Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

DI TEPIAN KALI JAGIR

Di bawah jembatan nyaris ambrol—
bayangan pohon beringin membatu,
sungai tak mengalir—ia menatap.
Air jadi mata,
menyimpan rahasia pabrik tua
dan tangis anak-anak plastik.

Siluet trem masa lalu
menggeretkan kerangka besi—
tanpa roda, tanpa suara.
Hanya asap
yang melukis salib pada langit kelabu.
Langit yang lupa
cara berduka.

Aku melihat arwah tukang becak
menyemir matahari
dengan sabun murahan.
Ia tertawa tanpa gigi,
karena janji-janji
telah tumbuh menjadi semak berduri
di perut pemulung.

Jagir,
kaulah altar beton
di mana doa-doa hanyut
menjadi resi pembungkus tahu.

Kepala-kepala tanpa tubuh
berbisik dalam lumpur:
“Kami pernah mimpi!”

Tapi mimpi
digunting oleh sidik jari
yang dicetak di ruang tunggu
pengadilan debu.

Dan di seberang,
gedung kaca berkilat—
menyusun tawa
dari derit ban sepeda air.
Panggung telah siap,
peran telah dijual.

Aku berdiri
di tepi Jagir—
membaca puisi
dengan lidah
yang digigit bayangan sendiri.

2025

 

PASAR KEPUTRAN 00.00

Pada jantung kota,
di sela detak beton dan debu kantor,
pasar berdiri:
gerbang perut kota yang tak pernah tidur.

Sayur bicara lewat keranjang rotan,
menggumam doa dari lereng-lereng jauh.
Ayam tanpa kepala berkicau
dalam nyanyian daging dan harga.

Waktu larut,
namun pasar justru terjaga—
jam tidur ditukar timbangan,
mata pencaharian
adalah mata yang tak bisa pejam.

Satu kilo harapan.
Setengah ons kemiskinan.
Sebungkus anak sekolah.
Sebutir mimpi retak—
ditawar, dibungkus, dibawa pulang.

Gedung menjulang
menatap pasar dari jendela kaca,
dingin dan steril.
Tak paham peluh
yang menguap dari genggaman petani
hingga jari kasir restoran.

Pasar Keputran
bukan sekadar lapak.
Ia paru-paru bawah tanah
yang menyuplai nafas
pada meja makan kota.

Namun siapa peduli
jika paru-paru itu
dipenuhi asap dan teriakan?

Di sini,
harga bukan sekadar angka.
Ia adalah nyawa
yang dijual eceran.

2025

 

TUKANG BECAK DAN KEKASIHNYA PENJUAL CABE

Ia mengayuh malam
seperti mengayuh hidup yang tak punya rem.
Roda becaknya tahu semua lubang
di Jalan Keputran,
tahu bau sayur baru datang,
dan tahu tempat kekasihnya menunggu di bangku kayu.

Perempuan itu,
penjual cabe
di antara kobis dan onggokan kacang panjang.
Tangannya mungil,
mengaduk bara
hingga jadi lauk setia dan cinta.

Cintanya tidak wangi,
tidak bergaun sutra.
Cintanya cabe rawit,
kecil, tapi menggigit
sampai ke akar urat dada.

Mereka bertemu di ujung jam,
saat kota tidur dan uang berganti tangan.
Ia menyuapi malam
dengan sisa keringat dan utang harapan.
Ia menyelipkan dua genggam rawit
ke kantong bajunya yang robek
seperti mencintai tanpa bisa membeli.

Dunia ini pasar,
mereka tahu.
Tapi cinta bukan komoditas,
bukan timbang-menimbang,
bukan tawar-menawar
yang diatur jam buka.

Cinta mereka—
seperti becak di tanjakan,
seperti cabe di musim hujan:
bertahan dalam gelap musim
Dan subuh yang tak kunjung datang.

2025

 

IKAN-IKAN MATI DI KALIMAS

Mata air terbelah di nadi Mojokerto
mengalir ke luka tua bernama Surabaya—
sungai tak lagi mengalirkan doa,
hanya kantung plastik, popok,
dan ikan-ikan mengambang dalam sepi.

Sirip-sirip menggigil,
menyulam gelembung racun dari mulut pabrik
yang tak mengenal ruang damai.

Langit tak bisa membayang di air keruh
yang menghafal bau amis
seperti kenangan buruk yang tak pernah sembuh.

Di dasar sungai:
arwah ikan berpelukan
dalam gulungan sedimen,
mereka tak lagi berenang—
mereka menunggu hari penghakiman
dari manusia yang lupa bersujud.

Kalimas kini mazbah
bagi doa-doa yang gagal,
bagi bayi air
yang lahir cacat karena keserakahan.

Air bersuara,
tapi kuping disumpal gemuruh pesta
jeritnya mengapung dalam bahasa lumpur.

2025

 

LANGIT DI ATAS MONUMEN BAMBU RUNCING

Langit, luka purba
menggantung di atas lima tombak
tajam ke langit, tumpul ke bumi
menganga, menanti nama-nama
yang dicuci dari buku pelajaran

Bambu runcing—serpihan sumpah
dihunjamkan ke dada penjajah
kini berdiri dikelilingi taman
yang dibersihkan dari para petani
yang pernah menggenggamnya

Air mancur itu
bukan darah, bukan peluh
hanya kosmetik kota
untuk wisata sejarah tanpa luka

Sudirman diam di papan nama
langkahnya dilindas klakson
oleh anak negeri yang sibuk
memburu diskon nasionalisme

Lima pilar bukan simbol keberanian
tapi tanda tanya
mengapa kemerdekaan diwarisi
tanpa keberanian melanjutkannya

Bambu runcing menjadi spot swafoto
dengan filter merah putih
tanpa pedang di hati
tanpa tanah di tangan
tanpa ancaman nyata—
selain lupa itu sendiri

Langit tak lagi mengabarkan hujan
hanya memantulkan wajah-wajah
yang memilih tunduk
pada monumen,
bukan pada makna

2025

 

KOSMETIKA TUGU

Lima taring batu
menikam langit
seolah bumi pernah menang
dalam perang terakhirnya

Bambu runcing—
tulang rakyat yang diasah kemiskinan
dipeluk geram, ditusukkan lapar
ke dada kolonial
bukan dengan strategi
hanya dengan dendam yang diturunkan lewat nisan

Kini ia jadi taman kota
disiram petugas harian
dipagari bunga plastik
dijaga kamera pengawas

Anak-anak bangsa
berpose di depannya
mengacungkan jempol, bukan senjata
tertawa di antara deret selfie
tanpa mau mengerti:
ada luka yang mereka gores
ada sejarah yang mereka poles

Negeri ini bukan lupa
tapi memilih menukar ingatan
dengan keamanan palsu
dan parade seragam

Patriot-patriot tanpa nama
terlempar dari kurikulum
digantikan kuis bendera
dan jargon sponsor

Bambu runcing jadilah simbol
yang tak lagi bisa melawan
hanya jadi tugu yang dikagumi
yang maknanya perlahan mati

Langit tak berkabung
ia muak menyaksikan bangsa
merdeka
Yang tak bebas dari kurungan

2025

 

MEMBELI SEPATU DI PRABAN

Aku datang
dengan puisi di telapak kaki—
ukuranku tak tersedia.

Pada masing-masing toki
jendela penuh sepatu tak bersuara
menggantung di langit-langit harga.
Merek kasual, gaya resmi,
berjejer rapi seperti baris puisi
yang tak sempat dibaca.

Penjual berkata:
“Ini untuk menapak, bukan untuk menafsir.”
Aku mengangguk,
menawar arti, bukan angka.

Sepatu-sepatu berbicara dengan bahasa karet dan kanvas,
bukan bait dan luka.
Satu pasang mengaku pernah dibawa
menyeberang batas kota,
namun tak tahu jalan ke rumah kata.

Di luar, Tunjungan menyala neon,
Embong Malang sibuk merias diri,
dan Praban memeluk sejarahnya sendiri—
diam-diam, nyaring.

Seorang perempuan menjual mimpi di dua sisi jalan,
utara dan selatan,
seperti puisi yang dilipat
dan diselipkan ke kantong celana.
Tak terbaca.
Tak dibutuhkan.
Tapi ada.

Aku pun pulang,
mengenakan sepatu dari Tanggulangin
melangkah di Surabaya,
dan menginjak puisi
yang telah lama tak dibaca

2025

 

MUSEUM SPISIES

Langit menelikung napas di atas Setail,
burung-burung bersarung nama Latin
berkhotbah dalam bahasa yang asing.

Lumut bersandar pada tiang bendera,
memandang manusia yang hilang arah
di lorong-lorong doa tanpa amin.

Di bawah kubah beton,
macan menulis syair pasal-pasal
tentang hak hidup,
diterjemahkan petugas menjadi hiburan keluarga.

Laut mini digali di jantung kota,
ikan-ikan tropis melafal dzikir
tentang terumbu yang kini tinggal mitos.

Anak-anak tertawa memegang es krim,
di hadapan buaya yang berpuasa
atas nama riset.

Simbol disusun rapi:
gajah adalah arsitek memori,
komodo adalah utusan lanskap,
rusa—penyintas yang diam.

Di menara jam, monyet
memandang manusia dari balik cermin cembung.
Ia tersenyum:
pengunjung yang terkurung,
makhluk pameran dengan baju motif harimau.

Tak ada doa dikumandangkan,
hanya tiket dicetak otomatis
dan pengumuman pembukaan wahana baru
bernama: KidZone Ekologi Fantasi.

Museum ini bukan tempat kisah-kisah tua—
ini ekspo spesies
di mana manusia datang
untuk menyembah keterasingannya sendiri.

2025

 

BONBIN

Di tengah kota: hutan imitasi,
dinding batu mencetak ingatan purba—
jeruji bukan sangkar, melainkan cermin.

Seekor gajah menggambar peta kemiskinan
dengan belalainya yang letih,
dikelilingi anak-anak manusia
yang mengunyah popcorn sambil memotret penderitaan.

Di kolam plastik, buaya bersajak
tentang revolusi yang tenggelam;
kepalanya mengangguk pada teori Darwin,
ekornya menampar iklan edukasi.

Orangutan duduk bersila,
membaca koran minggu lalu
tentang korupsi dan pemenang tender sangkar dan kandang baru.

Seekor merak membuka ekor—
Umbul-umbul penuh warna,
ditertawakan kura-kura tua
yang pernah jadi simbol gedung parlemen.

Langit palsu menggantung di atas kandang rusa:
bulan plastik,
matahari jadi karcis masuk,
bintang-bintang dibeli korporasi.

Di luar gerbang,
manusia antre
ingin melihat dirinya sendiri
dalam versi jinak, terkunci, tersusun
di katalog konservasi.

Dan si burung beo berseru:
“Selamat datang di kebun binatang!”
Suara yang sama
digunakan iklan politik
dan sambutan pejabat saat peresmian kandang.

Bonbin, pameran peradaban
dengan tiket murah
dan pelajaran mahal
yang susah dicerna

2025

 

ADA YANG HILANG DI TUNJUNGAN

Di ujung Tunjungan,
angin menggiring bayang-bayang beton yang hilang bentuk.
Toko Nam telah runtuh jadi sunyi,
seperti ingatan yang gugur sebelum sempat disebut.

Langkah-langkah masa lalu
masih terpantul di kaca etalase Hellendorn
— tak ada lagi parfum Eropa,
hanya bau debu dan suara arwah pelayan tua
yang bertanya:
“Apakah kota ini masih menjual kenangan?”

Gedung Siola
berdandan berkali-kali,
namun di dalamnya, Whiteaway dan Chiyoda
bermain kartu dengan kolonialisme dan perang.
Mereka menunggu
— bukan pelanggan,
tapi penafsir yang tahu bahwa bangunan pun bisa menangis.

Di hotel Majapahit,
selimut-selimut masih mencium perlawanan,
dan malam-malam menjadi altar
bagi kemerdekaan yang terbisik dalam potongan roti dan kopi pahit.

Tunjungan urat nadi kota yang kehilangan denyutnya
di antara plakat-plakat neon dan mall-mall yang lupa
bahwa kota ini dibangun dari keping daging dan darah.

Kini hanya tinggal tiang-tiang lampu
yang bersandar pada angin
dan bisik-bisik sepeda tua
yang tergeletak sebagai besi tua.

2025

 

MUSEUM YANG BERJALAN PELAN DI BAWAH LAMPU KOTA

Tunjungan adalah museum yang berjalan pelan
di bawah lampu-lampu kota
yang terus menyala meski tak ada lagi yang benar-benar bercahaya.

Di sela bangunan tinggi yang menyalak dalam bahasa kapital,
aku temukan suara-suara lain:
sepatu lars yang menginjak bayangan sendiri,
gaung langkah noni-noni dalam gaun musim semi
dan bisikan penjaga toko yang masih menunggu kapal dari Rotterdam.

Hellendorn, Siola, Chiyoda, Whiteaway kini hanya nama yang ditinggalkan,
seperti boneka tua di rak toko yang terbakar perlahan
oleh waktu yang terlalu sibuk menjual masa depan.

Kota ini dulu bersolek dalam batu dan nyanyian arsitektur,
bercermin pada etalase dan genteng-genteng modern.
Kini ia menatap wajah sendiri
di kaca-kaca gedung yang memantulkan iklan digital
dan lupa wangi kolonial yang dulu dibenci sekaligus disayangi.

Aku berjalan,
menyusuri jalan yang tak tahu lagi ke mana menuju,
karena semua arah telah ditutup papan diskon
dan kenangan dijual per milimeter persegi.

Tunjungan menjelma tubuh tua
yang dibalut busana muda.
Dan mereka yang berjalan di atasnya,
adalah cucu-cucu dari reruntuhan yang diam,
yang mencoba mendengar napas
dari bata yang ingin selalu dikenang.

Lalu aku menoleh pada lampu yang redup,
dan bertanya pada malam:
“Masih adakah kota di balik pijar wajahnya?”

2025

 

* Tengsoe Tjahjono lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair ini pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017). Sejak pensiun dari Universitas Negeri Surabaya (2023) ia mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai Sastrawan Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisinya Meditasi Kimchi memperoleh Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jawa Timur. Penggagas cerpen tiga paragraf (pentigraf). Atas dedikasinya berkarya 40 tahun di bidang sastra ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia melalui Badan Bahasa pada tahun 2024. Karya antologi puisi terbaru: Dari Menjerat Sepatu Sampai Membuka dan Menutup Jendela (2021), Pelajaran Menggambar Bentuk (2023), 17-an di Kampung Halaman (2024), dan Jenggirat (2025).