Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

AMBISI AROK

Sisa malam terbakar di ujung keris,
bau besi mengabur di napas persekongkolan.
Di sela gurat tangan, takdir menggoreskan
janji-janji patah dari lidah brahmana.

Tumapel gemetar, hutan pun melempar bayang,
langkahnya jejak gelap di batu-batu.
Kertajaya memagut angin, istana retak,
dinding-dindingnya rebah dalam isyarat sengit.

Darah sudah menulis namanya di pucuk panji,
Singasari bangkit dari arang takdir.
Mahkota bukan sekadar emas
tapi bara yang ia sematkan di pelipis bumi.

Namun, arus yang ia tumpahkan
akan menelan jalannya sendiri.
Sebab takdir tak pernah lupa,
dan keris terus berburu lambung.

2025

SRI RAJASA BATHARA SANG AMURWABHUMI

Tangan besi merengkuh singgasana,
abu Kediri mengepul di angin Tumapel.
Langit pecah, mantra raja patah,
api menyusup ke jantung istana.

Ia bukan kelahiran istana,
tapi batu-batu menghafal langkahnya.
Bukan darah biru yang mengaliri nadinya,
melainkan dendam yang menghunus malam.

Dari bara ia menempa mahkota,
dari arang ia menatah nama.
Amurwabhumi—penakluk bumi,
gemanya membelah cakrawala.

Namun, segala yang dibangun angkara
kan terhuyung di palu karma.
Takhta yang ia genggam
telah mengukir ajalnya sendiri.

2025

 

PANGGIL AKU SRI RAJASA BATHARA SANG AMURWABHUMI

Aku lahir dari arang luka,
tanganku menggemgam bara nasib.
Pedang bukan sekadar baja,
ia sabda yang kutoreh di dada bumi.

Tumapel bergetar di kakiku,
Kediri rubuh dalam seru mantra.
Langit kubelah dengan gelora,
takhta kugenggam dengan nyala.

Namaku bukan dongeng kuli,
bukan hikayat para penakut.
Aku rajawali di puncak takdir,
sayapku bayang bagi yang gentar.

Panggil aku Sri Rajasa,
panggil aku Bathara,
panggil aku Sang Amurwabhumi.
Aku datang menaklukkan,
aku pergi meninggalkan nyeri.

2025

 

AROK DI STASIUN KOTA

Arok turun dari gerbong cahaya,
tangannya masih berbau besi,
jejaknya tertinggal di layar kaca,
namanya menyusup di kode-kode rahasia.

Di jalan layang ia menatap neon,
mata kota berkedip seribu warna,
iklan raksasa menjanjikan mahkota,
tapi tak ada takhta tanpa algoritma.

Tak perlu keris, tak perlu brahmana,
hanya satu klik, satu perintah,
istana rubuh dalam satu pesan,
tahta berpindah lewat tangan tak kasatmata.

Di sudut stasiun, layar menyalakan wajahnya,
“Arok, Sang Amurwabhumi, kini trending.”
Kediri adalah sistem yang bisa diretas,
Singasari adalah server yang bisa dikuasai.

Tapi bahkan di dunia tanpa batas,
takdir tetap menunggu di baris terakhir.
Sebab karma tak kenal update,
dan pengkhianatan tak butuh sinyal.

2025

 

AROK MENYEPI DI KAMPUNG WARNA-WARNI

Di tepi Brantas, Arok duduk,
menatap arus yang tak pernah diam.
Bayangannya pecah di permukaan,
seperti takdir yang pernah ia langgar.

Buk Gluduk berdiri bisu,
bukit batu mengingat segala yang runtuh.
Dulu ia menaklukkan raja,
kini ia hanya penonton mural dan selfie.

Di dinding rumah, warna mekar,
hijau, merah, biru berseru-seru.
Tapi warna tak bisa melunturkan
hitam yang melekat di jiwanya.

Ia mengetuk layar ponsel,
mengetik nama yang dulu bergetar di perang.
Kini, Singasari hanyalah titik di peta,
dan mahkota dijual dalam bentuk NFT.

Arok menghela napas,
membuang debu dari langkah yang usang.
Di kampung yang berwarna-warni,
ia hanya bayang-bayang yang memudar.

***

*Tengsoe Tjahjono, Dosen dan Sastrawan.