Horeg yang Menggelegar

Oleh Pietra Widiadi

1. Horeg

Horeg adalah Bahasa Jawa yang dalam Bahasa Indonesia artinya bergetar, atau tremor dalam Bahasa Inggris. Umumnya horeg dihasilkan dari sebuah kejadian yang dahsyat, yang menggelegar dan menggetarkan. Horeg, umumnya merupakan dampak sebuah kejadian, seperti terjadi karena adanya gempa yang dahsyat dan yang menggetarkan. Gempa yang getarannya merusak bangunan atau runtuhnya bukit atau longsoran tanah. Horeg bisa juga terjadi karena letusan bom, nuklir atau bahkan dari petasan yang dibuat dengan diameret lingkarannya di atas 30 Cm. Ledakan itu, mengakibatkan bunyian yang menggelegar, dahsyat yang mengakibatkan guncangan dan menggetarkan. 

Horeg juga dimaknai sebagai sebuah guncangan yang diakibatkan oleh dalam sebuah kejadian, seperti berita yang menghebohkan yang saat ini dimaknai sebagai viral atau sebuah kejadian yang disebabkan oleh kesukariaan dan kesukacitaan (have fun). Contoh kesukacitaan tardisi Ramadhan yang  menyalakkan blenggur, yaitu sebuah permainan yang menciptakan dentuman, bunyi suara yang dihasilkan dari letusan yang disulut dari karbit yang dinyalakan dengan api dalam sebuah batang pohon atau bambu yang dibentuk menyerupai Meriam. Dengan demikian maka pengertian horeg adalah sebuah dentuman yang dahsyat, yang menggelegar serta menggetarkan. 

Nah, horeg kali ini dihasilkan dari sebuah sistem suara dari sound system. Dalam beberapa bulan terakhir terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dihebohkan dengan suara menggelar dan menggetarkan apa saja didekatnya, yang diakibatkan dari suara sound horeg. Bunyi-bunyian yang menggelagar yang dihasilkan oleh sistem suara buatan, yang disebut dengan sound horeg. Sebutan ini, menjadi kontroversi dan mebuncah pada saat kelompok pemuka agama memberikan fatwa haram pada sound horeg beberapa waktu lalu. Ini muncul setelah terjadi pro-cons tentang keberadaan sound horeg. 

Di Malang utamanya dan beberapa bagian daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, seperti Jember, Banyuwangi, Brebes, Jepara sound horeg menjadi fenomena yang membahana. Fenomena ini lahir secara bertahap, semacam evolusi budaya yang bergerak cepat, dan hampir menyandingi revolusi. Pro-cons tidak hanya muncul dari kalangan Masyarakat, tapi juga dinyatakan oleh kalangan Kepala Daerah, seperti Walikota, kota Malang yang melarang dan Bupati, Kabupaten Malang yang mengijinkan. 

2. Perayaan bersih desa dan 17 Agustusan

Horeg menjadi terkenal karena selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pesta-pora rakyat, yang digelar dalam sebuah kegiatan yang disebut dengan parade budaya dalam bentuk karnaval. Dulunya, sebelum covid-19 karnaval diselenggarakan di tingkat Kabupaten, dalam rangka ulang tahun kemerdekaan RI. Lahirnya horeg sejalan dengan sebuah kejadian yang tidak kalah dahsyatnya dari horeg, yaitu Covid-19. Akibat dari Covid-19, kegiatan pesta pora kemerdekaan tidak boleh dan tidak bisa dilaksanakan di Tingkatan manapun, baik di Tingkat Nasional, Daerah atau di Tingkat Desa. 

Tetapi keadaan yang kosong ini, di mana kegiatan bersama Masyarakat secara partisipatif tidak boleh dilaksanakan pada masa Covid-19, justru menciptakan kondisi yang permisif, terhadap keramaian pada tingkatan desa atau rumah tangga di desa dan dusun. Sehingga terjadi “pembolehan”, yaitu membolehkan sebuah kegiatan keramaian digelar. Di mana kegiatan keramaian ini, dilaksanakan dengan catatat tidak menimbulkan berita menghebohkan karena ada larangan berkumpul. Pemboleh ini, akibat adanya “perlawanan”, dari Masyarakat untuk diterima melakukan pertemuan dengan jumlah yang tidak diijinkan. Perlawanan terkecil dilakukan pada tingkatan Kecamatan, di mana kewenangan melarang dan mengawasi kegiatan keramaian dimiliki oleh satgas covid-19 tingkat kecamatan. 

Pada sisi lain, Masyarakat melakukan perlawanan karena sudah bosan dengan larangan berkumpul sementara mereka memiliki budaya berkumpul, baik dengan keluarga maupun dengan tetangga dan handai taulan. Salah satunya adalah budaya hajatan yang merupakan bentuk syukur dalam lifecycle kehidupan manusia. Perlawanan ini, terjadi sebagai bentuk katub kekesalan dan kesebalan karena larangan yang tidak mereka mengerti. Perlawanan ini muncul terumama di kalangan Masyarakat pedesaan, dan umumnya mereka kurang memperhatikan dampak kesehatan karena covid-19. Perlawanan ini, dimulai dari kegiatan kecil di Tingkat keluarga, dusun atau desa, karena terdapat tradisi yang tetap harus dijalankan, seperti brokohan bayi (baca selamatan bayi lahir), selamatan bersih desa (baca metri desa) yang biasanya kegiatan diakhiri dengan pergelaran Wayang.

Terdapat kegiatan yang menjadi tradisi dalam budaya Jawa di perdesaan yang harus berjalan, dan diijinkan dilaksanakan dengan catatan tidak menimbulkan kehebohan dalam berita (news) Daerah. Kehebohan mengakibatkan pelarangan menjadi sebuah pelanggar bagi penyelenggara keramaian, dalam hal ini pelanggaran akan dikenakan kepada Pejabat Daerah. Metri atau besih desa atau kegiatan 17 Agustusan yang dilaksanakan secara partisipasif sulit untuk dilarang, dan tradisi ini oleh warha dianggap tidak boleh dihentikan. 

Secara bebarengan kegiatan Bersih Desa yang yang merupakan tradisi leluhur dilaksanakan pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa oleh Masyarakat Jawa di Perdesaan dan perayaan 17 Agustusan adalah identitas bangsa yang harus dilaksanakan sebagai refleksi dari kemerdekaan. Dari dua kegiatan besar warga masyatakat ini, mendorong inisiatif karnaval di acara bersih desa dalam skala dusun (sub-desa) dan desa. Dalam masa diam itu, sebenarnya juga mendorong terjadi perubahan pola hiburan hajatan yang dilakukan oleh warga Masyarakat. Perubahan yang terjadi adalah hiburan elektone tunggal atau wayang atau karawitan campursari dengan gamelan yang mengiringi beberapa penyanyi atau sindek, diganti dengan pemutaran musik dengan suara sound yang cukup mengelegar, dengan ukuran sound system yang besar. 

Meskipun yang diperdengarkan adalah dangdut atau campursari, namun back-sound yang muncul adalah house music yang biasanya diperdengarkan di arena diskotik. Dari sana kemudian pemutaran musik menggunakan sound dengan ukuran speaker besar, menjadi biasa. Masih di Malang Raya, pemutaran sound dengan speaker besar dipakai untuk mengiringi lomba miniature truk yang awalnya digelar oleh komunitas truk. Dari ini lalu penggunaan sound menyebar untuk mengiringi hajatan dan masuk dalam area karnaval. 

Dari hiburan tingkat keluarga, lambat laun yang cepat kemudian bergerak pada karnaval dalam tema parade budaya Nusantara. Dan hebatnya even karnaval ini digelar pada di tingkat dusun dan desa, tang kemudian diiringi dengan pergelaran sound horeg yang menyajikan house music dengan diwarnai penampilkan penari cantik-cantik nan erotis, ala diskotik. Munculah horeg dan fanatisme lokal di kegiatan bersih desa atau 17 Agustusan di tingkat dusun dan desa. Dengan lahirlah sebuah “budaya” baru dalam perayaan bersih desa atau 17 Agustusan yang dilakukan secara partisipatif di akar rumput.

Puncak dari heboh horeg ini adalah munculnya pro-cons larangan horeg. Larangan disuarakan, dan penyataan tidak melarang juga disuarakan. Di Tingkat Polsek atau Kecamatan, forpimcam seperti memberikan restu dari kegiatan ini. Selain itu, persetujuan diselenggarakan sound horeg diberikan hanya dari sebuah pernyataan oleh para pejabat yang menjadi Wali aturan, seperti Bupati/Walikota.

3. Kekosongan aturan hukum 

Pada saat hampir semua desa, semua dusun terutama di Malang Raya dan sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah melaksanakan pawai, parade budaya dalam karnaval dengan iringan sound horeg, dampak yang paling dirasakan, adalah kemacetan di mana-mana dan pengalihan arus lalu-lintas tanpa alternatif jalan yang tidak tuntas. Serta hampir tidak ada yang mengatur dalam cakupan wilayah yang melingkupi, terutama ranah kecamatan. Ini jelas menimbulkan kejengkelan, kemarahan dan bersitegang antar warga pengguna jalan antar Daerah atau Provinsi yang tidak mendapatak informasi. 

Maka pertanyaan besarnya, di mana Pemerintah Daerah, di mana Polisi Polsek, di mana aparat di tingkat kecamatan? Panitia pelaksana umumnya hanya mampu mengelola di wilayah dusun/desanya saja. Apa mereka sudah berpadu dengan warga, sehingga menyawiji (baca terpadu) dengan khalayak. Tapi mengapa ketegangan pengguna jalan juga tinggi. Sementara pada sisi penyelenggara, yang selalu disampaikan karena ada kericuhan adalah, ini hanya kegiatan satu tahun sekali dan sebagai bentuk kecintaan kepada tanah air. Ini terjadi karena setiap karnaval, pawai yg diusung selalu bertema ke-binekatunggalika-an dalam parade budaya nusantara. 

Pada dasarnya, setiap kegiatan warga yang dikategorikan keramaian dan menimbulkan gangguan terdapat aturannya, entah itu berupa undang-undang atau peraturan daerah di Tingkat Kabupaten. Peraturan ini mengatur dan mengawasai sebagai bentuk pencegahan terjadinya keributan karena memiliki kecenderungan melanggar hak orang lain. Di Malang Raya (baca Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu) misalnya dua Daerah tidak memiliki aturan yang jelas mengenai keramaian dan ijin gangguan. Kabupaten Malang contohnya, saat ini ada kekosongan peraturan ini setelah Perda 12/2017, peraturan ijin keramaian atau gangguan dicabut berdasarkan Perda No. 11/2019 tentang Ketertiban Umum.

Namun demikian setelah dicermati ternyata dalam perda 11/2019 tidak ada pasal yg mengatur kegiatan yang punya berpotensi mengganggu seperti karnaval, pawai yang menampilkan horeg, dan hajatan warga yang memutar sound secara keras sehingga mengganggu ketertiban umum. Dari sini jelas, dengan kekosongan peraturan yang ada, Pemerintah Kabupaten Malang abai terhadap hak warga negara. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah kota Batu meski memiliki Perda No. 1/2015 dan tidak mengatur secara spesifik. Hanya hanya kota Malang yang mengatur dengan jelas dan tegas tentang keramaian dan gangguan ini dalam Perda No. 4/2019.

Dengan adanya kekosongan hukum seperti di Kabupaten Malang ini, bisa dimengerti kalau setiap orang dan kelompok orang mempersepsikan sendiri kegiatan itu mengganggu atau tidak mengganggu, bahkan cenderung anarkhis pun dianggap biasa. Misalnya panitian pelaksana keramaian umum, dengan serta merta menjual jalan umum sebagai lahan parkir. Bahkan warga yang rumahnya di jalan yang menjadi lahan pakirpun harus membayar parkir. Maka menutup jalan umum dan menarik parkir dengan paksa karena mereka merasa punya hak mengelola jalan. 

Maka dengan keberanian panitia karamaian menutup dan menjual jalan sebagai lahan parkir dan area jualan ala PK5, oleh kelompok tertentu yang berpenampilan garang ala aksi preman, patut dipertanyakan. Kegiatan keramaian ini, umumnya dikelola oleh panitia dusun/desa yang tidak mungkin tidak diketahui Pemerintah, dalam hal ini pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa, dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Kecamatan, Kapolsek dan serta Kapolres. Pertanyaan besar patut disematkan?

Maka kekosongan hukum ini dan kesewenang-wenangan yg dilakukan panitia merupakan kelalaian penyelenggara keramaian dan gangguan. Maka seperti pasemon (baca ujaran) Jawa, yaitu tumbu oleh tutup antara Pemerintah dan Penyelenggara keramaian. Jadi klop secara terang-tarangan abai atas hak orang lain, yang artinya mengijinkan mengganggu orang lain. Bahkan dalam beberapa kejadian timbul keributan antara warga yang tidak sepaham atau karena keluarga sakit, bahkan meninggal karena tindak keramaian dan gangguan ini.

Gangguan atau mengganggu adalah hak dasar dari sebuah keramaian maka sejak era Hinda-Belanda hal ini sudah diatur. Dalam hukum administrasi Hindia-Belanda mengakui bahwa kegiatan usaha/keramaian pada dasarnya menimbulkan dampak sampingan (hinder) bagi lingkungan sekitarnya. Sehingga keramaian perlu diatur sebagai sebuah gangguan yang tidak menimbulkan persoalan. Maka aturan hukum yang diterapkan menjadi sebuah kebutuhan untuk mengatur dan menegakkan prinsip keseimbangan. Izin yang diajukan sebagai bentuk pengaturan dan pencegahan keributan dan bukan pelarangan. Dalam arti pengakuan terhadap kegiatan berpotensi mengganggu dan tetap boleh dilakukan namun dengan syarat tertentu untuk menyeimbangkan kepentingan pelaku usaha dan masyarakat.

4. Bisnis menguntungkan di Desa dan Daerah

Tidak banyak yang menduga bahwa pertunjukan sound horeg ini sebuah bisnis pertunjukan yang dikelola secara profesional serta berjejaring atar pelaku usaha (baca pemilik) sound horeg antar Desa dan antar Daerah. Hal ini terjadi karena tidak setiap desa atau daerah terdapat pemilik usaha persewaan sound horeg karena ini usaha berinvestasi besar. Bahkan untuk tingkatan Daerah termasuk sangat besar, seperti modal angkutan transportasi saja bisa berupa trailer dengan 12 ban, atau truk dalam jenis dumbstruck dan peralatan sound system yang cukup besar dalam kapasitas mega decibel atau kebisingan suara yang sangat keras.

Maka pergerakan sound horeg karena bentuknya cukup besar, sering melebihi tonase ukuran jalan, dalam berat dan lebar yang distandarkan, maka mustahil tidak diketahui oleh aparat. Mustahil tidak tahu bahwa terdapat potensi besar dalam keramaian dan gangguan yang ditimbulkan. Dalam sebuah kejadian, penulis melihat jalan kelas 3, ada truk mengangkut sound dengan lebarnya lebehih badan jalan sampai dengan hampir 2 meter. Selain itu, sound dalam ukuran tingkat kebisingan yang bisa diterima telingga mengacu pada WHO hanya 80 dB. Artinya apabila bunyi yang ditimbulkan lebih dari 80 dB akan menimbulkan kerusakan gendang telinga.

Dalam pertunjukan jalanan sound horeg ternyata, menimbulkan kerusakan bangunan publik dan warga bahkan para operator sound horeg tidak segan merusak fasilitas umum karena ketinggian dan kelebaran perangkat sound yang dibawa oleh truk melebihi kelas jalan. Beberapa peristiwa bahkan mengakibatkan pagar jembatan dirusak, portal dan gapura jalan dibongkar dan memindahkan mobil yang terpakir ditempatnya kesembarang tempat asalkan tidak mengganggu sound horeg lewat.

Pesewaan sound horeg yang ada di Malang Raya atau di Jawa Timur dan tidak menutup kemungkinan di daerah lain bisa mencapai 50 juta dalam satu even karnaval. Ini belum termasuk para penari pengiring sound horeg yang berjalan menyertainya. Dalam hal ini, untuk penari yang memiliki level ketenaran atau popular tinggi karena kecantikan dan kemolekannya, sekali pertunjukan dalam karnaval bisa mendapat honor sampai 2 juta perorang. Ini belum jalan yang diportal dan disulap jadi lahan pakir, nilai lelangnya bisa mencapai 100 juta dan lapak jualan PK5, dalam sekali gelar bisa 1 juta. Artinya ini bukan bisnis ecek-ecek dan eceran, ini bisnis besar yang pembuatan soundnya bisa mencapai 5 milyard.

Nampaknya seperti mutualisme simbiosis, pertunjukan karnaval dengan sound horeg dikinjungi dan ditonton oleh ribuan orang. Meskipun biaya parkir yang dikeluarkan cukup besar, antara 15 ribu sampai 50 ribu, tergantung jenis sound horeg yang diperagakan dan gadis penari yang ditampilkan. Jajanan yang dibeli oleh para penanton bisa berharga di atas 10 ribu meskipun biasanya boleh dibeli hanya 2 ribu rupiah saja. Serta jalan bisa secara full ditutup tanpa ada alternatif bagi yang akan melaluinya.  

Maka pawai atau karnaval dalam bentuk parade budaya nampaknya hanya cover atau asesori supaya bisa terlindungi dari cercaan dan cacian para warga atau para warganet, atau para nitizer bahwa pertunjukan itu tidak nasionalis. Tuduhan tidak nasionalis bisa meruntuhkan aura pertunjukan karnaval karena yang muncul kemudian adalah tuduhan pertunjukan tari erotis jalanan bak karnaval di Rio de Janeiro, Brazil. Maka judul dari sebuah karnaval, atau pawai harus memberikan makna pelestarian budaya Nusantara dan umumnya digelar dalam dua malam. Biasanya malam pertama disebut dengan check sound, yaitu mencoba sound dan men-setting sound yang biasanya diperdengarkan sepanjang malam sebelum hari H. Pada saat hari H, sound mulai diarak dengan mengikuti jalur karnaval yang panjangnya kurang dari 5 Km bisa ditempuh selama 10 jam.

5. Penutup

Maka dari kondisi ini, muncul banyak pertanyaan yang menggelantung untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Apakah sound horeg memiliki makna seperti yang diberikan oleh Kumham Jawa Timur, bahwa horeg adalah karya anak bangsa sehingga layak mendapatkan hak cipta (property rights) dan layak diteruskan untuk digelar seperti pernyataan Bupati Kabupaten Malang, Sanusi? Atau kah merujuk pada penyataan Polri dan beberapa Kepala Daerah, seperti Walikota Malang Wahyu Hidayat (eks Sekda Kabupaten Malang) yang menyatakan pelarangan, bahkan sebagian para pemuka agama dengan mengharamkan pertujukan sound horeg? 

Pada sisi lain, sound horeg sangat berpotensi mengganggu dan melanggar peraturan seperti undang-undang Lingkungan Hidup no 32/2009. Aturan ini sudah cukup jelas dinyatakan dalam Pasal 69 UU No. 32/2009, yaitu ayat (1): Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pada ayat (2): Pencemaran lingkungan hidup termasuk pencemaran yang disebabkan oleh kebisingan yang melampaui baku mutu kebisingan. Dan Pasal 70 UU No. 32/2009, setiap orang wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Serta kebisingan yang melebihi ambang batas dapat dikategorikan sebagai gangguan lingkungan dan pelanggarnya dapat dikenai sanksi.  

Lebih lanjut, pengaturan ini masuk dalam PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini merupakan standar baku mutu kebisingan yang diatur sebagai berikut, dengan menetapkan ambang batas kebisingan untuk berbagai zona (permukiman, industri, dll.), permukiman maksimal 55 dB (siang) dan 45 dB (malam) serta kawasan komersial maksimal 70 dB (siang) dan 60 dB (malam). Bagi pelanggar dikenakan sanksi, yaitu berdasarkan pasal 98 UU No. 32/2009, pelanggar dapat dikenai pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun dan/atau denda Rp1 miliar–Rp3 miliar.

Dari peundang-undangan jelas bahwa melanggar hak orang lain karena merimbulkan gangguan dikenakan sanksi. Namun dalam prakteknya diabaikan oleh para pemimpin. Hal ini terjadi entah karena mereka tidak paham atau karena ada implikasi pergerakan peningkatan ekonomi lokal (baca daerah dan desa) atau juga karena sebagai alat kampanye polularitas yang seolah mencermintak tingkat populis dari sang pejabat. 

*Penulis adalah sosiolog praktisi yang petani kopi, tinggal di Gunung Kawi, Kabupaten Malang.