Sejarah Kota Jayapura Papua

Oleh Hari Suroto

Pada masa Hindia Belanda, Kota Jayapura bernama Hollandia. Setelah Belanda menyerahkan Papua ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), maka Hollandia diubah menjadi Kota Baru. Pada masa Orde Lama, Kota Baru diganti menjadi Soekarnopura. Pada Masa Orde Baru, Soekarnopura diganti namanya menjadi Jayapura. 

Teluk Humboldt pertamakali didatangi oleh orang Eropa ketika dalam tahun 1827 Dumont d’Urville dengan kapal Astrolabe berlabuh di daerah ini. Nama Humboldt kemudian diberikan pada teluk ini. Pada kunjungan pertama tidak ada kontak dengan penduduk. Hal itu baru terjadi pada tahun 1858, ketika suatu komisi dibawah H. D. A van der Goes, dengan kapal Etna berlabuh di Teluk Yotefa, dan mengibarkan bendera Belanda untuk pertama kalinya. Sesudah itu menyusul suatu rangkaian kunjungan-kunjungan terutama dari pegawai-pegawai pemerintah Belanda diantara tahun 1871 sampai 1891. Pada tahun 1892 orang kulit putih pertama, seorang ahli ilmu alam, yaitu W. Doherty, untuk pertama kalinya sampai di daerah Sentani, yang kemudian disusul pula  oleh seorang zendeling G. L. Bink. Dalam tahun 1901 daerah Teluk Humboldt, Teluk Yotefa dan daerah Danau Sentani diselidiki dengan lebih seksama dengan tujuan untuk dimasukkan dalam peta. Kemudian ada suatu rangkaian kunjungan dari penyelidik-penyelidik alam seperti A. Wichman, H. A. Lorentz, ahli geologi W. van Bemmelen, ahli biologi A. E. Pratt, dan dokter zendeling F.J.F. van Hasselt.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernemen No. 4 tanggal 28 Agustus 1909, kepada Asisten Residen di Manokwari diperbantukan satu detasemen tentara. Detasemen ini diperbantukan terutama untuk mengedakan persiapan-persiapan bagi komisi perbatasan antara Belanda-Jerman. Selanjutnya sejalan dengan keputusan Gubernemen tersebut di atas dengan kapal Edi pada tanggal 28 September 1909 mendaratlah detasemen pimpinan Kapten Infanteri F. J. P. Sachse di Teluk Humboldt.

Dari sini mereka segera membuat peta lokasi dan melakukan kegiatan eksplorasi secara terbatas. Komisi perbatasan ini dipimpin oleh Letnan I Pelaut J. L. H. Luymes, sedangkan Kapten Infanteri Sachse bertindak sebagai bagian keamanan. Sebagai bivak pertama dipilih didirikan di dekat aliran Sungai Numbai atau sering disebut dengan  Sungai Anafre.

Penghuni dari bivak mereka terdiri dari empat orang perwira, 80 tentara, 60 orang pemikul barang, selanjutnya terdapat buruh, pelayan-pelayan, istri-istri dan anak-anak yang berjumlah sekitar 270 orang. Setelah tiga bulan menetap diantara mereka menderita malaria dan sekitar 30 orang menderita beri-beri.

Oleh karena ekspedisi perbatasan Jerman di Papua bagian timur, memberi nama Germainshok pada bivaknya, maka dalam suatu upacara sederhana yang dihadiri oleh empat regu berpakaian seragam dalam keadaan siap mengelilingi tiang bendera, pada tanggal 7 Maret 1910 Kapten Saches memberi nama bivaknya ‘Hollandia’.

Ia, kemudian memberikan amanatnya dalam bahasa Belanda dan kemudian disusul dalam bahasa Melayu, seraya mengkomandokan “In naam der Koningin, hijs de vlag God geve, dat zij nooit zaklworden neergehaald “ (Atas nama Ratu, kibarkan bendera Belanda. Semoga dengan ridho Tuhan bendera ini tidak akan diturunkan). Segera setelah bendera berkibar, semua klewang disentakkan dari sarungnya dan terdengar teriakan “Hoera” tiga kali. Dalam perkembangan lebih lanjut, sesuai Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Desember 1925 No. 3X (Staastblad. No. 640/1925), maka Hollandia dijadikan onderafdeling.

Terjadi Perang Pasifik pada 7 Desember 1941 dengan serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour Hawai. Pada waktu singkat Jepang menguasai seluruh Pasifik, termasuk pantai utara Papua. Belanda yang menguasai Papua tidak berdaya melawannya dan mundur ke Australia. Dalam gerakan nanshin rod 19 April 1942 bala tentara Jepang mendarat di Kawasan Teluk Humboldt, Vim dan Abepantai. Jepang menilai kondisi geologi dan struktur tanah pantai di Hollandia yang sebagian besar berbatu-batu menjamin tidak akan ada proses pendangkalan pantai, memungkinkan bertambatnya kapal-kapal berukuran relatif besar sehingga akan memfasilitasi tumbuhnya Hollandia sebagai tempat pertukaran antar komoditi dan secara perlahan menjadikan Hollandia tumbuh menjadi kota pelabuhan dan kota perdagangan regional, bahkan sebagai pusat kekuasaan. Berdasarkan hal ini dan dengan keyakinan letak Hollandia sangat strategis, Jepang melabuhkan kapal beserta marinirnya di Teluk Humboldt. Kemudian pada bulan Agustus yang sama, Jepang kembali lagi menambah pasukan infanteri guna memperkuat marinirnya.

Foto Monumen pendaratan pasukan Sekutu di Jayapura. (Sumber: Penulis)

Menurut laporan Sekutu, seluruh bala tentara Jepang di Hollandia ditaksir berjumlah dua resimen infanteri plus satu resimen marinir atau lebih. Di sekitar Sentani, Jepang membangun lapangan terbang dan ditempatkan 350 buah pesawat tempur. Di sekeliling lapangan terbang ditempatkan meriam-meriam penangkis udara jumlahnya cukup banyak.

Jepang pun membangun barak, jembatan termasuk dermaga seperti di Pantai Hamadi, APO dan Teluk Yotefa. Teluk yang terlindung dan lapangan terbang yang penting menjadikan Hollandia tumpuan pertahanan Jepang. Begitupun perbekalan Jepang di Hollandia diakui Sekutu satu-satunya yang terbesar dan terkaya di Pasifik.

Foto Tugu peringatan pasukan Jepang pada Perang Pasifik di Kampung Puay, Kabupaten Jayapura. (Sumber: Penulis)

Perang Pasifik yang banyak menyebabkan kehancuran itu juga telah membawa akibat yang konstruktif terhadap aktivitas pembangunan Hollandia. Dengan penggunaan Teluk Humboldt, sebagai benteng pertahanan yang paling ujung di sebelah timur terhadap serangan tentara Amerika dan Australia, tentara Jepang membangun lapangan terbang, basis-basis logistik, serta suatu jaringan jalan sekeliling Teluk Humboldt. Untuk menyiapkan lapangan terbang dan sarana militernya Jepang mengerahkan tenaga penduduk setempat. Maka dapat dimengerti bila penduduk pribumi Hollandia kehilangan sebagian besar hasil kebunnya. Bahkan babi dan ayam piaraan diambil serdadu Jepang secara paksa.

Dalam perang Pasifik, Papua termasuk kawasan strategis Panglima Tertinggi Komado Daerah Pasifik Barat Daya Jenderal Douglas Mac Arthur dalam rangka serangan balik menuju Tokyo. Sekutu berniat menghancurkan pertahanan Jepang dulu mulai dari Laut Karang sampai Pulau Saipan.

Kekalahan Jepang dalam pertempuran Laut Karang 7 Mei 1942 dan Midway 4-7 Juni 1942 merupakan turning point bagi sekutu. Posisi Jepang semakin memburuk ketika Sekutu mulai melancarkan pemboman secara besar-besaran ke Papua (Dutch New Guinea waktu itu). Hollandia yang merupakan basis pertahanan Jepang setelah Wewak dan Teluk Hansa di Papua New Guinea, merasakan pemboman yang dahsyat pada bulan Maret-April 1944. Serbuan Sekutu ke Hollandia ini menandai berakhirnya pendudukan Jepang atas Hollandia dan puncaknya tanggal 22 April 1944 armada Sekutu yang begitu besar jumlahnya mendekati Pantai Hollandia.

Tidak kurang 215 kapal perang didukung kira-kira 800 pesawat terbang membayangi kesatuan-kesatuan Sekutu yang mendarat dari dua arah. Dari Teluk Tanah Merah (Depapre) dan Teluk Humboldt (Pantai Hamadi). Operasi ini diberi sandi “reckless” dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur dibantu Laksamana D. E. Barbey dan Letnan Jenderal R. L. Eichelherger dari atas kapal induk Nashville. Pukul 10.00 pagi tanggal 22 April 1944 Jenderal Douglas Mac Arthur mendarat di Pantai Hamadi.

Bala tentara Jepang di Hollandia ternyata tak berdaya menghadapi serbuan Sekutu. Laksamana Endu dari armada VIII-IX Jepang yang baru saja ditempatkan di Hollandia, tidak berkutik menghadapi serbuan Sekutu. Akhirnya Endu dan pasukannya menyingkir ke hutan sekitar Hollandia dan diperkirakan melakukan hara-kiri.

Sejumlah prajurit zeni kemudian dikerahkan oleh Sekutu untuk memperkuat pangkalannya di Sentani. Para tenaga tambahan yang adalah tenaga insinyur teknik ini sekaligus merupakan tenaga teknisi yang berbasis di landasan bekas pangkalan militer Jepang. Tugas utama mereka adalah membuat landasan baru yang lebih luas agar bisa didarati oleh pesawat pengebom B-29 Superfortress. Merekalah yang memegang peranan penting dalam pembuatan landasan pesawat serta jalan-jalan raya di sekitarnya; hasil kerja mereka itu sampai saat ini masih tetap dipergunakan. Dalam proses pembuatan landasan serta jalan raya ini, pasukan Sekutu bekerja ekstra keras dengan terlebih dahulu meratakan sisi-sisi pegunungan di sekitar areal tersebut. Setelah itu, jembatan-jembatan serta pipa-pipa pembuang air didirikan di sepanjang sungai. Kemudian, untuk membuat jalan raya, rawa-rawa ditimbun dengan kerikil dan batu-batu. Hanya dalam waktu semalam, Hollandia telah bermetamorfosis dari sebuah kampung yang sunyi sepi menjadi sebuah kota berpopulasikan total 250.000 manusia, suatu jumlah yang sepertiga lebih banyak dari total jumlah penduduk Papua pada saat itu. Hollandia kemudian menjadi salah satu markas militer terhebat selama berlangsungnya PD II dan sebagian besar komando untuk wilayah Pasifik Barat Daya dioperasikan dari Hollandia. Sekutu menjadikan Hollandia sebagai Basis G, dilengkapi dengan sembilan galangan kapal (dock), fasilitas militer, rumah sakit, gudang, toko dan tempat hiburan. 

Peninggalan Sekutu hingga saat ini dapat dilihat dari bangunan dan toponim. Bangunan tinggalan Sekutu berupa rumah bulat terdapat di Ifar Gunung, Abepura, APO dan Sentani. Bangunan rumah sakit di Dok II, tangki minyak di Depare. Toponim peninggalan Sekutu diantaranya Base G, Sky Land, APO, Hawai, Entrop, dan Dok I sampai IX. 

Foto Tugu peringatan pendaratan Jepang pada Perang Pasifik di Abe Pantai, Kota Jayapura. (Sumber: Penulis)

Pada 1944-1945, Papua diperintah oleh Sekutu. Komandan Sekutu membawahi para pejabat Belanda yang disebut NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tugas NICA berkaitan dengan urusan-urusan sipil. NICA terdiri atas SONICA (Senior Officer NICA) yang disamakan kedudukannya dengan residen dan CONICA (Commanding Officer NICA), yang disamakan kedudukannya dengan asisten residen. SONICA pertama yang mendarat di Hollandia sebagai staf pembantu Letnan Jenderal Walter Krueger, panglima kesatuan Sixth Army Amerika Serikat adalah Kolonel C. Giebel.

Kemudian wilayah SONICA Nugini pada 1946 resmi menjadi residensi dibawah gubernemen Grote Oost. Residensi Nugini pada 1947 dibagi menjadi empat afdeling yang masing-masing di bawah seorang asisten residen yang mengawasi pemerintahan harian setempat. Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949, kewenangan residensi Nugini, termasuk kewenangannya sebagai HGB (Hoofd van het Gewestelijk Bestuur, kepala pemerintahan wilayah administratif), tertuang dengan jabatan baru menjadi gubernur Nugini-Belanda. Gubernemen Nugini Belanda beribukota di Hollandia.

Foto Wawancara Hari Suroto dengan kepala Kampung Puay. (Sumber: Penulis)

Dalam membangun fisik Kota Hollandia, Belanda tinggal melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh tentara Jepang dan Sekutu. Gubernur Nugini Belanda mempekerjakan tukang bangunan dari Pulau Biak dan penduduk sekitar Jayapura. Saat ini peninggalan Belanda dapat terlihat dari bangunan dan toponim. Bangunan peninggalan Belanda masih dapat dilihat di Rumah Sakit Dok II, Angkasa, Abepura, Gedung DPRP, Kantor Gubernur Dok II. Toponim diantaranya Kampkei, Vim, Klofkamp, Holtekamp, Kampwolker, Kampcina dan Polimak.

*Hari Suroto adalah Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN