Membedah Hanindawan
Oleh: Anwari
MADILOK – Malam Dialok Lakon, dihelat pada Selasa, 1 November 2022 di Kedai Teater Triyagan. Para pembicara mecoba membaca ulang karya-karya naskah drama Hanindawan yang terhimpun dalam buku Dongeng Perempuan Menyeberang Batu dan Tiga Lakon Paing. Dua buku Hanindawan ini dibedah dan dibedah oleh Retno Sayekti Lawu (sutradara Komunitas Lantai Dua) dan Wahyu Novianto (dosen Prodi Teater ISI Surakarta), dengan moderator Yogi Swara Aji, salah satu sutradara muda teater di Solo.
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan prolog yang sangat informatif. Jam 19.27 WIB para audiens mulai berdatangan, muda dan tak muda mulai mengisi daftar hadir sambil melihat buku-buku naskah drama Hanindawan dan Idnas Asral yang dipajang di meja registrasi. Aktivitas ini memantik teks berupa kata yang mulai berhamburan dari obrolan audiens yang sedang menunggu acara dimulai, obrolan ringan sampai yang diskusi sebelum diskusi.
Jam 19.40 WIB acara dibuka dengan pertunjukan teater Sandilara. Ditandai dengan dua aktor laki-laki dan perempuan membunyikan kentongan dari arah penonton. Ketiganya masuk panggung dengan lampu padam. Aktor perempuan memulai dialog dengan satu kata yang lantang, “Melarat”.
Jam 20.24 WIB dilanjut dengan penampilan Mirat Kolektif yang membawakan fragmen Pintu dari naskah Hanindawan Perempuan Menyeberang Batu. Aktor perempuan yang memakai kostum merah dengan memainkan gitar kecil bernyanyi, kemudian berdialog tentang perempuan. Beberapa aktor perempuan mulai melintas. Lantas sebuah peristiwa yang menarik adalah saat kemudian Hanidawan menggendong cucu perempuanya yang menangis, suatu momen realitas panggung dan luar panggung yang saling berhubungan dengan teks perempuan.
Jam 20.42 WIB diskusi bedah buku dibuka oleh Yogi sebagai moderator, kemudian diteruskan dengan pembedahan oleh Lawu yang memulai bercerita tentang proses berkaryanya bersama Hanindawan. Ia menceritakan bagaimana Hanindawan memerdekaan naskahnya setelah dibuat, yang pada akhirnya memantik pertanyaan, “Apakah penting atau tidak naskah hari ini?” Pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri dengan dasar bahwa naskah penting sebagai kerangka awal atau pijakan untuk memulai proses berkarya teater. Naskah Hanindawan sendiri sangat membuka lebar ekplorasi dan tidak membutuhkan energi lebih untuk memahaminya di mana naskah-naskahnya menurut Lawu tidak bertele-tele.
Naskah Tiga Lakon Paing seperti naskah yang berseri, namun juga bisa berdiri sendiri tanpa saling berkaitan, meski ada ada kesamaan penamaan tokohnya dan relasi peristiwa yang saling berkaitan. Tata bahasa dalam naskah tersebut terkesan mudah dipahami dengan dialog-dialog yang begitu dekat dengan masyarakat. Naskahnya sendiri masih dituliskan dengan karakteriktik naskah klasik, seperti cerita yang linier, nama tokoh diberi titik dua kemudian dialog, serta adanya konfensi pemanggungan.
Wahyu Novianto memberikan catatan penting dalam naskah Hanindawan tentang bagaimana upaya mendialogkan kembali Serat Centini yang tercipta dari masa lalu kemudian diolah untuk hari ini dalam naskah drama yang berjudul Perempuan Menyeberang Batu. Suatu pertemuan antara masa lalu dan masa kini yang memberikan spektrum baru pada pembaca hari ini.
Saat sesi diskusi muncul pertanyaan dari Aan terkait bagaimana proses adaptasi dari dongeng perempuan yang menyeberang batu, apakah dari naskah asli atau terjemahan Inandiak. Dijawab oleh Hanindawan bahwa itu adalah terjemahan Inandiak, dan naskah adaptasinya ditulis tidak langsung sekali jadi. Pertanyaan berikutnya dari Bureq tentang latar belakang ketertarikan gaya penderitaan yang dituliskan secara ringan yang dihubungkan dengan bagaimana proses kreatif menulis naskah Perempuan Menyeberang Batu. Hanindawan menjawab bahwa proses kreatif diawali dari pembacaan terhadap naskah-naskah kuno seperti Serat Centini yang kemudian secara sepontan ia respon dengan menulis naskah Perempuan Menyeberang Batu. Usai sesi tanya jawab selesai, moderator menutup acara dan menyilakan jika ada yang ingin berdiskusi lagi diluar acara. Pada saat itu waktu menunjukkan jam 22.38 WIB.
Mari Memulai Percakapan!
Mari kita mulai percakapan dari masa lalu ke masa kini dengan berangkat dari drama sebagai naskah pementasan teater. Drama, yang berasal dari kata Yunani “draomai”, berarti berbuat, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Kata drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan. Seraca umum, pengertian drama adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog dengan maksud dipertunjukkan oleh aktor. Pementasan naskah drama dikenal dengan istilah teater. Dapat dikatakan bahwa drama berupa cerita yang diperagakan para pemain di panggung.
Mengingat drama berupa naskah yang begitu dekat dengan tindakan atau peristiwa dalam realitas manusia dan alam, maka hari ini bisa jadi naskah sangat demokratis secara bentuk dan esensialnya. Melihat kembali sutau perkembangan drama klasik sampai pada posdramatik yang bergerak dan berevolusi, perlu adanya rekontruksi pemahaman tentang drama hari ini. Perlu dipertimbangkan lagi, naskah drama bisa berupa esai, koran, data statistik, foto, video, dan lain-lain.
Dalam buku Dramaturgi, Harymawan (1988:5) mengatakan tentang sejarah teater di Indonesia. Sebelum abad ke-20 Tidak ada naskah dan pentas, yang ada hanyalah naskah-naskah cerita rakyat dan kisah-kisah yang turun-temurun disampaikan secara lisan oleh ayah kepada anak. Drama-drama rakyat, istana, keagamaan, di arena, di bawah atap, atau lapangan terbuka. Pada Permulaan abad ke-20 terpengaruh oleh drama Barat dan cara pemanggungannya. Timbul bentuk-bentuk drama baru seperti komedi stambul/istana/bangsawan, tonil, opera, wayang orang, ketoprak, ludruk, dan lain-lainnya. Pertunjukan tidak menggunakan naskah improvisasi, tetapi menggunakan pentas dengan panggung berbingkai. Kemudian pada zaman Pujangga Baru muncul naskah drama asli yang dipakai pada pementasan amatir. Rombongan profesional tidak menggunakannya. Baru di zaman Jepang sensor Sendenbu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan profesional dipaksa belajar membaca. Perkumpulan amatir tidak kaget karena terdiri atas kaum pelajar. Kemudian di zaman kini rombongan profesional membuang naskah. Organisasi amatir tetap setia pada naskah, sayang sering mengabaikan pengarang, penyadur, atau penyalinnya.
Perlu dipikirkan ulang tentang “zaman kini” yang disebut Harymawan dalam bukunya Dramaturgi tidak mengacu pada kini dan di sini. Penanda waktu di situ kita bisa lihat pada cetakan pertama 1988 dan cetakan kedua 1993. “Zaman kini” yang disebut Harymawan berupa masa lalu yang berevolusi ke masa kini pada tahun dua ribuan ke atas telah menghadapi medan dan media yang berbeda. Kini naskah drama, naskah teater biasa diproduksi dari aplikasi-aplikasi seperti Facebook, Instagram, Twiter, Youtube, Tiktok, MiChat, Google, dan berbagai aplikasi lainnhya. Bagaimana ada dialog antar manusia, objek dan subjek saling bertatapan, berkomunikasi, berkomentar, bernegosiasi, dan berargumentasi. Banyak lintasan yang saling terhubung, sebut saja netizen dengan segala kebebasannya melahirkan teks-teks dramatik.
Maka terbitnya naskah drama Hanindawan begitu penting sebagai gaya naskah klasik yang menjadi penanda terhadap perkembangan masa lalu dan masa kini, mengingat tidak akan ada kata moderen tanpa kata klasik.
Mengakhiri tulisan ini dengan potongan teks naskah Obelisk karya Anwari “Percakapan ini tidak akan pernah usai sampai selesai, kerena teks telah melarikan diri dari kalimat, sedangkan angka mendengar logaritma dan pitagoras berbincang tentang kesabaran petapa yang mencari bentuk absolut, dan cinta telah didefinisikan dalam bentuk tabung maupun propaganda proposal.
*Anwari adalah pendiri Padepokan Seni Madura dan Kamateatra Art Project. Menyutradarai sejumlah pertunjukan yang ditampilkan di beberapa acara seperti Festival Teater Jakarta 2016, The 7th Borobudur Writers and Cultural Festival, hingga Helateater Salihara 2019. Pernah mendapat Banpem FKK Kemendikbud tahun 2017, Hibah Seni Kelola tahun 2014 dan 2016, bergabung di proyek kolaborasi antara Bumi Purnati Indonesia dan Suzuki Company of Toga tahun 2016—2019.