Hari Tari Dunia: Menguji Produk ISBI Papua
Oleh Darlane Litaay
Seperti lazimnya, pembukaan oleh pimpinan lembaga, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua, Dr I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Si, berdiri di hadapan kamera yang ready untuk live streaming melalui platform YouTube – akun ISBI Tanah Papua. Setelah tifa dibunyikan, terdengar sahut-sahutan vokal antar mahasiswa, dipicu oleh Surya Peradantha, ketua Jurusan Seni Pertunjukan. Moment itu pun menandakan acara dimulai, walau telat 30 menit karena terkendala mempersiapkan teknis equipments untuk siaran langsung. Technical problems ini tentu mengkhawatirkan karena menggeser jadwal pementasan, berujung pada redupnya pencahayaan untuk kebutuhuan shuting pada sesi sore hari di outdoor. Lampu tidak dipersiapkan karena timeline yang telah tersusun diprediksi harus berakhir pada jadwal diskusi sebelum matahari terbenam.
“Covid VS Tari” adalah tema perayaan Hari Tari Sedunia yang diusung. Bukan pertarungan antara Virus Covid melawan Tari, melainkan gagasan mengaktualisasikan isu tari ke ruang sosial-lokal, ditengah masa pandemik yang serba terbatas. Perayaan sederhana itu dirancang model hybrid: virtual dan langsung, diselenggarakan oleh Program Studi Seni Tari ISBI Tanah Papua, yang notabene aktivitas institusi plat merah ini masih menumpang pada fasilitas bangunan milik Taman Budaya Provinsi Papua. Di Waena, letak kampus seni ini menjadi “tak berpagar”, karena berbaur dengan aktivitas kehidupan masyarakat yang menghuni anjungan-anjungan daerah. Kompleks Ekspo adalah “miniatur papua”, terdiri dari anjungan yang konstruksinya merepresentasikan kebudayaan daerah, kota dan kabupaten dari berbagai wilayah di Tanah Papua. Namun fungsi formalnya tampak berubah. Pergeseran organik ini membuka ruang gerak yang lebih luas kepada berbagai khalayak untuk beraktifitas lebih fleksibel. Ada penyelenggaraan ibadah minggu, kegiatan kompetisi olahraga antar komunitas, latihan sanggar seni, kegiatan budaya, demonstrasi politik, dan tentunya tempat tongkrongan mahasiswa/i. Keterbukaan ruang ini dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat dalam konteks penonoton. Terlihat anak-anak, mama-mama, citavitas akademik, dan masyarakat sekitar lingkungan kampus. Mereka dapat menyaksikan secara langsung seni pertunjukan kreasi dan kontemporer, karya mahasiswa. Untuk akses yang lebih global, penayangan disiarkan lewat kanal YouTube, termasuk pemutaran video karya para sahabat-sahabat tari yang dikirimkan ke panitia.
Merujuk data rundown, venues pertunjukan live terletak di dua titik. Outdoor di lobi kantor dan lapangan parkir untuk penyajian karya-karya mata kuliah yang tidak rumit terkait kebutuhan teknis. Sementara di dalam ruang kuliah, indoor, studio tari menjadi pilihan untuk presentasi karya kelas dengan requirements khusus. Kronologi acara berjalan tanpa terputus secara seri, artinya penonton dapat menyaksikan semua karya beruntun dari dalam ruangan, ke luar, kembali lagi ke dalam. Dua koreografer muda, Frans dan Fachri, calon sarjana seni yang menunggu waktu diwisuda, ditodong menjadi MC dadakan bertugas memandu penonton keluar – masuk ruangan sesuai itinerary. Mereka mengajak pengunjung agar ikut bergerak bersama, ke sana – ke mari, ke sini – ke situ, tidak sekedar berulang-ulang, seolah ada repetisi, sebuah filosofis tradisi seperti ekspresi koreografi tari-tarian tradisional dan kerakyatan di papua. Komposisi pola pengulangan, roundtrip yang sederhana dilakukan secara komunal, perlahan tapi menuju satu peristiwa perjalanan waktu. Saya lalu teringat koreografer Ohad Naharin dalam sebuah wawancara mengatakan “repitition is take to somewhere”.
Dramaturgi pola lantai penonton sengaja dikoreografikan agar termobilisasi secara bersaman melibatkan seniman, masyarakat sipil, dan negara dalam bungkusan event World Dance Day di Jayapura. Karya-karya video tari diputarkan pada saat transisi pengunjung berjalan dari indoor ke outdoor, dan sebaliknya. Secara kesinambungan keseluruhan karya bisa diakses via layar kaca di link: https://m.youtube.com/watch?v=nPqZVFa6PTY. Penonton yang berada di lokasi saat itu dapat menyaksikan karya-karya video tersebut via monitor yang terproyeksikan pada layar putih, terletak di antara kedua venues. Masing-masing video karya dari Booggie, Fachri Matlawa, Ilham Murda, Frans Juniar, Rianto dan Peni, memiliki text dan konteks artistik yang berlainan, digarap dan direkam pada waktu dan ruang yang berbeda. Karya mereka jika diamati dari materi visual, sarat dengan tema natural, eksistensi tubuh manusia dan elemen alam menjadi kesatuan. Entah ini sebuah momentum yang menandakan keterhubungan tubuh tari dan alam yang sadar atau tidak, telah terserahkan dan didepositkan ke dalam algoritma digital? Di menit yang lain, ada juga materi video seruan “dukungan”. Hanya bermodalkan hubungan baik antar pekerja seni, Elis Rumbiak, penari muda yang mulai sibuk pentas berkeliling dunia berhasil mendapatkan video “ucapan selamat” dari sutradara Garin Nugroho, koreografer dan penari Otniel Tasman, penari internasional Rianto, dan penari Booggie. Tak lupa tuan rumah, Koordinator Prodi, Ketua Jurusan, Wakil Rektor, dan Rektor ISBI Tanah Papua ikut memberikan apresiasi kepada dunia tari yang sedang bergerak dalam diam.
Karya mahasiswa/i dan Ujian
Begitu tinggi antusias penonton ingin masuk ke dalam gedung pertunjukan (tentu dengan protokol kesehatan), sayangnya kapasitas ruang yang terbatas, sirkulasi udara tertutup dan agak pengap mungkin akibat pendingin ruangan yang belum berfungsi kurang optimal. Terinstal beberapa topeng berwarna dominan hitam sebagai set property, digantungkan, saling terhubung dengan tali elastis. Penari berambut kribo muncul di antara backdrop, tubuhnya dicat hitam dengan variasi beberapa ornamen putih sebagai body painting. Michael Pombay menari dengan topeng, properti pilihannya untuk kelas Koreografi III – yang dikonsentrasikan pada eksplorasi properti. Nuansa yang dibangun adalah Asmat – asal daerahnya, nampak pada koreografinya, gerakan kedua lutut terbuka dan tertutup, ciri khas gerakan tungkai tari-tarian Asmat. Ritme gerakan dan iringan sangat dinamis, diwarnai suara vokal yang direkam dan diedit dalam format midi. Mahasiswa ini sedang mengeksplorasi beberapa topeng berganti-gantian, objek-objek itu hampir mirip karakternya jika dilihat dari kejauhan. Tentu tidak adil, bahkan terlalu dini jika mencoba melihat karya ini dengan teropong memori dari beberapa ekspresi karya seni “mapan” yang pernah saya lihat, walau terkagum, tapi pertanyaan receh dengan motif “the next syndrome” pun muncul di kepala saya. Apakah karya seni yang menggunakan satu objek yang diperbanyak berkaitan dengan “permintaan pasar”? Tentunya si seniman memiliki tujuan artistik tertentu, tapi bukankah pilihan itu memboroskan komponen produksi untuk material? Apa manfaat objek tersebut setelah karya selesai dipertunjukan/dipamerkan? Jawaban yang simple: Tentu itu urusan mereka (seniman-kurator-buyers-dkk). Berbicara konteks produksi material/objek dalam sebuah karya seni, akan berbeda jika bekaca pada pilihan material karya “Comedian” oleh seniman Italia Maurizio Cattelan, atau fenomena material organik berjudul “Apple” karya Yoko Ono. Kedua karya itu diulas oleh Graham Bowley di halaman The New York Times. Kembali ke Michael, mendapat apresiasi yang riuh dari pemirsa setelah lima menit pentasnya berlangsung, ia lalu diajak “foto-foto” oleh para penggemar. Ia tidak segera membersihkan cat hitam untuk persiapan ujian kelas Tari Nusantara. Alhasil direpertoar kesekian, ia tetap ujian tari Rantak dengan berpakaian tradisi minang dan kulit terbalut body painting, kombinasi yang menarik. Penonton kemudian diajak keluar ruangan untuk menyaksika menyaksikan pertunjukan selanjutnya. Sementara dalam ruangan segera disiapkan untuk karya selanjutnya.
Di lobi, Elsy menyambut dengan kegenitan tubuhnya diiringi lagu Waka Waka – Shakira, Tsamina-mina eh eh Waka waka eh eh, menjadi sore yang semarak. Dalam proses presentasi dikelas Koreografi I, mahasiswi ini mengaplikasikan teori komposisi gerak dan desain tubuh dalam pose dan gestur yang sangat jelas, ternyata presentasi ujian koreografi Elsy menjadi jauh beterbangan. Terkenal istilah “latihan lain, main lain”, berlaku juga untuk karya tari dari Elis Rumbiak dikelas Koreografi III, walau tetap memilih kain sebagai properti utamanya. Perubahan dadakan sangatlah lumrah dalam proses berkarya, tapi bisa menjadi “boomerang” bagi mahasiswa jika diaplikasikan dalam konteks kelas-ujian dikampus. Nomor selanjutnya adalah tarian Rantak, repertoar ini disajikan hanya tiga menit pertama, suasana menjadi “berbumbu” saat Elis muncul dengan kostum lengkap ala minang, ia menarikan tarian padang rasa hip-hop – yang terbawa bersama memori tubuhnya. Masih ujian Koreografi, Arlan tampil dengan tubuh nge-beat, hip-hop.
Tour dilanjutkan, MC lalu mengajak penonton kembali ke indoor. Layar kain merah terpasang mengelilingi tiga sisi kotak yang ditaruh di tengah ruangan. Warna merah bermakna keramat bagi suku Buton, menurut latar belakang keluarga ayah Zainal, mahasiswa yang ujian. Arsitektur persegi yang didesain merepresentasikan rumah gubuk berisi benda-benda peninggalan zaman dulu. Di sisi depan, layar merah menjadi “kelir” untuk proyeksi bayangan antara gerak tubuh seorang penari dengan bayangan sendal yang tergantung. Keluar dari “gubuk” itu, Zainal Basri berani meruang dengan koreografinya, usaha eksplorasi pencarian geraknya terlihat cukup signifikan, ia menari dan menantang tubuhnya.
Ujian kelas lainnya terus berkesinambungan dari indoor ke outoor. Ilham Murda – Koordinator Prodi Tari berinisiatif sebagai operator musik di balik meja mixer sound system. Di lapangan parkiran, Natalia Ibo – seorang mahasiswi menikmati gerakannya, kepenarian perempuan ini berbakat menjadi penari yang “kuat”, begitu pun dengan potensi Besty dan Brilyan, mereka ujian mata kuliah Koreografi I. Pada proses awal, pencarian jati diri lewat menari dapat teridentifikasi dari sikap-sikap tubuh seseorang ketika menarikan tubuhnya agar “menjadi mantap, bergestur, dan bernyawa”. Fase itu akan bisa ditempuh dengan intensitas training tubuh yang rutin, disiplin diri yang ketat, dan diimbangi dengan attitude yang bertanggung jawab. Bisa dimulai saat masih hijau.
Tarian Kelompok dan Bintang Tamu
Lagu Pangkur Sagu mengiringi tarian Pangkur Sagu sebagai materi kelas Praktek Tari. Ditarikan secara kelompok dengan kostum rumbai-rumbai, baju hitam dan gerak-gerak energik, senyum kaku mahasiswa/i sedikit mencairkan suasana. Kelompok lainnya yang hadir untuk mengisi acara adalah tim tentara dari Pos Kotis Skow Satgas Pamtas Yoif 131/ Braja Sakti. Bunyi Talempong Pupuik Sarunai Minangkabau tiba-tiba menyedot atensi penonton. Penghuni sekitar terpaku pada tubuh-tubuh sigap prajurit muda yang membuka dengan Langkah Silat Randai. Sebagai bintang tamu, tubuh mereka berusaha menyatu dengan musik minang, celana galembong ditepuk dengan tegas, para aparat menarikan tari piring dengan rancak. Dramatik pertunjukan tarian Minangkabau ini mestinya diakhiri dengan memecahkan properti piring sebagai adegan klimaks. Tapi, berhubung alasan keselamatan untuk penampil selanjutnya, piring-piring tersebut tidak jadi dipecahkan.
Sesi sore diakhiri dengan tari Seka, para penari-mahasiswa/i yang ujian mengajak masyarakat, kolega, pegawai dan pejabat kampus, penonton, tentara untuk menari bersama. Koreografi ringan, monoton, pengulangan, dan rancak merajut lapisan keberagaman menjadi kesatuan perayaan hingga senja meredup.
Bicara-bicara seputar seni, tari dan situasi terkini
Topik diskusi antara narasumber dan host berbicara seputar perayaan hari tari, pentingnya kebudayaan dalam pendidikan formal dan non formal; bagaimana mengaktivasikan kebudayaan sebagai sumber inspirasi dan nilai ekonomis; hubungan kampus seni, teknologi dan masyarakat; dan pertanyaan penutup terkait “meeting point” bagi para pelaku seni dan budaya di Tanah Papua. Konteks pertanyaan terakhir itu disandingkan dengan dibangunnya stadion megah bagi pelaku olahraga untuk persiapan Pekan OIahraga Nasional (PON) pada Oktober 2021 di Jayapura. Diskusi singkat itu diterangi satu lampu portable, untung Anjar sebagai “asisten multifungsi”, dapat dengan sigap meminjam alat tersebut dari mahasiswa yang telah ujian. Pencahayaan seadanya, acara masih disiarkan langsung lewat kanal YouTube.
Melihat “potret” ekosistem kesenian di Jayapura, mendadak menarik tiba-tiba. Dalam rangka memeriahkan PON, gelaran akbar ini dapat menggerakan latihan sanggar-sanggar seni lokal yang “terkontak” dengan lingkaran panitia PON. Entah mereka diminta untuk terlibat pada bagian pembukaan, entertaining, penyambutan, gebyar, atau apapun istilahnya kegiatan itu adalah hal membanggakan, produktif dan membuka peluang. Sadar atau tidak, faktanya olahraga sedang membangkitkan aktivitas kesenian. Tentu hal itu positif, tapi kapan pegiat kesenian menstimulus eksistensinya sendiri lewat profesinya di aktivitas dunia seni? Bagaimana caranya agar kesenian bisa menjadi magnet? Narasi bahwa posisi negara lewat lembaga terkait dapat memfasilitasi ruang sentral untuk pertemuan itu menjadi tema esensial yang tak pernah selesai dibahas. Bagaimanapun juga perlu memancing inisiatif yang datang dari akar rumput, masyarakat itu sendiri perlu menciptakan para-para budaya sebagai ruang pertemuan agar proses pertukaran gagasan, produksi karya, diskusi kreatif dan daya kritis masyarakat dalam merespon kerja kesenian bisa terus bertumbuh menjalar kemana-mana tanpa terus bergantung dari “program dalam rangka”. Siapa yang mau menginisiasi sambil memikirkan ekosistemnya? Mungkin sudah ada di Jayapura, dengan spektrum yang kecil. Salah satunya Komunitas Action yang menggelar program Skyline Too, event kesenian iuran setiap bulan purnama di kafe Bukit Jokowi menggelar “ruang” untuk memfasilitas karya seniman. Namun aktivitas mereka belakangan ini meredup, para pendekar sedang naik gunung bergeliat dengan kegiatan individu, pentas di luar negeri, sekolah magister, dan urusan kantor. Penggerak lain, ada juga KSBN Provinsi Papua, Komite Seni Budaya Nusantara muncul dengan inisiatif kegiatan, diantaranya lomba melukis di dinding, mural atau street art. Dalam opini saya, kita disini masih berjarak ribuan samudera dari konteks “kesenian adalah kebutuhan primer”, tapi kita bertetangga dengan “pemilik modal”. Walau begitu, pada pendengaran yang nyata hampir setiap hari sahabat karib saya di dapur sebelah selalu bernyanyi, filosofi yang dihidupinya Nggo Wor Bai Do Na Nggomar yang berarti ‘Kalau Tidak Menyanyi dan Menari Kami Akan Mati’
Jam 19.10 WP – Waktu Papua, sesi malam dimulai dengan karya Frans Juniar, video Sireb yang telah diproduksi dari keterlibatannya di Jakarta Dance Meet Up 2020, program dari Dewan Kesenian Jakarta. Menonton video Sireb, diproyeksikan ke dinding dan pintu studio tari, semacam upaya mapping, sebuah eksperimen media. Konstruksi desain bangunan mewadahi tembakan proyektor sehingga tidak datar seperti menonton dilayar bioskop. Malam, api, tifa, nyanyian, dan telapak tangan yang menepuk-nepuk perut, memunculkan representasi filosofis tradisi orang biak yang “diramu“ dalam rekaman koreografi/film tari.
Dance Technology, model kelas koreografi eksperimen.
Bagi mahasiswa S-1 minat penciptaan Prodi Tari, pengalaman proses kreatif di mata kuliah Koreografi V adalah embrio karya vital menuju penciptaan karya Tugas Akhir. Kelas ini diseriusi mahasiswa, mereka menaruh perhatian khusus, bahkan beberapa kawan membela mencurahkan seluruh energi demi merealisasikan karya dikelas ini, dan lupa akan pentingnya mata kuliah lain. Persiapan seadanya, Frederika Rumkorem menari-nari dengan cahaya lampu senter, ekspresi gestur tubuh tradisi mengusir virus covid, vokal merdu dilantunkan bersamaan dengan suara musik midi editan.
Di ISBI Tanah Papua, terdapat enam jenjang mata kuliah Koreografi. Salah satunya kelas Koreografi V yang didesain dengan berbagai kemungkinan melibatkan peran teknologi dalam karya. Gagasan kurikulum ini diinisiasi atas dasar realita aktual past-present-future, pengamatan saya selama perjalanan lintas budaya berkeliling panggung-panggung dunia. Di satu level kerja kesenian: pertunjukan, seni rupa, dan media ekspresi yang lain, telah berkolaborasi lintas rumpun untuk melahirkan gagasan baru yang tidak termungkinkan di zaman sebelum teknologi digital. Ini yang di-tryout oleh Irfan Mewal, mahasiswa kelas Koreografi V ini mengolah gerak, cahaya, dan ritme dalam upaya tubuh agar terhubung dengan materi visual yang diproyeksikan video ke blackboard. Karya koreografi Akar, berdurasi tujuh menit, terbantukan oleh sekuen video alam, dahan pohon, dan burung cenderawasih. Material film hutan lebat, lahan yang rusak, laju pembangunan, dan adegan akhir yang memvisualisasikan dua kuncup daun yang tumbuh itu tidak sekedar merepresentasikan sebuah harapan.
Di level perspektif yang lain, saya berlogika tentang dunia digital menjadi ladang algoritma yang berpotensi menimbulkan konflik digitalisasi lahan, bukan lagi soal tanah fisik di sebuah wilayah melainkan ambisi investasi kawasan big data algoritma di dunia maya. Ini seumpama keladi, ubi dibawah tanah, sedang membesar dan tak terlihat, tapi siap dipanen nanti.
Keberadaan teknologi sedang berdampingan dengan aktivitas sehari-hari untuk membantu, memudahkan bahkan menggantikan pekerjaan manusia. Disisi lain penggunaan equipments tersebut jika tidak dikontrol dengan bijak akan berakibat negatif. Lihat saja penggunaan software Deep Fake video atau program manipulatif sejenisnya, produk artificial intelligence tersebut dapat mengkoreografikan mimik wajah dan memanipulasi gestur mulut seseorang saat berucap, perlahan AI ini menjadi sempurna. Bahkan di tangan pelaku yang berniat jahat, pemanfaatan software ini bisa merugikan orang lain. Contoh kongkrit yang lain dikarya futuristik-sebuah imajinasi ketika tari bertemu teknologi, kerja Choy Ka Fai, seniman multidisiplin yang pernah berkolaborasi dengan saya. Kami menggarap kerja tubuh, AI, brain wave sensor, dan avatar, lewat misi Dance Clinic. Overview proyek ini menawarkan Dance Doctor can possibly solve a choreographer healthy issues dan menggunakan kecerdasan buatan untuk menjembatani antara tubuh fisik dengan roh di alam lain. Walau relasi itu bisa/telah dikerjakan oleh pawang untuk prosesi trans pada beberapa tari-tarian kerakyatan di nusantara. Dari pengalaman dan keterlibatan dalam proyek muktahir itu urgensi pikiran saya memprediksi suatu saat nanti sangat mungkin seseorang dapat belajar seni pertunjukan – tarian tradisi dengan bertanya langsung pada autonomy devices – without clicking, bukan lagi kepada seorang guru tari atau nyantrik ke maestro. Ada advantages dan disadvantages-nya. Perkawinan seni dan teknologi dapat menghasilkan karya yang menawarkan berbagai teroboson dimensi keruangan, bunyi, dan waktu. Karya eksperimental campuran dua bidang itu pun telah lama keluar dari frame disiplin ilmu seni semata, terlihat diberbagai “pasar seni” dengan skala ruang alternatif ataupun festival / art fair yang mapan. Beberapa produk inter-disiplin tersebut memperdayakan manipulatif teknologi untuk menterjemahkan imajinasi seniman futuristik, misalnya performens Keiichiro Shibuya – Alter 2 dan para pemain orkestra pada Android Opera “Scary Beauty”. Saya kira pada saat yang bersamaan eksistensi kerja tari di Indonesia sudah selayaknya dipantulkan dari bentangan persoalan tari di luar material tubuh semata, banyak sudah seniman kita yang melakukannya, salah satunya di pertunjukan teater tari “Realitas Teleholografis” karya koreografer Martinus Miroto dengan teknik ghost papper. Atau yang sedang menjamur dance virtual lewat aplikasi zoom. Pembahasan tentang tari dan teknologi seyogyanya dibahas dalam tulisan yang lain, termasuk se-urgent apa memposisikan teknologi sebagai masker untuk melindungi penularan sebuah isu emergency. Mungkin ini menjadi latah, namun tak dipungkiri bahwa tubuh-tubuh yang lahir, dibesarkan dan berada di era devices, siri dan google assisten, berpotensi memiliki sensibilitas yang berbeda, reflek daya motorik, kecepatan lompatan imajinasi antara realitas dan virtual, dan jangkauan tangible-intangible. Interpretasi tersebut tentu butuh riset yang mendalam. Dengan status bukan sedang mendewakan teknologi, saya belum landing pada pemahaman bahwa teknologi adalah jawaban. Memang produk akademik dari kelas dance technology pada Strata-1 ini dalam hal kualitas perlu direviu berulang-ulang, paling tidak mengartikulasikan kesadaran utilize, pustaka yang kuat, dan yang tak kalah penting adalah ketersediaan tools dan infrastruktur. Tentu bukan hanya dalam frame teknologi digital dan sistem otomatisasi, tetapi acuan teknologi tradisional juga masuk dalam preferensi. Model ini jika radarnya terus dipancarkan bisa menjadi mata rantai yang ujung-ujungnya membuka peluang kolaborasi silang belajar antar mahasiswa lintas jurusan, lintas geografis, lintas identitas, dan lintas dimensi. Tanpa ada tendensi membuat satu karya global, saya ingin meminjam ungkapan Prof Diyah Larasati pada sebuah acara International Conference via zoom meeting: “global tidak selalu memikirkan kita, they need they own desire, jadi kita harus selalu berstrategi”.
Rangkap jabatan
Terlepas dari semua itu, keberlangsungan selebrasi ini dapat berjalan dengan kekompakan kerja tim secara kolektif, mereka adalah mahasiswa, yang juga adalah pengisi acara, yang mempresentasikan ujian akhir kelas, ujian tengah semester dan kelas work on progress, dan disaat yang bersamaan bergantian saling membantu sebagai kru panggung, operator dan penari. Tentu tidaklah mudah, dengan pengalaman seadanya tim kecil itu berhasil diarahkan oleh strategi stage manager. Juga support dibalik layar yang terpenting, kontribusi sahabat lintas jurusan, partisipasi pegawai yang bertugas, peran dosen tari dalam birokrasi dan mengatur administrasi agar perut tetap kenyang.
Flashback, moment yang di-migrasi
Jam 6 pagi tanggal 29 April 2010 hingga 24 jam kedepan adalah peristiwa menguasai tubuh dalam konteks waktu (niat saya saat itu) lewat prosesi menari, selama satu hari penuh. Di ISI Surakarta, Luluk, Imin, Haviez dan saya adalah empat penari yang telah menari selama 24 jam Non-Stop. Perayaan Hari Tari Dunia di Surakarta menjadi gelombang inspirasi yang boleh dicontoh. Di antara tarian 24 jam, tersebar juga repertorar pertunjukan di beberapa venues, oleh pengisi acara dari berbagai kalangan daerah, nasional dan internasional. Dengan inisiatif para tokoh tari yang kompak, peran lembaga pemerintah, support system itu berhasil membuat kota Solo menjadi hidup dengan aktivitas tari. Semangat dan kemegahan itu adalah referensi yang saya pelihara agar bisa ditularkan dikancah dunia tari-dari pinggiran, saat saya memutuskan kembali ke Papua tahun 2013 – saat tercetusnya kampus ISBI yang dimulai dari embrio. Hingga dibesarkan tahun 2021, hari kamis tanggal 29 April, atas kerjasama semua pihak, buah itu bisa dipetik, walau ranum penyelenggaraan seadanya itu boleh berlangsung hangat atas fasilitas kampus ISBI Tanah Papua.
Sehari setelah perayaan Hari Tari di Jayapura, tanggal 31 April 2021, saya baru sadar peristiwa kemarin dekat dengan pengalaman 11 tahun yang lalu. Menari Non-Stop selama 24 jam. Hanya kali ini tubuh saya bergerak dari jam 8 pagi hingga jam 12 malam, dan 8 jam lainnya komposisi gerakan itu terjadi secara imajinatif di dalam kepala saya yang sedang membuat skenario koreografi-dramaturgi program acara World Dance Day versi ISBI Papua di Jayapura.
*Darlane Litaay, S.T., S.Sn., Freelance Artist, Independent Performer, Koreografer dan Dosen Luar Biasa di Prodi Tari, ISBI Tanah Papua