Hunian Prasejarah di Danau Sentani Barat
Oleh Hari Suroto
1
Danau Sentani terletak di Kabupaten Jayapura, koordinat 1400 231 – 1400 501 BT dan 20 311 – 20 411 LS. Danau ini memiliki luas sekitar 9.360 ha dan berada pada ketinggian 75 m di atas permukaan laut. Danau Sentani merupakan danau terbesar di Papua, terdapat 21 pulau di danau ini (limnologi.lipi.go.id). Bentuk morfologi Danau Sentani memanjang dari arah timur ke barat sepanjang 26,5 km, dengan lebar bervarisi antara 2-4 km di sekitar Selat Simporo, dan lebar maksimum 24 km di bagian barat dan timur danau (Lukman dan Fauzi, 1991).
Danau Sentani sebagian besar wilayahnya terletak di Kabupaten Jayapura dan sebagian kecil wilayahnya berada di Distrik Heram, Kota Jayapura. Danau ini memiliki luas sekitar 9630 ha dengan kedalaman 52 m, dan terletak pada ketinggian 72 m di atas permukaan laut. Bentuk morfologi Danau Sentani memanjang dari arah timur ke barat sepanjang 26,5 km (Fauzi, et. al., 2014:44).
Masyarakat Sentani bermukim di tepi danau dan pulau-pulau di Danau Sentani. Walaupun masyarakat Sentani menggunakan satu bahasa, bahasa Sentani, namun mereka dapat digolongkan ke dalam tiga golongan berdasarkan dialek dan daerah geografi yang mereka tempati. Ketiga golongan itu ialah golongan rali bu (danau bagian timur), nolu bu (danau bagian tengah), dan wai bu (danau bagian barat) (Mansoben, 1995:192).
Menurut cerita rakyat yang dipercaya masyarakat Sentani, disebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Sepik, Papua Nugini (Revassy, 1989). Pada awal kedatangannya di Danau Sentani, mereka menetap di tiga tempat, yakni Bukit Yomokho, Pulau Ajauw, dan Pulau Kwadeware. Dari ketiga tempat inilah mereka kemudian menyebar membentuk pemukiman di pulau-pulau dan tepian Danau Sentani (Dwiastoro, 2009: 11).
Penelitian di Sentani dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1979, yaitu mendata kapak lonjong dan manik-manik di Dobonsolo, survei di situs Megalitik Tutari serta survei geologi di sepanjang jalan Genyem Sentani-Jayapura (Zaim dan Haroen, 1979). Kemudian pada 1994 dan 1995 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian pola tata ruang dan fungsi Situs Megalitik Tutari, dalam penelitian ini dilakukan survei dan ekskavasi dengan membuka lima buah kotak. Dua buah kotak digali di kompleks menhir, sedangkan lainnya dilakukan di kompleks batu temu gelang. Hasil ekskavasi pada lima kotak ini tidak ditemukan artefak maupun ekofak. Situs Megalitik Tutari merupakan situs yang berkaitan dengan religi (Prasetyo, 2001:43).
Balai Arkeologi Jayapura pada tahun 2010 melakukan eksplorasi arkeologi prasejarah di Kawasan Danau Sentani, dalam penelitian ini berhasil menemukan situs-situs arkeologi maupun artefak yang disimpan masyarakat. Situs-situs arkeologi yang berhasil ditemukan yaitu Yomokho, Marweri Urang, Mantai, Gua Rukhabulu Awabhu, Ceruk Reugable dan Ceruk Ifeli-feli. Artefak yang disimpan oleh masyarakat yaitu gerabah, manik-manik, gelang batu, kapak batu dan kapak perunggu (Tim penelitian, 2010).
Sejak tahun 2011 hingga 2012, kemudian dilanjutkan tahun 2018, Balai Arkeologi Papua memfokuskan penelitian di kawasan Danau Sentani bagian timur yaitu dengan melakukan ekskavasi di Situs Yomokho. Ekskavasi ini untuk mengetahui hunian awal prasejarah beserta kronologinya di Situs Yomokho
(Suroto et. al., 2011; Suroto et. al., 2012).
Hasil penelitian di Situs Yomokho menunjukkan bahwa hunian tidak hanya di lereng bukit saja tetapi hunian prasejarah juga terdapat di kaki bukit. Eksplorasi di Situs Megalitik Tutari berhasil ditemukan pecahan-pecahan gerabah. Berdasarkan hal ini maka dilakukan ekskavasi untuk mengetahui jejak hunian masa lalu. Ekskavasi di Situs Megalitik Tutari menunjukan bahwa pecahan pecahan gerabah hanya ditemukan pada permukaan tanah dan lapisan tanah bagian atas saja (Suroto, 2018).
Pada 2019, Balai Arkeologi Papua melakukan penelitian hunian awal prasejarah di Kawasan Danau Sentani bagian barat. Survei permukaan tanah maupun ekskavasi di Situs Yomokho, berdasarkan temuan artefak dan ekofak menunjukkan bahwa hunian berada pada lereng bukit. Eksplorasi di Situs Bobu Uriyeng berhasil menemukan hunian terbuka, dengan temuan artefak pecahan gerabah dan kapak perunggu. Eksplorasi di Situs Koning U Nibie berhasil menemukan tingalan megalitik berupa lumpang batu dan batu berlukis (Suroto, 2019).
Situs-Situs Prasejarah di Kawasan Danau Sentani Bagian Barat
Secara administratif, kawasan Danau Sentani bagian barat merupakan wilayah Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Situs-situs arkeologi ini berupa situs terbuka di tepi Danau Sentani. Kampung-kampung yang terdapat situs arkeologi yaitu Doyo Lama, Kwadeware, dan Dondai.
Situs Megalitik Tutari
Situs Megalitik Tutari berada di Bukit Tutari, Kampung Doyo Lama. Survei permukaan tanah pada Sektor 4 Situs Megalitik Tutari berhasil menemukan pecahan-pecahan gerabah.
Hasil survei ini selanjutnya dilakukan dengan ekskavasi dengan membuka satu kotak Test Spit. Ekskavasi di Situs Megalitik Tutari hanya menemukan pecahan gerabah saja, tidak ditemukan ekofak atau artefak lainnya. Artefak gerabah hanya ditemukan di permukaan tanah dan lapisan tanah bagian atas.
Konteks temuan gerabah berupa bongkahan batu berlukis, maka diperkirakan Situs Megalitik Tutari berkaitan dengan religi. Berdasarkan hal tersebut kemungkinan hunian manusia prasejarah Tutari terletak di tepi Danau Sentani berupa rumah panggung di atas permukaan air.
Pecahan-pecahan gerabah yang ditemukan di Situs Megalitik Tutari berdinding tebal, Wadah berbahan tanah liat berdinding tebal biasanya untuk menyimpan bahan makanan atau air. Berdasarkan analisis bentuk diperkirakan tempayan yang berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan air. Jika dikaitkan dengan konteks batu bergambar, maka diperkirakan gerabah ini berkaitan dengan upacara religi di Situs Megalitik Tutari.
Hingga saat ini gerabah tradisional masih diproduksi oleh masyarakat Kampung Abar, Danau Sentani bagian tengah. Untuk mengetahui asal usul gerabah situs Situs Megalitik Tutari apakah asal usulnya dari Kampung Abar maka dilakukan analisis analisis X-Ray Diffraction (XRD). Hasil analisis XRD menunjukkan unsur mineral pada gerabah Situs Megalitik Tutari dan gerabah Abar berbeda.
Hal ini menunjukkan bahwa gerabah Situs Megalitik Tutari bukan berasal dari Kampung Abar. Kemungkinan gerabah gerabah Situs Megalitik Tutari berasal dari luar Danau Sentani atau bisa juga manusia prasejarah di Situs Megalitik Tutari mampu membuat sendiri. Hal ini perlu dilakukan penelitian lanjutan. Selain itu letak hunian prasejarah manusia prasejarah Situs Megalitik Tutari juga belum ditemukan.
Situs Warakho
Situs Warakho terletak di Tanjung Warakho, Kampung Doyo Lama. Situs ini merupakan situs terbuka, dikelilingi oleh air danau. Permukaan situs ditumbuhi oleh rumput-rumput ilalang, bambu sebagian ditumbuhi oleh pohon sagu serta pohon daun tikar. Temuan permukaan di situs ini berupa pecahan gerabah. Situs Warakho pada masa lalu pernah dijadikan sebagai lokasi hunian nenek moyang masyarakat Doyo Lama ketika mereka berpindah dari Pulau Kwadeware.
Situs Yomokho
Situs Yomokho secara administratif terletak di Kampung Dondai. Situs Yomokho berbentuk seperti huruf U. Seluruh lahan Bukit Yomokho ditumbuhi rumput ilalang dan pohon jambu biji, sedangkan lahan yang datar di tepi danau ditumbuhi oleh pohon mangga dan dijadikan sebagai kandang sapi. Survei permukaan tanah di Situs Yomokho, dilakukan dengan mengamati permukaan puncak bukit, lereng bukit, kaki bukit maupun di lingkungan sekitar.
Pecahan gerabah ditemukan di puncak bukit, lereng bukit, kaki bukit dan lahan datar di tepi danau. Pecahan gerabah yang ditemukan di puncak bukit, lereng bukit sebelah barat dan selatan sangat sedikit, pecahan gerabah lebih banyak ditemukan di lereng bukit sebelah timur. Cangkang siput danau Melanoides tuberkulata, moluska laut Verenidae dan arcidae serta tulang manusia ditemukan di lereng bukit bagian timur dan selatan. Survei permukaan tanah juga menemukan fragmen alat batu tokok sagu, serpih, obsidian, fragmen kapak batu dan bandul jala dari batu.
Bukit Yomokho sebelah timur terdapat sebuah papan batu di puncak bukit. Papan batu ini berorientasi utara – selatan, memiliki panjang 110 cm, lebar 58 cm, dan tebal 10 cm. Papan batu ini berjenis batuan beku peridotit, jenis batuan ini tidak terdapat di Bukit Yomokho, batuan ini banyak didapatkan di Pegunungan Cyclops yang terletak 11, 6 kilometer di sebelah utara Dondai.
Selain itu, pada lereng Bukit Yomokho sebelah tenggara juga ditemukan sebuah menhir. Menhir ini merupakan sebuah monolit yang tidak dikerjakan dengan dimensi panjang 100 cm, lebar 80 cm dan tebal 20 cm. Menhir ini didirikan tegak di permukaan tanah. Menhir ini berjenis batuan beku peridotit. Tidak jauh dari menhir, juga terdapat susunan jalan batu, memanjang dari kaki bukit hingga lereng bukit, jalan batu ini pada masa prasejarah berfungsi sebagai jalan untuk memudahkan dalam mendaki bukit. Lebar jalan batu ini 3,1 meter. Menhir dan papan batu pada masa prasejarah berfungsi sebagai media pemujaan pada roh nenek moyang.
Serpih yang ditemukan di Situs Yomokho berbentuk segi tiga. Serpihan-serpihan ini dihasilkan lewat pangkasan batu inti. Jenis bahan baku serpih ini yaitu batuan rijang (chert) dan obsidian. Sedangkan obsidian yang ditemukan di Situs Yomokho berbentuk tidak beraturan, hasil pangkasan dari batu inti dalam proses pembuatan serpih.
Kapak batu di Situs Yomokho ditemukan tidak utuh, hanya bagian pangkal dan tajaman. Kapak batu ini dibuat dari jenis batuan peridotit. Jenis batuan ini banyak ditemukan di Pegunungan Cyclops. Rekonstruksi di atas kertas, bentuk utuh kapak batu ini berbentuk lonjong, dengan tajaman bifasial dihasilkan lewat proses pengerjaan bertahap melalui pembentukan hingga pengumpaman.
Gigi babi didapatkan dalam ekskavasi maupun survei permukaan tanah di Situs Yomokho. Gigi babi yang ditemukan bentuknya sudah tidak utuh lagi. Temuan gigi babi ini menunjukkan bahwa sudah ada domestikasi babi atau masyarakatnya hidup berburu babi.
Bobu Uriyeng
Situs Bobu Uriyeng terletak di sebuah bukit, berada di tepi Danau Sentani bagian barat, sebelah barat Pulau Kwadeware. Lereng Bukit Situs Bobu Uriyeng dijadikan kebun. Survei permukaan tanah di Situs Bobu Uriyeng, dilakukan dengan mengamati permukaan puncak bukit, lereng bukit, kaki bukit maupun di lingkungan sekitar situs. Pecahan gerabah ditemukan di puncak bukit, lereng bukit, kaki bukit di tepi danau. Selain itu juga ditemukan sebuah kapak perunggu.
Kapak perunggu diperoleh Obed Wally saat menggali tanah untuk menanam siapu atau sejenis umbi menjalar. Kapak perunggu yang ditemukan di Situs Bobu Uriyeng memiliki tangkai panjang lurus ke arah pangkal dan melebar ke arah mata kapak. Bagian bahu landai ke arah sisi-sisinya dan bentuk tajaman cembung. Pada bagian pangkal rata dan terdapat lubang segi enam tempat memasukan pegangan atau gagang. Keadaan permukaan kapak polos dan pada salah satu sisi bagian pangkal terdapat lubang kecil sebagai tempat memasukan pegangan kayu. Pada bagian sisi salah satu tangkainya terdapat tonjolan berlubang, dan sisi lainnya terdapat dua susun tonjolan kecil yang bagian atas berbentuk bulat ke arah pangkal dan di bawahnya melengkung ke atas dengan bagian ujung runcing. Kapak perunggu yang ditemukan di Situs Bobu Uriyeng berukuran panjang 13,5 cm lebar 9,5 cm dan tebal 1,5 cm.
Kapak perunggu yang ditemukan di Danau Sentani dibuat dengan teknik a cire perdue. Teknik ini yaitu benda yang dikehendaki dibuat terlebih dahulu dari lilin, lengkap dengan segala bagian-bagiannya. Kemudian model dari lilin itu ditutup dengan tanah. Dengan cara dipanaskan maka selubung tanah ini menjadi keras, sedangkan lilinnya menjadi cair dan mengalir ke luar dari lubang yang telah disediakan di dalam selubung itu. Jika lilin telah habis, dituanglah logam cair ke dalam rongga tempat lilin tadi. Dengan demikian logam itu menggantikan model lilin tadi. Setelah dingin semuanya, selubung tanah dipecah, dan keluarlah benda yang dikehendaki itu.
Yope
Yope dalam bahasa Sentani berarti kampung di teluk. Secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Dondai. Yope merupakan sebuah teluk, bagian dari Danau Sentani bagian barat.
Situs Yope dipercaya oleh masyarakat Kampung Dondai pernah dijadikan perkampungan oleh nenek moyang mereka, hal ini dibuktikan adanya temuan gerabah motif buaya dan bandul jala terbuat dari tanah liat yang dibakar. Artefak-artefak ini didapatkan oleh nelayan Kampung Dondai yang terbiasa menyelam menangkap ikan (molo). Artefak-artefak yang ditemukan berupa pecahan gerabah maupun utuh. Berdasarkan hasil penelitian dan dikaitkan dengan konteks lingkungan sekitar, maka Yope pada masa lalu merupakan hunian masyarakat nelayan dengan rumah-rumah panggung di atas permukaan air danau.
Situs Koning U Nibie
Situs ini berada di wilayah Kampung Doyo Lama. Situs terletak di puncak bukit dengan permukaan tanah yang datar. Lahan situs ditumbuhi oleh alat-alang yang mudah terbakar. Tinggalan arkeologi yang ditemukan di Situs Koning U Nibe yaitu dua bongkahan batu besar yang pada masa prasejarah berfungsi sebagai lumpang, serta dua buah batu berlukis.
Lumpang batu di Situs Koning U Nibie terdiri dari bidang atas berupa cekungan atau lubang (tidak tembus) berukuran 17 cm yang terletak relatif di bagian tengahnya. Bagian bidang samping merupakan badan lumpang. Cekungan atau lubang lumpang merupakan bagian terpenting dari alat ini. Jenis batuan yang dipakai untuk batu lumpang ini berupa batu gabro, jenis batuan yang banyak terdapat di Situs Koning U Nibie. Batu berlukis di Situs Koning U Nibie bermotif geometris, dibuat dengan cara digores.
Situs Ayauge
Situs Ayaube berada di perairan Danau Sentani sekitar Kampung Doyo Lama. Bekas-bekas tiang rumah di dalam air ditemukan di situs ini. Tiang-tiang rumah itu terbuat dari batang pohon soang (Xanthostemon Sp). Batang kayu jenis pohon ini mampu bertahan ratusan tahun, sehingga secara tradisional oleh masyarakat Sentani dijadikan sebagai tiang rumah.
Oleh masyarakat Doyo Lama, tempat ditemukannya bekas-bekas tiang rumah ini disebut dengan Ayauge. Situs Ayauge, secara administratif terletak di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Letak astronomis S 020 341 04.9711 E 1400 261 42.6711.
Dulu, manusia yang bermukim di Ayauge tinggal di rumah panggung di atas permukaan air. Ayauge pada masa lalu, dipilih oleh nenek moyang masyarakat Doyo Lama ketika mereka berpindah dari Pulau Kwadeware, sebuah pulau di tengah Danau Sentani bagian barat. Eksplorasi bawah air di Situs Ayauge, berhasil mendapatkan pecahan gerabah berdinding tebal, alat tulang, dan mata panah terbuat dari kayu soang. Sekitar Situs Ayauge banyak ditumbuhi pohon sagu dan permukaan airnya banyak terdapat bunga teratai.
2
Bentuk kehidupan masa lalu di situs-situs arkeologi di kawasan Danau Sentani bagian barat dapat diketahui dengan mengaitkan konteks artefak, ekofak dengan lingkungan. Bentuk kehidupan manusia prasejarah di Kawasan Danau Sentani berdasarkan hasil penelitian arkeologi baik itu artefak, ekofak serta konteks lingkungan sekitar situs menunjukkan bahwa mereka hidup berburu, domestikasi babi, mencari ikan dan meramu sagu. Pemilihan lokasi sebagai hunian berkaitan dengan keberadaan Danau Sentani yang menghasilkan sumber makanan diantaranya moluska dan ikan, selain itu Danau Sentani juga merupakan sumber air bersih. Selain itu berdasarkan temuan cangkang moluska laut menunjukkan daya jelajah mencari makanan hingga pesisir laut.
Tiang-tiang yang tertancap dalam air di Situs Ayauge merupakan bekas tiang rumah panggung. Jenis kayu ini dari batang pohon soang (Xanthostemon sp.). Pohon soang hanya tumbuh di sekitar pegunungan Cyclops. Hal ini menunjukkan bahwa manusia awal prasejarah di Danau Sentani telah mengenal pengetahuan tentang jenis-jenis kayu yang bermanfaat untuk keperluan hidupnya. Selain itu menunjukkan bahwa jelajah manusia pada masa itu untuk mendapatkan kayu soang hingga mencapai Pegunungan Cyclops.
Temuan cangkang moluska laut merupakan sisa makanan manusia prasejarah yang pernah menghuni Situs Yomokho. Jarak Situs Yomokho dengan laut sekitar 35,9 kilometer sebelah timur. Temuan cangkang moluska laut di danau air tawar mengindikasikan bahwa telah terjadi kontak antara masyarakat Danau Sentani dengan masyarakat pesisir pantai. Berdasarkan konteks temuan berupa pecahan gerabah, mengindikasikan moluska laut ini diolah dengan cara dimasak dalam gerabah. Temuan cangkang moluska laut juga didukung oleh temuan hasil ekskavasi di Situs Yomokho berupa batu obsidian. Batu obsidian berasal dari Pulau Manus, Britania Baru, sebelah utara Papua Nugini.
Situs Yomokho merupakan situs hunian Neolitik di tepi Danau Sentani bagian barat. Temuan pecahan gerabah, kapak batu, dan alat batu tokok sagu serta konteks lingkungan sekitar yang banyak ditumbuhi pohon sagu, menunjukkan bahwa pada masa lalu, manusia yang tinggal di Situs Yomokho mengolah dan mengkonsumsi sagu. Kapak batu untuk menebang pohon sagu, alat batu untuk menokok sagu, dan gerabah digunakan sebagai wadah untuk mengolah sagu menjadi papeda. Sebagai sumber protein, mereka hidup berburu babi di hutan, menangkap ikan dan mencari siput di Danau Sentani.
Obsidian ditemukan dalam kotak ekskavasi berupa pecahan. Obsidian menjadi komoditas utama yang diperdagangkan oleh mereka yang mempunyai budaya Lapita. Orang-orang Lapita berasal dari Pulau Manus, Britania Baru, sebelah utara Papua Nugini. Mereka melakukan serangkaian perdagangan jarah jauh dengan menggunakan perahu layar bercadik pada 3500 tahun yang lalu. Jaringan perdagangan orang Lapita ini termasuk salah satu jaringan dagang yang paling mula-mula sekaligus paling luas jangkauannya pada jaman prasejarah, hingga mencapai Sabah dan Fiji.
Secara geologis, obsidian tidak didapatkan di Kawasan Danau Sentani dan Pegunungan Cyclops, temuan obsidian di Situs Yomokho, membuktikan bahwa pada masa prasejarah, telah terjadi kontak antara manusia penghuni Danau Sentani dengan luar. Obsidian yang ditemukan di Situs Yomokho, menunjukkan bahwa kawasan Danau Sentani pada masa prasejarah, menjadi bagian dalam jaringan perdagangan Lapita. Hal ini didukung oleh hutan sekitar Danau Sentani dan pegunungan Cyclops yang menghasilkan komoditas khas berupa burung cenderawasih, untuk dipertukarkan dengan obsidian-obsidian dari Britania Baru. Budaya Lapita telah sangat maju sehingga memungkinkan orang Lapita mampu mengadakan perjalanan laut yang sangat jauh sampai bisa mencapai pulau-pulau di Pasifik hingga pesisir utara Papua dan pulau-pulau di lepas pantai Papua. Sekitar 2500 tahun yang lalu, jaringan dagang Lapita mengalami kemunduran.
Ekofak yang ditemukan di Situs Yomokho yaitu cangkang siput danau Melanoides tuberkulata yang ditemukan satu konteks dengan pecahan gerabah. Pengamatan terhadap cangkang siput danau dan cangkang moluska laut tidak nampak terbakar maka diperkirakan pengolahannya sebelum dikonsumsi adalah direbus. Keberadaan cangkang moluska laut Verenidae dan Arcidae mengindikasikan bahwa manusia yang menghuni Situs Yomokho telah melakukan kontak dengan masyarakat pesisir atau daya jelajah dalam mencari makanan hingga pesisir.
Menurut Kal Muller (2008) dan Peter Bellwood (1978) tidak ada data ilmiah yang membuktikan keberadaan babi di Papua sebelum 4000 tahun yang lalu. Walaupun belum ada waktu pasti tentang kapan pertama kali babi masuk ke dataran tinggi Papua, tetap bisa dipastikan bahwa babi (bersama-sama dengan anjing dan ayam) dibawa masuk ke Papua oleh penutur Austronesia pada 1500 hingga 1000 SM.
Pertanggalan radiocarbon yang dilakukan Hsiao-chun Hung di Labolatorium The Australian National University terhadap sampel arang dari spit 12 dan spit 6 Situs Yomokho. Hasilnya menunjukkan bahwa situs ini dihuni sejak tahun 654 hingga 1634.
Tinggalan budaya masa lampau yang ditemukan dari penggalian di Situs Yomokho, tepi Danau Sentani, menunjukkan manusia telah lama bermukim di tepiannya. Temuan alat batu penokok sagu (berupa beliung batu), periuk dan tempayan serta cangkang moluska menjelaskan banyak hal tentang kehidupan masyarakat sekitar danau sejak lama. Temuan atas batu-batu sungai di Situs Yomokho menjelaskan jelajah manusia telah menjangkau sungai-sungai hingga sampai ke pegunungan Cyclops di utara Danau Sentani.
Pemukiman kelompok masyarakat prasejarah yang mengokupasi tepian danau Sentani, seperti di Situs Yomokho mengindikasikan adanya interaksi antara manusia dengan air danau. Interaksinya diwujudkan dalam sistem mata pencaharian hidup, yaitu mencari ikan danau atau mencari siput danau untuk makanan sehari-harinya.
Kapak perunggu yang ditemukan di Situs Bobu Uriyeng berjenis kapak corong. Kapak perunggu yang ditemukan di Situs Bobu Uriyeng merupakan komoditas perdagangan jarak jauh pada masa prasejarah.
Setelah kemunduran jaringan dagang orang Lapita dari Pulau Manus, Britania Baru sekitar 2500 tahun yang lalu di Pasifik, ada bukti-bukti konkrit tentang transaksi antara Asia Tenggara dan Papua. Kapak perunggu yang menjadi komoditas perdagangan, kapak perunggu yang ditemukan di Danau Sentani diproduksi di Dongson, tempat yang saat ini merupakan wilayah bagian utara Vietnam, sekitar 2400 hingga 2100 tahun yang lalu.
Kapak perunggu yang ditemukan di Danau Sentani adalah komoditas perdagangan jarak jauh dari Asia Tenggara ke timur. Kapak perunggu ini dibawa oleh pedagang perantara, jadi orang Dongson tidak mengadakan hubungan langsung dengan Papua. Pada waktu itu, komoditi dagang yang paling dicari para pedagang luar dari Papua adalah burung cenderawasih.
Pertanggalan c-14 yang dilakukan Hsiao-chun Hung di Labolatorium The Australian National University terhadap sampel arang dari spit 12 dan spit 6 Situs Yomokho. Hasilnya menunjukkan bahwa situs ini dihuni sejak tahun 654 hingga 1634.
Yope dipilih oleh manusia prasejarah untuk dihuni dengan pertimbangan berada di Danau Sentani yang menjadi sumber air tawar, sumber bahan makanan berupa berbagai jenis ikan dan moluska, juga terdapat hutan sagu yang pohonnya menghasilkan tepung sagu, ulat sagu, daun dan pelepahnya dapat dijadikan bahan konstruksi rumah.
Temuan bandul jala membuktikan bahwa manusia penghuni Yope pada masa lampau beraktivitas menjala ikan. Sebelum dikenal jala modern, masyarakat Sentani membuat jala dari pintalan serat kulit pohon melinjo. Lingkungan sekitar Yope juga dikenal sebagai daerah habitat buaya Nugini (Crocodylus Novaeguineae). Sehingga gerabah motif buaya yang ditemukan dapat diasumsikan bahwa gerabah itu dibuat di Yope.
Lumpang di Situs Koning U Nibie berfungsi untuk menumbuk bahan, terdiri dari dua buah alat yaitu lumpang dan batu penumbuk. Lumpang berfungsi sebagai tempat bahan yang akan ditumbuk atau dihancurkan dan mempunyai sifat pasif, sedangkan batu penumbuk sebagai alat penumbuknya yang mempunyai sifat aktif atau bergerak. Hal ini terlihat pada permukaan yang aus serta bentuk cekungan yang dalam serta menunjukkan keausan akibat pemakaian (penggerusan). Selain itu pada permukaan bongkahan batu terdapat lukisan prasejarah yang sudah aus. Lukisan ini dibuat dengan menggores batu, teknik menggambar ini memiliki kesamaan dengan Situs Megalitik Tutari.
Berdasarkan pengamatan terhadap pecahan gerabah Situs Ayauge, memiliki ketebalan yang sama dengan gerabah yang ditemukan di Situs Megalitik Tutari. Hal ini diperkirakan berasal dari tempat yang sama. Berdasarkan temuan terbaru berupa gerabah motif buaya di Situs Yope, maka diperkirakan gerabah Situs Megalitik Tutari dan gerabah Situs Ayauge dibuat di Yope, Danau Sentani bagian barat.
Latarbelakang pemilihan lokasi hunian awal prasejarah di Kawasan Danau Sentani berkaitan dengan keberadaan Danau Sentani yang menghasilkan sumber makanan diantaranya moluska dan ikan, selain itu Danau Sentani juga merupakan sumber air bersih. Dengan mengacu pada hasil temuan arkeologi pada Situs Yomokho, Situs Tanjung Warakho, Situs Yope, Situs Megalitik Tutari menggambarkan bahwa bentuk kehidupan manusia pendukung situs hunian awal prasejarah di situs Yomokho termasuk dalam budaya neolitik, sedangkan situs Tutari berciri budaya megalitik.
3
Faktor yang melatarbelakangi pemilihan lokasi hunian prasejarah di Kawasan Danau Sentani bagian barat yaitu keberadaan Danau Sentani yang menghasilkan sumber makanan diantaranya siput danau dan ikan, Danau Sentani juga merupakan sumber air bersih, mata pencaharian, jalur transportasi serta rawa sekitar Danau Sentani banyak tumbuh tanaman sagu. Berdasarkan temuan hasil survei permukaan tanah maupun ekskavasi, kronologi hunian Situs Yomokho yaitu Neolitik hingga megalitik, sedangkan Situs Bobu Uriyeng yaitu zaman perunggu sedangkan Situs Koning U Nibie berasal dari masa Megalitik. Bentuk kehidupan manusia pendukung situs hunian prasejarah di Kawasan Danau Sentani bagian barat berdasarkan artefak, ekofak serta konteks lingkungan sekitar situs menunjukkan bahwa mereka hidup berburu, mencari ikan, siput danau dan meramu sagu. Selain itu berdasarkan temuan cangkang moluska laut menunjukkan daya jelajah mencari makanan hingga pesisir laut.
———–
*Penulis adalah Arkeolog di Balai Arkeologi Papua
DAFTAR PUSTAKA
Bellwood, Peter. 1978. Man Conquest of the Pacific. The Prehistory of South East Asia and
Oceania. Auckland: William Collins Publisher Ltd.
Dwiastoro, Anto. 2009. Doors to the Unknown. The Story of Sentani in the Regency of
Papua. Jakarta: TSA Komunika.
Fauzi, Mohammad, Rispiningtati, Andre Primantyo Hendrawan. 2014. Kajian
Kemampuan Maksimum Danau Sentani dalam Mereduksi Banjir di DAS Sentani. Jurnal Teknik Pengairan, Volume 5, Nomor 1, Mei 2014, hlm 42–53.
Lukman dan H. Fauzi. 1991. Laporan Pra Survey Danau Sentani Irian Jaya, dan Wilayah
Sekitarnya. Puslitbang Limnologi-LIPI.
Muller, Kal. 2008. Introducing Papua. Daisy World Books.
Prasetyo, Bagyo. 2001. Pola Tata Ruang dan Fungsi Situs Megalitik Tutari, Kecamatan
Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Irian Jaya. Berita Penelitian Arkeologi No. 3. Balai Arkeologi Jayapura.
Revassy, Lazarus. 1989. “Kepemimpinan Tradisional di Pedesaan Irian Jaya: Studi Kasus di
Suroto, Hari, Erlin N. I. Djami, M. Irfan Mahmud. 2011. Ekskavasi dan Survei Arkeologi di
Kawasan Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura.
Suroto, Hari, Klementin Fairyo, Amurwani Putri. 2012. Penelitian Arkeologi di Kawasan
Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura.
Suroto, Hari. 2018. Identifikasi Jejak Hunian Prasejarah di Danau Sentani Bagian Timur.
Laporan Penelitian Balai Arkeologi Papua.
Suroto, Hari. 2019. Identifikasi Jejak Hunian Prasejarah di Danau Sentani Bagian Barat.
Laporan Penelitian Balai Arkeologi Papua.
Tim Penelitian. 2010. Penelitian Arkeologi di Kawasan Danau Sentani. Laporan Penelitian
Balai Arkeologi Jayapura.
Zaim, Yahdi dan Haroen. 1979. Geologi Tinjau Sepanjang Jalan Genyem-Sentani-Jayapura
dan Pulau-Pulau di Danau Sentani. Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
INTERNET
http://limnologi.lipi.go.id/danau/profil.php diakses 13 November 2019