sabil atau Gerakan Ratu Adil. Gerakan itu dimatangkan selama empat tahun. Propaganda dan ajakan melawan kolonial disosialisasi secara sembunyi-sembunyi melalui pertemuan dan acara warga, seperti perkawinan dan sunatan. Momentum meledaknya pemberontakan ini adalah kepulangan Haji Marjuki dari Mekah pada 1887.
Pada 1888, di segala penjuru Banten terjadi kerusuhan melawan Belanda dipimpin para ulama. Haji Wasyid, Iskak, dan Tubagus Ismail di distrik Cilegon dan Kramat Watu memimpin para petani menyerang kekuasaan Belanda. Haji Asik, Haji Muhidin, dan Haji Abubakar menyerang distrik Serang, Ciruas, dan Ondarandir. Akan halnya Haji Marjuki dan Haji Asnawi melumpuhkan kekuasaan Belanda di Cikandi. Sedangkan Haji Sapiudin dan Haji Kasiman menduduki Anyer. Disertasi itu dibuat sudah 55 tahun lampau tapi jika kita baca kini, masih sanggup membangkitkan imajinasi.
***
Dan disertasi itu juga pernah melejitkan imajinasi seorang perupa. Jompet Kuswidananto, yang dikenal sebagai perupa eksprimental asal Yogya saya ingat pernah membuat sebuah karya menarik berjudul: On Paradise bertolak dari pembacaannya atas disertasi Sartono itu . Karyanya itu disajikan dalam rangka Europhalia – pekan kebudayaan Indonesia di Eropa tahun 2017 yang berpusat di Belgia. Jompet menyuguhkan karyanya itu di Grand-Hornu, suatu wilayah di kota Mons, Borinage, Belgia.
Saya tidak tahu mengapa Jompet memilih memamerkan karyanya di Grand-Hornu. Mungkin ada paralelitas sejarah mengenai kisah perjuangan rakyat jelata antara Grand-Hornu dan Banten. Saya saat itu diundang untuk meliput progam-progam Europhalia. Grand-Hornu adalah bekas tempat pertambangan besar di Belgia yang sudah ditutup dan dijadikan galeri besar. Di tempat ini pernah terjadi pemogokan dan kerusuhan buruh besar. Sutradara terkenal Belgia, Henri Storck bersama sineas Belanda, Joris Ivens, aktivis sosialis yang mendukung gerakan anti fasis pada 1933 pernah mengeluarkan film dokumenter hitam-putih berjudul: Misere au Borinage (Kenestapaan di Borinage).
Film itu merekam pemogokan massal buruh batu bara di tambang dekat Juni 1932. Tambang batu bara Mons saat itu merupakan tambang terbesar di Belgia. Produksinya diekspor sampai ke Prancis. Kamera menyorot stok batu bara menggunung. Namun kamera juga menampilkan potret kemelaratan dan kelaparan buruh. Demo dipicu dua orang pekerja yang mati kehabisan oksigen di dalam lorong bawah tanah. Duet Storck dan Ivens merekam suasana kota pertambangan di Belgia itu. Jalur kereta lori-lori batu bara tampak bercabang-cabang. Batu bara juga diangkut lewat peti-peti gantung. Storck dan Ivens secara sembunyi-sembunyi mengambil gambar. Termasuk saat polisi merepresi kerusuhan. Storck merekam rapat-rapat buruh pasca-kerusuhan. Juga saat para buruh pada 1933 berdemonstrasi keliling kota memperingati 50 tahun kematian Karl Marx. Sebermula Storck dan Ivens ingin meminta dramawan Jerman, Bertold Brecht, membuat teks prolog bagi film mereka, tapi urung lantaran minim bujet.
Film ini kemudian dan menjadi salah satu film dokumenter terkenal. Film itu dianggap sebagai film “kiri” yang mampu menyadarkan kekuatan mogok kaum buruh. Joris Ivens pun terus memproduksi film-film dokumenter pemogokan sejenis. Kelak Joris Ivens dikenal mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 1946, di Australia, ia membuat film dokumenter berjudul Indonesia Calling. Ia merekam bagaimana serikat pekerja pelaut dan buruh pelabuhan Sydney bersatu menolak melayani armada kapal Belanda yang tengah menuju Indonesia. Armada kapal Belanda itu yang dikenal dengan nama Armada Hitam itu membawa senjata dan amunisi menyuplai tentara Belanda merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Kini bekas tambang di Grand-Hornu itu telah menjadi sebuah kota mungil yang terlihat tenang. Tambang batu bara telah lama ditutup. Jika Anda memasuki Grand-Hornu, bekas kompleks utama pertambangan, yang disulap menjadi kompleks galeri seni suasana deretan barak buruh dan gudang batu bata masih terasa. Kawasan Grand-Hornu sejak 1971 dibeli arsitek Henri Guchez dan mengalami renovasi. Pada 2002 dialihfungsikan menjadi Museum of Contemporary Arts (Mac’s) Hornu. Kemudian, pada 2012, Grand-Hornu terpilih menjadi salah satu situs warisan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Sisi luar Museum of Contemporary Arts (Mac’s) Hornu mirip benteng. Cerobong asap masih dipertahankan. Area Grand-Hornu sangat luas. Kuburan Henri Degorge, pendiri pertambangan dengan patung salib Yesus besar ada di dekat bekas lubang terowongan batu bara. Cerobong asap besar dan rumah-rumah seragam batu bata merah bekas tempat buruh juga dipertahankan. Ruangan-ruangan bekas kompleks pertambangan tersebut kini menjadi ruangan-ruangan galeri. Di salah satu ruangan galeri-yang mungkin dulu menjadi tempat bekerja buruh-seniman Yogyakarta, di situlah Jompet Kuswidananto, menghadirkan karya On Paradise.
***
Begitu masuk ke ruangan tempat Jompet memamerkan karya saat itu – di sebelah kiri ruangan kita langsung melihat pemandangan tak biasa. Sebidang lantai penuh serakan tumpukan lampu gantung antik Eropa. Lampu-lampu kristal (chandelier) yang tampak klasik dan aristokratik itu pecah, porak poranda, berserakan dan saling tumpuk meski beberapa tetap menyala. Tak terhitung jumlah lampu-lampu itu. Seolah-olah lampu-lampu aristokratik dan mahal tersebut habis jatuh, runtuh dari langit-langit ballroom mewah. Ada lampu yang masih tergantung tapi terasa hanya sebagai sisa-sisa pecahan. Kesan pertama melihat lampu-lampu porak poranda itu adalah – karya ini adalah metafora bagi adanya gempa atau mungkin simbolisme atas adanya sebuah kekacauan, huru hara, serbuan terhadap sebuah ruangan mewah. Jompet sendiri membawa lebih dari 100 lampu antik Eropa itu dari Yogyakarta – lalu untuk keperluan pamerannya ada yang dihancurkan dan dipotong-potong .
Dari ruangan sebelah kanan, sayup-sayup terdengar suara senandung dari video yang ditampilkan dinding kanan ruangan. Senandung itu datang dari sebuah video yang ditembakkan di dinding. Video itu menampilkan gambar semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. disertai nyanyian liri. “Amerika dan Israel musuh. Mataku terpejam, terluka.” Nyanyian itu mengatakan mati syahid akan bahagia di alam jannah. Kita menerka-nerka apa hubungannya antara reruntuhan lampu kristal dan nyanyian yang menyenandungkan panggilan jihad. Di samping video itu ada sebuah instalasi lampu antik putih berdiri dikelilingi sejumlah tambur. Tambur-tambur itu pada setiap waktu tertentu secara otomatis berbunyi sendiri. Dag, dag, dag….
Mulanya ketiga karya terasa terpisah. Apa hubungannya serakan dan pecahan lampu kristal dengan video klip nyanyian panggilan jihad? Dan tambur yang berbunyi sendiri dan bunyinya seperti mengundang perang? Baru setelah menyimak dua “kitab” besar yang diletakkan di meja kita tahu hubungannya. Kitab buatan Jompet Kuswidananto itu diberi judul: Sunda Straits Miracles 1850-1888. Halamannya memakai kertas daur ulang. Untuk membuka halaman-halaman kitab, saya ingat – kita diwajibkan menggunakan kaus tangan. Seolah-olah kertas-kertas itu begitu sangat rapuh dan memang kuno betul.
Kitab itu berisi gambar-gambar sablon buatan Jompet yang menampilkan rekaman gejala-gejala alam aneh yang terjadi di Banten pada 1850-1888. Di Banten pada tahun-tahun itu, seperti diinformasikan gambar, terjadi peristiwa tatkala penduduk bangun pagi, di pintu muncul huruf-huruf tak terbaca yang ditulis dengan darah kambing. Selain itu, nisan-nisan di pekuburan terbakar sendiri dan tiba-tiba banyak anjing di makam-makam. Ribuan belalang entah dari mana muncul menimbulkan suara bising, juga ribuan burung aneh menyerbu pohon beringin tua di Serang. Lalu binatang-binatang ganjil melompat-lompat di perkebunan Banten. Siang mendadak gelap dan ada percikan api di langit. Pada malam hari, tampak sejumlah meteor melesat di langit.
Gambar-gambar itu terasa nuansa apokaliptiknya. Tatkala gambar menampilkan imaji neraka, yang dibayangkan masyarakat Banten adalah gambar yang secara “artistik” menyajikan imaji orang dibakar, dililit ular, dicemplungkan ke air mendidih, dan dijerat akar-akar. Buku ini terinspirasi oleh Augsburg Book of Miraculous Signs yang terbit di Eropa pada abad ke-16. Halaman buku itu juga meramalkan kedatangan seorang kudus yang akan memimpin perlawanan terhadap penjajah.
Pada titik inilah bagi yang pernah membaca buku disertasi Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888 (Pemberontakan Petani Banten 1888) akan segera ingat. Dalam buku itu Sartono menguraikan, menjelang kerusuhan tersebut, terjadi kekeringan, gagal panen, dan wabah ternak berkepanjangan di Banten. Warga melihat gejala-gejala alam aneh. Warga cemas dan percaya bahwa itu adalah tanda-tanda hari kiamat di sekitar Banten-Cilegon. Gambar menara masjid roboh sendiri, ratusan burung aneh mengerumuni beringin besar di Banten, nisan kuburan terbakar, tulisan anonim berdarah di pintu rumah penduduk. Dan tanda terbesar adalah meletusnya Krakatau pada 1883.
Tanda-tanda itu yang memicu para kiai berkumpul. Mereka menganggap itu isyarat dari Tuhan agar kaum tani bersatu memerangi para kafir, yaitu orang Belanda. Salah satu tokoh ulama Banten, Haji Abdul Karim, sebelum berangkat ke Mekah, misalnya, dalam riset Sartono, mengumumkan kepada masyarakat bahwa begitu ia pulang ke Banten nanti, Imam Mahdi akan muncul. Di halaman buku, ada gambar rumah seorang Belanda dengan lampu-lampu kristal jatuh. Melihat gambar-gambar tersebut, langsung instalasi kristal yang pecah mendapat konteksnya. Kita tahu lampu-lampu antik mewah berserakan adalah alegori atas runtuhnya rumah-rumah pelara pejabat pemerintah Hindia Belanda di tahun 1888 akibat serbuan petani.
Yang menarik dalam pameran itu Jompet – menghubungkan pemberontakan heroik para petani Banten melawan pemerintah kolonial itu dengan anakronisme yang dilakukan oleh Imam Samudra: teroris pelaku bom Bali. Dari risetnya terhadap buku-buku Imam Samudra Jompet, menemukan pernyataan Imam Samudra – yang mengejutkan. Imam yang berasal dari Serang itu ternyata mengaku sebagai salah satu keturunan para kiai Banten yang terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda 1888. Dalam catatan hariannya, Imam Samudra mengaku diriny adalah cucu Kiai Wasyid.
Demikian pernyataan Imam Samudra: “Dari garis ibu, alhamdulillah aku masih kecipratan turunan darah mujahid sekaligus ulama. Ulama sekaligus mujahid yang kumaksud adalah Ki (Kiai) Wasyid, salah seorang tokoh perlawanan masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda. Pada Senin, Juli 1888, terjadi peristiwa bersejarah yang amat terkenal di Banten. Masyarakat setempat menyebutnya peristiwa “Geger Cilegon”. Jihad fi sabilillah melawan penjajah ini dipimpin langsung oleh Ki Wasyid. Beliau kemudian ditangkap Belanda. Jika dirunut, aku termasuk urutan cicit ketiga dari Ki Wasyid Rahimahullah”
Jelas pemberontakan petani Banten dan bom Bali sesuatu yang berbeda motivasinya. Pemberontakan petani Banten 1888 lebih pada perlawanan terhadap kolonialisme yang konkret menghisap ekonomi warga. Pemberontakan Banten lebih pada gerakan tarekat. Para kiai yang terlibat adalah anggota tarekat Kadiriyah. Sementara gerakan Imam Samudra adalah gerakan yang salah kaprah memaknai apa itu jihad. Di buku bergambar itu, Jompet menggambar seseorang lelaki berkuda beserta tulisan the great grandson’s war 2002. Lalu gambar Sari Club, Bali, hancur. Buku itu juga menampilkan sebuah sajak Imam Samudra menjelang hukuman mati: Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala Palestina karena bom Amerika memanggil-manggilku kemari…. Jiwaku tak lagi terkekang, kini bebas jihad, siap membunuh atau mati melawan kafir.
Karya Jompet ini terasa menohok. Karena menyodorkan bagaimana perlawanan suci para kyai melawan Belanda di tahun 1888 disalah pahami dan dijadikan rujukan tindakan yang salah sebagaimana dilakukan Imam Samudra dan anaknya. Anak Imam Samudra, Umar Jundul Haq, juga kombatan ISIS yang tewas di Suriah pada 2015. Lagu jihad yang ada di video pun ternyata juga adalah lagu nasyid yang diciptakan oleh Imam Samudra. Lagu itu dinyanyikan Imam di penjara dan direkam sendiri. Melalui karyanya ini Jomped membandingkan versi jihad Imam Samudra yang brutal dan ngawur dengan versi jihad pemberontakan petani Banten 1888.
Pada titik inilah disertasi Sartono terasa merupakan sumber yang kaya. Yang tak habis-habisnya bisa dipakai untuk mengkaji fenomena zaman. Bahkan zaman sekarang pun.
Tapi 100 tahun Sartono Kartodirdjo terasa sepi.
*Penulis, Kerani biasa. Tinggal di Bekasi.