Wajah Budaya Indonesia di Swiss: Tarian dari Aceh sampai Papua
Oleh Sigit Susanto*
Winterthur, Sabtu, 20 September 2025, siang hari langit biru, matahari menyorot tajam. Barangkali ini akhir musim panas tahun ini di Swiss. Bagaimana dengan gedung beralamat di Heinrich-Bosshard-Strasse 2, sudah berbenah untuk menggelar pentas budaya Indonesia dengan tajuk Colourful Indonesia?
Sepanjang jalan masuk ke acara ini terlihat dua anak muda menancapkan bendera umbul-umbul ukuran kecil dan poster besar Colourful Indonesia. Aku berada di dekatnya, mereka berceloteh bahasa Jerman dialek Swiss. Tampak mobil-mobil menurunkan peralatan masak, asesoris seni, dan dekorasi.
Aku datang dengan Krisna Diantha. Beberapa bulan lalu aku sudah dihubungi ketua panitia, Joice Siahaan, sekiranya bisa mengisi acara yakni mendalang wayang kulit. Tawaran itu aku sanggupi dengan mengambil lakon Ramayana dalam bahasa Jerman.
Memasuki gedung pentas itu, cukup besar ruangannya. Di tengah ada panggung besar dan kursi-kursi untuk hadirin ditata melingkar di depannya. Di samping kiri ruangan tengah ada ruangan untuk pameran kain ulos dari Batak dan juga peragaan kebaya. Di samping kanan ruangan tengah ada ruangan serupa, nah di situ aku dan Krisna menyiapkan peralatan wayang kulit. Kursi dan bantal sudah disiapkan bagi penonton wayang. Termasuk lembaran kertas berisi sinopsis lakon Ramayana dalam bahasa Jerman dan Indonesia sudah tergeletak di tiap kursi dan bantal.
Joice datang menanyakan persiapan kami. Ia membawa satu tas berisi gantungan kunci dan pembatas buku berbentuk wayang kulit dari bahan kulit. Suvenir kecil itu nanti akan dibagikan bagi setiap penonton wayang. Dek, hebat juga idenya. Penonton wayang kulit akan pulang membawa wayang kulit mini, batinku.
Di belakang kursi penonton wayang kulit ada pelukis memanggil namaku, “Mas Sigit, ya? Aku temannya Helmi di Bali. Sebelum aku datang ke sini sudah diberitahu Helmi.”
Aku agak kaget. Dia bicara jarak jauh di saat aku mempersiapkan wayang. Akhirnya aku datangi. Ia bernama Necky Sodikin, pelukis asal Bandung tetapi sudah lama menetap di Ubud. Ia melakukan pameran lukisan keliling Eropa. Ia baru tadi malam tiba dari Praha dan besok pergi ke Salzburg, Austria. Di sudut ruangan itu berjejer banyak lukisan dari Yan Suryana, pelukis Bali yang istrinya orang Swiss ikut berjaga di situ.
Aku beralih keluar ruangan yang akan dipakai pentas seni. Di ruangan luar, masih dalam gedung, ada meja jualan bumbu-bumbu dari Pasar Indonesia. Chatarina pemilik dagangan itu bilang, “Mas, bukunya masih ditempatku.” Ia memang menjual bumbu Indonesia juga secara online dan pada suatu bazar di Thalwil, aku menitipkan buku-bukuku untuk dijualkan.
Di ruangan ini ada beberapa meja yang menjual asesoris, suvenir dan ada meja panitia menyediakan sandwich. Aku dapat dua kupon sandwich; untukku dan Pak Agung, sang juru kendang. Aku tukar kupon dan kupilih sandwich rasa alpokat. Hem, enak.
Kucoba keluar gedung dan di teras berderet meja menjual aneka kuliner, dari Bakso Malang, Makanan Padang sampai Gudeg.
Aku melihat kesibukan persiapan acara ini cukup semarak. Sudah kubayangkan, persiapannya saja seperti ini, apalagi nanti acara keseniannya? Ke mana mata memandang tertumbuk orang sedang menghias pakaian, kebaya, jarit, ikat kepala, kendang, gitar, orang mengangkat mesin kopi, memindahkan payung Bali, merapikan meja.
Kubayangkan seperti hajatan perkawinan dengan kerja gotong-royong yang akrab. Aku hampir lupa, ini di Swiss, lho!
Mendekati pukul 12.00, para tamu mulai berdatangan dan stand bazar kuliner mulai dikerubuti pembeli. Tepat pukul 14.00 pintu ruangan besar untuk pertunjukan ditutup. Hadirin bisa bebas, masih akan makan di luar atau menonton di dalam.
Pukul 14.00 musik batak bertalu di ruangan samping kiri, dimana ada pameran kain ulos dan kebaya. Hadirin bergeser menghadap ke arah kiri. tepuk tangan membuncah.
Mendekati pukul 15.00, MC (Master of Ceremony) mendatangiku dan mempersilakan aku memulai. Pak Agung berdiri di sebelahku dan aku cerita sedikit kepada para hadirin yang sudah duduk di kursi dan bantal. Kalau wayang kulit ini biasanya dimainkan semalam suntuk, tapi di sini aku hanya akan mendalang selama 20 menit. Mereka tertawa.
Musik gamelan palaran di CD mulai menggema, disusul kendang Pak Agung, mulailah aku dalang. Sambil mendalang aku amati hadirin di depan, rupanya tampak hening dan menyimak narasi dan dialogku dalam bahasa Jerman. Dari adegan ke adegan, ada yang nyengir kaget, mungkin karena Shinta ditanya Rama, “Apakah kamu sudah tidur dengan Rahwana?” Dan dijawab, “Tidak.” Rama minta bukti. Shinta menjawab, akan membakar diri, kalau tidak terbakar, artinya masih suci. Dialog semacam ini kulihat wajah-wajah hadirin yang blasteran atau remaja Swiss sedikit terbelalak. Mungkin mereka anggap aneh di era sekarang. Tapi ini epos klasik. Usai kisah Ramayana, memanen tepuk tangan.
Pukul 16.00 acara pertunjukan utama dimulai. Hadirin memenuhi kursi depan panggung besar. Duta besar RI untuk Swiss, Ngurah Swajaya dan istri hadir.
Panggung dengan setting kolosal. Ada layar lebar di sebelah kiri untuk tampilkan nama jenis tarian dan layar sebelah kanan menunjukkan pulau-pulau di nusantara, dimana tarian berasal.
Pertunjukan spektakuler dimulai dengan tarian Ratoh Jaroe dari Aceh. Muda-mudi berpakaian tradisional warna-warni itu dari PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Alsace, Stassbourg, Prancis. Mereka duduk memanjang, menghadap ke depan dan tangan-tangannya bergerak ritmis, telapak tangan saling bertepuk, diselingi gerak kepala naik turun, membungkuk. Mirip tarian kecak di Bali. Sungguh memesona siapa saja yang menonton. Tepuk tangan menyeruak dari hadirin.
Sepintas kita akan mengira itu tarian Saman. Agak berbeda. Tarian Ratoh Jaroe merupakan tarian kreasi tradisional dari pesisir dan Saman dari dataran tinggi Gayo.
Usai tarian dari Aceh, dua MC berbahasa Indonesia dan Jerman silih berganti mengumumkan susunan acara dan menyambut hangat kedatangan tamu.
Joice tampil dengan pakaian tradisional dan mengungkapkan terima kasihnya bisa mengemas budaya Indonesia yang kaya itu dalam kerja sama dengan banyak pihak.
Duta besar RI Ngurah Syajaya memberikan sambutan atas pesta kesenian nusantara ini.
Hiburan selanjutnya musik Batak oleh Rio Manik dan Tim. Musik dengan gitar dan kendang-kendang kecil ini cukup menuai tepuk tangan.
Pertunjukan di atas panggung besar bervariasi. Ada selingan peragaan pakaian adat daerah. Muncul perempuan dan laki berpakaian busana Batak oleh Emria, Alfonso dan Gerald. Busana Riau oleh Merlin, Sami dan Gaby. Peragaan busana Padang oleh Christopfer, Caroline Scheel. Peragaan busana Palembang oleh Vilona, Pascal dan Vitus.
Hadirin dibuat jelas, selain melihat warna dan design pakaian adat yang beda, di layar besar kiri ditampilkan peta dan nama kota dan pulau.
Peragaan usai, kini muncul tarian Merak dari Jawa Barat dimainkan oleh trio grup; Utami, Reya dan Vanessa.
Berlanjut peragaan pakaian busana Betawi oleh Tika dan Lucas. Busana Solo oleh Yonala dan Jeremy, busana Madura oleh Helen dan Andrew Hornstein.
Giliran atraksi yang ditunggu-tunggu mengusung banyak peralatan bambu, yakni Angklung Padasuka dari Zürich.
Alunan musik bambu kolosal ini dimainkan oleh campuran, orang Indonesia dan Swiss. Jika di Padasuka di Bandung hadirin bisa duduk di bangku bambu dan di bawah pohon bambu, memegang angklung dari bambu. Di sini paling tidak sepotong musik Sunda itu ikut memeriahkan acara.
Tarian berikutnya dua penari Bali Kadek Puspita dan Putu menarikan tari Oleg Tambulilingan. Tarian Bali tentu sangat populer terutama bagi turis-turis Swiss, ketika mereka berlibur ke Bali. Tapi tarian Bali di sini benar-benar di depan mata, tak perlu jauh-jauh terbang ke Bali.
Dari Bali melompat ke Borneo, Putri Ardhana, penari asal Malang ini menarikan tari Burung Enggang. Awalnya muncul banyak penari muda berdiri memanjang dari depan ke belakang. Setelah beberapa saat, penari-penari itu meninggalkan panggung, hanya Putri sendirian. Rupanya penari-penari muda tadi murid tarinya. Putri dikenal sebagai guru tari dan bahasa Indonesia. Burung hitam dengan parau kuning sebagai simbol perdamaian muncul di layar besar sebelah kiri, sementara tarian Dayak itu masih bergerak dinamis.
Dari Borneo bersambung ke peragaan busana Manado oleh Jade dan Heral. Tulisan kota Manado mencolok di layar bersama pulau Sulawesi. Masih di pulau Sulawesi, dari Manado bergeser ke Toraja, peragaan busana Toraja. Tak lupa ada peragaan busana Bugis oleh Indah Fattah dan Michael Rieser.
Dua tarian terakhir, disusul tari Malluya dari Sulawesi Barat oleh Indah Fattah dan Tim.
Sebagai penutup dan aku anggap paling menyeruak tepuk tangan adalah tarian dari Papua, Tari Yamko Rambe Yamko. Tarian ini selain dinamis, juga pakaiannya dengan rumbai bagaikan rok. Sepertinya mereka blasteran Swiss-Indonesia yang masih muda.
Lagu tanah airku masih menyusul dan berlanjut dengan tarian nusantara.
Semua penari dari berbagai daerah dengan aneka warna dan design naik ke panggung dan saling bergandengan bernyanyi. Disusul bendera merah putih panjang dibentangkan, juga bendera merah putih kecil dipegang banyak orang, termasuk dibagikan kepada hadirin.
Secara umum atraksi budaya nusantara ini sangat berhasil. Penataan panggung, lokasi peragaan dan bazar sangat artistik. Acara ini diselenggarakan oleh Perki Swiss (Persekutuan Kristen Indonesia) di Swiss. Kerja sama dengan KBRI Swiss, Marni Wellness Beauty Erlenbach ZH & Ubud Bali, Verein Noah Winterthur, Ombak, Bali Massage, dan Pasar Indonesia.
Aku berlenggang ke stand kebaya di sebelah kiri menemui Christiana Streiff, ketua PBI (Perempuan Berkebaya Indonesia) di Eropa. Ia menuturkan merasa bergembira, kebaya Indonesia sudah diakui Unesco sebagai warisan budaya tak benda dunia pada 4 Desember 2024 di Asuncion, Paraguay. Bagus, jika kebaya sering dipentaskan pada event-event budaya Indonesia seperti ini. Komunitas kebaya tradisional Indonesia sudah ada di lebih dari 22 negara.
Merasa lapar, aku mencari makanan di arena bazar kuliner. Sedianya aku ingin mencoba Bakso Malang, karena penjualnya sedang pergi, aku beli gudeg di meja sebelahnya. Kebetulan yang menjual gudeg Dhani, sudah kukenal. Sepintas para penjual tampak bersahaja dan menikmati jualannya.
Usai makan aku masih berjalan-jalan melihat kerumunan yang semakin pudar. Ada beberapa teman Indonesia yang aku kenal dan saling menyapa. Tentu sebagian besar tak kenal dan aku rasakan makin banyak warga Indonesia yang muda datang ke Swiss. Aku termasuk angkatan lama, ya sudah 29 tahun di sini. Meskipun aku juga bertemu Mas Bram Santoso yang sudah 45 tahun menetap di Swiss. Ia datang bersama istrinya untuk menonton wayang kulit. Sayang, wayang kulitnya tak memakai layar seperti di Indonesia.
Beberapa teman Indonesia yang kebetulan nonton wayang kulit tadi, katanya senang nonton wayang kulit yang antik dan langka. Ada orang Swiss yang mengaku punya patung Rama Shinta di rumahnya, jadi lakon Ramayana cocok, apalagi dalam bahasa Jerman, mudah dipahami isi ceritanya.
Sore memayung, walau langit masih terang, kami undur diri dengan sejuta kenangan Indonesia yang jauh itu, kini menjadi dekat kembali. Sampai jumpa.
——-
*Sigit Susanto, tinggal di Zug, Switzerland sejak tahun 1996.