Koreografi dan Teologi Salib: Menyaksikan “Attached Life” Karya Xena Israely Loppies
Oleh: Amos
20 Juni 2023 saya memasuki Teater Wahyu Sihombing di Taman Ismail Marzuki. Malam itu adalah malam pembukaan Pekan Koreografi Indonesia 2023. Setelah rangkaian pengantar dari pengurus harian dan Komite Tari DKJ, lampu teater pun meredup.
Semua penonton yang duduk di bangkunya hening, bahkan hanya terdengar samar suara air conditioner. Lalu sebuah lampu menyorot bagian tengah arena teater, ia menyorot seorang penari yang duduk di lantai. Seakan sedang melipat tubuhnya pada sela kaki, ia melilit dirinya dengan kain hitam. Sang penari memakai pakaian putih terang, sehingga lilitan kain hitam itu terlihat kontras sekali.
Suara musik dari pukulan tifa dan noise menginterupsi ruang pertunjukan yang hening. Seluruh mata menatap penari yang terduduk itu, ia masih menggerakkan tangan dan kakinya. Seakan-akan berusaha keras untuk keluar dari lilitan kain itu. Memang, kain hitam itu tidak terbentang, tapi ia menyambung seperti selempang. Seperti rantai, kain itu seakan menjerat seluruh tubuhnya. Frasa koreografis sang penari itu selalu tentang upayanya untuk bebas dari lilitan kain.
Sang penari itu kemudian mengangkat tubuhnya dan berdiri. Kemudian, ia bergerak memutar di tengah arena dengan kaki yang berjinjit. Ia memutar-mutar, meliuk perlahan dari lambat hingga cepat. Terkadang ia seperti hampir terjatuh, tetapi berusaha untuk tegak lagi. Dalam gerak memutar itu, kain hitam masih saja mengikat tubuhnya.
Ternyata kain hitam itu masih terus digunakan, kain menjadi “kawan” yang ia ajak menari. Kain itu kemudian ia julurkan dan rentangkan dengan tangannya. Ia bergerak ke depan dan belakang bersama kain itu, ia terus menari bersamanya.
Tak lama, seorang penari lain masuk, ia juga memakai pakaian putih terang dan membawa kain hitam yang mirip dengan penari pertama. Ia berjalan jingkit dan memutarkan tubuhnya, sepintas gerak dan pola yang dilakukan mirip dengan penari pertama. Meski, ada pola gerak yang berbeda dari penari kedua itu. Penari kedua membentangkan kain hitam tepat di depan matanya, ia menari dengan mata yang dilingkupi kain.
Dua penari ini kemudian menari bersama. Dalam kegelapan Teater Wahyu Sihombing, titik terang satu-satunya adalah dua orang penari berpakaian putih cerah. Mereka menari bersama kain hitamnya, kain itu dipeluk dan digerakkan. Jelas bahwa kain hitam itu bukan sekedar benda, dekorasi, atau tempelan artistik saja. Dari seluruh frasa koreografi yang dilakukan, kain itu nampak seperti penari yang ingin bicara.
Ternyata, kain hitam itu adalah kain pikol, sebuah kain dari tradisi masyarakat Kristen Ambon. Kain pikol disematkan pada bahu kiri para perempuan, biasanya dipakai untuk pergi ke gereja. Secara simbolik, kain pikol melambangkan salib yang Yesus pikul pada bahu kiri-Nya, tepat pada saat Ia berjalan menanjak ke Bukit Golgota. Hampir sepanjang pertunjukan, kain pikol terus digunakan.
Kain pikol dan perenungan soal penyaliban Yesus ternyata menjadi ide dasar yang ditawarkan koreografi dari Xena Israely Loppies. Puncaknya, pada fragmen menjelang akhir, perenungan soal salib itu begitu nyata dan indah ditampilkan.
Fragmen puncak diawali oleh seorang penari berbaju hitam yang memasuki arena. Ia berjalan sangat pelan sambil menatap cahaya dari sorot lampu panggung. Ia kemudian menatap seorang penari berbaju putih yang dari sejak awal menari. Hanya ada mereka berdua perlahan-lahan mulai bergerak senafas di tengah arena.
Tiba-tiba dari sisi kiri, seorang penari lelaki memasuki panggung. Ia masuk dengan gerak sedang menopang sebuah beban yang amat berat. Pada bahu kirinya, ia memikul sebuah kain yang menjuntai panjang. Kain itu berwarna putih polos, kurang lebih panjangnya tiga meter. Sang pemikul itu bergerak dengan sangat lambat, ia seperti benar-benar menopang ratusan kilogram beban. Saking beratnya pikulan itu, ia terseok-seok dan hampir jatuh.
Sementara, dua penari di tengah arena masih terus bergerak. Penari berpakaian putih bergerak bersama penari berpakaian hitam pekat. Mereka bergerak seirama, dengan tangan kanan dan kiri, ke atas, ke bawah, ke samping meraih satu sama lain. bergerak pada diri satu dan lain. Mereka saling merenggang tangan, menyentuh tangan, menggerak pundak, dan tubuh ke kanan hingga kiri bersamaan. Meski mereka sangat seirama, warna pakaian yang hitam dan putih itu tetaplah kontras.
Gerak-gerak yang sedenyut itu perlahan berganti, mereka tiba-tiba saling menarik dan mendorong. Dua penari itu menarikan sebuah pertengkaran. Ada tubuh yang terhempas, ada tubuh yang kokoh, ada tubuh yang terjerembab, dan ada tubuh yang menjegal. Kaki mereka sibuk menghentak, membuat dua penari ada dalam posisi saling mengintai.
Fragmen pergulatan ini seakan mencerminkan dunia kita yang tak berhenti bergulat. Penari berpakaian hitam dan penari berpakaian putih itu mengadu kekuatannya hingga situasi jadi genting. Situasi itu sama seperti dunia yang terus bergerak dalam pertarungan, maka selalu saja ada yang menang, yang kalah, yang kokoh, dan yang terhempas.
Dalam pergulatan sengit, penari lelaki yang memikul kain itu masih terseok-seok, ia berkeliling panggung dengan beban dalam juntaian kain putih yang dipikulnya. Terkadang ia terlihat lelah memikulnya, sampai tubuhnya membungkuk dan lutut itu menyentuh tanah. Seakan-akan berat sekali beban yang ia pikul.
Sang pemikul memutari panggung, ia mengitari situasi mencekam akibat dua tubuh yang bertarung. Tetapi entah mengapa pertarungan itu lama-lama terasa sangat intim, dua tubuh yang bergulat itu bahkan saling menempel. Meski mereka saling menyerang, tetapi serangan dan balasannya semakin membuat keduanya erat.
Dalam gerak lambat, putaran sang pemikul itu kemudian mendekat pada dua penari yang sibuk bergulat itu. Pergulatan yang kacau itu dilingkupi kain putih sang pemikul, bahkan dalam jarak yang amat dekat. Kain putih seakan membentuk lingkaran bagi dua penari di tengah arena.
Pelan-pelan sang pemikul menanggalkan kain itu, ia mendekat pada dua penari. Pergulatan berhenti dengan magis dan lampu panggung mulai meredup. Samar-samar, terlihat sang pemikul merengkuh dua penari yang kelelahan bergulat. Sepintas saya melihat hanya ada satu tubuh penari dalam tiga tubuh yang berbeda itu, seakan-akan semua merapat dan melebur pada satu tubuh. Lampu kemudian benar-benar redup, riuh tepuk tangan penonton mengakhiri pertunjukan itu.
Tentang Moltmann, Teologi Salib, dan Koreografi yang Teologis.
Setelah rangkaian gerak itu, pikiran saya melintas pada gagasan seorang teolog dari Jerman, namanya Jurgen Moltmann. Ia dikenal sebagai teolog yang meradikalkan teologi salib. Entah bagaimana, fragmen-fragmen pertunjukan ini membuat saya paham teologi salib dengan cara yang baru.
Bagi Moltmann, Tuhan yang tersalib (crucified God) bukanlah Tuhan yang sekedar memantau dunia dari jauh, dari negeri di atas awan, dari dunia kekal. Salib adalah wujud solidaritas radikal Tuhan pada penderitaan dan segala pergulatan di dunia.
Koreografi Xena Israely Loppies seakan sedang membangun sebuah narasi lain teologi salib. Si hitam dan si putih terus bergulat, bahwa klaim soal kebenaran dan kesalahan selalu merupakan pertarungan. Sejarah mungkin bergerak karena pergulatan, konflik, dan pertengkaran hebat. Maka, selalu ada yang menang, yang kalah, yang kuat, yang dilemahkan. Dunia yang hitam dan yang putih ini selalu sulit dijelaskan oleh tumpukan teori dalam kajian etika.
Dalam pertunjukan ini, pergulatan dan frasa koreografis tentang lilitan yang membelenggu sangat terlihat jelas. Entah penari atau kain pikol, lilitan yang membelenggu itu terus dituturkan dari fragmen ke fragmen. Belenggu bisa bersumber dari lilitan kain atau tangan penari yang seakan sedang menaklukkan “lawan” menarinya. Gerak dan kain itu banyak sekali berbicara soal belenggu. Tetapi, tubuh sebagai hidup itu sendiri akan selalu menemukan caranya untuk lepas dari belenggu.
Dalam dunia yang bergulat itu justru penari yang berperan sebagai sang pemikul tidak sekedar memantau, menjauh, dan menghindar. Jika kita melihat sang pemikul sebagai personifikasi Yesus yang memikul salib, maka ia mengitari dan bergerak mendekat pada dunia yang bergulat.
Pemikulan salib kemudian dituturkan oleh gerak mengelilingi pergulatan. Ia menjadi gerak yang bicara tentang solidaritas radikal Yesus bagi dunia. Bahwa, gerak itu perlahan-lahan memutari dunia yang bergulat, ia perlahan-lahan mengosongkan diri yang transenden untuk melebur pada dunia.
Peleburan itu adalah peristiwa terpenting dalam teologi salib, pengosongan diri Yesus yang transenden menuju dunia yang imanen. Pada fragmen puncak “Attached Life”, frasa koreografi itu seakan bicara soal peleburan Yesus pada dunia. Bahwa, Ia sosok ilahi yang mengosongkan kuasa dan segala pangkat superiornya, kemudian merengkuh dunia yang terus-menerus bergulat.
*Amos, menulis berbagai esai, puisi, dan karya-karya prosa. Karya-karyanya lebih banyak dipublikasikan secara online dalam platform seperti media Omong-omong.com, Salihara.org, Gelaran.ID, dan media online lainnya. Selain bereksperimen dengan puisi, esai, dan berbagai medium, ia juga bergiat melakukan riset seputar sejarah pemikiran, sejarah seni, dan kajian poskolonial. Sehari-hari tinggal di Yogyakarta dan Jakarta.