Kafkaesque atau Keutamaan? Antara Cerita Kafka dan Etika Macintyre
Oleh Tony Doludea
Pada suatu pagi yang cerah, Josef K., kepala kasir sebuah bank yang ambisius itu ditangkap oleh dua orang petugas keamanan tak dikenal. Mereka bahkan tidak memberi tahu kejahatan apa yang dituduhkan atasnya.
K merasa tidak melakukan suatu yang salah, ia geram dan marah. Karena hari itu adalah hari ulang tahunnya yang ketiga puluh. Ia memang tidak ditahan dalam penjara dan dijinkan untuk tetap melanjutkan kegiatan sehari-harinya, sampai dipanggil oleh pengadilan.
Nyonya Grubach, induk semangnya itu menduga bahwa K akan disidang terkait hubungan gelapnya dengan Fräulein Bürstner, tetangga di sebelah.
K lalu diperintahkan untuk hadir di persidangan pada hari Minggu, namun tidak diberi tahu tanggal dan ruangan sidang yang mana.
Akhirnya K menemukan juga ruang sidang itu di loteng, namun ia datang terlambat. Ia berusaha membela diri dengan menyatakan bahwa tuduhan atas dirinya tersebut tidak berdasar. Ini justru membuat gusar pihak yang berwenang.
Alih-alih mendapat keterangan terkait kesalahannya, K justru dibawa masuk ke dalam jalur birokrasi yang rumit, berliku-liku, tak berujung, serba lamban dan berbelit-belit, yang membuatnya tidak dapat keluar dan terjebak di dalamnya. K bergulat menghadapi Hukum yang gaib dan Pengadilan yang tak tersentuh itu.
Setahun kemudian, pada pagi di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh satu. Dua aparat keamanan datang lagi menjemput K dan membawanya ke suatu tempat di luar kota. Lalu atas nama Hukum membunuhnya seperti seekor anjing.
Cerita ini ditulis oleh Franz Kafka (1883–1924) antara 1914-1915, di saat ia menjadi pegawai Asuransi Kecelakaan Pekerja di Kekaisaran Bohemia. The Trial (1925) merupakan satir untuk menelanjangi birokrasi Austro-Hungarian saat itu.
Kafka dengan lihai menuliskan proses pengadilan yang bobrok, korup dan menjijikkan. K berulang kali bertabrakan dengan keadaan hukum yang rusak itu. Kafka secara gamblang ingin mengatakan bahwa ada kepalsuan namun dianggap sebagai kebenaran universal.
Hukum yang seharusnya merangkul masyarakat, malah hanya berpihak pada mereka yang mengerti dan berhubungan dengan hukum saja. Bayangkan saja, untuk mengerti hukum orang harus berkonsultasi dengan mereka yang berkecimpung dalam hukum, sehingga ia tidak dapat mengurus proses hukumnya sendiri.
Karya surealis khas Kafka ini sering dirujuk dengan istilah Kafkaesque. Surealisme menyajikan kontradiksi antara mimpi dan realita, lalu menjadikannya nyata ke dalam sebuah narasi yang menampilkan objek-objek nyata. Namun dalam keadaan yang tidak akan mungkin terjadi di dunia nyata, sebagaimana di dalam alam bawah sadar manusia.
Tokohnya itu diserang oleh keadaan yang rumit namun terus berjuang untuk melawan absurditas. Meskipun hanya memiliki pengetahuan dangkal tentang apa yang sedang menimpanya. Perjuangan melawan kebuntuan dan determinisme itu disebut sebagai Kafkaesque. Ketika si tokoh lebih memilih menerima tantangan absurditas itu dan berjuang di dalamnya, meskipun secara berantakan.
Kafkaesque adalah situasi buntu, menyergap, menekan dan keadaan yang rumit serta absurd, yang berasal dari sesuatu yang nyata. Keadaan yang membawa seseorang ke dalam perasaan yang penuh kegelisahan dan putus asa, yang secara retoris diungkapkan dengan cara paradoks, ironi dan tindakan yang bertentangan secara tiba-tiba.
Dunia Kafkaesque sering tidak bersahabat, menakutkan, berbahaya, seperti sedang mengintai di balik kegelapan. Tokoh cerita Kafka sering menjadi sasaran kekerasan secara fisik dan psikologis, yang bersifat absurd dan dehumanis.
Selain suram dan opresif seperti itu, Kafkaesque juga merupakan sebuah tafsir yang kuat tentang keadaan manusia. Yang menyoroti berbagai jalan yang diambil oleh seseorang pada akhirnya yang menjebaknya di dalam perangkap sistem opresif, lalu kehilangan martabat, agensi dan individualitas. Serta sebuah peringatan tentang bahaya birokrasi dan pentingnya akuntabilitas dan transparansi di dalam sisten yang menata manusia.
Kafkaesque akan tetap gayuh, apakah dalam bentuk sastra, film dan seni, untuk menggambarkan dan menyajikan pengalaman nyata hidup seorang manusia. Oleh sebab itu, Richard Rorty (1931-2007) juga pernah mengatakan bahwa dunia postmodern ini tidak banyak membutuhkan filsafat dan seni yang berakal teoritis.
Dunia saat ini lebih mengharapkan para penyair, novelis, etnograf dan wartawan. Karena mereka dengan cara masing-masing mampu menghadapkan manusia kepada penderitaan nyata seseorang, bahwa manusia itu mudah terluka, disakiti dan terhina.
Mereka itu dapat membawa manusia mencapai imaginative identification with the details of others. Karena makin seseorang mampu ikut merasakan, beridentifikasi dengan penderitaan hidup orang lain, maka semakin ia akan tahu bahwa manusia jangan bersikap kejam dan tahu cara menghidari sikap kejam itu.
********
Setelah tiga ratus tahun Pencerahan berbangga dengan proyeknya, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat kenyataan, dengan membongkar otoritarianisme agama atas nama rasionalitas. Slogan Abad Pencerahan, yaitu “Sapere Aude!” artinya “Beranilah Berpikir Sendiri!”. Immanuel Kant (1724-1804) mengajak orang-orang untuk berani dan bebas menggunakan akalnya. Lalu datang Alasdair MacIntyre dengan tegas menyatakan bahwa “Proyek Pencerahan itu telah gagal”.
Pencerahan sebagai gerakan intelektual dan filsafat di Eropa antara abad ke-17 sampai ke-18, ditandai dengan munculnya gagasan tentang kebahagiaan manusia, pencarian pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran rasional dan pengamatan panca indra. Cita-cita ideal mereka adalah kebebasan, kemajuan, toleransi, persaudaraan, pemerintahan konstitusional dan pemisahan gereja (agama) dan negara.
Namun MacIntyre melihat bahwa kerusakan dan ketimpangan yang terjadi saat ini berasal dari pandangan dunia yang salah, yang kemudian melahirkan etika yang salah juga. Pandangan yang salah ini bermula pada Proyek Pencerahan tersebut.
MacIntyre menemukan bahwa pandangan moral saat ini terpecah-pecah, saling bertentangan dan tidak koheren. Tidak ada ukuran dasar tertentu, yang menyatakan sebuah pandangan moral itu benar atau salah. Setiap penilaian moral dapat mendaku dirinya benar dengan didasari oleh argumen rasional yang kuat. Moralitas menjadi permainan argumentasi dan bukan pencarian kebenaran.
Proyek Pencerahan itu memang telah memberikan suatu dasar rasional kepada moralitas, namun gagal karena Pencerahan atas nama rasionalitas itu justru membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral. Yaitu pandangan teleologis tentang manusia. Karena bagi MacIntyre, etika merupakan panduan yang menghantar manusia kepada suatu tujuan (telos), yaitu kodrat hakikinya.
Filsafat Pencerahan bertujuan membebaskan manusia dari spekulasi metafisik skolastik (Gereja) Abad Pertengahan dan merayakan kemenangan pengetahuan ilmiah rasional. Filsafat Pencerahan ingin membebaskan manusia dengan membentuk sendiri kodrat hakikinya. Maka ia menolak segala pandangan tentang kodrat manusia yang teleologis, seakan-akan manusia telah memiliki suatu hakikat yang sejati.
Padahal menurut Aristeoteles, kemungkinan tertinggi manusia adalah merealisasikan telosnya. Maka dari itu MacIntyre mengajak masyarakat postmodern kembali pada etika teleologis Aristoteleian.
Etika Kant merupakan bukti dari kegagalan Proyek Pencerahan dan sumber subjektivisme moral. Karena Kant-lah yang memulai pemisahan antara pengetahuan tentang realitas dan pengetahuan tentang moralitas. Maka Etika setelah Kant menganggap moralitas itu bersifat subyektif, sehingga tidak banyak berhubungan dengan realitas hidup manusia.
Demikian juga Etika Emotivistik, yang menganggap bahwa tidak ada hukum moral yang bersifat normatif dan mengikat. Emotivisme ini melihat bahwa pernyataan-pernyataan manusia tentang moralitas itu merupakan ekspresi perasaan, bahwa pernyataan moral bersifat emotif belaka, yang tidak dapat diverifikasi kebenaran atau kesalahannya.
A. J. Ayer (1910-1989) sesuai dengan pandangan Positivisme Logis menolak bahwa pernyataan moral menyatakan sesuatu apapun, maka tidak masuk akal jika menerima pembenarannya. Etika normatif itu tidak masuk akal, karena menurut Ayer tugas etika adalah analisis logis pernyataan dan bahasa moral. Sebab pernyataan tersebut sesungguhnya bukan pernyataan sama sekali. Namun sebuah ungkapan perasaan, yang secara gramatika keliru dan diikuti anjuran atau perintah.
Misalnya pernyataan, “Korupsi adalah perbuatan tidak baik”, sesungguhnya mengungkapkan perasaan menolak dan tidak enak serta harapan agar orang jangan korupsi. Pernyataan moral itu tidak memiliki makna kognitif, tetapi emotif. Pernyataan yang mengungkapkan perasaan seseorang supaya orang lain memiliki perasaan yang sama.
MacIntyre menambahkan bahwa filsafat moral tidak hanya bersifat emotivistik tetapi juga instrumental. Rasiona instrumental ini digunakan untuk membenarkan sistem moral yang dipilih, mana yang paling efektif untuk mencapai tujuan. Rasio hanyalah alat untuk mengkalkulasi tindakan untuk mencapai tujuan dan tentang tujuan sendiri rasio harus diam.
Keadaan terpecah-terpecah saat ini terjadi karena memang tidak ada persetujuan dan kriteria bersama mengenai moralitas. Situasi seperti ini menjadi sangat berbahaya karena merupakan akar dari seluruh permasalahan yang dihadapi oleh manusia saat ini. Manusia modern tidak memiliki acuan bersama tentang “manusia yang baik” dan berarti tidak ada persetujuan moralitas untuk mencapai hidup yang baik.
Namun MacIntyre percaya bahwa moralitas klasik masih lebih unggul dan mendasar dibandingkan moralitas modern. Maka ia mengajak dunia kembali pada etika Aristoteles. Karena bagi MacIntyre etika itu bukanlah mengenai “Apa yang wajib saya lakukan?”, melainkan “Saya harus menjadi manusia seperti apa?”. Kata yang digunakan terkait etika ini adalah “keutamaan”.
Keutamaan berasal dari kata bahasa Yunani arete, dalam bahasa Latin virtus. Virtue dalam bahasa Inggris, sedangkan kata sifatnya adalah virtuous yang diterjemahkan “saleh”.
Dalam budaya Yunani kata arete diartikan sebagai kekuatan atau kemampuan, misalnya untuk berperang atau untuk bertani atau membuat kereta kuda. Arete adalah kemampuan seseorang untuk melakukan perannya dengan baik, kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk mencapai telos-nya, tujuan internalnya. Keutamaan lebih kental dimaknai sebagai moralitas.
Keutamaan itu selalu adalah kekuatan, kemampuan dan kelebihan. Kemampuan manusia untuk membawa diri sebagai manusia utuh, jadi bukan “kesalehan” saja. “Manusia utama” adalah manusia yang luhur, kuat, kuasa untuk melakukan dan menjalankan apa yang baik dan tepat, untuk melakukan tanggung jawabnya. Maka ini tidak boleh dipersempit secara moralistik.
MacIntyre mengeksplorasi pengertian “keutamaan” dengan membagi tiga pandangan khas tentang manusia, yang merupakan kerangka untuk memahami manusia, yaitu: Practice, “kegiatan bermakna”. Narrative of a single human life, “tatanan naratif kehidupan seseorang” dan Moral tradition, “tradisi moral”.
Practice
Kegiatan bermakna adalah semua tindakan manusia yang diteguhkan secara sosial. Yaitu suatu tindakan yang mempunyai maksud sosial, yang diatur secara formal maupun tidak formal. Tindakan atau kegiatan ini merupakan kesatuan bermakna, misalnya bercocok tanam, penelitian budaya dan berdagang.
Kegiatan bermakna ini mengaktualisasikan nilai-nilai internal melalui tindakan tertentu. Perealisasian ini bertujuan untuk mencapai standar-standar keutamaan yang sesuai dengan bentuk tindakan tertentu itu.
Kegiatan bermakna berbeda dari kegiatan biasa. Misalnya, bermain sepak bola dari main-main dengan bola. Kegiatan bermakna mempunyai nilai internal, seperti bermain bola adalah menyenangkan dan dapat mengandung nilai eksternal, misalnya jika menang, harga diri dan gengsi akan naik serta dapat uang banyak. Namun jika nilai eksternal ini diutamakan, maka kegiatan bermakna itu akan rusak.
Sedangkan nilai internal tidak akan merusak kegiatan bermakna, sebab kalah menang dalam bermain bola tidak menentukan apakah bermain bola itu menyenangkan atau tidak.
Nilai internal dalam kegiatan bermakna ada dua macam. Pertama adalah mutunya, kualitasnya. Kedua adalah bahwa kegiatan bermakna itu, bernilai bagi pelakunya. Makin banyak kegiatan bermakna yang dilakukan dan berjalan semestinya, makin bernilai hidup pelakunya.
Kegiatan bermakna mengandaikan standar-standar mutu dan ketaatan kepada aturan-aturan serta pencapaian sesuatu yang bernilai. Maka kualitas yang diperoleh dari keikutsertaan pelaku dalam sebuah kegiatan bermakna, tergantung dari sikap dan mutunya sebagai partisipan. Dalam keikutsertaannya itu ia berusaha untuk menampilkan yang terbaik, terampil dan tidak malas.
Orang yang berpartisipasi dalam kegiatan bermakna dengan sendirinya harus mempunyai kualitas. Kualitas, kebolehan dan keterampilan ini disebut sebagai keutamaan. Keutamaan adalah mutu (excellency), atau kemampuan, atau kekuatan seseorang dalam berpartisipasi dalam sebuah kegiatan bermakna.
Menurut MacIntyre ada tiga keutamaan yang tidak bisa tidak harus ada, apabila sebuah kegiatan bermakna mau mencapai mutu internalnya, pertama yaitu kejujuran dan kepercayaan (truthfulness dan trust). Jika orang bersama-sama melakukan sebuah kegiatan bermakna dan salah seorang menipu, maka maknanya hilang.
Kedua adalah keadilan (justice), yang menuntut agar orang lain diperlakukan sesuai dengan standar-standar kegiatan bermakna yang bersangkutan. Ketiga adalah keberanian (courage), yang dibutuhkan karena jika orang, begitu mengalami perlawanan, mundur dan berhenti dari melakukan bagiannya untuk melakukan kegiatan bermakna, maka kegiatan itu tidak dapat berhasil. Oleh sebab itu kejujuran, keadilan dan keberanian merupakan keutamaan yang sejati.
Keutamaan-keutamaan ini sangat penting bagi terpeliharanya sebuah kegiatan bermakna. Keutamaan menjamin supaya nilai internal kegiatan bermakna tercapai. Nilai sebuah kegiatan bermakna harus merupakan unsur yang didukung oleh, dan sebaliknya menunjang nilai kehidupan seseorang secara keseluruhan. Sebuah kegiatan bermakna baru bermakna kalau terintegrasi dalam dinamika suatu kehidupan manusia secara keseluruhan.
Narrative of a single human life
Suatu kegiatan bermakna hanya bermakna manusiawi sejauh terintegrasi dalam keseluruhan hidup seseorang secara bermakna. Prinsip ini berlawanan dengan pemikiran zaman sekarang, yang memandang hidup manusia terdiri dari sederet kejadian atau keadaan yang tidak saling berkaitan. Kegiatan manusia terbagi-bagi atas wilayah yang tidak mempunyai kaitan satu dengan yang lain.
Berdasarkan pandangan behavior (kelakuan), MacIntyre mengatakan bahwa kelakuan lahiriah tidak dapat didefinisikan, kecuali dikaitkan dengan maksud tertentu dan maksud itu tidak terlepas dari sebuah situasi yang harus dimengerti dalam sebuah deretan waktu, sebuah sejarah.
Jika orang mengerti maksudnya, apa yang menyebabkan dan tujuannya, barulah ia dapat mendefinisikannya. Setiap tindakan pengungkapan dapat dimengerti apabila menemukan tempatnya dalam sebuah cerita. Kesatuan tindakan manusia itu berupa cerita, tindakan itu bersatu karena merupakan sebuah cerita.
Apa yang berlaku bagi setiap kegiatan, berlaku juga bagi identitas seseorang secara keseluruhan, yang terwujud dalam kesatuan sebuah cerita tentang kehidupan itu. Identitas orang terbangun atas tatanan naratif kehidupannya. Kesatuan kehidupan masing-masing orang adalah kesatuan sebuah cerita yang terwujud dalam kehidupan orang itu.
Melaluinya juga, manusia mengandaikan dalam kehidupannya mempunyai suatu telos, suatu tujuan internal yang sekaligus merupakan nilai internal dalam kehidupannya. Maka, arti keutamaan bagi manusia merupakan sikap atau kemampuan internal yang membuat orang dengan kuat mengejar cita-citanya, tidak menyerah terhadap segala macam tantangan dan kesulitan, tidak dialihkan ke segala hal sampingan, tidak tercecer dalam usaha mengejar keutuhan dirinya.
Moral tradition
Seorang manusia tidak pernah hidup sendirian, tetapi selalu tertanam dalam suatu komunitas, di mana ia memperoleh identitasnya. Orang hanya menjadi dirinya karena merupakan anggota dari komunitasnya dan terikat pada lingkungannya. Semuanya ini merupakan realitas hidupnya, yang menjadi titik moralnya.
Ini yang memberikan hidupnya suatu kekhasan moralnya tersendiri. Orang itu menemukan dirinya sebagai bagian dari suatu sejarah, dan sejarah itu merupakan pembawa tradisi. Maka, kegiatan bermakna merupakan tradisi yang hanya dapat dimengerti dalam rangka sebuah tradisi yang lebih luas, ia merupakan bagian darinya.
MacIntyre menyatakan bahwa tradisi bukan kepercayaan irasional. Namun tradisi merupakan perjuangan terus-menerus terkait dengan nilai-nilai yang sejati. Tentang apa yang baik dan buruk, wajib dan tidak wajib, bagaimana manusia sebaiknya hidup melalui banyak generasi.
Usaha seorang individu untuk mencari tujuannya sendiri dan mencapai hidup bermakna berlangsung dalam sebuah konteks, yaitu tradisi di mana individu itu berada. Dengan menceritakan sejarah itu, orang memastikan kembali makna kegiatan bermakna dan makna tujuan hidupannya sendiri. Di sini MacIntyre menunjuk satu keutamaan lagi, yaitu bahwa orang menyadari dan menghargai tradisi yang dihidupi dan dihadapinya.
Keutamaan itu berlangsung dalam hidup praktis sehari-hari, sebagai perilaku tetap yang tercermin dalam sikap, penampilan luar dan watak batiniah seseorang. Itulah yang membentuk dirinya pada saat ini dan di kemudian hari.
Untuk hal tersebut Aristoteles menggunakan secara khusus istilah hexis, yaitu kecenderungan perilaku tetap seorang individu yang telah menjadi kebiasaan melalui pengalaman dan praktik.
Menurut Aristoteles hexis tidak dapat dilepaskan dari telos manusia, yaitu menjadi utuh, lengkap dan sempurna, melalui dan di dalam kebiasaan tindakan dan perilakunya.
Héxis adalah sebuah prinsip dan kapasitas yang menghasilkan tindakan-tindakan selanjutnya di kemudian hari. Kata Yunani hexis dalam bahasa Latin habitus, menunjukkan watak perilaku tetap yang tercermin dalam sikap seseorang, di penampilan luar dan watak batiniahnya.
Habitus mencakup keseluruhan perilaku individu, dari cara berbicara, gerak tubuh hingga nilai-nilai pribadi dan seluruh gaya hidup. Dalam budaya Romawi, habitus menunjukkan pada bentuk perilaku dan ekspresi yang sangat spesifik, seperti postur tubuh, cara berbicara dan sikap mental. Pada masa Renaisans, kategori-kategori ini dilengkapi dengan gaya bicara tertentu serta nada bicara yang sesuai.
Namun keutamaan bagi Aristoteles bukan lawan dari sikap tidak baik dan jahat, melainkan sebagai tengah (mesotes) antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian (courage) berada di tengah antara nekad dan takut. Murah hati (generiosity) berada di tengah antara kikir dan boros. Keutamaan adalah sikap seimbang, yang menunjukkan kematangan dan kekuatan karakter serta kebijaksanaan (phronesis) seseorang.
Aristoteles mencatat setidaknya ada sebelas keutamaan, yaitu keberanian, kejujuran, keadilan, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, lemah lembut, keberadaban, harga diri dan persahabatan.
Menurut Aristoteles, Phronesis merupakan kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat terkait masalah baik dan buruk bagi manusia. Phronesis bertumbuh dan berkembang dari pengalaman dan kebiasan untuk bertindak moral. Semakin orang terbiasa bertindak moral, semakin mantap, berkualitas dan utuh telos-nya sebagai manusia berkeutamaan.
********
Kafkaesque menunjuk pada keadaan di kehidupan nyata manusia yang diungkapan dalam suatu bentuk “seni-nya” Kafka, khususnya dalam masa setelah Perang Dunia II, di bawah pengaruh filsafat eksistensialisme.
Kafkaesque secara jelas mengungkapkan kegelisahan, keterasingan, ketidakberdayaan dan penganiayaan seorang manusia di zaman itu. Karya Kafka dicirikan dengan latar mimpi buruk, di mana tokohnya itu diremukkan oleh kekuasaan yang buta dan tak berakal, yaitu birokrasi, rasio instrumental. Suatu keadaan yang absurd dari serangkaian perkembangan modernitas yang mengerikan.
Kafka menangkap dan mengungkapkan situasi masyarakatnya itu ke dalam karya sastranya. Seperti MacIntyre menemukan kegagalan Pencerahan yang telah mencabik-cabik kehidupan manusia modern. Namun Kafka tidak menteorikannya dalam suatu bentuk etika tertentu, tetapi ia membangun tokoh yang berkeutamaan dalam dunia yang absurd itu. Tokoh yang penuh keberanian, kebesaran hati dan harga diri menyambut dan tidak menyerah terhadap kengerian modernitas.
Keutamaan merupakan kemampuan manusia untuk merealisasikan potensi dirinya, melalui kegiatan-kegiatan bermakna. Di mana ia mendapatkan identitas dan itu dalam rangka tradisi di mana ia ada di dalamnya. Sehingga ia dapat menentukan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna, yang senantiasa diaktualisasikan kembali dengan menceritakan sejarah kegiatan bermaknanya, sejarah kehidupan pribadinya, sejarah tradisinya dan sejarah umat manusia.
Dalam The Metamorfosis (1915), Kafka menceritakan bahwa pada pagi itu, Gregor Samsa pemuda penjual kain keliling, bangun dan menemukan bahwa dirinya telah berubah menjadi serangga raksasa. Meskipun ia sempat terkejut atas perubahannya itu, namun ia segera mengalihkan pikirannya ke pekerjaannya demi memenuhi kebutuhannya dan menafkahi orang tua dan adiknya.
Gregor sadar bahwa ia sudah terlambat ke kantor, namun ragu untuk menelepon dan memberitahu bahwa ia sedang sakit. Karena ia belum pernah mengambil hari libur sakit sebelumnya, dan tahu bahwa hal ini mungkin akan membuat dirinya mendapat teguran keras.
Ibunya memanggilnya, namun saat ia menjawab melalui pintu kamar tidurnya itu, ia sadar bahwa suaranya telah berubah akibat menjadi serangga. Ketika keluarganya berusaha memasuki kamar tidurnya, mereka menemukan pintunya terkunci dan ia menolak mereka untuk masuk.
Ketika ada ketukan di pintu dan itu adalah kepala pegawai tempatnya bekerja, serta bertanya di mana Gregor berada. Ia tetap menolak membukakan pintu bagi keluarganya atau tamunya itu.
Kepala pegawai merasa terhina dan memberi tahu Gregor melalui pintu bahwa pekerjaannya belum cukup baik dan posisinya di perusahaan mungkin tidak aman.
Gregor berusaha membela diri, dan meyakinkan petugas itu bahwa ia akan segera kembali bekerja. Ia meminta kepala pegawai itu untuk membereskan segala sesuatunya di kantor untuknya. Namun, karena suaranya telah berubah, sehingga tidak ada yang bisa mengerti apa yang ia katakan.
Gregor membuka pintu dan ibunya berteriak saat melihatnya. Ia meminta maaf kepada kepala pegawai itu atas keterlambatannya. Melihat penampakan Gregor yang mengerikan itu, ia lalu lompat meninggalkan rumah tersebut.
Malam harinya, setelah pingsan dan tertidur sepanjang hari, Gregor terbangun dan saudara perempuannya itu membawakannya susu dan roti. Ia berusaha minum susu itu, tetapi merasa jijik lalu meninggalkannya.
Gregor merayap ke bawah sofa sehingga keluarganya tidak melihatnya. Sementara saudara perempuannya mencoba mencarikannya makanan yang bisa ia makan.
Gregor mendengar keluarganya berbicara di ruangan lain dan mengetahui bahwa meskipun mereka terlihat berhutang, orangtuanya memiliki simpanan sejumlah uang. Ia merasa telah bekerja untuk mendukung mereka, saat sebenarnya itu tidak perlu ia lakukan.
Selain perubahan suaranya, Gregor juga menyadari bahwa penglihatannya semakin memburuk sejak perubahan itu. Ia juga sadar bahwa ia senang memanjat dinding dan langit-langit kamar tidurnya.
Ketika Gregor keluar dari kamar, ibunya terkejut lalu pingsan dan saudara perempuannya menguncinya di luar. Ayahnya yang pulang dari kerja lalu melempar apel ke arahnya, melukainya parah, karena ia yakin Gregor pasti telah menyerang ibunya.
Adik perempuan Gregor memberi tahu orang tuanya bahwa mereka harus segera menyingkirkannya. Karena meskipun mereka telah berusaha merawatnya, ia telah menjadi beban. Ia tidak lagi membicarakan tentang Gregor sebagai saudara laki-lakinya, namun sebagai ‘itu’, makhluk asing yang tidak dapat dikenali.
Gregor mendengar percakapan ini, ia ingin melakukan hal yang benar untuk keluarganya. Jadi ia memutuskan untuk harus melakukan hal yang terhormat dan menghilang. Dia merayap lemah ke kamarnya, lalu mati. Keesokan paginya, perempuan tua pembersih rumah itu menemukan tubuh serangga Gregor itu, kemudian segera membuangnya.
——
Kepustakaan
Gray, Richard T. Gross, Ruth V. Goebel, Rolf J. and Koelb, Clayton. A Franz Kafka Encyclopedia. Greenwood Press, Connecticut, 2005.
Kafka, Franz. The Trial. Oxford University Press, Oxford, 2009.
Kafka, Franz. The Metamorphosis and Other Stories. Oxford University Press, Oxford, 2009.
Knight, Kevin. (Ed.) The MacIntyre Reader. University of Notre Dame Press, Notre Dame, 1998.
MacIntyre, Alasdair. After Virtue: A Study in Moral Theory. University of Notre Dame Press, Notre Dame, 1984.
Robertson, Ritchie. Kafka A Very Short Introduction. Oxford University Press, Oxford, 2004.
Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Kanisius, Yogyakarta, 1997.
Suseno, Franz Magnis. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Kanisius, Yogyakarta, 2000.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.