Mengenal Tenun Terfo Papua

Oleh Hari Suroto*

Etnis Sobey di Sarmi, Papua memiliki kain tradisional bernama tenun terfo. Tenun terfo terbuat dari serat alam hasil pintalan daun pohon nibung (Oncosperma tigillarium).

Tenun terfo merupakan budaya etnis Sobey yang tinggal di Kampung Sawar, Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi, Papua. Budaya menenun ini merupakan pengetahuan yang diwariskan nenek moyang mereka. Pada masa lalu, kain terfo berfungsi sebagai pakaian dan untuk keperluan adat. Kain tenun terfo berwarna alami memiliki motif persilangan garis yang menarik.

Teknik menenun kain terfo cukup sulit, proses pembuatan selembar kain tenun terfo membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Mulai dari pengambilan bahan dari hutan, perebusan daun nibun, pewarnaan, pemintalan menjadi benang, hingga proses menenun. Sebagai bahan, digunakan bagian daun pucuk muda pohon nibung berwarna hijau muda kekuningan.

Benang yang biasa digunakan untuk menenun terfo berasal dari pucuk dedaunan pohon nibung. Dalam bahasa Sobey, pohon itu dinamakan pohon pe’a, yang tumbuh di dataran rendah, daerah pinggiran sungai mendekati muara. Pohon nibung merupakan tanaman sejenis palma yang tumbuh di Asia Tenggara dan di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Papua.  Hampir semua bagian nibung bisa dimanfaatkan mulai dari batang, buah hingga daunnya. Batang maupun daun pohon nibung ini mempunyai daya tahan yang lama. Selain batang, daun nibung juga dimanfaatkan etnis Sobey untuk membuat atap dan anyaman keranjang.

Daun pohon pe’a kemudian diambil, termasuk daun yang masih mayang. Lembaran daun lalu dilepaskan dari batangnya seperti melepaskan lidi dari daun pohon kelapa. Lembar daun itu lalu disatukan dalam ikatan-ikatan, kemudian dijadikan buntalan. Buntalan daun pe’a itu kemudian dibawa pulang ke rumah dan direbus.

Pewarnaan setiap helai benang pada kain terfo juga menggunakan warna alam. Dalam proses pewarnaan, daun palem dikeringkan selama tiga hari, kemudian direbus selama satu jam, hingga serat-seratnya terlepas. Serat-serat itu disimpan dalam sebuah wadah. Setelah dingin dan kering, serat dipisah-pisah dan dibersihkan dalam air laut kemudian bilas dengan air bersih.

Proses merebus berlangsung selama 3-4 jam. Pe’a yang direbus lalu direndam dengan air asin dikucek hingga warna putih, dan digantung hingga kering. Daun pe’a yang diambil dari mayang akan lebih berwarna terang daripada daun yang langsung diambil dari pelepah.

Setelah kering, serat-serat daun pe’a akan dipintal menjadi benang-benang tipis. Lalu dikumpulkan dalam bentuk gulungan. Sebagian benang akan dibiarkan tanpa warna, sedangkan lainnya akan diberi pewarna alami.

Benang terfo berwarna merah, kuning, hitam dan hijau. Warna merah berasal dari akar mare yang dicampur dengan kapur sirih dan air. Warna kuning dari kunyit atau mare tidak dicampur dengan kapur sirih. Warna biru berasal dari pohon manaoafo, dan warna hitam berasal dari buah menoerto. Sedangkan warna hijau didapat dari pohon bemotepori.

Kemudian, serat-serat itu dikeringkan dengan dijemur selama beberapa jam dan dipilin menjadi benang. Benang selanjutnya dicelup ke dalam bahan pewarna merah, hitam, kuning, atau biru. Kemudian masuk proses penenunan menggunakan alat tenun gedogan yang sederhana. Ragam hias yang ditenun pada kain itu terdiri dari garis-garis arah lungsi atau persilangan garis lungsi dengan garis pakan.

Proses yang alami dan memakan waktu lama ini menentukan nilai kain tenun terfo. Satu lembar tenun terfo seharga Rp 1 juta. Para penenun terfo sangat sedih ketika ada pembeli yang menawar dengan harga rendah, sebab menurut mereka butuh waktu lama dalam proses pembuatan terfo.

Tenun terfo pada 2016 telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. Kain tenun terfo harus dilestarikan. Salah satu caranya dengan mengusulkan tenun terfo masuk daftar perlindungan mendesak UNESCO. Para perajin tenun terfo ini adalah maestro seni. Mereka perlu ruang untuk mewariskan ilmunya, yaitu dengan mengajarkan langsung ke siswa sekolah atau mahasiswa seni. Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Sarmi maupun Dekranasda Provinsi Papua perlu mempromosikan kain terfo ke tingkat nasional.

Desainer Didiet Maulana berpose dengan tenun terfo. (Sumber: Penulis)

Saat ini, untuk memperoleh daun nibung, etnis Sobey pergi jauh ke dalam hutan, karena ketersediaan nibung cenderung semakin berkurang dikarenakan aktivitas pemanfaatan yang berlebihan, terkena dampak dari kegiatan penebangan dan alih fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan hutan, hal ini juga tidak diimbangi dengan adanya kegiatan penanaman kembali. Diperlukan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang konservasi yang ikut melibatkan etnis Sobey untuk melakukan kegiatan pembudidayaan nibung.

—–

*Hari Suroto. Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN