Puisi-Puisi Iwan Firman Widiyanto
JUMAT AGUNG DI HARI MINGGU
Sukacita perempuan mengabarkan kebangkitan
Ditampik heran sebelas murid Tuhan
“Omong Kosong ada kebangkitan!”
Karena penyaliban akan ada sepanjang masa
Dua ribu tahun sejarah berlalu
Pesimisme para murid dibuktikan kelu
Raga yang bangkit disalib di hari minggu
Ratusan tubuh hancur luluh kaku
Siapa yang menyalibkan Tuhanku lagi ?
Agama, etnik, mayoritas, konspirasi politik global, kepentingan duniawi ?
Harapmu bunuh diri mendapatkan surgawi ?
Tebarkan benci ekspresi nurani yang mati
Daging bertebaran
Darah muncrat menggenang
Jerit tangis duka membahana
Engkau berjoget dan bersorak dengan girang ?
“Salibkan Dia, Salibkan Dia…!”
Diantar mesin waktu industri masal ketololan demi kemenangan
Penyaliban akan terus berulang
Bahkan pada hari kebangkitan
Dia yang menang adalah yang sanggup melepas ikatan atas segala ruang
Dan mendaraskan mantra-mantra kehidupan
“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya, Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah Tuhan”
Yogyakarta
BERKELAHI DENGAN TUHAN
Seorang teman mengajaknya berkelahi
Untuk sebuah birahi
Tapi dia kalah
Pasrah
Karna Tuhan bukan kuman tapi pahlawan
Kalau aku temannya Tuhan di depan
Di belakang ku cekik Dia sebagai lawan
Begitupun aku kalah
Menyerah
Karna Tuhan bukan tembok
Yang diam jika ku tonjok
Tuhan tak tertandingi
Meski kuciptakan Tuhan dari konsep canggih teologi
Akhirnya Tuhan menghela nafas
Seketika aku terhempas
Otakku berceceran dijalanan
Isi perut berhamburan
Tubuh kaku
Jadi debu
Angin datang
Debu melayang
Karna sayang
Debu ditangkap
Jadi manusia lengkap
Itulah aku
Di cipta baru
Yogyakarta
KISAH SI PENERIMA UANG DARAH
“Ini, ambil kembali uangmu !”
Kulempar segepok uang darah kekasihku
Tiga puluh keping perak Tetradrachm
Harga kematian Dia yang telah memberi cinta
Para Imam dan tua-tua tersenyum penuh kemenangan
“Itu urusanmu ! Aku telah bayar suaramu…”
“Aku telah bayar ciumanmu…”
“Kau tidak bisa lagi menuntutku!”
“Hahhhhhhhhhhhhhhhhh !”
“Bangsat Kau ! Bebaskan kekasihku…!”
Aku merangsek maju mencengkram jubah para elit munafik
Ingin ku robek-robek simbol kepongahan dan keagungan kepentingan
Tapi aku tak kuasa, telah tergadai jiwa
“Ohhhhhh… Keparat !”
“Aku lebih bajingan dari semua bajingan !”
“Aku lebih bangsat dari mbahnya bangsat!”
Aku khianati Sang Cinta, maafkan aku…
Karena tak akan pernah aku mengampuni diri
Srumbung Gunung
CATATAN SI PENGECUT
Perkenalkan Aku si Pengecut
Mulut besar tak mampu membuat tenang ketakutan akan pedang
Dia yang kucinta kubiarkan sendiri menanggung derita
Betapa hati teriris pedih, ngilu, tersiksa
Mata mengalir air penuh putus asa
Dari jauh kupandangi Dia
Yang melirik tajam menembus jiwa
Oh kekasih maafkan Aku
Cintaku kepadamu tak sebesar cinta diriku
Para pejubah melayangkan tuduhan pamungkas
Pasal penistaan agama menjadi andalan
“ Ia menghujat Allah !” cukup membuatMu digantung di kayu pesakitan
Aji sakti gerombolan setan yang menjelma para suci menawan
Memberangus corong kebenaran dan keadilan
Maafkan aku Sang Kekasih
Cintaku kepadamu tak sebesar cinta diriku
Hingga kokok ayam menampar kesadaran
Meski selalu bersama ternyata aku telah lama meninggalkan
Maafkan aku Sang Kekasih
Srumbung Gunung
Iwan Firman Widiyanto adalah seorang Pendeta yang bermukim di Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang-Jawa Tengah.