Jaman Baru Telah Datang : Tidak Semua Pembuat Film Adalah Orang Kaya
Oleh Ismail Basbeth*
Seringkali saat menonton film kita membandingkan apa yang terjadi di layar dengan hidup kita, atau hidup orang-orang di sekitar kita, yang kita kenal ataupun yang mengalami apa yang di alami oleh tokoh-tokoh di dalam film. Ini respon yang natural, karena demikianlah sebuah film menemukan relasinya dengan penonton secara personal.
Semakin dalam sebuah film menggali para karakternya, semakin dalam pula kita penonton menemukan sesuatu yang mungkin sebelumnya tidak kita sadari ada di dalam diri kita, tapi film tersebut mampu menunjukkan adanya kemungkinan lain. Adanya cara pandang lain, atau kemungkinan lain dalam melihat persoalan baik yang sudah kita kenali sebelumnya, ataupun yang baru sama sekali. Karena itu sebuah film yang baik adalah film yang mampu menunjukkan ini, baik bagi sebagian ataupun banyak orang, para penontonnya.
Pertanyaannya kemudian, darimana kita tahu para pembuat film ini sedang membuat apa? Dan untuk siapa? Tentu banyak referensi film lain, buku, cerita teman atau keluarga, bahkan para penonton hari ini menggunakan konten ulasan film sebagai acuan berharga memilih film dan pembuatnya. Semakin banyak film dibuat, semakin diperlukan pula panduan dalam memilih dan memilah tontonan. Menariknya, karena algoritma dan budaya digital dewasa ini, betapapun kita telah mencari segitu banyak referensi sebelumnya, seringkali kita menemukan film yang tidak persis yang kita mau, atau sama sekali tidak terhubung dengan kita; film seperti ini biasanya membuat hati sebal dan menyesal meluangkan waktu dan uang untuk menontonnya.
Sepuluh hingga lima belas tahun terakhir, apa yang kita tonton di bioskop, bahkan seperti sekarang di platform digital, selalu dikuasai perusahaan besar. Perusahaan atau studio-studio besar ini mengontrol hampir semua yang bisa kita tonton, dari ketersediaan layar yang ada di bioskop, hingga jenis film apakah yang diyakini mendatangkan lebih banyak penonton. Pertanyaannya, pada hari ini siapakah yang mengontrol siapa? Sering kali promosi digital menarget sasarannya dalam ruang yang begitu privat, jejak digital kita menciptakan kebiasaan yang terekam dan lalu oleh perusahaan-perusahaan besar ini dijadikan data untuk menjual barangnya, termasuk film. Bahkan banyak, perusahaan film yang membuat film berdasarkan konten digital yang telah viral terlebih dahulu.
Di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan besar yang bingung, dan kemudian mengecilkan diri, atau setidaknya berganti strategi karena banyak perusahaan kecil dan medium yang justru menemukan penonton dengan jumlah yang fantastis, setidaknya jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya bisa dicapai mereka. Beberapa studio kemudian banyak berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan kecil dan medium ini untuk mempertahankan kuasanya, padahal jika diamati lebih detil lagi, mereka tak kuasa hidup dalam jaman yang tidak sepenuhnya mereka pahami ini. Bagaimana mau bertahan, paham saja tidak.
Ini merupakan peluang yang baik bagi perusahaan dan pembuat film skala kecil dan menengah, paska pandemi para pembuat film ini terlihat lebih tahu arah jaman baru ini. Sementara banyak perusahaan-perusahaan besar itu bersikap seperti sekumpulan kapal pesiar yang berbadan besar tapi tak segera sadar bocor airnya sudah kemana-mana dan kapal telah mendekati karam. Mending kalau kapal-kapal persiar itu berada di lautan lepas, perusahaan-perusahaan ini saling berebut jalan di dalam sungai yang kecil.
Para pembuat film dan pelaku industri serta budaya yang baru telah lahir di tengah alam digital. Digital native yang paham sepenuhnya bagaimana musti hidup di era ini, dan tentu saja bagaimana musti menjalankan bisnisnya. Para penonton dan penikmat telah terbuka akses terhadap begitu banyak ragam jenis film, gaya film dan karakter pembuat yang sebelumnya hanya didominasi oleh para pembuat film kaya dan perusahaan film besar.
Ini menarik, sangat menarik. Karena itu perlu kesadaran penuh bagi para pembuat film yang telah mapan untuk terus meningkatkan kualitas dirinya dan keluar dari jaring-jaring pengaman yang melindunginya selama ini. Jaring itu sudah dirobek jaman, sudah tak ada, jika masih terasa ada hanya karena kita terbiasa oleh itu, dan membayangkannya ada. Sementara bagi penonton, nikmatilah penjelajahan ini, menemukan dan mencari kemungkinan lain yang lebih sehat dan lebih baik untuk asupan hiburan dan pikirannya.
Mengingat jaman baru telah menemukan tokoh-tokoh barunya, mereka-mereka ini perlu didukung dan dibantu agar menguat posisinya, karena masa depan ekosistem industri dan budaya film kita ada di tangan mereka. Para pembuat film ini tidak semuanya orang kaya, atau berafiliasi dengan perusahaan besar, bahkan banyak yang memulai dari jalur independen yang berbuget dan berlingkup sangat kecil. Akan tetapi semangat, ide dan cara pandang merekalah, yang akan menentukan arah pandang industri kita hari ini dan di kemudian hari.
Lima tahun dari sekarang, para pembuat film muda, pengusaha muda dan pelaku industri muda, dengan ide dan pendekatan segar akan membuat industri film kita mencapai pondasi barunya; lebih sehat dan bermanfaat, berdaya guna dan bermartabat. Perusahaan dan studio besar dengarlah mereka, bekerja sama lah dengan mereka, jika tak mampu atau tak mau, jaman baru akan datang menggilas tak pandang bulu. Seperti sejarah telah menunjukan berkali-kali sebelumnya di masa lalu. Barang siapa tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk untuk mengulanginya.
Edited 21 Maret 2025 – Rumah Jetis
—-
*Ismail BASBETH, Sutradara Film.