Meteora, Suatu Waktu
Oleh Seno Joko Suyono
1
Souvenir itu masih saya simpan. Sudah agak berdebu dan tali gantungannya putus. Souvenir itu berupa semacam Carta Antica. Sebuah kulit kayu bergambar – imaji-imaji gereja kuno serupa cetakan-cetakan litografi abad petengahan. Tampak souvenir tersebut – dibuat hand made. Komposisi gambarnya tanpa perspektif presisi lukisan-lukisan realis modern. Kulit kayu itu memanjang, menampilkan – sebuah impresi kota karang, yang di atas ketinggian tebingnya penuh dibangun biara-biara. Demikian tinggi posisi biara-biara. Hingga ditampakkan seolah dekat langit. Seolah hanya seinci jaraknya dengan gerbang surgawi – yang selalu terbuka memberkahinya.
Di langit kita lihat tak ada burung-burung berterbangan liar. Di langit sebelah kanan kita saksikan Maria, melayang memangku bayi Yesus. Maria duduk di atas gumpalan-gumpalan awan berarak. Ia mengenakan kerudung dan tangan mungil Yesus menggapai kain penghangat yang melapisi tubuh Maria. Dari kepala Maria dan bayi Yesus berpendar lingkaran cahaya halo. Di samping Maria terlihat matahari bersinar riang. Gambar Maria dan Kristus itu dilengkapi keterangan beraksara Yunani kuno – yang entah artinya apa – mungkin penjelasan mengenai berkah-berkah daya gaib Maria. Di langit paling kiri kita lihat dua orang berjanggut tebal dan “bertoga hitam” rahib-rahib gereja ortodoks bersimpuh di atas bongkah-bongkah awan berarak. Kedua tangan mereka menengadah seolah dalam posisi mendoakan. Jubah mereka tebal dari atas sampai terkulai ke bawah. Sinar halo juga memancar dari kepala mereka. Di samping patriakh bapa-bapa gereja itu, lagi, terdapat penjelasan teks dalam aksara Yunani kuno – yang terasa antik –meski kita tak tahu maknanya. Kedua biarawan itu melayang di dekat gambar bulan.
Di tengah: yang menjadi poros komposisi adalah gambar sebuah tebing karang kokoh yang menjulang tinggi. Tebing besar dengan susunan batu padas keras. Padat. Tegar. Guratan alur, tekstur cadas berlapis-lapis nan kekar dipertunjukkan di sekujur tubuh tebing. Bagian atas tebing itu tampak dipapras habis menjadi sebuah lahan datar. Dan di lahan datar itu dibangun sebuah kompleks biara. Kompleks itu terdiri dari bangunan utama dan beberapa bangunan pendamping. Beberapa bangunan itu dilengkapi dengan menara-menara. Sebuah tanda salib besar berada di pucuk menara utama yang berbentuk kubah. Salib itu seperti memahkotai keseluruhan tebing dan bangunan. Pucuk atau ujung tiang salib itu seolah menunjuk ke atas dan merupakan bagian paling dekat dengan atap langit. Maria, Yesus dan ruh-ruh para patriakh yang melayang di langit tampak mengapit gereja tersebut . Mereka siang malam terus menerus tak henti-hentinya memberi rahmat terhadap gereja dan biara di ketinggian yang terasa mustahil itu Maria yang memeluk Yesus di samping matahari seolah setiap pagi sampai matahari terbenam menjaga gereja itu dan kemudian dari senja sampai subuh gantian ruh-ruh para santo,terus menjaga biara.
Fasad – atau bagian muka biara itu berada tepat di gigir tebing. Sedikit longsor saja bangunan itu bisa runtuh dan hancur terhempas berkeping-keping ke bumi. Bagian depan bangunan utama itu dipenuhi deretan bertingkat jendela lebar. Bagian belakang biara itu cukup lapang. Tapi terlihat ranggas – tandus. Hanya satu dua pohon saja yang tumbuh. Akan halnya bagian samping kiri kompleks biara itu – kita bisa melihat ada sebuah tali atau rantai memanjang yang diturunkan dari atas biara. Di ujung bawah rantai itu tampak dikaitkan sebuah karung besar. Itulah karung makanan. Karung-karung berisi makanan itu dipasok dari bawah untuk menyuplai kebutuhan para rahib penghuni biara – dan kemudian dikerek ke atas. Kita juga melihat ada tangga-tangga kayu lipat panjang yang diturunkan dari atas . Tangga itu bisa menyambung dengan tangga yang disandarkan ke tebing dari bawah.
Panorama di sekitar tebing penuh dengan tebing-tebing karang dan belasan bukit-bukit kecil lain . Dan di atas karang-karang lain itu juga terdapat biara-biara. Karang paling tinggi yang berada di tengah komposisi gambar – seolah-olah suatu axis mundi. Suatu poros dunia atau jantung dunia yang dikelilingi biara-biara karang lainnya. Antara tebing satu ke tebing lain tak bersambung. Masing-masing hanya bisa melihat biara satu dan lainnya dari ketinggian, kejauhan, kesunyian pucuk tebing masing-masing. Dalam gambar bukit-bukit dan karang-karang itu masing-masing dilengkapi kalimat singkat beraksara Yunani kuno. Mungkin itu menunjukkan nama-nama dari biara. Secara keseluruhan souvenir itu bagaikan sebuah peta lanskap beserta toponiminya. Souvenir itu diberi judul: Meteoros 1745. Souvenir itu seolah ingin menunjukkan suasana perbukitan biara-biara karang di Meteora pada tahun 1745. Souvenir itu adalah saksi – akan adanya suatu Civita Dei – sebuah kota Tuhan yang di bangun di pucuk-pucuk karang-karang tinggi.
2
Saya tiba-tiba ingat souvenir tersebut. Souvenir itu saya cari-cari ternyata terselip – di antara serakan dan tumpukan box set-box set compact disc solo album Jack Bruce, album Ummaguma Pink Floyd, Cuby Blizzards, Alan Parson Project, Jethro Tull , Mahavishnu Orchestra dan Ten Years After di rak yang juga penuh barang-barang – dan buku-buku yang bentuknya sudah tak keruan karena terlalap banjir setahun lalu. Saya tiba-tiba spontan mencari souvenir itu setelah menonton film Meteora karya sutradara Yunani Spiros Stathoulopoulos. Film yang ikut seksi kompetisi Festival Film Berlin 2012.
Film itu menceritakan sepenggal hasrat cinta dan ledakan erotis tak tertahan antara seorang biarawan Yunani bernama Theodoros (diperankan aktor Theo Alexander) dan seorang biarawati Rusia bernama Urania (dimainkan oleh aktris Tamila Koulieva). Keduanya tinggal di biara-biara karang Meteora. Theodoros tinggal di biara Holy Trinity. Sementara Urania bermukim di biara Agios Stefano Convent. Letak kedua biara itu berada di ketinggian tebing karang berbeda. Dari tempatnya masing-masing , Thedoros dan Urania hanya bisa menatap lamat-lamat biara mereka satu sama lain: kecil-kecil – sering tertutup kabut dan dipisahkan oleh ngarai yang dalam.
Film ini mengambil waktu di zaman modern – tidak disebutkan persisnya kurun tahun berapa – namun mungkin tahun 30-an. Film ini berusaha menampilkan kenyataan bahwa betapapun dunia sudah memasuki kehidupan modern, masih terdapat kehidupan biarawan dan biarawati yang mengisolasi diri atau memencilkan diri dari kehidupan orang-orang ramai dan sehari-hari mengabadikan hidupnya hanya untuk liturgi. Dan para rohaniawan yang tinggal di biara-biara Meteora seperti biara Holly Trinity adalah salah satu yang “ekstrem”.
Di atas karang-karang, yang untuk naik ke biara harus melalui tangga batu curam berkelok-kelok maupun masih dengan keranjang lalu dikerek ke atas – mereka sehari-hari menjalani kehidupan monastik yang ketat sebagaimana zaman abad pertengahan. Mereka menjalani ritual harian yang penuh disiplin , tabu-tabu dan larangan-larangan. Tak ada kehidupan pribadi. Kehidupan mereka sepenuh raga dan jiwa diserahkan kepada kehidupan kolektif yang sangat sederhana yang penuh harapan-harapan serta kepercayaan-kepercayaan ortodoks. Film ini seolah ingin menyajikan – bahwa di zaman modern – tetap ada komunitas yang setia memelihara dan menjalani cara hidup dan praktek iman rahib-rahib era Bizantium lebih seribu tahun lalu.
Cara bertutur visual film ini menekankan kesederhanaan. Bukit-bukit karang dibiarkan sering disajikan dalam tatapan statis kamera. Bukit hitam – raksasa hitam. Adegan dan percakapan-percakapan sering minimalis. Tak banyak dialog. Kesunyian alam yang misterius – yang tak pernah dimengerti siapapun seolah ingin ditonjolkan melebihi segalanya. Kamera menampilkan panorama karang-karang itu – dalam banyak silhuet, bayang-bayang, redup sinar matahari. Biara yang ada di pucuk-pucuk tebing itu sering terselimuti kabut.
Film ini terasa tidak ingin jatuh mengeksplorasi visual secara eksotik. Film ini terkesan tidak tergoda menampilkan gambar-gambar indah – penuh manipulasi asesoris-asesoris warna editing. Kabut itu, siluet itu, tebing-tebing dengan desau keras angin itu atau suara sayup-sayup senandung koor – terasa ingin ditangkap apa adanya. Tidak dilebih-lebihkan. Malah acap tebing-tebing karang itu saat senja diambil dengan kondisi langit penuh gulungan-gulungan awan hitam – agak mengerikan. Suatu jenis senja yang tentunya berbeda dengan senja romantis penyair – yang biasanya kemerahan.
Demikian juga saat merekam kehidupan liturgi di dalam biara juga yang dipakai pendekatan film dokumenter yang merekam apa adanya fakta tanpa memoles-moles mempercantik adegan. Ruangan ibadah dan tempat prosesi sakramen harian cenderung sempit dan gelap. Penerangan hanya mengenakan lilin-lilin yang berpendar terbatas samar-samar menerangi raut wajah biarawan yang mengenakan jubah hitam-hitam. Jumlah jamaah yang hadir tak banyak, cuma sebatas mereka yang tinggal di biara.
Ruang cenderung seperti gua-gua atau ceruk yang dihiasi oleh lukisan-lukisan Kristus atau Maria bergaya lukisan gereja-gereja timur. Tak begitu jelas bagaimana bentuk liturgi dan sakramen yang disajikan karena tak tertangkap jelas. Sering yag terdengar cuma suara lonceng kecil atau gumaman daras doa. Biara itu tampak baru agak terang ketika kamera menyorot lorong-lorong yang memiliki jendela-jendela terbuka menghadap luar –yang membuat berkas-berkas sinar matahari masuk di kala pagi.
Dalam suasana seperti itulah Theodoros dan Urania sembunyi-sembunyi turun ke bawah – dan di sekitar kaki tebing mereka melakukan “cengkrama”. Mereka piknik bersama di rerumputan, menghampar kain di bawah pohon yang agak ranggas – makan roti, minum susu bersama. Dan diakhiri dengan saling memberikan pemberkatan keselamatan. Alur film kemudian lebih berjalan dengan simbol simbol daripada suatu sebuah cerita kronologis dengan dramaturgi realis Aristotelian.
Salah satu yang menarik dari film ini adalah keberanian menggabungkan adegan-adegan film dengan adegan-adegan animasi. Bagian animasi yang menampilkan sosok Theodoros dan Urania dengan gaya ikon-ikon gereja ortodoks ditempatkan sebagai ilustrasi yang mewakili kegelisahan, ketakutan-ketakutan, dan ketidak menentuan perasaan mereka berdua. Saat mereka mulai merasa terperangkap dalam hasrat dan berada di depan ambang melanggar pintu tabu dan menantang aturan ilahi – dua adegan animasi yang disajikan demikian alegoris.
Animasi menampilkan Theodoros tiba-tiba bermimpi atau merasa dirinya terpeleset dari tebing dan jatuh terjun bebas dengan tajam ke bawah. Sementara yang lain menampilkan animasi yang menggambarkan tanah yang dipijak Urania mendadak longsor—berhamburan ke bawah – lantai retak-retak dan menyingkapkan sebuah pemandangan mengerikan – panorama mayat-mayat berdosa yang mengalami siksa kubur. Animasi menjadi suatu phantasmagoria atas perasaan berdosa yang membayang-bayangi mereka .
Tatkala kerinduan Theodoros dan Urania demikian mendidih, sementara mereka satu sama lain “terkerangkeng” – dan hanya bisa melihat dari kejauhan posisi biara masing-masing, mereka kemudian saling mengirim sinyal lewat cahaya matahari yang dipantulkan dari kaca. Inilah bagian paling romantis di film. Pantulan sinar matahari itu bagaikan sandi-sandi dan bahasa morse. Melalui cermin dan sinar matahari yang dipantulkan itu mereka saling bertegur sapa, berciuman, saling memeluk, saling menggigit, saling melepas kekangenan . Hingga suatu hari, seperti biasa mereka bertemu di kaki tebing – menggelar kain, duduk dan bersantap bersama.
Tapi di siang itu Theodoros bertanya kepada Urania tentang rambut Urania. “Apa warna rambutmu?” kata Theodoros. Urania hanya tertawa mendengar pertanyaan itu . “Apa bahasa Rusianya bebas,” cecar Theodoros lagi. Mereka kemudian saling belajar kosa kata Rusia-Yunani yang berbeda. ”Putus asa adalah dosa yang tidak bisa diampuni,” kata Urania tiba-tiba mengucapkan kalimat itu – mungkin setelah menyadari bahwa bahasa Yunani dan Rusia banyak perbedaan-sehingga susah mempelajari. Sebuah kalimat yang membuat keduanya tergelak. Tapi tiba-tiba setelah Urania mengucapkan kalimat itu, tak kuasa Theodoros memeluk erat-erat dan mencium Urania. Urania memberontak, berusaha membebaskan tubuhnya dari dekapan Theodoros. Tapi Theodoros makin kuat mencengkram sehingga tudung rambut yang menutupi Urania terlepas. Tersingkaplah: rambutnya pirang. Dan Urania tak kuasa menolak bibirnya yang terus dilumat dan dipagut Theodoros.
Dikejar perasan bersalah, setelah peristiwa itu, Urania menjauhkan diri dari Theodoros. Ia menghiraukan sinyal-sinyal cahaya yang dikirim Theodoros. Ia menutup jendela di kamarnya dengan kain hitam agar “morse-morse” cahaya yang dikirim Theodoros tak masuk ke dinding kamarnya. Tapi semakin Urania menutup diri dari Theodoros, semakin hasrat seksualnya melonjak. Kamera kemudian menampilkan sebuah adegan hitam putih yang sekilas namun kuat, sensual, erotic, mengagetkan namun tidak vulgar. Urania (tanpa ditampilkan wajahnya) disajikan mengusap-usap bulu kemaluannya dan membelai-belai putingnya yang tegang.
Setelah itu film mengarah ke dua adegan animasi yang sangat sublim, imajis, surealis tapi tidak mengada-mengada. Dua buah adegan animasi yang menampilkan pergolakan batin Theodoros dan Urania, untuk tetap semata-mata melayani Tuhan – taat kepada aturan atau melanjutkan hasrat seksual mereka yang sudah tak tertahankan. Mereka harus memilih. Sebuah animasi kemudian menggambarkan Theodoros dituntun oleh Theseus ditunjukkan sebuah lorong rahasia jauh di dalam tubuh tebing. Sebuah lorong berlika-liku yang sangat gelap.
Theseus adalah tokoh mitologi Yunani. Ia dalam phantasmagoria Theodoros menjadi semacam avatar bagi Theodoros. Dalam mitologi Yunani, Theseus dikenal sebagai pembunuh Minotaurus, monster raksasa berkepala banteng, berbadan manusia menakutkan yang selalu memangsa sesembahan korban manusia. Minotaurus tinggal di sebuah ujung labirin panjang yang dibuat oleh Daidolos di wilayah Knossos. Theseus adalah tokoh yang berani memasuki labirin itu dan berduel dengan Minotaurus. Theseus membawa gulungan benang yang diberikan oleh Ariadne. Ujung benang itu ia ikatkan di pintu masuk dan kemudian gulungan benang tersebut ia bawa masuk ke labirin – sehingga benang itu terulur panjang. Uluran itu yang digunakan Theseus untuk nantinya- setelah membunuh Minotaurus mudah menelusuri jalan keluar – dan tidak terjebak, tersesat di labirin.
Dalam animasi itu, diperlihatkan Theseus membawa Theodoros ke sebuah labirin pekat di dalam tubuh tebing. Theseus menyerahkan sebuah obor kepada Theodoros dan mempersilahkan Theodoros mengarungi seorang diri labirin yang berlika-liku. Gua labirin itu demikian pekat. Cahaya obor hanya bisa menerangi beberapa depa dari tubuh Theodoros. Theodoros tak tahu kemana ujung labirin itu berakhir. Ia berjalan terus tak henti-hentinya sampai akhirnya ia kemudian tiba di ujung. Terdapat sesosok bayangan di ujung itu. Theodoros menyorongkan obornya. Dalam cahaya obor terlihat – bukan sosok Minotaurus melainkan Yesus yang di salib. Yesus tampak seorang diri dengan kedua tangan tersalib.
Selanjutnya sebuah adegan animasi yang sugestif. Theodoros lalu tampak mengambil paku dan mengarahkan paku ke telapak tangan kanan dan kiri Yesus yang terentang. Dan dengan sebuah martil, ia menghantam keras-keras paku itu masuk ke telapak tangan kanan dan kemudian telapak kiri Kristus. Langsung darah mengucur deras dari telapak kanan Yesus dan kemudian telapak tangan kiri. Demikian deras. Kucuran darah itu memancar tak habis-habisnya sehingga darah itu menggenangi lorong-lorong labirin. Darah Kristus itu menjadi seperti air bah. Menenggelamkan Theodoros dan menghempaskan Theodoros ke luar labirin. Darah Kristus menjelma menjadi lautan.
Theodoros diombang ambingkan oleh lautan darah Yesus yang bergolak. Thedoros terseret arus gelombang darah Yesus yang menggulung-gulung tinggi. Dari kejauhan Theodoros juga melihat ternyata Urania juga tersapu samudra darah Kristus. Urania muncul tenggelam dalam pusaran ombak darah Yesus. Tangan Theodoros memanggil-manggil ke arah tubuh Urania. Gelombang darah Yesus menyeret tubuh Theodoros mendekati tubuh Urania yang tinggal terlihat cuma kepala saja. Theodoros berusaha keras menggapai tubuh Urania. Sejoli itu bertemu dan tenggelam dalam lautan darah Kristus.
Menurut saya adegan animasi darah yang mengucur dari telapak tangan Yesus menjadi laut ini sangat mencekam. Selanjutnya sebuah animasi lagi yang juga sangat sublim.Tapi lebih puitis dibanding animasi sebelumnya. Diperlihatkan Urania berdiri di pinggir jendela biaranya. Ia tak mengenakan kerudung atau tudung rambut. Rambutnya hitam panjang bergelombang melayang-layang dihembas angin ketinggian yang sangat kencang. Rambut panjang Urania meliuk-liuk. Lalu terjadi keajaiban. Rambut Urania memanjang terus. Demikian panjang.
Urania mengibaskan, mengarahkan rambutnya yang memanjang itu ke arah biara Theodoros. Di sebrang sana di ketinggian terlihat Theodoros juga berdiri di depan jendela. Rambut Urania itu memanjang terus berkilo meter hingga rambut itu sampai di depan jendela Theodoros. Theodoros mengikat ujung rambut Urania. Rambut Urania kini bagaikan titian serambut dibelah tujuh. Menjadi jembatan di ketinggian antara biara Urania dan biara Theodoros. Lalu dengan langkah hati-hati-dengan memperhatikan keseimbangan tubuh, Theodoros mulai menapaki titian rambut Urania. Ia melangkah di ketinggian – di atas jembatan – berupa garis rambut Urania, selangkah demi selangkah bagai seorang trapeze – mengarah ke biara Urania.
Dua adegan animasi ini seolah merepresentasikan pancaran terdalam dari alam bawah sadar Urania dan Theodoros. Animasi ini lambang bagi keterombang-ambingkan sikap yang akan dipilih Urania dan Theodoros. Apakah mereka akan mengkhianati Kristus dengan terus melanjutkan kisah percintaan? Apakah mereka berani melanggar tabu-tabu dan larangan yang dijaga lebih dari seribu tahun di biara-biara mereka? Adegan terakhir film ini menunjukkan keputusan yang mereka pilih. Dalam ceruk sebuah gua – biarawan dan biarawati ini terlihat berpelukan telanjang. Meski Urania tak melepas penutup kepalanya – tubuh mereka berdua tampak tanpa sehelai benang pun.
Sebetulnya kisah percintaan seorang biarawan di tengah kehidupan monastik yang ketat bukan pertama kali disajikan oleh film ini. Kita tahu misalnya film Samsara yang dibesut oleh sutradara Pan Nalin, bercerita tentang seorang rahib Buddha bernama Tashi (diperankan Shawn Ku) yang telah menjalani kehidupan meditasi sangat ketat namun kemudian tergelincir dalam cita rasa erotisme. Bila film Meteora bersetting di tebing-tebing karang Yunani tengah, maka Samsara bersetting di ketinggian kota Ladakh. Ladakh sering disebut sebagai Tibet kecil. Karena mayoritas populasinya beragama Budhisme Tibet. Adegan awal film ini sungguh menggigit.
Serombongan lama-lama (bhiku-bhiku Tibet) senior tampak berkuda menempuh perjalanan jauh menyusuri gurun. Setelah beberapa hari perjalanan mereka sampai ke sebuah perbukitan karang yang terpencil. Terlihat di tengah bukit – terdapat sebuah pintu kayu lusuh bergembok. Pintu itu digunakan untuk menutupi sebuah ceruk gua. Para bhiku sepuh itu lalu membuka gembok gua. Mereka masuk ke gua. Sangat gelap. Hampir tak ada secercah cahaya pun di gua. Dan di dalam gua mereka menemukan sesosok lelaki yang telah keras membatu dalam posisi meditasi. Lelaki itu sama sekali tak bergerak sedikit pun. Matanya tertutup. Tubuhnya sudah sedemikian mengeras – dan menjadi bagian dari karang-karang. Wajah lelaki itu sudah tertutup oleh cambangnya sendiri yang tumbuh lebat. Rambutnya demikian semrawut, awut-awutan – sama sekali tak pernah disentuh – dan bagaikan akar-akar pohon tua yang merambat liar kemana-mana – rambut itu sampai terurai bercabang-cabang ke bawah. Kuku-kuku tangan dan kakinya dekil dan panjang-panjang runcing.
Lelaki yang telah membatu itu adalah bhiku Tashi. Ia tengah menjalani tapa brata di gua itu selama tiga tahun. Sebuah tarak yang amat keras di luar kemampuan manusia normal. Hingga menjadikan tubuhnya membatu dan berlumutan. Tapa brata itu dilakukan untuk menempuh persyaratan menempuh tingkat khenpo – di biara. Dalam biara-biara Tibet terutama mazhab Nyingma dan Kagyu , khenpo adalah tahapan studi tingkat tinggi, yang hanya bisa dimasuki oleh bhiku-bhiku yang telah menjalani pendidikan di biara selama 13 tahun. Para bhiku senior itu menganggap Tashi sudah mampu melaksanakan tapa brata selama tiga tahun itu. Mereka datang untuk menjemput Tashi.
Di dalam gua itu, mula-mula para bhiku senior membelai mata Tashi yang terkatup. Lalu mereka membebat mata Tashi dengan kain hitam. Selama tiga tahun mata itu tak melihat cahaya apapun –dan harus ditutup lebih dahulu apabila membawa Tashi keluar – agar mata itu tak serta merta langsung bertubrukan dengan terang benderang suasana luar tapi menyesuaikan sedikit demi sedikit . Tashi masih keras seperti batu. Para bhiku senior itu dengan hati-hati kemudian mengangkat tubuh Tashi yang dalam posisi sila tetap diam bergeming. Para bhiku sepuh itu kemudian memanggul tubuh Tashi ke luar gua – dan membawanya bersama kuda.
Mereka mengarah ke sebuah sungai. Di tepi sungai itu mereka membaringkan tubuh Tashi. Dan sebuah prosesi dilakukan. Prosesi mengembalikan kesadaran bhiku Tashi. Para bhiku senior itu mulai dengan ritual memotong rambut,cambang dan kuku Tashi. Diperlihatkan betapa alotnya kuku-kuku, cambang dan rambut Tashi saat dipotong. Mantra didaras dan disenandungkan. Lonceng tangan dibunyikan. Mangkuk meditasi didentingkan untuk mengembalikan kesadaran Tashi. Sosok Tashi setelah dicukur kembali seperti saat ia menjadi bhiku. Gundul plontos. Kita melihat sangat kontras parasnya saat bercambang dan berambut menutupi badan dan setelah dicukur dikembalikan ke dalam penampilan bhikku.
Sebagai bhikku yang telah lulus tahap khenpo, Tashi dituntut menyebarkan dharma ke masyarakat. Dalam sebuah kunjungan resmi ke sebuah pertanian , ia terpikat dengan anak gadis petani. Ia mengalami mimpi basah. Ia mengalami kebimbangan. Mulailah ia mempertanyakan aturan-aturan biara yang sedemikian keras. Ia akhirnya secara drastis memutuskan meninggalkan biara dan kemudian menikah dengan anak petani yang bernama Pema itu. Dalam kehidupan rumah tangga dan petani biasa tapi Tashi kemudian juga terlibat affair. Perempuan yang memikatnya adalah: Sujata, seorang buruh migran yang bekerja paruh waktu di pertaniannya. Mereka melakukan persetubuhan yang indah. Film ini memperlihatkan kontras-kontras. Dari sosok Tashi yang mampu menjalani meditasi tingkat tinggi – bagai Sakyamuni tangguh menaklukan hasrat-hasrat dan tingkat-tingkat keakuan dalam dirinya – sehingga memahami hakekat an atta – ketanpa akuan dalam Budhisme sampai sosok Tashi yang kemudian terombang ambing dalam sensasi-sensasi erotisme yang manusiawi. Dengan pendekatan visual yang penuh mengeksplor suasana eksotik Ladakh – film tapi akhirnya menampilkan Tashi kembali memilih pulang ke biara. Menjalani kehidupan monastik seperti semula.
Sebagaimana Meteora, film Samsara ingin menyajikan mengenai seksualitas sebagai sesuatu yang fitrah. Sensasi-sensasi erotik yang muncul dalam diri manusia adalah sesuatu yang sangat human. Ia bisa meletup secara tak terduga. Tak terkecuali bagi para biarawan dan rahib (mungkin terutama pemula) yang tinggal mengucilkan diri dalam rumah-rumah kudus yang jauh dan terisolir dari kaum biasa.
3
Saya membeli souvenir itu 12 tahun lalu. Sebuah perjalanan ke Thessaloniki adalah awal dari souvenir Meteora tersebut. Thessaloniki dahulu adalah ibu kota Makedonia, didirikan 316 sebelum Masehi. Kota ini menjadi tempat kelahiran Alexander Agung. Sebuah patung Alexander berdiri di kawasan Nea Paralia dekat pantai. Nama Thessaloniki berasal dari nama adik perempuan Alexander. Di Yunani, kota terbesar kedua (setelah Athena) ini yang paling dekat dengan Bulgaria dan Beograd. Dulu Thessaloniki merupakan kota terbesar kedua setelah Konstantinopel (kini Istanbul, Turki). Ia adalah pusat seni Byzantium. Bekas-bekas lokasi kejayaan Byzantium sampai kini menjadi ikon kota.
Yunani bukan hanya negeri para Dewa. Ia juga sebuah imaji spiritual bagi Katolik Ortodoks. Rahib-rahib berjenggot tebal dengan jubah dan toga hitam tampak kerap lalu-lalang di kota-kota Yunani seperti Thessaloniki. Sejak berabad-abad lampau, kalangan Ortodoks memiliki kompleks ibadah yang sangat impresif. Sementara di Athena ada Akropolis—bangunan yang oleh penguasa Perikles lima ratus tahun sebelum Masehi ditahbiskan di atas tebing—kalangan Ortodoks memiliki warisan biara-biara yang didirikan di atas pelipir lembah, lereng gunung, atau punuk-punuk karang raksasa.
Saya ingat, 12 tahun lalu itu dari Athena, saya bersama seorang senior dan sahabat: TR naik kereta malam pukul 11 dan tiba di Thessaloniki pukul 5 pagi. Kota tersebut –saat itu tidak semetropolis Athena. Kota itu kalau tidak salah belum memiliki subway, hanya bus-bus tua untuk transportasi kota. Segera yang terlihat, di sekujur kota ini secara sporadis banyak terdapat gereja dan artefak batu bata merah bekas bangunan-bangunan Byzantium. Taruhlah di Jalan Egnatia, tempat hotel murah seharga —30 Euro an semalam saat itu — berderet-deret, sepanjangnya banyak terdapat kapel-kapel kuno warisan zaman Byzantium.
Thessaloniki adalah kota yang darinya juga surat-surat pernah ditulis oleh Rasul Paulus. Setelah melakukan perjalanan jauh dari daerah timur (seperti Suriah), kota pertama di Yunani yang ditapak Paulus adalah Thessaloniki. Paulus tiba pada tahun 49 Masehi—dan diperkirakan tinggal selama tiga minggu. Aktivitasnya mengundang gerah penguasa dan kaum Yahudi, beberapa pengikutnya mengalami siksaan, dan Paulus lolos dari kejaran dengan memanjat tembok Kota Thessaloniki. Lalu ia melanjutkan perjalanan. Sampai di Corinthus, sebuah kota di daerah Peloponnese, agaknya Paulus khawatir dan teringat terus pada umat Thessaloniki yang ditinggalkannya.
Ada dua surat yang selama ini dianggap ditulis Paulus untuk jemaat Thessaloniki. Sejumlah pakar Perjanjian Baru tapi meragukan surat itu benar-benar asli ditulis oleh Paulus melainkan ditulis oleh para murid Paulus atau paling tidak orang yang menganut teologi Paulus. Surat itu tergolong sebagai pseudopigraf yaitu surat yang dengan sengaja menggunakan nama Paulus sebagai penulisnya. Dua surat itu maka dari itu dikelompokkan sebagai surat-surat deutro Paulus.
Apapun – namun surat kuno itu memang ditujukan kepada umat Thessaloniki. Pada Surat 2 Tesalonika, misalnya. Surat itu ditulis untuk menenangkan kebingungan para umat Katolik di Thessaloniki berhadapan dengan para penganut Gnostik yang menyampaikan ajaran sesat mengenai kedatangan “hari Tuhan” atau paraousia. Dalam suratnya, Paulus mengharapkan agar jemaat tak perlu menanggapi hal demikian dan tetap melanjutkan kegiatan dan kewajiban sehari-hari sebagai orang Kristen. Ia mengingatkan jemaat agar tetap berpegang teguh pada “ajaran-ajaran” yang ia sampaikan sembari tetap menantikan hari ketika Yesus akan datang kembali. Paulus juga menyatakan bahwa sebelum “hari Tuhan” tiba akan ada tanda-tanda yang mendahuluinya. “Berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.,” tulis Paulus dalam suratnya.
Bersama TR, saat mencari makan malam – dan berkeliling melihat suasana kota, saya ingat iseng-iseng kami bertanya kepada supir taksi apakah masih ada di Thessaloniki sisa-sisa bangunan tembok – tempat Paulus dulu meloncat menghindari serbuan mereka yang menentangnya yang kisahnya kami baca di sebuah buku kecil pariwisata Thessaloniki. Supir itu menggeleng dan tertawa tak mengerti. Tentu saja tidak ada.
Selama sehari-dua hari kami berada di Thessaloniki. Setelah menghirup atmosfer gereja-gereja kuno—dan museum-museum, termasuk Museum Byzantium, sebuah museum besar yang menampilkan “harta karun” Byzantium di Thessaloniki—kami menuju sebuah tempat yang bisa melihat pemandangam gunung kecil suci bagi kaum Katolik ortodoks yaitu Gunung Athos. Dari Thessaloniki, pukul lima pagi, kami naik bus menuju ke Ouranoupoli di daerah Chalkidiki. Ini adalah kota kecil, tempat penyeberangan feri menuju pulau tempat Gunung Athos berdiri.
Sejak abad ke-7 Masehi, di kaki Gunung Athos telah berdiri kompleks biara yang disebut Biara Gunung Athos. Biara ini sejak abad 7 Masehi itu telah menarik minat rahib-rahib Serbia, Rusia, Rumania, Iberia, Georgia dan sekitarnya untuk berdatangan dan tinggal. Sampai sekarang kehidupan monastik masih bertahan di sana. Gunung Athos merupakan daerah otonom di Yunani. Bahkan kompleks biara Gunung Athos memiliki undang-undang sendiri dan dibebaskan dari pajak. Pendeknya, sebuah republik dalam republik. Keunikan lain, perempuan dilarang pergi ke sana. Binatang betina pun tidak boleh hidup di kompleks ini. Rohaniwan yang tinggal meneruskan kehidupan asketis padri-padri Byzantium. Tak makan daging, mereka hanya mengunyah roti, zaitun, sayuran, kacang-kacangan yang mereka tanam sendiri.
Para turis hanya diperkenankan melihat pulau tempat Gunung Athos dan biara dari ferry yang menyusuri pulau itu dari lautan, kecuali kalau turis itu bisa mendapatkan paspor khusus izin masuk dari Kementerian Makedonia-Thrace di Thessaloniki. Setelah mendapat paspor di Thessaloniki – itu pun masih perlu paspor dilengkapi dengan cap oleh perwakilan biara Athos di Ouranoupoli.. “Nanti oleh perwakilan Biara Gunung Athos kamu akan diberi selembar kertas sebagai paspor,” kata penjaga di Ouranoupoli . Tapi, kalaupun telah mendapatkannya, setiap hari hanya 15 orang yang diperbolehkan masuk, dan izin tinggal hanya sampai 4 hari. Pengunjung tanpa paspor khusus itu hanya bisa melihat kompleks biara melalui kapal feri kecil menyusuri sisi barat gunung.
Karena tak mengantongi paspor khusus itu, kami pun naik feri. Di Pelabuhan Ouranopolis tampak berjubel orang berdesakan di loket. Ternyata hari pas kami datang ada upacara besar. Umat Ortodoks laki-laki boleh masuk Gunung Athos tanpa paspor. “Ini 15 Agustus, hari Maria diangkat ke surga,” tutur mereka. Semua biara bersama-sama melakukan perayaan besar. Biasanya mereka merayakan sendiri-sendiri sesuai dengan hari santo pelindung masing-masing. Sayang, hari tanpa paspor hanya berlaku untuk pemeluk Gereja Ortodoks.
Tapi tamasya melihat pemandangan Gunung Athos dari kejauhan pun cukup menyenangkan. Camar-camar putih terbang rendah membuntuti feri yang kami tumpangi. Laut Aegean tampak tenang, biru. Satu jam meluncur, bayang-bayang sosoknya muncul. Makin dekat, makin dekat, tampaklah raganya. Inilah gunung yang dianggap suci oleh kalangan komunitas Katolik Ortodoks. Athos diambil dari nama raksasa dari Thracian dalam mitologi Yunani. Bertahun-tahun ia bertempur melawan Poseidon, si penguasa laut. Suatu kali Athos melemparinya dengan bongkahan batu besar, Poseidon mengelak dan balik menghantam, menguburnya di dasar gunung. Gunung itu lalu bernama Athos.
Kisah dari era pagan itu tapi bertambah cerita setelah Katolik menyebar. Di sinilah konon Maria pernah singgah. Di tengah perjalanan menuju Iberia untuk mewartakan wahyu, Malaikat Jibril membisikinya agar ia ke Gunung Athos di Makedonia. Begitu bunda agung itu menjejakkan kaki di tanah Athos, kuil Dewa Apollo yang berada di gunung langsung meletus keras, ambyar, berserakan ke mana-mana, membuat seluruh pemuja Apollo berlarian, mendekat dan menyambut Maria. Sejak itu Maria menjadi ratu gunung tersebut. Dan pagi itu sebuah feri menyusuri lekukan-lekukan peninsula….
Feri yang kami tumpangi penuh penumpang ibu-ibu tua. Mungkin ini kegiatan iseng sambil menunggu suaminya keluar dari Athos. Kami mendekat ke kaki Gunung Athos, sekitar 400 meter kompleks biara. Dengan memakai teropong akan terlihat lebih jelas sisi luar biara. Feri menyusuri 10 buah biara – yang hanya bisa dilihat dari teropong – dari Biara Dochiario, Xenofontos, sampai Agia Ania.
Salah satu produk yang banyak ditemukan di Gunung Athos adalah lukisan. Kita dapat melihat karya para rahib di galeri atau kios-kios di Ouranopolis. Setelah Byzantium takluk oleh Ottoman Turki 1453—banyak rahib Ortodoks pindah ke Athos. Di sana kemudian terjadi kebangkitan kembali kesenian Byzantium. Tiruan lukisan dan benda seni lainnya lalu menyebar ke penjuru Yunani sampai kini. Fresko atau suvenir religius di sudut-sudut turistik Athena atau Thessaloniki banyak mengambil model dari Gunung Athos ini. “Lihat, ini lukisan Panagia asli bercorak Makedonia,” kata Arosinos Stelios, seorang pemilik toko di Ouranoupoli. Ia menunjukkan fresko Maria tengah menggendong Kristus kecil dengan lingkaran-lingkaran mahkota.
Pulang dari Athos, kami akhirnya memutuskan menuju pegunungan karang Meteora – tempat saya akhirnya membeli souvenir itu. Meteora masih ada hubungannya dengan Biara Gunung Athos. Pada 1336, seorang rahib dari Athos bernama Athanasios membangun sebuah kapel di atas gunung karang setinggi 613 meter. Karena pemandangan alamnya begitu menakjubkan, karang-karang itu seolah menggantung antara bumi dan langit. Ia lalu menamakannya sebagai Meteora. Letak Meteora di Yunani tengah, lebih cepat ditempuh dari Thessaloniki dibanding Ouranopolis. Kota terdekat dari Meteora adalah Kalambaka. Untuk menuju kota ini dari Thessaloniki bus hanya sampai ke Kota Trikala. Lalu dari Trikala harus naik bus lagi ke Kalambaka.
Total perjalanan sampai ke Kalambaka kurang-lebih lima jam, melewati Gunung Olympus, gunung yang dalam mitologi menjadi tempat semayam para Dewa. Kalambaka, desa ini necis, dengan latar pemandangan yang menakjubkan. Di tiap-tiap sudut kafe, taverna, losmen-losmennya selalu ada julangan tinggi karang-karang raksasa. Hutan karang dengan dinding-dinding tebing hitam yang menggetarkan. Seorang penulis menyebut Meteora adalah salah satu lanskap alam paling spektakuler di dunia. Mungkin berlebihan, tapi memang hampir setiap sisinya kita seperti dilempar ke suasana yang aneh. “Kita seperti menuju ke alam baka,” tiba-tiba TR bergumam sendiri. Kalambaka bila dilafalkan dalam bahasa Indonesia memang terdengar seperti “ke alam baka”—itu memberikan sensasi tersendiri. “Dahulu semua tergenang air,” tutur Apostolis Karaganis, warga Kalambaka. Arkeolog memang memperkirakan, 60 ribu tahun lalu karang-karang ini terendam danau, lalu airnya surut mengalir ke Laut Aegean.
Dari kejauhan –mendekati Meteora – sudah terlihat secara fantastis kompleks-kompleks biara di pucuk-pucuk karang. Makin dekat terlihat di karang banyak celah yang dahulu dipakai untuk sel-sel tempat berdoa. Membayangkan bagaimana para rahib di era lampau memanjat puncak tebing, seperti burung membuat sarang, membuat kita bergidik. Ada 16 biara. Namun, yang sampai kini masih aktif dan bisa dikunjungi hanya 6, lainnya reruntuhan. Biara yang masih utuh adalah pertapaan The Great Meteora, St. Varlaam, Holy Trinity, St. Stephen the Protomartyr, St. Nicholas Anapafsas, dan Rousanou. Untuk masuk pengunjung dilarang mengenakan celana atau lengan pendek. Biara menyediakan kain untuk menutupi. Maklum, musim panas banyak turis dengan pakaian mini.
Sejak 1920 ada tangga melingkar menuju pucuk biara-biara. Sebelumnya, untuk mencapai biara, para rahib harus dikerek dengan jaring-jaring. Di biara St. Verlaam masih ada bekas kerekan itu. Di antara biara yang ada, Great Meteora yang terbesar. Biara ini yang dibangun oleh Athanasios. Saya menaiki ratusan anak tangga biara itu dengan napas agak terengah-engah. Begitu sampai di puncak, harus masuk ke sebuah lorong panjang. Baru setelah itu, sampai di pelbagai ruangan. Ada gereja penuh dengan fresko sampai ke atap-atapnya, ada katakomba, ruang bawah tanah yang berisi rak-rak penuh tengkorak dan tulang belulang. Itulah relik rahib yang pernah tinggal di situ, termasuk relik Athanasios.
Tak semua ruangan dapat dimasuki. Selain melihat gereja, kita dapat melongok dapur, juga sebuah ruangan yang penuh koleksi lukisan, ikon, fresko inskripsi, atau salib, jubah kuno yang dipakai untuk liturgi, serta manuskrip. Saya selain membeli souvenir itu sempat membeli sebuah buku berjudul What is Orthodoxy?, serta cakram padat Meteora Sacra yang berisi kor para rahib untuk Santo Athanasios dan Iosaph. Juga amulet—azimat, berbungkus kain kecil.
Lain lagi biara St. Stephen. Biara ini khusus para biarawati. Di atas ketinggian itu, ia penuh dengan taman-taman kecil yang rapi. Seperti Great Meteora, biara ini juga memamerkan aneka koleksinya, bedanya St. Stepehen menyediakan sulaman para biarawati. Setiap biara memiliki balkon dan teras agak luas. Dari situ panorama seluruh Kota Kalambaka atau lembah karang akan terlihat. Mendongak ke atas kita menyaksikan langit biru yang seolah hampir tersentuh karang. Karang-karang itu statis tak bergerak, seolah mengatakan buatan tangan Tuhan lebih menakjubkan dibanding buatan manusia mana pun. Di situ ada harmoni, tapi juga paradoks, kalem tapi juga ganas.
Terlihat pemilihan lokasi dan arsitek biara sengaja diperhitungkan menghadap sisi-sisi panoramik, sehingga siapa pun penghuninya mampu merenung diri sendiri. Bahkan untuk turis di masa kini pun masih berlaku. Menatap hutan karang dari ketinggian biara, siapa pun bisa berefleksi tentang kita yang nisbi. Manusia yang rapuh. Apalagi suasana wisatawan yang datang tidak seperti di Borobudur yang hiruk. Rata-rata mereka datang dengan khidmat.
Kesunyian memang punya tenaga. Kesunyian punya sejarah. Dan juga imajinasi. Dan di Meteora fantasi itu dibagi kepada siapa pun, kepada turis dari agama mana pun boleh mengulangi menatap panorama yang berabad-abad menggetarkan itu. Bila musim panas sudah sedemikian dahsyat, apalagi musim dingin tatkala gunung-gunung itu terbalut salju. Pemandangan karang akan begitu kontras: hitam putih. Sementara di dalam biara, para padri melakukan kor sembari mengalahkan hawa yang menggigil.
Dapat dibayangkan memang – tatkala musim dingin tiba, lingkungan biara tempat Theodoros dan Urania tinggal dalam flm Meteora itu akan makin penuh teka-teki.
*Penulis adalah seorang kerani biasa. Tinggal di Bekasi.