Pos

Leo Tolstoy: “Apa itu Seni?” Sebuah Perjuangan Memulihkan Seni Modern

Oleh Tony Doludea Secara umum disepakati bahwa seni merupakan sesuatu yang indah dan bermakna, yang diciptakan oleh manusia secara sadar menggunakan keahlian dan imajinasi. Bagaimana orang menentukan apa itu seni? Hakikat seni dan penting tidaknya seni secara sosial? Ada tiga kategori untuk membahas pertanyaan tersebut, yaitu representasi, ekspresi dan bentuk. Seni sebagai representasi (mimesis) atau peniruan, […]

Bapak Gede, Seba, dan Petapa Bukit Kendeng

Oleh Ria Satriana Budi GELAP membungkus Desa Kanekes, Lebak, Banten, ketika dingin malam merayap di kulit. Temaram bulan sabit di awal Mei, juga terang api lampu teplok yang terpasang di dinding bilik rumah, tak cukup kuat bagi mata melihat keadaan sekitar. Tapi, bagi sembilan pria berikat kepala dan baju serba putih tanpa kancing yang teranyam […]

Sajak-sajak Seno Joko Suyono

Jika Kita Sepasang Mahasiswa Arkeologi di Kabul   Helikopter Chinook yang meraung-raung Turun di kedutaan Jangan kau kira mengevakuasi kita, sayang Sudah lama kita ditinggal. Dari lantai 9 apartemen lusuh ini Kita menghindar perempatan yang dipalang Kubis di lemari es basi. Daging berjamur. Kentang growong Berjalan ke museum – tempat arca-arca Avalokitesvara itu disimpan Akan […]

Jangan Sampai Salah Alamat

Oleh Yuswantoro Adi Ijinkan saya memulai tulisan ini dengan membalas tuduhan saudara Hendro Wiyanto berjudul Sesudah “Pameran Imajiner” yang menyebut tulisan saya di Kompas kemarin sebagai sebuah tanggapan yang dangkal. Sekadar informasi, saya ini seorang pelukis, bahwa kemudian sesekali menulis adalah untuk membagi apa yang saya tahu. Bukan mengajak orang lain untuk ikut menyelam bersama dalam sebuah […]

Seni dan Negara (Modernisme di Halaman Belakang) (Bagian 2)

Oleh Afrizal Malna Batas-batas sejarah sebagai fiksi politik Batas-batas sejarah merupakan sebuah titik yang kita buat untuk membangun tubuh sejarah yang berbeda pada babakan-babakannya. Kita tidak pernah melihat batas ini sebagai sebuah fiksi. Kadang ia menjadi batas ideologis yang membeku, tempat bersemayamnya hantu-hantu. Batas-batas itu selalu menarik ketika terjadi penafsiran baru, munculnya perspektif baru, atau […]

Seni dan Negara (Modernisme di Halaman Belakang) (Bagian 1)

Oleh Afrizal Malna Apa yang menarik mengikuti tulisan Aminudin TH. Siregar: “Takjub Ajoeb: Kepada Bung Hendro Wiyanto” dan tanggapan Hendro Wiyanto: “Jurus Gerhana Aminudin TH. Siregar”, adalah bagaimana sejarah bekerja dalam wilayah rasionalisme dan keyakinan. (Mungkin ini juga tidak tepat). Ia seperti hantu yang bersemayam pada batas sejarah sebelum dan setelah Tragedi 1965. Bermain dalam […]

Film Perjuangan Indonesia: Antara Alat Ideologis dan Moralitas Kabur ala Film Hollywood

Oleh Eko Fangohoy Selama atau menjelang perayaan tujuh belas Agustus-an, televisi-televisi biasanya memutar film-film bertemakan perjuangan. Bioskop-bioskop pun—terutama sebelum pandemi—juga menayangkan film-film perjuangan baru. Film-film tematik seperti ini biasanya melekat pada waktu-waktu tertentu sepanjang tahun. Dari berbagai coraknya, film-film yang meramaikan bulan Agustus memiliki tema umum yang kurang lebih serupa, sehingga mereka biasanya bisa disebut […]

Marusya Nainggolan: Tristutji Kamal, Ruh Jawa dalam Musik Barat

Ujian terbuka tingkat doktoral Marusya Nainggolan (67 tahun) di bidang ilmu budaya yang diselenggarakan on line oleh Universitas Indonesia itu menjadi lain daripada lain. Di akhir sidang –setelah selesai tanya jawab antara para penguji dengan Marusya Nainggolan, promotor Marusya, Prof. Dr. Melani Budianta mempersilahkan Marusya memainkan piano.  Hadirin yang mengikuti sidang terbuka itu via computer […]

Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar

Excelsa Ada masa, dari ketinggian penderitaan Afrika kuseduh namamu hanya dalam seduhan rindu meski di Les Deux Magots, ranum senyummu terlipat dalam kertas kusut sajak Arthur Rimbaud dan lidah keluh Simone de Beauvoir Bersama biji-biji kebahagiaan kujulurkan lidahku, rambut usia rawan kuikat dengan tali-tali hitam VOC pilu dan kurepihkan arabika, kuseduh robusta di atas tungku […]

Sesudah “Pameran Imajiner” (2)

(Untuk Aminudin TH Siregar, Asmujo J. Irianto dan Yuswantoro Adi) Oleh Hendro Wiyanto Sanento tidak sempat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pameran “Kebudayaan” Indonesia (di) Amerika Serikat (KIAS, 1990-1991). Kita tentu tidak bisa bertanya kepadanya, apakah pameran imajinernya cocok dengan apa yang dihadirkan oleh para kolega seni rupanya dalam agenda yang berlangsung berbulan-bulan itu. Termasuk […]