Titiek Puspa Boulevard

Oleh Agus Dermawan T.

Titiek Puspa adalah legenda dunia hiburan yang tiada taranya. Namanya layak diabadikan sebagai nama jalan raya di seluruh Indonesia.

——–

PADA 19 Maret 2025 saya diundang untuk menghadiri pesta ulang tahun ke-10 Ciputra Artpreneur di Ciputra World 1, Jakarta Selatan. Sebelum acara dimulai saya bercakap-cakap dengan Rina Ciputra selaku Presiden Direktur Ciputra Artpreneur. “Nanti Eyang Titiek Puspa akan hadir. Beliau adalah legenda yang memberi warna kepada Ciputra Artpreneur.” Saya gembira mendengarnya.

Dalam acara itu nama Titiek Puspa – yang datang dengan kursi roda – berkali-kali disebut. Sampai akhirnya ia menyanyi lagu ciptaannya, “Jatuh Cinta”, bersama punggawa band dan seluruh tamu. Dengan jenaka dan bersemangat Titiek berlagu. Sementara di sebelahnya, Petty Tunjungsari, si putri sulung, seksama menjaganya.

Itulah hari terakhir saya berjumpa dengan sang legenda. Karena seminggu setelah acara itu Titiek jatuh sakit, yang diawali saat melakukan pengambilan gambar acara “Lapor Pak!” di studio Trans 7. Titiek dibawa ke rumah sakit, sampai akhirnya wafat pada Kamis, 10 April 2025 dalam usia 87 tahun. 

Penyanyi legendaris Titiek Puspa (1 November 1937 – 10 April 2025). (Sumber: Dokumen).

Titiek Puspa kala menyanyi di hadapan Rina Ciputra, di Ciputra Artpreneur, 19 Maret 2025. (Sumber: Agus Dermawan T).

Perkenalan saya dengan Titiek Puspa sangat samar-samar. Saya penggemarnya sejak tahun 1960-an, sedangkan dia adalah artis yang sejak tahun 1950-an namanya menjulang. Saya rakyat jelata, dia matahari dan purnama negara dan bangsa.

Namun ada sejumlah momen yang menjadikan saya “merasa dekat” dengan sang legenda hiburan ini. Syahdan pada 1984 saya diminta oleh Pasar Seni Ancol menjadi pembicara dalam diskusi Seni Visual Sampul Musik Indonesia, yang menyangkut sampul kaset, piringan hitam dan sebagainya. Pembicara lain yang ditunjuk adalah Permadi SH (Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dan….Titiek Puspa! Saya kaget dan mengucap syukur alhamdulillah! Apalagi setelah tahu bahwa moderatornya adalah Mus Mualim, musikus, suami Titiek. 

Semenjak itulah “kenal-kenal ayam” saya dengan Titiek Puspa dimulai. Dalam beberapa kali pertemuan tak jauh hari setelah acara itu, kadang ia masih ingat saya. “Eh, kamu sing soal gambar sampul-sampul kaset kuwi yo!” katanya. Soal nama saya, jelas Titiek Puspa lupa.

Pada  awal tahun 1990-an saya ditunjuk oleh panitia festival boga Nusantara menjadi juri kompetisi boga, khusus menilai tata estetik penyajian. Kompetisi selesai, juaranya diumumkan. Salah satu pemenangnya ternyata adalah perusahaan katering milik Titiek Puspa. Pertemuan pun terjadi lagi. Melihat saya, Titiek Puspa masih ingat sedikit. “Eh, sampeyan yang Ancol-ancol kuwi, yo! Maturnuwun… dank je wel…xie xie…

Setelah itu, pertemuan-pertemuan insidental terjadi. Meski saya yakini, 97,7% Titiek Puspa lupa siapa saya.

Balik ke soal pesta.

Sepulang dari acara Ciputra Artpreneur, berkatalah isteri saya, Iliana. “Nama Titiek Puspa adalah legenda mashur selama tujuh dekade. Ia pernah berkata bahwa apabila dirinya meninggal dikuburkan di Temanggung, berdampingan dengan kuburan orang tuanya. Tapi sesungguhnya ia layak diabadikan di Makam Pahlawan. Titiek Puspa itu pahlawan kebudayaan dan kesenian.”

Atas usulan itu saya menimpali, “Pada saatnya pemerintah harus memonumenkan namanya sebagai judul lembaga besar kebudayaan, judul institusi besar kesenian. Bahkan, sebagai nama jalan. Selama ini, nyaris tidak ada nama pelaku kebudayaan dan kesenian yang dimonumenkan sebagai nama jalan.” 

Sejenak kemudian kami berdua tertawa. Saya menukas: “Kita mengigau, nih. Kan Titiek Puspa masih hidup!”

Jalan seniman di mana-mana 

Menyinggung soal seniman sebagai nama jalan, menarik apabila mengambil cerita dari mana-mana, untuk diperbandingkan dengan realitas di Indonesia.

Di Belanda ada kota kecil bernama Vught, bagian dari “kabupaten” z’Hertogenbosch. Vught memiliki sebuah kompleks perumahan yang cukup luas. Kompleks itu menamai beberapa area dan aneka jalannya dengan nama pelukis terkenal Belanda yang sezaman. Salah satu area di situ dinamai Rembrandtlaan. Kita tahu, Rembrandt adalah pelukis mahamaestro Belanda, pencipta adikarya Nachtwacht (Penjaga Malam). 

Sementara itu di seputar Rembrandtlaan ada Jacob van Ruisdaelstraat, Adriaen van Ostadestraat, Gerrit Berckheydestraat, dan lain-lain. Hampir semua orang Belanda tahu, Ruisdael, Ostade dan Berckheyde adalah pelukis-pelukis sohor Belanda abad 17. 

Papan nama jalan pelukis Jacob van Ruisdael di Vught, Belanda. (Sumber: Agus Dermawan T).

Di luar kompleks ada hotel De Witte, yang meminjam nama pelukis Emanuel de Witte. Selanjutnya, mungkin karena tergetar oleh suasana kompleks yang dibaluti nama-nama pelukis, ada sebuah kantor swasta di situ yang arsitekturnya mengacu kepada lukisan abstrak geometris-neoplastisisme Piet Mondriaan, pelukis Belanda ternama abad 20. 

Sambil berkeliling dalam kompleks, saya bertanya kepada Rijken, kakak ipar yang bermukim di situ. Apa maksud pemerintah kota memakai nama- nama seniman sezaman itu sebagai nama jalan? “Pemerintah ingin kompleks perumahan ini dibaca sebagai kitab sejarah seni rupa Belanda. Beschouw deze Vught als een speciaal hoofdstuk uit de 17e eeuw. (Anggap saja yang di Vught ini sebagai bab khusus abad ke-17),” jawabnya

Dari Belanda, yuk kita ke negeri lain. 

Di St Petersburg, Rusia, terbentang wilayah yang jalan-jalannya bernama sastrawan. Jalan terbesar adalah Maxim Gorky. Lalu ada Alexander S. Puskin sampai Mikhail Y. Lermontow. Hal yang sama juga tampak di Oslo, Norwegia. Tak jauh dari museum sastrawan Henrik Ibsen, ada nama berjalur-jalur jalan yang diangkat dari reputasi budayawan dan seniman. Seperti sastrawan Bjorntjerne Bjorson dan Knut Hamsun. Ini mendampingi nama pematung Gustav Vigeland dan pelukis “The Scream” Edvard Munch. 

Di Paris ada taman luas yang dihiasi patung Komitas, nama alias dari Soghomon Soghomonian, tokoh kebudayaan asal Armenia. Apa jasa Komitas sehingga ia dijadikan maskot Taman Erevan? Pelukis dan penulis Hamid Nabhan dalam bukunya Jelajah Eropa (2023) menjelaskan: “Pada tengah abad ke-19 Komitas mengumpulkan banyak lagu rakyat Armenia, bahkan lagu rakyat Turki. Lagu itu dikemas bagus dan disosialisasikan di Perancis, sehingga sangat mewarnai kebudayaan Prancis.” 

Di kota ini ada Rue Michel Petrucciani. Kita tahu, dia adalah pianis hebat, meski sejak lahir menderita ostogenesis imperfecta (penyakit tulang rapuh). Papan jalan Petrucciani ini menemani puluhan papan nama jalan seniman besar lain. Maka kita bertemu dengan Avenue Victor Hugo, Rue Alexander Dumas dan seterusnya. Menariknya, di setiap nama tokoh itu, tertulis tahun kelahiran dan kematiannya.

Plakat Avenue Victor Hugo. Lengkap dengan catatan profesi, tahun kelahiran dan kematian. (Sumber: Hamid Nabhan)

Titiek Puspa bergaya, ketika masih muda. (Sumber: Dokumen)

Legenda seni di Indonesia

Penamaan jalan yang terkonsep seperti di atas pernah diadopsi oleh Ir.Ciputra, pengembang proyek perumahan di banyak kota. Sekitar 25  tahun lalu ia berencana menamai jalan kompleks perumahannya dengan nama-nama besar perupa dan pemikir seni rupa Indonesia. Dari Jalan Raden Saleh, Jalan Affandi, Jalan Trisno Sumardjo, Jalan Sudjojono, Jalan Basuki Resobowo, Jalan Hendra Gunawan sampai Jalan Trubus.

Gagasan unik tersebut ternyata mendapat “koreksi” dari penguasa perencanaan kota. Sang penguasa meminta agar pihak pengembang menghapus beberapa nama perupa yang dianggap beraroma Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berafiliasi di bawah PKI (Partai Komunis Indonesia). Seperti Basuki Resobowo, Hendra Gunawan, Trubus. Pihak Ciputra menolak. Lalu, dari pada menganak-tirikan beberapa perupa, gagasan itu pun dibuang sama sekali. 

Penamaan jalan (termasuk penamaan taman, plaza, gedung) secara  konseptual tentulah penting untuk sebuah kota modern. Karena nama-nama itu pada akhirnya bukan hanya tampil sebagai penanda tempat, tetapi juga menawarkan imajinasi, narasi dan ingatan atas sebuah perjalanan peradaban. Di sisi lain, lantaran penamaan jalan itu disetujui serta disahkan oleh orang per orang yang memiliki kekuasaan, maka kemunculannya akan selalu berhubungan dengan kepentingan (politik) penguasa wilayah. Sejarah kota Indonesia telah memberikan penjelasan gamblang.

Henk Ngantung, gubernur Jakarta 1964 -1965, bercerita bahwa tahun 1950-an konsep penamaan jalan di berbagai kota besar di Indonesia acap dicetuskan oleh Presiden Sukarno, yang mendapat masukan dari Muhammad Jamin dan Bahder Djohan. Pada masa Sukarno konsep itu diberangkatkan dari sikap penjunjungan sejarah kejayaan Nusantara, serta kekayaan bumi Indonesia. Maka sejumlah jalan yang semula bernama Belanda lantas diganti.

Nama jalan yang memakai nama gunung-gunung di Indonesia siap dipasang (Sumber: Dokumen)

Lalu di mana-mana muncul Jl. (Jalan) Majapahit, Jl. Hayam Wuruk, Jl. Sriwijaya, Jl. Diponegoro, JL.Imam Bondjol dan sebagainya. Sementara jalan-jalan yang relatif lebih kecil disemati nama segala sesuatu yang tumbuh di Nusantara. Seperti Jl. Cendana, Jl. Kamboja, Jl. Jambu. Pada saat lain Sukarno menyarankan agar setiap kota tak lupa mencantumkan nama pulau-pulau dan gunung-gunung yang tersebar di Nusantara. Lantas menjulurlah Jl. Sulawesi, Jl. Madura, Jl. Maluku, Jl. Muria, Jl. Anjasmoro, Jl. Kelud dan seterusnya. Konsep ini diusung dari hasrat untuk menggerakkan warga kota agar selalu cinta kepada negeri, dan selalu mempercayai kekukuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Era Sukarno akhirnya beralih ke masa Presiden Soeharto pada 1967.  Peralihan segera membuat perubahan. Dalam urusan nama jalan, perubahan tersebut tertandai dengan munculnya nama-nama para jenderal tumbal revolusi korban kudeta G30S-1965. Sehingga di Jakarta dan seluruh kota besar di Indonesia, memasuki tahun 1970-an, ramai-ramai memampang Jl. Ahmad Yani, Jl. Katamso, Jl. D.I. Panjaitan, Jl. M.T.Harjono, Jl. Karel Sadsuitubun dan lain-lainnya.

Bagi yang gemar sejarah politik, nama-nama itu tentu historis dan mendebarkan. Namun pengangkatan yang menderu-deru tersebut agaknya membuat sejumlah pengamat menduga, bahwa itu adalah bagian dari narasi politik Soeharto dan Orde Baru untuk terus menegaskan kekejaman kudeta PKI tahun 1965 dulu. 

Nama jalan pahlawan revolusi, Jl. Ahmad Yani. Ada di mana-mana. (Sumber: Agus Dermawan T)

Pada 1998 Orde Baru tamat dan diganti Orde Reformasi dan Pasca Reformasi. Pada era ini pemimpin kota juga punya otoritas penuh untuk memberi nama jalan. Dan seharusnya juga memiliki keluasan pemandangan soal siapa yang harus diangkat sebagai nama jalan. Sehingga kecenderungan (yang keterlaluan) mengangkat pahlawan militer dan pahlawan politik sebagai subyek utama, bisa diimbangi dengan pengangkatan pahlawan dari profesi lain. Di antaranya dari dunia kebudayaan dan kesenian.

Di sini kita layak mengingatkan deretan nama-nama besar. Catat Sutan Takdir Alisyahbana (bahasa), Pramoedya Ananta Toer (sastra), Basoeki Abdullah (pelukis), Teguh Karya (film), Ismail Marzuki dan Gesang (komposer), Bagong Kussudiardja (koreografer). Lalu Bing Slamet (penyanyi, komedian), W.S. Rendra (penyair), N.Riantiarno (dramator), sampai Titiek Puspa. 

Ya, Titiek Puspa! Sang biduan yang merentang karir gemilang lebih dari setengah abad. Pertanyaannya: kapankah kendaraan kehidupan kita bisa meluncur di keluasan “Titiek Puspa Boulevard”? ***

*Agus Dermawan T. Pengamat kebudayaan. Penulis buku “Perjalanan Turis Siluman – 51 Cerita dari 61 Tempat di 41 Negara.”