Natal, Api, dan Seni
Oleh: Agus Dermawan T.*
Dua cerita mengenai patung yang berkait dengan Natal. Suatu realitas betapa seni rupa, apa pun bentuk dan kontennya, selalu berhubungan dengan ekonomi, politik dan sosial. Dari yang teduh sampai yang banal.
——–
DI KOTA Gävle, sekitar 100 mil di utara Stockholm, Swedia, pada Desember sampai awal Januari, selalu berdiri patung kambing yang terbuat dari kayu dan jerami. Patung itu dipajang sejak 1966 untuk menyambut Natal sambil untuk mempromosikan produk. Patung gagah tersebut dinamai Yule, atau Gävle Goat, yang dalam bahasa Swedia dipanggil Gävlebocken. Tinggi resminya, 12,8 meter atau 43 kaki.
Bentuknya sederhana, naif dan kurang lucu. Bahkan keindahannya jauh apabila dibandingkan dengan estetika patung Kuda Troya yang diimajinasikan oleh Homerus dalam kisah Iliad. Namun patung ini punya popularitas yang unik, dengan tafsir yang berganda-ganda.

Patung Yule berdiri di kota Gävle, Swedia, di tengah sapaan lembut salju. (Sumber: Dokumen)
Banyak yang menyenangi patung ini, sehingga mereka memasang replikanya sebagai boneka di rumah. Tapi ada yang mengatakan bahwa patung itu jimat untuk mempertahankan keuntungan serangkum usaha, seraya menebarkan sial untuk orang lain. Sehingga patung itu harus dibenci. Ada yang mencurigai patung itu akan jadi medium “doa gelap” untuk memburu peruntungan secara rahasia. Apalagi ketika dihubungkan dengan mitologi, betapa kambing Yule sejak seabad silam sudah berkelana secara misterius ke sudut-sudut kota, dengan ditunggangi lelaki tua yang menamakan diri “Old Christmas”. Gambar Robert Seymour tahun 1836 menegaskan itu.
Ada pula yang mengatakan bahwa gestur dan materi patung itu – yang berdiri congkak menantang dengan tubuh berbalut jerami kering – secara psikologis merangsang orang untuk membakar, sehingga menjadi atraksi. Ya, bukankah kayu dan jerami adalah sahabat api?
Berkait dengan tiga pendapat negatif itu banyak peristiwa terjadi.
Sejak tahun 1966 patung Yule telah 35 kali mengalami percobaan pengrusakan dan pembakaran. Sehingga Guinnes Book of Records pun mencatatnya sebagai “karya seni yang paling sering diserang”. Bukan sebagai seni patung yang membuat hati girang. Bahkan pada 2005 patung ini berusaha dibakar dengan panah api oleh dua orang. Setelah dicokok, para pemanah mengaku bahwa mereka memang sudah lama ingin melakukannya.
Sejumlah pengamat secara satir mengatakan bahwa pengrusakan dan pembakaran patung Yule adalah “tradisi tak terduga tapi disengaja” yang menyertai Natal di Gävle. Dan itu akan merupakan pertunjukan aksentuatif dalam kenangan puluhan ribu orang yang sengaja menyaksikan si kambing raksasa Yule.
Karena pengalaman buruk tersebut – selama sebulan pemasangan – patung Yule dijaga polisi yang bersiaga sepanjang hari. Di sekitarnya kamera pengawas mengintai 24 jam. Hasilnya, sejak 2016 Yule berdiri dengan aman. Tak ada gangguan. Namun pada hari Jum’at, 17 Desember 2021 patung itu mendadak terbakar, menyala-nyala, sampai menjadi abu.
“Wah. Dulu-dulu baru dicoca-coba. Sekarang benar-benar jadi bara,” kata sejumlah warga yang menyaksikan kebakaran itu.

Patung Yule yang membara karena dibakar orang. (Sumber: Dokumen).
Seusai pembakaran tentu saja patung Yule berdiri lagi, dengan tinggi 12,8 meter lagi. Lalu dijaga ketat lagi. Dan agaknya, dicoba untuk dirusak dan dibakar lagi. Sampai Natal tahun 2025 ini.
Patung ini dirancang oleh Stig Gavlén, dengan pembangunan pertama melibatkan para pedagang lokal. Oleh karena materinya sensitif atas api. Stig meminta dukungan departemen pemadaman kebakaran Kota Gävle.
Ujung kalam, ada yang curiga bahwa yang mencoba merusak atau membakar adalah perusahaan yang mendirikan patung itu, untuk sensasi merk produknya. Ah masak, sih!?
***
FERNANDO Botero adalah seniman Kolombia paling ikonik sejak tengah abad 20. Karya patung dan lukisannya selalu menggambarkan figur gemuk atau tambun. Kondisi tubuh yang nenurutnya menggambarkan kebahagiaan, dengan membuang soal obesitas dari ingatan.
Dengan karya-karya itu nama Botero menjulang di banyak penjuru. Sehingga karyanya, terutama patung-patung monumennya, lantas dibangun di kota-kota besar berbagai negara. Di taman, di plaza, sampai di tengah jalan raya.
“Lucu adalah ruh patung saya. Membuat senyum adalah tujuan penciptaannya. Happy-happy adalah kontennya,” ujar seniman kelahiran Medelin, Kolombia, 1932 itu.
Lantaran bangga dengan senimannya, maka Kota Medellin lantas membangun patung monumen kreasi Botero di Parque San Antonio. Patung besar dari perunggu tersebut menggambarkan merpati gemuk yang sedang mendarat di pelataran. Maknanya: merpati perdamaian itu sedang tidak terbang, dan sedang berdekat-dekat dengan semua orang. Patung pun diberi judul “Pájaro”, atau “Merpati”.

Patung “Pájaro” atau “Merpati” gemuk karya Fernando Botero. (Sumber: Dokumen).

Patung “Pájaro” yang sobek dan bolong akibat peledakan bom. (Sumber: Dokumen).
Eh, apa dikata patung menggemaskan itu diledakkan dengan bom pada 10 Juni 1995. Padahal di sekitar patung sedang ada perhelatan konser musik. Alhasil, hampir 30 orang tewas dan sekitar 200 orang terluka. Patung pun rusak tiada terkira.
Dari penyelidikan diketahui bahwa yang mengebom patung adalah gerilyawan sayap kiri FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia – Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia yang Marxis-Leninis). Tujuan peledakan patung bukan untuk merusak karya seni, tetapi untuk melawan Fernando Botero Zea, putra Fernando Botero, yang kala itu menjadi Menteri Pertahanan Kolombia.
Melihat patungnya bedah, Botero punya ide. Ia minta pemerintah membiarkan patung sobek dan bolong itu tetap berdiri. “Biarkan patung itu menjadi tanda dari kebodohan satu kelompok, dan biarkan itu sebagai lambang kriminalitas terhadap negara,” katanya.
Lima tahun kemudian Botero membuat patung yang persis dengan yang diledakkan. Patung baru itu lalu dihibahkan ke Pemerintah Kolombia sebagai hadiah Natal tahun 2000, untuk menyambut milenium ketiga yang diharapkan tak ada permusuhan. Dua patung – yang rusak dan yang baru – dipajang berdekatan, dan lantas beri judul “Pájaros de Paz”, atau “Burung-burung Merpati Perdamaian”.
Sampai sekarang, kedua patung itu berdiri aman.

Pematung dan pelukis Kolombia, Fernando Botero. (Sumber: Agus Dermawan T).
Seusai pengeboman itu Zea menanggalkan jabatannya sebagai Menteri Pertahahan yang baru diemban selama setahun. Ia lalu menjadi pimpinan The Estate of Fernando Botero dan anggota direksi yayasan yang melestarikan warisan seni Fernando Botero, yang nilainya tak terhingga.
Zea merasa, pekerjaan yang berkait dengan seni jauh lebih aman, tenteram dan nyaman dibanding pekerjaan di pemerintahan. O ya, pematung Botero wafat tahun 2023.
Akhir kalam, Selamat Natal 2025 dan Tahun Baru 2026.
***
——–
*Agus Dermawan T. Penulis buku-buku budaya. Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025.




