Monyet, Hanuman, Tubuh Tradisi dan Kemanusiaan Kita
Oleh Purnawan Andra*
Dalam lanskap kebudayaan Jawa, monyet bukan sekadar satwa, tetapi citra kompleks yang hidup di antara seni, mitologi, dan politik identitas. Ia hadir dalam narasi-narasi tubuh, mulai dari performa spiritual Hanuman dalam Ramayana hingga tubuh-tubuh primata yang diseret ke jalanan sebagai topeng monyet.
Tubuh-tubuh ini bukan hanya hadir untuk ditonton, tetapi dipertunjukkan sebagai eksotika, penghibur, yang sebenarnya sekaligus menjadi pengingat akan sejarah panjang ketimpangan, kolonialisme, dan eksploitasi performatif.
Matthew Isaac Cohen dalam Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon (2002) mencatat bahwa seni pertunjukan dengan monyet sudah hadir sejak akhir abad ke-19 di wilayah barat Indonesia, sebagai sirkus jalanan dalam bayang kolonial. Monyet dan anjing diposisikan sebagai penghibur anak-anak Eropa maupun pribumi, dalam format “sirkus mini” yang menghibur namun sarat eksploitasi.
Foto-foto Tropenmuseum menunjukkan representasi visual yang kuat: tubuh lusuh pawang pribumi dan dua monyet berantai. Tubuh manusia yang tersubordinasi berdampingan dengan tubuh hewan yang menjadi performatif, keduanya terhisap ke dalam industri hiburan kolonial. Tubuh-tubuh ini bukan sekadar hadir untuk ditonton, tetapi juga dipertunjukkan sebagai eksotika, menghibur, sekaligus meneguhkan superioritas kolonial.
Representasi Kosmologis
Tetapi tubuh monyet dalam tradisi Jawa jauh lebih kompleks. Ia hadir dalam kisah Lutung Kasarung, kethek ogleng, hingga tari-tarian berbasis cerita wayang seperti Anoman-Indrajit atau Anoman-Cakil.
Hanuman (Anoman), tokoh sentral dalam Ramayana, tokoh kera suci yang sering tampil dalam tari tradisi Jawa maupun Bali, tidak pernah menjadi sekadar binatang. Ia adalah kera yang berhati ksatria, manusia yang menjelma primata atau sebaliknya, tetapi memiliki dimensi moral, spiritual, bahkan kosmik.
Dalam wayang, Hanuman adalah liyan yang justru menjadi juru selamat. Ia tidak berasal dari istana, tetapi justru dari rimba. Ia bukan bangsawan, tetapi justru sang penentu arah perang besar antara Rama dan Rahwana.
Sardono W. Kusumo dalam bukunya Hanuman, Tarzan, Homo Erectus (2004) menegaskan bahwa figur Hanuman adalah representasi dari tubuh ambigu: antara manusia, binatang, dan dewa; simbol perbatasan, ambang antara kesadaran tubuh primitif dan tubuh spiritual. Tubuh yang dapat melintasi zona sakral dan profan.
Tubuh-tubuh ini, yang ditampilkan dalam stilisasi tinggi dalam tari klasik, tidak hanya menghibur, tetapi menyampaikan nilai kosmologis. Dalam konsep Jawa, tubuh Hanuman tidak mengimitasi binatang, melainkan menubuhkan energi semesta.
Tubuhnya menubuhkan nilai: kesetiaan, pengorbanan, keheningan batin, dan keberanian. Ia bukan sekadar tokoh, tapi ruang kosmologis. Tubuh Hanuman adalah tubuh yang mampu menjembatani dunia profan dan sakral.
Afrizal Malna, dalam esai “Tubuh Tari dari Kebudayaan sebagai Kepompong” (2010), menyebut seni pertunjukan Jawa mengenal konsep mrasuk: ketika tubuh penari tidak hanya menirukan gerak, tetapi menjadi saluran dari nilai, energi, dan kesadaran. Merasuk dalam tubuh pertunjukan Jawa: tubuh tidak sekadar bergerak, tapi menyerap dan menyuarakan alam, bahasa, dan kesadaran.
Dalam tari Anoman, misalnya, penari tak sekadar meniru gerak kera, tapi menjadi Hanuman. Ia menyalurkan nilai-nilai Hanuman: kesetiaan, pengorbanan, keberanian, dan kerendahan hati. Ia menyuarakan dimensi spiritual dari tubuh yang dibentuk oleh napas, ritme, dan blok ruang kosmologis. Tubuh yang “dimasuki” oleh karakter. Tubuh tari ini bukan hasil teknik, tapi hasil pemeliharaan rasa dan energi.
Distorsi
Namun, tubuh spiritual ini mengalami distorsi. Ketika seni pertunjukan dipaksa menyesuaikan diri dengan logika komodifikasi, Hanuman tak lagi spiritual atau liyan, melainkan maskot budaya.. Dalam logika kapitalisme budaya, tubuh Hanuman tercerabut dari akar kosmologisnya.
Ia menjadi figur yang dihibahkan ke sinetron, campursari, bahkan badut jalanan yang ditiru tanpa pemahaman kosmologisnya. Tubuh yang dulu sakral, kini hanya tubuh hiburan. Di sisi lain, tubuh monyet sebagai Sarimin—topeng monyet di persimpangan jalan—menjadi tubuh ekses. Tubuh kecil yang ditarik rantai, dijadikan obyek tawa dan eksploitasi.
Richard Schechner dalam Performance Studies (2002) menjelaskan bahwa tubuh pertunjukan selalu menyimpan makna ganda: ia menunjukkan dan melakukan. Tubuh Hanuman, dalam pengertian ini, adalah tubuh yang menyimbolkan nilai sekaligus tubuh yang menghadirkan nilai secara performatif. Tubuh Hanuman adalah tubuh simbolik yang menyimpan performativitas dan transendensi.
Tapi dalam konteks industri tontonan, tubuh itu kehilangan daya transenden. Ia menjadi tubuh yang hanya “menyampaikan” tanpa “mengalami”. Seperti si Sarimin di Jakarta—terjadi ironi besar: tubuh yang semula sakral ditarik ke wilayah profan, bahkan dieksploitasi.
Ketika Pemprov DKI pada tahun 2014 melarang topeng monyet dengan dalih perlindungan hewan, sesungguhnya yang tak dikatakan adalah kegagalan kebijakan membaca makna simbolik dan historis tubuh-monyet dalam masyarakat. Monyet bukan hanya binatang, tetapi medium representasi sosial.
Dari Hanuman hingga Sarimin, tubuh monyet adalah refleksi dari kegelisahan manusia (Jawa) atas modernitas. Ketika dunia urban kehilangan spiritualitas, tubuh-monyet di perempatan lampu merah adalah tubuh yang mengabarkan keterasingan, kehilangan ruang refleksi, dan sekaligus sindiran terhadap manusia yang telah tercerabut dari alam.
Situs Pengetahuan
Tentangnya, kita bisa beranjak dari perhatian Raffles terhadap seni pertunjukan Jawa yang sarat simbolisme. Dalam catatannya The History of Java (2019), pertunjukan wayang dan tari menjadi cermin dari struktur sosial dan moral masyarakat Jawa. Namun, pada saat yang sama, menurut Raffles, tubuh wayang dan tari juga menjadi bentuk kontrol sosial: membentuk watak rakyat yang patuh dan penuh tata krama.
Tapi justru dalam tafsir Jawa, batas itu dikaburkan. Tubuh Hanuman dalam kerangka ini adalah tubuh yang melampaui batas kontrol itu. Ia liar, tapi luhur. Ia tak tunduk pada kasta, tapi dipuja semua kasta. Ia simbol pemberontakan yang berbudi.
Hanuman adalah tubuh pembebas: ia yang tidak berasal dari istana, tetapi menyelamatkan istana; ia yang tidak berasal dari elite, tetapi menyelamatkan masyarakat. Tubuh Hanuman menolak klasifikasi binatang sepenuhnya. Ia lebih manusiawi dari manusia. Ia mempermalukan para dewa.
Terkait dengannya, Lono Simatupang (2013) merumuskan bahwa pergelaran bukan semata representasi, tetapi ruang dialog antara tubuh, ruang, dan wacana. Pergelaran memungkinkan tubuh mempertanyakan dirinya, bukan sekadar dipamerkan. Dalam konteks ini, tubuh monyet bisa dibaca ulang: bukan sebagai objek eksotik, tapi sebagai situs pengetahuan.
Tubuh monyet bisa dibaca sebagai titik kritik dalam sejarah postkolonial. Dalam logika pertunjukan kolonial, seperti dicatat Cohen, tubuh monyet digunakan untuk meneguhkan batas antara manusia (penjajah) dan bukan-manusia (pribumi dan hewan).
Dalam politik budaya kontemporer, figur Hanuman mengingatkan kita akan pentingnya tubuh sebagai medan transgresif—melampaui dikotomi binatang/manusia, rakyat/elite, tradisi/modernitas. Dalam dunia seni, tubuh Hanuman adalah tubuh kontemporer sejati: tubuh yang terus bergerak antara zona konflik dan refleksi.
Hari ini, di tengah krisis ekologis dan alienasi digital, kita justru perlu membaca tubuh Hanuman sebagai refleksi ekologis dan spiritual. Dalam mitologi, Hanuman adalah pelindung hutan, pemelihara alam.
Tapi hari ini, monyet—makhluk hutan—diseret ke kota, ke jalanan beton, kehilangan habitat dan martabatnya. Seperti manusia Indonesia yang tercerabut dari tanah dan tradisinya, tubuh monyet di lampu merah adalah tubuh diaspora ekologis: kehilangan rumah dan kehilangan makna.
Dengan demikian, tubuh monyet dalam seni pertunjukan kita tak bisa dibaca tunggal. Ia adalah tubuh yang politis, spiritual, dan estetis sekaligus. Ia menjadi ladang tafsir antara yang sakral dan yang profan, antara yang dibebaskan dan yang dijinakkan.
Salah satu jalurnya adalah dekonstruksi: mengangkat kembali tubuh monyet sebagai situs pengetahuan, bukan objek eksotisasi. Dalam seni pertunjukan kontemporer, beberapa seniman mencoba membaca ulang tubuh ini, meski karya-karya “kreasi baru” yang menggabungkan tradisi dan media digital sering kali masih berkisar pada makna permukaan.
Maka kita bisa mengingat tonggak karya Sardono W. Kusumo yang, pada masanya, telah menjadikan tubuh sebagai medan riset, bukan sekadar instrumen artistik: tubuh yang menolak teknik, tubuh yang mendengar alam, tubuh yang menyimpan ingatan dan luka. Tubuh ini mengabarkan: tentang kehilangan ruang sakral, tentang runtuhnya empati, dan tentang kegagalan kita merawat makna tubuh dalam tradisi.
Tubuh dalam Tradisi
Kita tidak kekurangan tradisi. Kita kekurangan kemampuan untuk mendengar tubuh dalam tradisi. Tubuh Hanuman bukan tubuh teater. Ia adalah tubuh yang merasuki kita dengan pesan tentang kerendahan hati, keberanian melawan kekuasaan, dan kesetiaan pada yang tak bersuara.
Dalam dunia yang dipenuhi tubuh-tubuh digital, tubuh virtual, dan tubuh yang dikomodifikasi, tubuh Hanuman adalah tubuh yang mengingatkan. Mengingat bahwa kita punya cara hidup lain: bukan sekadar tampil, tapi hadir; bukan sekadar meniru, tapi merasuk.
Tubuh monyet bukan hanya representasi, tapi juga refleksi. Dalam setiap geraknya, ia menanyakan kepada kita: tubuh macam apa yang ingin kita bangun? Tradisi macam apa yang ingin kita pelihara? Dan kemanusiaan macam apa yang kita perjuangkan?
Karena seperti tubuh Hanuman yang melampaui batas, tubuh kebudayaan pun harus terus bergerak: dari yang ditonton menjadi yang menyuarakan. Dari tubuh yang ditertawakan menjadi tubuh yang menyadarkan. Dari tubuh-kepompong menjadi tubuh pembebas.
Dengan begitu, ketika kita melihat pertunjukan tari Anoman-Cakil, atau bahkan topeng monyet di jalanan, kita tidak sekadar melihat tubuh. Kita sedang melihat cermin dari sejarah kita sendiri—sejarah tentang bagaimana kita memperlakukan tubuh, memperlakukan tradisi, dan pada akhirnya memperlakukan kemanusiaan itu sendiri.
—————————————-
*Purnawan Andra, alumnus Jurusan Tari ISI Surakarta. Bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan. Contact person 0813 287 35 881.