Puisi-puisi Effendi Kadarisman

RITUAL KEADILAN

Tasbih itu masih mengalir
bersama dzikir
Belum dicuri dari hatimu

Hanya hamparan tanah
di bawah sajadah
Pelan-pelan digulung
oleh tangan-tangan rakus

Tangan yang mematok kesabaranmu,
membikin pagar laut dan
berambisi besar merampok Langit

dan Langit terguncang
Nyala bintang-bintang,
lilin keadilan akan dipadamkan,
firman-Mu akan dimakzulkan

Shalat dan arah kiblat masih dilepas
Bebas, untuk sementara
Walau sabda Sang Nabi dari Makah
dihadang oleh hati yang serakah
Bau busuk kekuasaan ditutup parfum
Bangkai tetap mengaum

Sebermula aku tahu engkau puisi sunyi
Memeluk bumi rindu
Tapi keheningan itu diinjak-injak –
keheningan di lubuk jiwamu. Langit
Keadilan
mulai retak. Lalu pecah,
ya pecahlah Amarah:
Siapa meludahi wajah makrifat dan
mengundang kiamat?

Tasbih itu masih mengalir
bersama dzikir. Bersama shalawat
dan sabar
yang hangus dibakar

Malang, 11 Juni 2025

 

DI PANTAI-MU

Di pantai-Mu
Aku seekor camar yang rindu
Kepak sayap-sayap sunyi
Dilupakan matahari

Di pantai-Mu
Aku bunga gelagah, tembang ilalang
Bermimpi menjadi mawar
Bernyanyi, ah bahagianya layar

Di pantai-Mu
Siapakah mengkaji napas gelombang?
Ingin berdzikir bersama pasir?
Tapi lupa nama-Mu

Di pantai-Mu
Janganlah aku hanya buih. Kisah
yang lelah – sampah samudra cinta-Mu
O, yang Maha Indah

Malang, 28 Mei 2025

 

SENDIRI

Di rawa-rawa, bangau tak berkawan
Beratkah beban sunyi?
Kejamkah rasa hampa dalam kesendirian?
Kau potret aku dengan lensa yang salah
Kucoba kacamata berikutnya:
Sendiri adalah matahari
Cahaya bukan cemas,
Ini lukisan bayang-bayang emas
Dua kaki tipis menepis kesunyian
Sendiri itu indah
Nada-nada ritmis pada rumpun gelagah
Dan di langit ada puisi warna jingga,
Warna syukur pagi
dalamnya tak terhingga

Beratkah beban sunyi?
Berkacalah pada rawa-rawa
O, bayang-bayang panjang –
Burung bangau, jiwamu berkilau

Malang, 27 Mei 2025

 

ADALAH BONSAI

Adalah bonsai yang menghadirkan alam
ke beranda, ke ruang tamu, ke rumah puisi
Bunga merah jingga, tanda kasih, kini
tumbuh di dadaku
Akar yang telanjang,
Jemari rindu menggurat senyum rumputan
pada baris-baris sajakku
Tenteramlah kalian di sepanjang musim

Adalah bonsai yang membujuk pohon-pohon
dan kerinduan bunga
Dan menanamnya di kebun cinta

Malang, 25 April 2025

 

MEMETIK MATAHARI

Sebutir matahari muda, kupetik dari langit
Berwajah bening
Belum menyala menghangatkan
tungku pagi
Terimalah. Sematkan ke dadamu
Ke dada Indonesia, yang setengah gelap
Gembirakan dia dengan samudra cahaya

Puisi adalah negeri dongeng
Kisah dan naskah
Lorong kehidupan yang sunyi, tanpa akhir
Tapi engkau mencintai tanah air
Sekali lagi kupetik matahari
Sematkan ke mata dan telinga negeri,
Yang rindu cahaya, rindu suara yang
menghembus jiwa

Malang, 28 Maret 2025

 

MUDIK

Mudik adalah berjuta jiwa terbang
bersama kupu-kupu, sampai bumi bingung
Benarkah berpayung mendung –
Seletih kenangan sejernih
kampung halaman
Berjuta kunang-kunang berbaur dengan
bintang-bintang, panas membara
hingga udara memar terbakar –
Sehening bulan sabit sesunyi
mimpi di langit
Berjuta kata-kata dari koran, dari internet,
dari instagram menghambur ke angkasa,
mencari matahari –
Sehangus rindumu: leksikon haus
menuju kamus

Mudik adalah menaklukkan jurang
yang membentang
Bermimpi tentang cikal bakal
dan rumah muasal
Kembali menyusup akar, menghirup dasar
Mudik adalah tubuh dan ruh
Mencari teduh

Malang, 25 Maret 2025

 

HUJAN

Bila hujan tumpah,
Kukira langit menangis bahagia
Bukankah Langit amat menyayangi bumi?
Di ladang batinmu
Air mata Bunda menumbuhkan setiap
benih hasrat
Sungai kasihnya mengairi cita-cita
yang dahaga

Hujan lepas begitu deras
Payung tertutup di tanganmu, dan
kau basah kuyup, anakku
Aku merindukan Ibu
(Langkah al-Fatihah begitu basah)
Air mata kusembunyikan
Dalam derasnya hujan

Malang,18 Februari 2024

 

——–

*Effendi Kadarisman, guru besar linguistik dan pakar etnopuitika Universitas Islam Malang (UNISMA), adalah pencinta puisi. Sebagai penyair pinggiran, ia telah menerbitkan empat buku antologi puisi pribadi – dalam bahasa Jawa: Tembang Kapang, Tembang Bebrayan (2007), bahasa Inggris: Uncommon Thoughts on Common Things (2020), dan bahasa Indonesia: Selembar Daun Hening (2020) dan Di Halaman Indonesia (2024). Puisi-puisinya masuk dalam berbagai buku antologi puisi bersama, dan terbit di sejumlah koran nasional. Ia juga menulis esai sastra, berupa kata pengantar, epilog, dan resensi buku puisi.