Gambar Kelakar Donald Trump
Oleh Agus Dermawan T.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dihujat lewat ribuan karikatur di seluruh dunia. Namun ia tenang-tenang saja, karena dirinya juga suka mengolok-olok pihak lain, dengan karikatur juga.
————-
IRAN dan Israel perang langit. Ratusan rudal berhamburan di udara, dan sejumlah kota di kedua negara remuk adanya. Pada pekan pertama Iran merasa menang bertarung, dan Israel mulai merasa buntung. Melihat Israel kewalahan, Amerika Serikat, sekutu Israel, sungguh kawatir. Donald Trump lalu unjuk ancaman. “Amerika akan mempertimbangkan untuk berada di belakang Israel atau tidak. Dan akan diputuskan dalam dua pekan ke depan.” Namun baru tiga hari, Trump sudah menginstruksikan pesawat B-2 mengebom tiga situs nuklir Iran di wilayah Fordow, Natanz dan Isfahan pada 22 Juni 2025.
Dunia marah dan heran dengan sikap Trump yang ngibul dan semaunya bertindak. Ribuan kecaman muncul di seluruh dunia, di lima benua. Di antaranya dalam bentuk karikatur. Simak beberapa di antaranya.
Secarik karikatur karya Gado (Godfrey Mwanpembwa) dari Tanzania mengamati sikap Trump dari watak dasarnya. Yakni, betapa Trump sesungguhnya adalah raja buatan dan sekaligus manusia otoriter yang sangat senang dihura-hura. Di situ ia menggambarkan Trump sedang duduk riang di singgasana. Dua orang yang sesikap dan sewatak, Presiden Uganda Yoweri Museveni dan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe tampak bersama-sama memasangkan mahkota ke kepala Trump. Judul karikatur itu: “Mister Trump, Selamat Datang di Klub Orang Gila.”
Karikaturis Jerman, Janson, menggambarkan Trump duduk di belakang meja khusus White House. Di bawah meja tampak seekor tikus berpakaian formal, yang berperan sebagai pembisik banal. Tikus itu ternyata (diam-diam) membawa sekop. Ia sedang bekerja menggali tanah, untuk menanam sosok Trump. Sehingga Trump akan terposisi sekadar sebagai cagak kaku konstruksi White House. Judul karikatur itu Grossbaustelle White House.
Di Indonesia muncul karikatur prediksi karya Eko Supa, “Di Kaki Israel, Trump itu Bola”. Trump digambarkan sebagai bola mainan Israel di lapangan. Jika sedikit saja Trump digelitik, pembelaan membabi-buta segera dilakukan.

Karikatur Eko Supa “Di Kaki Israel, Trump Itu Bola”. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Karikaturis Amerika sendiri juga mengeritik Trump habis-habisan. Bahkan ada serial karikatur sarkastik “Trump dan Toilet”, karya John Darkow, Rick McKee, Randal Enos, Dave Granlund, Kieron Dwyer dan seterusnya. Salah satunya adalah karya Daryl Eagle yang menggambarkan Trump membongkar kubah Gedung Capitol, sehingga bangunan itu bolong menyerupai kloset. Lalu Trump duduk di atas gedung kongres itu. Atau karya Craiyon yang melukiskan Trump sedang membuang patung Liberty dan “timbangan keadilan dunia” ke dalam lubang toilet.

Karikatur Craiyon yang menggambarkan Trump membuang Monumen Liberty dan “timbangan keadilan dunia” ke dalam toilet. (Sumber: Dokumen)
Namun atas ribuan karikatur dunia yang seru menghujat itu, Trump kelihatan tak perduli. Ia bahkan terlihat sangat menikmati. Sementara Trump sendiri suka membuat dirinya karikatural, untuk sekadar berseloroh, lucu-lucuan. Bahkan, ia pun senang apabila ada pihak yang menggunakan sosoknya sebagai senjata untuk mengolok-olok pihak lain. Contohnya ini.
Syahdan Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025. Beberapa hari kemudian Vatikan mempersiapkan sidang konklaf untuk memilih Paus baru. Di tengah kesyahduan itu tiba-tiba White House merilis gambar ganjil: Presiden Donald Trump yang berbusana kepausan, duduk di singgasana Cathedra Petri. Gambar itu lalu dengan suka cita diunggah ulang oleh Truth Social, media sosial milik Trump.
Gambar yang digubah oleh artificial intelligence tersebut menyampaikan kelakar, bahwa kini Trumplah Sang Paus itu. Dengan begitu, Amerikalah yang menuntun moral baik dunia. Padahal orang sebumi tahu, Trump adalah presiden yang penuh kontroversi dan tak terkendali.

Donald Trump menjadi Paus palsu. Gambar artificial intelligence keluaran White House, dan disukai Trump. (Sumber: Truth Social)
Banyak umat Katolik yang memprotes gambar karikatural itu. Termasuk Konferensi Katolik Negara Bagian New York. Namun Trump justru bergembira. “Saya semula tidak tahu menahu. Tapi saya senang. Isteri saya juga terhibur, karena gambar itu dinilai lucu.”
Gelombang di cangkir kopi
Pada zaman modern, karikatur hanya mampu menimbulkan gelombang di cangkir kopi. Apalagi pada era sekarang ketika politik yang bermuara kepada penguasaan (ekonomi, sosial, budaya, teritori) sangat mendominasi perubahan peradaban.
Peradaban politik penguasaan ini jelas menjerumuskan mentalitas manusia di titik yang gampang beku, dan menjadikan nurani orang perorang mengkristal jadi batu. Kebekuan mentalitas ini mempengaruhi cara berpikir dan menyebabkan dawai sensibilitas cepat berkarat. Lalu, ketika sensibilitas itu menumpul, karikatur otomatis semakin menjadi tidak bermanfaat, nggak ngaruh. Dan karikatur pun cuma terposisi sebagai hiburan, jadi ilustrasi jenaka yang menggelitik-gelitik belaka.
Tapi untung penumpulan sensibilitas itu tidak terjadi di semua lini. Pada ihwal yang menyangkut agama, orang-orang tetap memelihara kepekaan. Terhadap kepercayaan dan simbol-simbol agama manusia tetap menunjukkan kesetiaan untuk menjaga. Daya jaga itu ujungnya membawa umat beragama punya komitmen untuk peduli dan membela atas apa yang disebut norma, atau bahkan dogma.
Itu sebabnya umat Katolik mengecam atas gambar karikatural “Trump Paus Palsu”. Seperti dulu ketika umat Kristiani dunia marah besar kepada perupa Jens Jorgen Thorsen mengolok-olok seksualitas Yesus. Orang Hindu protes ketika simbol keagamaan mereka, Omkara, dipakai sebagai gambar jimat ramalan togel, serta dipublikasikan oleh media massa. Umat Budha sangat tersinggung ketika melihat patung Budha dijerat lehernya dan digantung di sebuah kusen, ketika kerusuhan di Jawa Barat terjadi bertahun silam. Warga Kristiani Indonesia gusar dan luka hatinya ketika melihat salib kayu besar dijadikan alat untuk merusak rumah retret oleh warga intoleran, di Desa Tangkil, Sukabumi 27 Juni 2025 lalu.
Sensibilitas yang sama juga tampak pada jutaan umat Islam di mana-mana, ketika mereka melihat (dan mendengar) Nabi Muhammad SAW dikarikaturkan oleh sejumlah karikaturis.

Karikatur karya Mchoraji Said Michael dari Afrika yang menggambarkan Presiden Donald Trump suka bertutur asal bunyi, kasar, diskriminatif dan berbahaya. (Sumber: Dokumen)
Mengingat Jyllands-Posten
Bicara karikatur Nabi Muhammad SAW, kita mungkin masih ingat, karikatur di koran Denmark Jyllands-Posten edisi Minggu, 30 September 2005. Pembuatan karikatur tak tahu aturan yang muncul dari keisengan kebablasan.
Syahdan kala itu penulis Denmark, Kare Bluitgen, akan menerbitkan buku Koran and the Prophet’s Life. Untuk melengkapi isi buku itu ia mencari ilustrator yang bisa menggambarkan Nabi Muhammad. Koran Jyllands-Posten bersedia menolong dengan meminta para karikaturis menafsirkan sosok Sang Nabi. Lantas muncullah 12 gambar yang menghebohkan itu. Gambar yang sangat bertentangan dengan dogma agama Islam, yang melarang semua orang menggambarkan wajah dan sosok Rasulullah.
Ihwal kekeliruan pengkarikaturan ini diberangkatkan dari dua persoalan yang mendasar. Pertama tentu pelanggaran etika, yang dilakukan oleh editor media massa dan sejumlah seniman yang sembrono. Yang tidak punya rasa hormat serta tidak memiliki sensibilitas atas norma dan dogma agama. Kedua adalah menyangkut persoalan akar seni karikatur, yang tampaknya (pura-pura) tidak difahami oleh para karikaturis itu.
Sejak awal, karikatur adalah seni rupa yang dibuat dengan tujuan menyindir atau mengeritik, dengan memakai wajah seseorang yang berkait dengan konteks. Untuk menajamkan persoalan, wajah seseorang itu dideformasi atau didistorsi sedemikian rupa sehingga menjadi unik. Keunikan ini oleh para karikaturis diformulasi menjadi lucu, karena kelucuan dianggap pintu masuk untuk mencari perhatian. Deformasi dan distorsi wajah dalam karikatur adalah ciri utama dari seni karikatur.
Etimologi berikut akan menjelaskan hal itu. Karikatur atau caricature (Inggris), caricatuur (Belanda), karikatur (Jerman) bermula dari kata Itali, caricare, yang artinya: memberikan muatan (kepada wajah seseorang). Ini ada hubungannya dengan kata caratere, bahasa Itali untuk character (Inggris) atau karakter (Indonesia).
Dalam bahasa rupa, upaya meng-caricare, atau memberi muatan, diwujudkan dengan mengubah dan melebih-lebihkan bentuk wajah seseorang yang digambarkan di situ. Namun gambar harus tetap menghadirkan karakter tokoh yang dikarikaturkan. Seperti yang dirumuskan dalam Dictionary of Art Terms (Thames and Hudson, 1995) bahwa karikatur adalah “a portrait where the subject‘s characteristic features are exaggerated for satiric or humorous purposes”.
Kesimpulannya, lahirnya karikatur harus bersumber dari wajah yang jelas-jelas pernah dilihat (langsung atau tak langsung) oleh para karikaturisnya, dan didalami karakternya. Maka sesungguhnya, karikatur adalah kebenaran visual yang dihiperboliskan. Itu sebabnya – dalam konteks ini – lukisan Fernando Botero yang mendeformasi sosok Yesus menjadi sangat gemuk, tidak menjadi perkara. Lantaran sosok Yesus diberangkatkan dari “kebenaran visual” yang sudah ada.

Yesus gemuk lukisan Fernando Botero, “Yesus, Ecce Homo.” (Sumber: Agus Dermawan T).
Di sisi lain difahami bahwa keindahan karikatur tidak hanya diangkat oleh kemampuan karikaturis dalam meng-caricare wajah sang tokoh lewat manifestasi spesifik setiap seniman. Tetapi juga diusung oleh itikad positif yang sudah disahkan sebagai muatan khas seni karikatur. Itikad itu adalah upaya untuk membuat perubahan: dari yang buruk menjadi baik, dari yang bengkok menjadi lempang. Dengan begitu, keindahan sebuah karikatur (juga) terpancar lewat kualitas moral yang tergambar.
Menyentuh karikatur di Jyllands-Posten, adakah para karikaturis itu pernah melihat wajah Nabi Muhammad? Sangat diyakini: tidak. Karena, berangkat dari bacaan atas Surah Al-Ahzab (33:32) dan Surah Al-Kahf (18:109), untuk menjaga kehormatan, siapa pun tidak boleh melukiskan wajah dan sosok Sang Nabi, dari zaman dahulu sampai sekarang. Dengan begitu, sederet karikatur Jyllands-Posten tersebut cuma hasil imajinasi liar karikaturisnya saja. Dalam dunia karikatur yang harus berangkat dari subyek visual, upaya rekayasa abstrak soal fisik adalah kerja yang keliru.
Dalam pemahaman etimologis seperti itu, karikatur demikian dikategorikan sebagai gambar yang berbohong. Biasanya seni yang menyimpan kebohongan tidak tersimpan di hati terdalam.
Tapi atas karikatur politik Donald Trump – yang merujuk kepada wajahnya yang “penuh perdebatan” – seharusnya kita cermat memperhatikan. ***
*Agus Dermawan T. Kritikus. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.