Tubuh, Bahasa, Bintang-Bintang Dan Hutan
Oleh Fitri Setyaningsih
Kolaborasi tubuh penari dengan obyek-obyek yang digunakan sebagai tubuh baru, memunculkan gelembung-gelembung imaji tidak terduga: benang, balok-balok es, lampu-lampu neon, kostum dari kawat yang membuat tubuh antar penari bisa terjebak dalam lilitan kawat, sensor suara. Namun mulai muncul pertanyaan, bimbang, galau, pusing: semua ini akan kemana dan akan berhenti di mana?
Suatu hari saya membaca cerpen “Bintang Hening” karya Primo Levi (terjemahan Ann Goldstein, The New Yorker edisi 12 Feruari 2007), di harian Suara Merdeka. Cerpen ini mempersoalkan hubungan antara tubuh, bahasa dan bintang-bintang. Saya mulai tertarik dengan langit dan bintang-bintang. Benda-benda langit yang setiap saat membuat koreografi dalam keheningan semesta.
Hibah seni yang kami terima dari Yayasan Kelola, membuat saya punya kesempatan mengenali tradisi astronomi dari lingkungan budaya Mandar di Sulawesi. Sebuah kesempatan untuk saya mengenali tradisi lain di luar Jawa. Mandar memiliki kosmologi yang saling terkait antara laut, bintang-bintang, rumah dan tubuh manusia. Kaitan ini menjadi skala untuk mereka membuat perahu, rumah, dan keamanan dalam bekerja maupun melakukan perjalanan.
Untuk karya “Bintang Hening” (2011), saya kembali membutuhkan tubuh-penari profesional, karena saya membutuhkan fokus yang spesifik pada tubuh. Sementara kerja saya lebih banyak melakukan kerja koreografi atas skala daripada gerak. Skala jarak antar tubuh penari, skala gerak (volume) maupun skala perpindahan posisi penari. Kerja skala yang menimalis ini dilakukan hingga pada detil gerak bulu mata penari. Pilihan atas obyek-obyek kecil, seperti bulu mata, merupakan usaha untuk membawa penonton memasuki kerja koreografi saya berdasarkan skala.
Foto karya Bintang Hening
Pendekatan ini membuat penari bekerja lebih keras, karena seolah-olah mereka menari di dalam, bukan di luar. Seolah-olah dalam tubuh mereka juga ada galaksi yang hidup. Saya merasa kerja ini memunculkan bahasa lain antara tubuh, gerak dan ruang. Semuanya bekerja seolah-olah untuk membuat bangunan di dalam, seperti bangunan di dalam bangunan. “Bintang Hening” sempat punya gema di Eropa, melakukan touring festivall di 4 kota Belanda dan 1 kota di Belgia. Perjalanan yang berhasil menjatuhkan meteor-meteor metafor….
Setelah “Bintang Hening” saya masih mondar-mandir dengan berbagai tubuh lintas disiplin yang saya libatkan. Melanjutkan lagi bekerja dengan tubuh penari profesional. Kerja ini lebih banyak membatalkan teknik-teknik tari yang mereka miliki, agar saya bisa lebih fokus hanya pada tubuh mereka yang sudah jadi sebagai penari. Membangun imaji-imaji dari teks atau bayangan, gambaran yang kabur untuk dieksplorasi. Karya yang juga menghadirkan kelinci-kelinci putih yang imut-imut bersama dengan batu es yang berjatuhan dari kostum para penari.
Dalam karya “Mega Mendung” saya mencoba mengejar bayangan puitik antara tubuh penari, tubuh besi dari instalasi yang digunakan dan tata cahaya yang spesifik. Kerja yang beresiko terjadinya tabrakan, kesibukan antara yang dibangun, ditinggalkan, dihilangkan, dibuang, dikemas, diopeni, selesai.
Foto karya Mega Mendung
“Mega Mendung” terinspirasi oleh batik Mega Mendung Cirebon yang teknik dan warnanya mengingatkan saya pada Wayang Beber. Karya ini juga membawa imajii-imaji masa kanak-kanak saya, kesedihan kematian kuda yang saya sayangi. Saya ingin mengejarr imaji masalalu jadi ruang memori yang puitik melalui mainan kuda-kudaan yang terbuat dari kayu. “Mega Mendung” bisa seperti hubungan seni dan ketuhanan. Ada vertikal dan horisontal. Ada leveling, gradasi seperti pada batik mega mendung di Cirebon, filosfinya pada tingkatan hidup manusia (lahir-mati) selalu tumbuh. Kalau di Lasem filosofi ini tidak ditemukan pada motif batiknya, tetapi di bagian-bagian atap rumah, arsitekturnya. Kerja koreografi soal leveling tubuh, gradasi cahaya, termasuk setting yang diberi kerekan seperti tangga naik turun.
Tahun 2013 Saya diundang Arizona State University untuk mengajar dan membuat karya bersama beberapa murid di sana. Ini kota yang sangat panas, mau kemana-mana jauh. Saya merekontruksi karya lama “Pidato Bunga-bunga”, karena banyak melihat di sana setiap rumah atau terasnya memajang bunga-bunga plastik sebagai pajangannya. Satu lagi karya stagen. Menarik untuk melibatkan bagian kostum tari jawa yang dipakai di bagian dalam supaya lebih singset juga dipakai setelah perempuan melahirkan, agar perut kenceng kembali. Cara mereka bermain/mengeksplorasi stagen menarik. Saya melihat mereka seperti membuat ornamen atau hiasan atau craft dari stagen yang panjang sekitar 7-9 meter itu. Setiap penari saya coba kasih satu orang satu stagen. Muncul banyak image. Tetapi image yang dibangun lewat tubuhnya bukan image yang dipermainkan atau dikuasai teknik menarinya.
Satu karya lagi merekontruksi karya “Daging Dari Dataran Tinggi”, kebetulan negara itu berdekatan dengan Meksiko. Banyak julangan-julangan lembah atau dataran-dataran mirip batu yang tinggi dan besar, dinamakan plateau atau meja besar. Saya menggigit daging di atas aluminium foil berukuran besar yang cukup untuk membungkus tubuh/daging saya.
Tahun 2014 saya melakukan perjalanan ke kawah Ijen, melanjutkan riset saya tentang tubuh gunung. Tubuh saya dipertemukan oleh alam bersama tubuh mitos, tentang perempuan berleher merah. Di bagian gunung sebelahkanan baru saja terjadi kebakaran hutan yang cukup luas. Padahal masih musim hujan saat itu. Lalu saya membuat karya solo dengan judul “Nafas gunung/perempuan berleher merah” dengan setting seperti kolam/kawah yang saya bingkai dengan carang-carang pohon kering. Ijen adalah gunung dengan kawah belerang. Setiap hari masih berlangsung penambangan belerang. Apakah ada hubungannya dengan perempuan berleher merah dan nafas para penambangnya? Banyak penambang belerang tidak sampai berumur panjang. Memang pendakian dan turunan medan yang berat, membuat mereka hanya mampu membawa beban di pundaknya berapa kilo gram saja. Rata-rata mereka kena penyakit di bagian ginjalnya yang rusak.
Foto karya Nafas Gunung / Perempuan Berleher Merah
Kerja lainnya bertemu dengan tubuh penari yang punya kebiasaan dan disiplin yang berbeda, ketika Choreolab Frankfurt mengundang dan mempertemukan saya dengan Nicola Mascia dengan tubuh disiplin balet juga kontempor yang dibawanya. Saya memulai kerja bukan dari ide eksplorasi yang jatuhnya akan ke teknik menari lagi. Saya menghindari ini. Tapi dari ingatan perjumpaan dengannya di sebuah forum di Berlin 2010/2011. Ketika proses bersama Nicola terjadi, saya membawa tubuhnya ke pabrik gula di Madukismo, yang kebetulan pabrik gula ini buatan Jerman. Saya membawanya ke laut, karena itu tempat tubuh datang dan pergi (transportasi). Saya juga membawa tubuhnya ke Candi, gambaran-gambaran tentang sejarah, sejarah yang rasanya saya tidak berhasil membauinya. Saya membawa tubuhnya ke gunung supaya menepi dan sepi yang agung. Dari situ saya membuat kostum dari daur ulang kulit pohon yang saya susun seperti kain besar, dan saya rajut cerita-cerita perjumpaan tubuh (semacam instalasi kostum).
Di pabrik gula Madukismo
Tahun 2015, di bagian lain kerja Choreolab, saya melakukan perjalanan ke Antwerp. Di sana saya diminta mengadaptasi kembali karya “Aku hampir plastik dan kepala handuk” dengan interpretasi murid di sana yang sudah selesai kuliah. Kami mendapatkan tempat pentas di ruang outdoor. Di kolam kering yang bersebelahan dengan kolam air. Ada pilar-pilar bangunan tingginya. Pertunjukan ini berlangsung di musim dingin, dan kami tetap melangsungkan pertunjukan di ruang basah bersama para penonton di jembatan yang lebih tinggi dari kami. Mungkin mereka melihat kami seperti ikan-ikan yang keluar masuk kolam. Kolam kering dan kolam basah.
Foto karya Aku Hampir Plastik
Untuk Biennalle Yogja dan IDF (2015/2016) saya berkolaborasi dengan Punkasila. Tubuh performer dihadapkan dengan tubuh mesin politik yang tercecer di sepanjang jalan, kekerasan tidak pernah selesai. Pertunjukan oudoor ini menggunakan beberapa instalasi kendaraan besi yang bergerak seperti teror, bagian dari sub-kultur urban yang keras.
Kerja tubuh yang masih dalam rencana dan hingga kini tidak terjadi, adalah “Kuda Hitam di Pintu Pagar”. Karya ini mempertemukan tubuh pantomim dengan tubuh penari keraton. Bagian dari karya yang stag ini, yaitu “Yang Hitam”, sempat dipertunjukan dalam BWCF 2019. Awalnya saya dan mbah Suprapto diminta berkolaborasi. Karena konsep artistik BWCF seperti mandala atau lingkaran-lingkaran, maka kerja koreografi saya adalah membuat grafis tumbuh lewat perjalanan tubuh. Di hari H mendadak karya saya dan dua karya peserta lainnya tidak bisa masuk dalam keutuhan artistik yang sudah di-share dan didialogkan berbulan-bulan lamanya. Mendadak karya saya, karya Rahman Sabur, karya seniman Magelang dipindah ke kolam. Kolam ikan sapu-sapu kayaknya.
Saya bertengkar dengan diri saya seharian. Kalau saya tetap memilih kolam jatuhnya ya jadi mengitari kolam, terus masuk ke air, mungkin bermain air. Aih semua rusak image yang sudah kami kerjakan. Sampai malam masih di area itu. Otak saya mentok kegetok arca. Pulang hotel tidak bisa tidur. Balik ke area kolam itu air sudah banyak yang muncrat-muncrat, karena dua karya peserta lain yang pentas di area kolam ini sedang berlatih. Aduh, semua kostum berwarna hitam, semakin membuat gambaran ikan sapu-sapu atau ikan lele melekat ke otak saya. Pagi itu saya menjauhi kolam jalan sedikit ke kanan. Saya melihat bangunan yang sedang dalam pengerjaan. Lalu saya memutuskan untuk pentas dibangunan yang belum jadi itu. Di bawahnya masih banyak paku. Mata saya segera membereskannya. Karena tidak ada ansuransi penari saya, menjaga para penari kakinya tidak terkena paku atau kecelakaan lain. Segera memasang lampu dari bawah pilar dan dari atas bangunan lain. Sore itu menjadi syahdu. Tetapi rasanya nggak selesai, masih menggoda untuk mengolahnya kembali. Entah kapan.
Tahun 2020 saya diundang BWCF kembali untuk program online, karena pandemi. Saya membuat kerja tari dalam ke dalam medium video, berjudul “Kinjeng Tangis”. Saya memilih tubuh hutan jati yang meranggas pohonnya di musim panas, tidak mudah juga membawa tubuh penari hadir di dalam hutan, terjadi luka pada telapak kaki mereka. Di sini mata kaki sangat penting sebagai poros bergerak. Kehadirannya bagian dari energi alam (hutan jati). Untuk karya ini saya juga merasa belum selesai, ingin membuat karya ini menjadi pertunjukan yang nyata di mana mata penonton dan segenap inderanya bisa mengikuti pertunjukan dalam ruang bersama. Karya “Kinjeng Tangis” seperti pertemuan antara seni dan Alam, mahluk tumbuh yang tampak maupun tak nampak, yang berwujud maupun tak berbentuk.
Di awal tahun 2021 ini saya ingin bekerja dengan orang-orang medis dan paranormal tentang apa itu “tindihan” atau dalam bahasa ilmiahnya “sleep paralysis“. Saya ingin mengumpulkan cerita-cerita soal tindihan, hubungannya dengan hal ghaib, hantu, jin juga kaitannya dengan dunia medis. Hasil dari cerita bisa dalam bentuk buku, dan menjadi materi workshop untuk para penari kemudian, pertunjukan maupun video tari.
Tahun 2018 untuk saya sangat luar biasa. Saya hamil, dan baru pertama kali punya pengalaman tubuh berbadan dua. Saya hamil pada usia 40 tahun. Ada yang berdenyut di dalam diri saya, ada yang bergerak semakin tumbuh. Seminggu sebelum anak saya lahir, saya membuat pertunjukan berjudul “Two Bodies”. Dalam pertunjukan ini saya hanya menyanyi tentang sesuatu tubuh yang tumbuh, saya berganti baju, menyalakan lampu, meminum susu, bergerak seperti pemanasan persiapan kelahiran, bersama ibu-ibu dan anak-anak yang membagi permen ke penonton.
Masa menemani pertumbuhan dan perkembangan anak, membuat saya seperti melakukan pusat tirakat. Tubuh saya tidak ke mana-mana, yang biasanya tubuh selalu menjadi kendaraan utama saya untuk berjalan dari kota ke kota lain, dari satu tempat ke tempat lain. Tubuh yang selalu bergerak, berjalan, bahkan melompat ke mana-mana. Dalam momen kehadiran seorang putri, anak saya, tubuh saya terbatas dalam ruang yang bernama rumah, dari posisi sini-situ ini-itu, itu-itu saja. Membosankan tapi ada baiknya. Saya puasa menahan diri sebelum dan masa Corona ini. Ada hikmahnya. Saya pun tidak tertarik mengikuti perkembangan digital yang melesat, saya kurang tertarik acara-acara online. Saya juga tidak mencoba membagi kegiatan sehari-hari yang sangat mudah sekali direkam lewat video/hp, di mana saja bergerak langsung upload. Saya lebih menjalani kehidupan sehari-hari apa adanya dengan rasa narimo (menerima). Sulit memang, tapi ini baik untuk puasa saya, untuk menghasilkan kerja-kerja tubuh tari saya yang lebih jujur dan dalam.***
*Penulis adalah seorang Koreografer