SUKARNO: “Istana Itu Maison de Art Connoisseur”

ISTANA PRESIDEN: Dari Presiden ke Presiden – Bagian 1

Oleh: Agus Dermawan T.*

Syahdan, sebagai presiden Republik Indonesia ke-8, Prabowo Subianto telah memasuki Istana Kepresidenan. Dan mulai bekerja di Istana Negara dan Istana Merdeka. Bagaimana sejarah dua istana yang megah perkasa itu? Dan bagaimana situasi, kondisi dan suasana istana ketika “dikuasai” tujuh presiden Republik Indonesia sebelumnya? Artikel bersambung ini akan mengungkap.


Istana Negara

ISTANA NEGARA adalah bangunan besar yang dahulu kala merupakan rumah kediaman Jacob Andries van Braam. Mantan residen Hindia Belanda untuk Surakarta ini mendirikannya pada 1796. Jacob yang terbilang sebagai pejabat sekaligus hartawan tiada duanya di Hindia Belanda, membangun gedung ini dengan dua lantai. Sehingga gedung tampak berdiri menyombong di hadapan deretan rumah dan toko kecil yang berjajaran di sepanjang seberang Sungai Ciliwung dan menyusur sepanjang Jalan Risjwijk (kini Jalan Veteran).

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia, Raffles menertibkan sepanjang jalan di depan rumah Jacob. Rumah Jacob yang mentereng itu lalu diambil alih serta dipelihara. Ketika di tangan Raffles, rumah Jacob ini oleh orang-orang Belanda tetap dijuluki sebagai Paleis Rijswijk atau Istana Rijswijk, untuk difungsikan sebagai landmark Rijswijk.

Gambar topografi rumah mantan residen Hindia Belanda, yang kemudian jadi Istana Negara. (Sumber: Agus Dermawan T)

Kekuasaan Inggris berakhir pada 1816, lalu Baron van der Capellen menjabat sebagai Komisaris Jenderal Belanda. Oleh Van der Capellen Paleis Risjwijk dipakai sebagai tempat tinggal sekaligus kantor. Karena besar sekali dan megah, para anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) serta para gubernur jenderal senang bersidang dan sekaligus menginap di sini. Sehingga kala itu gedung ini dapat julukan spektakuler : “Hotel Gubernur Jenderal”.

Selama hampir setengah abad Paleis Risjwijk berlantai dua. Namun pada 1848 lantai kedua gedung ini dipangkas. Bagian depannya dibikin lebih melebar, sehingga menghadirkan pancaran rumah bangsawan. Pada sisi kiri dan kanan gedung dibikin bangunan-bangunan kecil yang difungsikan untuk kediaman para kusir kereta kuda dan para ajudan petinggi pemerintahan.

Istana Negara tahun 1950-an, dilihat dari Sungai Ciliwung. (Sumber: Agus Dermawan T)

 

Wajah Istana Negara sekarang. (Sumber: Agus Dermawan T)

Pada 1942-1945 Istana ini dikuasai Jepang. Setelah Jepang kalah, Paleis Rijswijk dibiarkan tak berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Ini akibat dari masuknya kembali tentara Belanda ke Jakarta bersama NICA (Netherlands Indies Civil Administration)). Presiden Republik Indonesia baru masuk ke istana ini pada 1950, seusai Penyerahan Kedaulatan yang ditandatangani pada akhir 1949. Presiden Sukarno menyentuh istana ini dengan antusias. Ia lalu menyebutnya sebagai Istana Negara, karena dalam pikirannya, di sinilah semua aspek kebijakan negara akan digodok.

Lalu bagaimanakah riwayat Istana Merdeka?

 

Istana Merdeka

Syahdan Paleis Risjwijk (yang akhirnya jadi Istana Negara) sudah tak bisa menampung orang-orang pemerintahan Hindia Belanda yang datang dan bersidang. Raja Willem I telah mengetahui kenyataan ini sejak lama, sehingga pada 1826 ia mengirim instruksi agar pemerintah membangun gedung baru di dekat situ. Namun Pemerintah Hindia Belanda tak punya anggaran, sehingga rencana itu pun terlantar.

Pada 1869, atau 43 tahun kemudian, Gubernur Jenderal Pieter Mijer tiba-tiba mengingatkan, dan menghidupkan kembali wacana Raja Willem I. Pemerintah pun membangun gedung di sebelah Koningplein, yang sekarang disebut wilayah Medan Merdeka.

Istana Gubernur Jenderal di Koningsplein, yang kemudian menjadi Istana Merdeka, dalam gambar topografi Hindia Belanda. (Sumber: Agus Dermawan T) 

 

Interior Istana Gubernur Jenderal di Koningsplein tahun 1925, yang kemudian jadi Istana Merdeka. (Sumber: Istana Presiden)

Lantaran gedung ini akan dipakai sebagai rumah kerja, sementara para pekerja memerlukan suasana kerja yang enak dan nyaman, Mijer memilih lokasi di kawasan Weltevreden. Dalam bahasa Belanda “weltevreden” artinya “tempat yang bagus sekali”. Lokasi itu memang diapit taman sangat luas : Koningsplein (sekarang Taman Monumen Nasional) dan Waterlooplein (kini Lapangan Banteng). Di dua taman ini berdiri ratusan pohon teduh, ratusan rumpun perdu yang tertata dan terpangkas rapi, dengan ribuan bunga yang mekar dalam komposisi, bagai taman-taman di Eropa.

Pada 1873 berdirilah gedung baru, yang menghabiskan beaya 360.000 gulden. Di dalamnya ada ruang-ruang kantor, aula upacara, tempat perhelatan dan perjamuan, dan sebagainya. Bahkan di taman kompleks, di bawah rimbun pohon besar, terdapat bangunan koepel (semacam gardu berbentuk membulat), yang difungsikan untuk pementasan musik ensembel. Lalu, tersebab berdiri di daerah Gambir, masyarakat menamai bangunan ini sebagai Istana Gambir.

Tapi, mengapa pada kemudian hari dinamai Istana Merdeka? Begini ceritanya.

Wajah Istana Merdeka sekarang. (Sumber: Agus Dermawan T)

Pada 27 Desember 1949 Pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Upacara Penyerahan Kedaulatan dilakukan di tiga tempat. Yakni di Troonzaal (Ruangan Tahta) Istana Dam, Amsterdam, dengan Mohamad Hatta sebagai wakil Indonesia, dan di Istana Gambir, dengan Sultan Hamengku Buwono IX mewakili Presiden Sukarno. Sementara Sukarno,  Pejabat Presiden Mr. Asaat serta sejumlah anggota pemerintahan berada di Ruangan Sidang Istana Yogyakarta. Mereka mendengarkan jalannya upacara lewat radio.

Pada 28 Desember Bung Karno dan keluarganya terbang dari Yogyakarta dan mendarat di Bandara Kemayoran, pukul 11.40. Satu jam kemudian ia tiba di Istana Gambir. Ketika memasuki halaman istana, ia dielu-elukan segenap rakyat dengan teriakan gegap gempita : Merdeka! Merdeka! Merdeka! Lalu, lewat pidatonya sang presiden berseru : “Saudara-saudaraku, mari kita sebut gedung ini sebagai Istana Merdeka! Is-ta-na Mer-de-ka!”

O ya, sebelum Sukarno masuk, istana ini ditempati Gubernur Jenderal H. J. Van Mook sampai 1948 serta para Wakil Tinggi Mahkota Dr. L.M.J. Beel dan A.H.J. Lovink, sampai ujung 1949.

Dua istana ini, yakni Istana Negara dan Istana Merdeka, karena berada di Jakarta, maka disebut sebagai Istana Presiden di Jakarta.

Selanjutnya, kita masuk ke cerita “Istana Presiden dari Presiden ke Presiden”. Untuk yang pertama, tentu, adalah Era Presiden Sukarno.

***

 

Era Presiden Sukarno

(6 Juni 1901- 21 Juni 1970) – Presiden Republik Indonesia pertama.

 

“Aku adalah anak Idayu Nyoman Rai, keponakan Raja Singaraja, wanita dari Pulau Bali”, itu kata Sukarno atau Bung Karno.

Ungkapan itu adalah bentuk dari penegasan Bung Karno bahwa dirinya yang berdarah Bali sungguh lekat dengan kesenian. Seperti diketahui, Bali adalah negeri seni. Di negeri ini seni lahir dengan niscaya, karena seni dicipta dalam kerangka filosofis yang berhubungan dengan ritual, dengan religi, yang melibat dalam kehidupan sehari-hari. Seni digubah untuk persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga, begitu membuka indera mata, sesungguhnyalah semua orang Bali langsung bertatapan dengan benda-benda artistik seperti cili-cili, lamak, canang, banten, sarad, ubag-abig sampai lukisan, patung dan arsitektur.

Idayu Nyoman Rai, sang ibunda, tentu menyimpan pengalaman estetik semacam itu ketika mengandung Bung Karno. Dalam kata lain darah seni Bung Karno memang sudah mengalir sebelum dirinya lahir di dunia, 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur.

Bung Karno dan seni, terutama seni rupa, akhirnya berjalan seiring dalam segenap langkah kehidupan. Bahkan sampai kemudian ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1945.

Presiden Sukarno. (Sumber: Buku Bung Karno & Seni)

Tapi Bung Karno tahu hidupnya pada suatu ketika akan dipadati oleh urusan-urusan sosial dan politik yang rumit, sehingga diyakini akan sulit mencari waktu untuk berkarya seni. Karena itu ia segera menaruh dirinya dalam posisi strategis : sebagai connoisseur, kolektor sejati. Lalu, di tengah kunjungannya sebagai kepala negara di manca benua, Bung Karno selalu menyisipkan waktu untuk hunting lukisan atau patung. Begitu juga apabila ia berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia. Dengan uang seadanya, bahkan juga dengan cara mengangsur, ia membeli lukisan-lukisan yang disukai. Karya-karya seni rupa itu sebagian besar dikumpulkan di Istana Kepresidenan, di antaranya di Istana Jakarta.

Ketika lukisan-lukisan dan patung koleksinya mulai banyak hingga membutuhkan penataan serius di Istana, ia mencari seseorang untuk mengaturnya. Dengan begitu ia memerlukan seniman, kurator, konservator, ahli display yang handal. Pada saat inilah pelukis Dullah ditunjuk pada 1950.

Tak dapat disangkal, aktivitas dan keseriusan Bung Karno dalam mengoleksi seni rupa pada masa itu merupakan stimulasi para petinggi negara yang lain. Bahkan juga bagi masyarakat luas. Dan untuk menghidupkan minat masyarakat umum, Bung Karno mengajak para pemilik modal untuk membuat studio praktik seni rupa. Untuk distribusi, sosialisasi dan merangsang market seni rupa, Bung Karno juga mengharap pengusaha mulai mendirikan galeri. Lalu, untuk mencirikan seni visual yang berkarakter nasional, Bung Karno menginginkan munculnya gerakan seni rupa nasionalis.

Di mata publik umum, Bung Karno diidentikkan dengan perjuangan dan politik. Atau segala sesuatu yang bersifat revolusioner. Sehingga publik juga dengan gampang menduga bahwa koleksi benda seni Bung Karno menyimpan paradigma “gelora politik”, “perjuangan dan revolusi”. Tafsiran ini tentulah bisa keliru. Karena pilihan dan koleksi seni lukis Bung Karno pada kenyataannya sangatlah beragam. Yang terbanyak justru bertema manusia (wanita), lanskap, lingkungan dan alam benda. Sementara yang bertema “revolusioner” tak lebih dari 10% belaka. Sehingga jauh dari dominan.

Presiden Sukarno selalu bangga menunjukkan koleksinya kepada para tamu yang datang ke Istana. (Sumber: Agus Dermawan T)

 

Presiden Sukarno sedang meneliti lukisan Basoeki Abdullah yang akan dipajang di Istana. (Sumber: Agus Dermawan T)

Seperti dituturkan penyair Sitor Situmorang, dalam menilai karya seni visual Bung Karno memakai “paradigma estetik”, atau piktoral, dan tidak literal. Dan Bung Karno tidak pernah terjebak kepada aspek tematik. Pada bagian lain budayawan Ir. Haryono Haryo Guritno (yang pernah jadi ajudan Bung Karno) mengisahkan, bahwa ada syarat akademis yang sungguh dituntut oleh presiden dalam menghadapi presentasi seni rupa. Dan itu adalah teknik. Dengan teknik, segala yang digubah akan hadir sebagai keindahan. Bung Karno memang acap berujar: “A thing of beauty is joy forever”. Atau, barang indah adalah kenikmatan yang kekal. Pepatah itu didekap sebagai prinsip.

Namun, sebanyak-banyaknya peristiwa menarik yang timbul dari jagad keseniannya, yang paling mengesankan dari kehidupan Bung Karno adalah hasrat untuk menyamakan kedudukan seniman dengan profesi lain. Seniman, termasuk perupa (yang di dalamnya ada pelukis dan pematung) disejajarkan dengan politikus, dengan pengusaha, dengan dokter, dengan insinyur, dengan ahli hukum. Karena itu sangat banyak seniman yang diundang “bermain-main” ke Istana Kepresidenan.

Bung Karno menunjukkan koleksi wayangnya kepada Gubernur Jakarta, Sudiro. (Sumber: Buku Bung Karno & Seni)

 

Patung karya seniman Hungaria, Zsigmond Kisfaludi Strobl koleksi Presiden Sukarno di depan Istana Negara. (Sumber: Buku Rumah Bangsa).

Ribuan koleksi Bung Karno pada suatu masa dipilih dan disusun dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Dr.Ir. Sukarno. Buku tersebut diterbitkan pertama tahun 1956 oleh Perpustakaan Rakyat Peking, disusun oleh Dullah. Tahun 1964 diterbitkan lagi oleh Panitia Penerbitan Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno sebagai edisi penyempurnaan. Buku 5 jilid ini disusun oleh Lee Man Fong, pelukis Istana Presiden yang pada 1961 menggantikan Dullah. Tahun 1965 Lim Wasim, asisten Lee Man Fong, menyusun jilid ke 6 sampai ke 10. Namun belum sampai penyusunan itu final dan diterbitkan, Bung Karno keluar dari Istana.

Bagi Bung Karno, keberadaan benda-benda seni di Istana Kepresidenan, terutama di Istana Negara dan Istana Merdeka, adalah refleksi dari sensibilitas bangsa Indonesia dalam menikmati getar rasa budaya manusia. Dan bukan hanya tanda dari apresiatifnya seorang Kepala Negara belaka. Bung Karno menjadi presiden sampai 1967.

“Istana itu Maison de Art Connoisseur!” kata Bung Karno. Maka Istana Presiden pun jadi seperti museum seni rupa.

 

*Agus Dermawan T. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI, sejak tahun 2000.