Dari Ludruk, Misdi Mengabdikan Jiwanya untuk Topeng

Oleh: Muhammad Nasai*

Kehidupan sederhana sebagai penjual Es Dawet keliling, tidak menyiratkan bila dirinya adalah generasi kesenian Topeng Jabung. Hari-hari disaat tidak berjualan Dawet, Misdi menghabiskan waktu pagi hingga siangnya untuk  bertani, hal ini membuat namanya kian samar, Misdi seniman Topeng serta seorang ketua grup Topeng Darmo Langgeng, Jabung.

Kabar adanya seorang seniman sepuh yang kini bertahan hidup dengan berjualan Es Dawet membuat ketertarikan penulis untuk menyambanginya. Kabar ini penulis dapat dari Yudit Perdananto yang selama ini membantu penulis dalam melacak keberadaan seniman-seniman sepuh Topeng Malang. Berdasarkan pengetahuan ini, penulis akhirnya berangkat ke Jabung tempat tinggal Misdi.

Tidak sulit menemukan tempat tinggal kakek yang puluhan tahun mengapdikan kehidupannya pada kesenian yang pernah mengangkat Jabung ke tingkat Nasional ini. Kehidupan desa yang sederhana dan masyarakatnya yang akrab memudahkan penulis menemukan alamat rumah Misdi walaupun awalnya tidak tahu alamat lengkap rumah seniman sepuh ini.

Mbah Misdi bersama murid-muridnya saat seleasi latihan Topeng di rumahnya.

Dengan tanya nama Misdi masyaralat dari ujung gapura masuk kampungnya sudah tahu, bahwa yang di maksud adalah Misdi sang penjual es Dawet yang biasa mangkal di pertigaan desa. Dengan mengendarai motor CB akhirnya penulis berhasil menemuinya di kediamannya. Jalan masuk ke kampungnya sebagian telah di Batako, namun sebagian ada yang belum dan saat itu licin karena tanah liat basah sehabis hujan.

Cuaca saat itu masih mendung, didepan rumahnya, para tetangga sedang berkumpul, mereka Ibu-ibu yang sedang asik “petan” (cari kutu), sungguh pemandangan yang sangat sulit didapati di perkotaan. Saat itu ibu-ibu langsung menyahuti kedatanganku yang masih melepas Helm dengan hampir bersamaan “madosi Pak Misdi Topeng Nggeh mas, wonten kok tiange nembe dugi sawah” teriak ibu-ibu dengan dialeg Jawa yang masih asik petan itu.

Sapaan Ibu -ibu itu aku sambut dengan senyuman dan anggukan saja, tak berapa lama akhirnya Pak Misdi pun menghampiri “Pak Misdi nggeh? Ucap ku serta sapaanku pada pemilik rumah. Lelaki tua dengan balutan kaos oblong dan celana panji (celana pendek) itu,  menjawab iya dan mempersilahkan masuk penulis ke dalam rumahnya yang masih berlantaikan tanah itu.

Masih mengenakan pakaian yang kerap digunakan ke Sawah itu dirinya menghaturkan saya untuk duduk. Pak MIsdi berpamitan masuk untuk berganti pakaian yang bersih. Tak berapa lama dirinya kembali dan tersenyum dengan pakaian lengan panjang. Raut Muka Pak Misdi tidak menyiratkan kelelahan walau dirinya barusan pulang dari kerja di Sawah, mukanya berseri menerima kedatangan penulis.

“Mas dari mana, dan mau ada perlu apa?’ itulah awal ucapan seniman sepuh itu menyapaku. Setelah pertanyaan itu aku jawab dan menerangkan niat kedatangan untuk mengetahui sejarah dirinya berkesenian Topeng, Pak Misdi tertawa sembari membenahi letak duduknya, ada energy muda dalam raut tua wajahnya, semangatnya bergelora.

Setelah perkenalan singkat serta menghaturkan tujuan kedatanganku, Pak Misdi pun melayani  wawancara di sore hari itu dengan penuh semangat dan terkadang tertawa lepas, seakan beban hidup dirinya yang berat itu sirna akan semangat yang muncul kertika dirinya menceritakan tarian-tarian Kelono saat dirinya aktip menari Topeng. Semangat kelono sore itu seakan muncul dalam ruangan lembab yang hanya didiami Meja kayu dan  kursi sepon yang sisi-sisinya sudah banyak yang sobek.

Ditahun 1974, kesenian Topeng Jabung, kabupaten Malang adalah salah satu kesenian yang sangat moncer dibanding dengan kesenian lain seperti Ludruk atau jaranan. Malah sebagian orang Jabung mengatakan bahwa Topeng kala itu adalah kesenian high class yang ditonton oleh orang yang dianggap berada dikalangan desa Jabung oleh masyarakat lain. Kesenian Topeng sangat Berjaya ditangan Kangsen, kepala desa Jabung saat itu, menurut Pak Misdi.

Desa Jabung yang hingga kini masih “asri” dengan mayoritas penduduknya sebagai tani dan tukang Bangunan ini, memang terkenal sebagai mayarakat yang gemar berkesenian. Hal ini bisa dilihat dengan seringnya masyarakat menggelar tangapan kesenian, entah Topeng, Ludruk, Pencak bahkan Jaranan. Dilihat dari kenyataan ini bisa dikatakan masyarakat Jabung punya sejarah panjang dengan kesenian. Ditahun 1915-an desa Jabung mempunyai sosok seniman Tari dan penabuh Kendang yang mampu membawa Jabung di kenal dengan kesenian Topeng kala itu, beliau adalah Alm. Pak Rusman atau lebih dikenal Mbah Tir (karan anak).

Pak Rusman sendiri adalah cucu dari Tjondro Suwono (Kyai Reni) Polowijen, yaitu putra dari Mbah Ruminten.  Kyai Reni merupakan abdi dalem Bupati Malang R.A.A Soeriohadiningrat (1889-1928), Kyai Reni sendiri merupakan abdi dalem yang pandai dalam hal seni Ukir (Sungging), Tari dan terkenal sebagai pengukir Topeng. Karena kepandaian inilah yang membuat Bupati Soerio menyanyangi abdinya ini. Karena kebisaan membuat topeng dan menari membuat Kyai Reni dipercaya untuk mengembangkan kesenian Topeng di Malang saat itu, Bupati membantu penyebaran kesenian ini dengan mewajibkan setiap wedono mendirikan grup kesenian topeng.

Dengan kebijakan ini maka kesenian topeng bisa didapati dibanyak daerah di Malang, dari Desa Precet, desa Jabung, Desa Glagahdowo, Desa Turen, Desa Senggreng, Desa Pakisaji, Desa Jambuer, dan banyak desa lainnya. Namun kini hanya beberapa daerah saja yang masih bertahan dan bisa ditelusuri keberadaan kesenian ini.

Kesenian Topeng di Jabung dibawa oleh Pak Rusman yang memang masih keturunan dari Kyai Reni yang dipercaya sebagai leluhur dan pionir kesenian Wayang Topeng di Malang Raya, (wafat tahun 1938). Tahun 1915-1920-an adalah masa penyebaran keseniman topeng dibanyak daerah oleh perintah sang bupati, (Wawancara Pak Parjo).

Setelah Pak Rusman meninggal dunia, kepemimipinan grup Topeng Jabung dilanjutkan oleh putranya, Pak Kangsen. Dan dimasa inilah Pak Misdi ikut bergabung kesenian Topeng, dirinya mengaku sebelum ikut Topeng dirinya adalah seniman Ludruk. Dengan semangat MIsdi yang kelahiran 1954 ini menuturkan bahwa Kesenian Topeng membuat dirinya kepincut dan akhirnya dirinya meninggalkan Ludruk yang telah dua tahun diikutinya, Ludruk Tunas Karya, Jabung. “saya di Ludruk dahulu itu berperan tokoh-tokoh putri” tutur Misdi menceritakan awal dirinya belajar Topeng.

Desa Jabung disaat dirinya remaja merupaka desa yang sangat sepi penerangan, Listrik belum ada saat itu. namun begitu bila ada tanggapan gebyak kesenian semua orang pasti berduyun-duyun menyaksikan. “Kesenian saat itu adalah tontonan yang wajib didatangi” kenang Pak Misdi menceritakan awal dirinya bergiat untuk berkesenian. Masyarakat haus akan tontonan dan mejadikan kesenian adalah idola saat itu. Didalam kesenian Topeng sendiri, masyarakat punya tokoh-tokoh yang diidolakan. Ada yang suka Gunung Sari, ada yang suka tarian Kelono dan banyak lagi. Tiap peran punya penggemar sendiri-sendiri kenang Misdi.

Disaat awal dirinya bergabung dengan topeng pimpinan Pak Kangsen, Misdi diajari oleh seniman Pak Samud tokoh Gunung Sari saat itu. Pak Samud yang berperawakan tegap dan gagah ini lemah gemuali dan kalem saat mengajarkan tari, dikalangan murid-murid mbah Samud di kenal “lembe” atau dibilang mbanceni. Meskipun waria, namun Mbah samud sangat dihargai dan disegani oleh semua anak didiknya. Dari mbah Samud lah Misdi bersama teman-temannya yang baru bergabung berlatih tari topeng. Awal belajar, mbah Samud mengajarkan Jejeran Jowo dan Blegeran, seiring berjalannya waktu misdi dan kawan-kawannya  mulai mengembangkan kemampuan tariannya dengan menarikan kesatria-kesatria. “Saya dahulu paling sering di dapuk menarikan Kelono, sejak itulah orang mengenalku sebagai Kelono” gumamnya berseri.

Misdi ingat betul sejak dirinya meninggalkan Ludruk dan mulai ikut Topeng, dirinya bersama 18 temannya, Pak Tumari, Pak Surip, Pak Ngateno, Pak Mimin dan lainnya digembleng oleh Pak Tir dan Pak Samud dalam belajar tarian topeng. “sekarang teman-teman banyak yang meninggal dan juga banyak yang menikah diluar JAbung” kenang Misdi.

Menurut Misdi Kesenian Topeng di Jabung sudah ada sejak dahulu, ditahun 1952, adalah awal kepemimipinan Pak Kangsen,  dalang wayang Topeng yang juga Kepala Desa (Lurah) Jabung saat itu. Kang Sen sendiri meneruskan kesenian yang telah dijalankan oleh Rusman (Kek Tir). Namun kata Misdi, sebelumnya atau ketika dirinya kecil sudah ada kesenian Topeng yang gebyakan di daerah Jabung.

Pak Kangsen, Mbah Samud dan Pak Tirtonoto adalah orang-orang yang banyak berjasa bagi MIsdi dalam mendalami kesenian Topeng. Dari pengajaran merekalah akhirnya seni Topeng bisa mendarah daging dalam alur hidup seoarang MIsdi. “Pak Kangsen adalah dalang, mbah Samud dan Pak Tirtonotop yang melatih tariannya” terang Misdi. Saat itu menurut Misdi hanya tarian saja yang diajarkan, keterampilan karawitan dan panjak tidak diajarkan, meskipun begitu ketrampilan ini boleh saja dipelajari oleh Misdi dan kawan-kawan, akan tetapi tarian topeng tetap yang utama. “Di Jabung dahulu itu pemanjak dan pengrawit banyak sekali” ungkap Misdi member alasan kenapa Karawitan tidak menjadi bahan ajaran utama Topeng saat itu.

Cuaca mendung sore itu telah melepas butir-butir airnya, gerimis mengguyur Jabung, perbincangan tentang Topeng dengan Pak Misdi semakin membawaku ke tahun lampau, masa-masa Misdi Berjaya bersama Pak Kangsen dan Topeng Jabung di tahun 1975. Misdi mengisahkan awal dirinya mulai menarikan peran Topeng pertama kali ditempat gurunya, Mbah Samud di Glagahdowo. “Setiap ada tanggapan dimana saja kita tempuh dengan berjalan kaki, peralatan seperti gamelan sudah ada pembawanya sendiri-sendiri” kenang Misdi.

Mbah Misdi dan Mbah Rebat, sesepuh Topeng Jabung sedang mendampingi murid-muridnya berlatih Topeng di pawon (dapur) rumahnya.

Kesenian Topeng Jabung ramai dan terkenal dengan banyaknya tanggapan, Misdi sebagai anak wayangnya merasakan Topeng kala itu kesenian yang sangat digemari masyarakat. Tahun 1952 hingga tahun 1990-an Topeng Jabung bertahan dan masih sering tanggapan, dari Malang, Probolinggo, Pasuruan, dan desa-desa sekitar Jabung adalah daerah yang sering menjadi saksi kebesaran Topeng Jabung. Dimasa-masa Topeng Jabung Berjaya grup topeng ini berduka dengan meninggalnya Mbah Samud pada tahun 1974. Dengan meninggalnya Mbah Samud sebagai tokoh dan pengajar tarian topeng di Jabung, Grup topeng jabung tetap berjalan, berselang beberapa tahun ditahun 1987 Pak Kangsen meninggal dunia. Dengan ditinggalnya sesepuh Topeng Jabung, Mbah Samud, Pak Kangsen, dan Pak Tir tampuk keberlangsungan kesenian ini di teruskan oleh Misdi. “Sejak tahun 1982 hingga 1997 saya yang menjadi ketua Grup Topeng ini” terangnya.

Meskipun dirinya menjadi ketua topeng, namun MIsdi tetap menjalani kehidupan sebagai orang desa kebanyakan, tetap bekerja disawah dan menjadi penjual Dawet. Pekerjaan ini sesekalai ditinggalkannya bila ada tanggapan Topeng. Diluar panggung gebyakan MIsdi dan anak wayang lainnya kembali ke kehidupan pedesaaan. Kehidupan ini dijalani hingga saaat ini, bertani dan menjual Dawet adalah pekerjaan yang dirinya lakukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Sekarang Misdi sudah tidak menjadi ketua Topeng Jabung, Jabatan ini digantikan oleh Pak Parjo yang masih putra Pak Kangsen. “Setelah saya tidak menjadi ketua, sekarang di teruskan oleh putranya Pak Kangsen, Suparjo” jelasnya. Riwayat topeng jabung ini berasal dari Polowijen, Pak Kangsen itu keturunan dari Polowijen tapi kalau tarian topeng dari Tumpang, dari Pak Samud dan Mbah Tir, lanjut Misdi menjelaskan.

Disaat kesenian topeng di Jabung sepi seperti sekarang, dirinya terus berkarya dengan kepandaian membuat topeng yang dipelajari secara otodidak. Dirumahnya yang beralat Jl. Anjasmoro Rt 03/03 No. 45, Jabung Misdi juga kerap menerima Mahasiswa atau orang-orang yang membutuhkan data serta cerita sejarah Topeng Jabung.

Regenerasi Topeng Jabung terus diupayakan oleh Misdi dengan mau mengajar anak-anak muda yang mau belajar topeng secara suka rela. Banyak dari mahasiswa beberapa universitas di Malang yang menjadi murid tarinya. Misdi masih bergiat dan semangat untuk melestarikan Topeng Jabung disela-sela kesibukannya bertani dan berjualan Dawet.

Dipenghujung obrolan Misdi pamit masuk kekamarnya, dirinya mengambil beberapa Topeng buatannya yang sampai kini masih disimpannya “Ini topeng Kelono yang sering saya kenakan saat menari” dengan kesempatan itu penulis juga mengambil foto Pak MIsdi dengan Topeng Kelono. Dirinya berharap kesenian topeng Jabung terus bisa lestari, oleh karena inilah dirinya membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin belajar dan mengetahui sejarah kesenian Jabung ini.

*Muhammad Nasai, penggerak budaya di Jawa Timur.