Dari Diskusi Nenek Moyangku Seorang Seniman
Oleh Razan Wirjosandjojo (Studio Plesungan, Karanganyar)
Air masih setia bersama malam, saya dan pak Halim menembus hujan deras menuju Hetero Space. 15 menit perjalanan kami sampai di lokasi, mendapati lokasi diskusi yang sepi, segelintir peserta diskusi berada di sudut-sudut ruang. Saya tegur sapa dengan Sophiyah, salah satu bagian dari Tilik Sarira yang menyelenggarakan program diskusi malam itu, bertajuk “Tilikan”. Diskusi tersebut ber-seri, yang mana seri kesepuluh ini mengambil tema pembicaraan terkait singgungan antara seni dalam masa prasejarah. Judul diskusi pada Senin, 29 Januari 2024 adalah “Nenek Moyangku Seorang Seniman”. Dengan titik, tanpa tanda tanya.
Diskusi dimulai pukul setengah 9 malam. Beberapa orang telah hadir, walau pak Wahyu Widiyanto, salah satu praktisi di Museum Sangiran, belum hadir. Dua pembicara yang diundang telah hadir, Ari Rudenko dan Cia Syamsiar, memberikan penyelenggara opsi alternatif untuk memulai terlebih dahulu sembari menunggu pak Wahyu. Beri Hana sebagai moderator memulai diskusi dengan mengenalkan para pembicara sekaligus memberikan pertanyaan pemantik, “Apakah estetika kita hadir pertama dengan cara vandalisme dari manusia purba?” Pertanyaan ini dapat kita temui pula di laman Instagram mereka, @tiliksarira. Saya gelisah, merasa pertanyaan ini meleset. Keliru. Lalu semakin gelisah, pembicara tidak menjawab pertanyaan itu. Mereka masuk pada cerita dan pendapat masing-masing dalam menatap wawasan prasejarah yang pernah mereka geluti atau kunjungi.
Ari Rudenko dengan Prehistoric Body Theatre-nya mesra bekerja dengan fosil beserta penelitinya (paleontolog, arkeolog, dsb.). Ari memanfaatkan praktik keseniannya sebagai alat untuk “menubuhkan” sisa-sisa ingatan masa lampau dari fosil-pengetahuan entitas prasejarah. Haikouichthys, Protoclepsydrops, Archeroraptor, Purgatorius adalah empat entitas yang dipilih Ari pada salah satu karyanya bertajuk “Ghost of Hell Creek”, sebuah riset artistik yang ia lakukan di Hell Creek, di Montana, Amerika Serikat. Ia bercerita pada prosesnya di sungai purba tersebut, bagaimana mengalami proses bersentuhan dengan tulang-tulang yang tersimpan di dalam tanah, sebelum ditemukan oleh para peneliti. Ia juga bercerita bagaimana ia berdialog dengan warga lokal Sangiran, yang memiliki teknik arkeologi-nya sendiri, menggunakan mimpi sebagai cara untuk menemukan dan mengenali fosil.
Saya kenal Ari sejak 2016 dari laboratorium tari “Sasikirana”, dan pada tahun 2017 saya pernah terlibat pada proses awal Prehistoric Body Theatre di Solo. Kala itu, Ari baru pindah ke Solo, memulai proyek film tari “Ghost of Hell Creek”. Proses tersebut membuat saya bercengkrama dengan tumpukan data dan kesan ilmiah dari empat makhluk tersebut. Setangkapan kesan seperti meniru, namun sepertinya lain. Jika saya meniru kucing, mungkin mudah. Saya mengalami bunyinya kalau lapar, saya mengalami gelegatnya kalau marah atau sedih, semua saya alami dengan indera saya sendiri. Namun bagaimana dengan entitas yang bisa dikatakan “hanya sisa tulang”?
Ari memiliki pengalaman melakukan kerja Butoh, yang sangat erat dengan kekosongan (nothingness). Saya percaya disiplin ini menjadi sangat penting pada kerja teater tubuh purbakala-nya, membantu mengisi “ruas-ruas tulang belakang” yang belum ditemukan. Tidak hanya menilik dari galian fosil di endapan tanah, ia juga menilik ingatan yang mengendap di dalam tubuh. Karya terakhirnya saya saksikan tahun 2022, pada helat Indonesia Bertutur di Borobudur, Magelang. Ia meriset tentang Homo Soloensis /Homo Erectus yang ditemukan di area Sangiran, Karanganyar. Karya yang penuh pengandaian, walau saya pikir masih menyiratkan banyak norma manusia modern. Bukan berarti Homo Soloensis se-purbakala itu.
Cia Syamsiar menyambung pembicaraan dengan bercerita tentang pengalamannya mengunjungi Gua Leang-Leang, di Maros, Sulawesi Selatan. Ia cerita bagaimana ia melangkah melewati bukit-bukit batu (yang ia kesankan seperti lewat halang rintang), melihat “lukisan” manusia purba. Ia melontarkan beberapa pendapat, kebanyakan bersumber dari sejarah seni rupa di Eropa untuk melihat sambung-lepasnya dengan artefak prasejarah. Ia juga menyebutkan era Yunani, Romawi, Masa Pencerahan, Rococo, dan Baroque, sebagai contoh.
Sampai saat ini, saya belum memahami keterkaitan yang dimaksud oleh mbak Cia antara referensi sejarah seni rupa barat dengan Gua Leang-Leang atau Manusia Sangiran. Saya sedikit terganggu karena sejak judul dan pertanyaan pemantik dilontarkan, ada kemelesetan yang sedang ikut berjalan bersama aliran diskusi. Merantai melalui opini-opini dari mbak Cia. Ia membaca bentuk binatang dan manusia yang “kepala kecil berbadan besar” sebagai bentuk deformatif, juga menasbihkan gambar-gambar di Gua Leang-Leang sebagai bentuk seni kolektif. Saya tiba-tiba tergelitik dengan bayangan melihat bendara dan baliho para capres-caleg sebagai seni kolektif. Jane do mikir ndase dewe-dewe, ndilalah pemilune bareng.
Pak Wahyu memasuki ruangan ketika moderator memberikan peserta diskusi kesempatan bertanya dan menanggapi. Pak Halim memberi komentar terhadap penggunaan istilah “Vandalisme” pada konteks prasejarah. Pak Halim menyampaikan pertanyaan tersebut karena kata vandalisme baru mulai muncul pada abad ke-16, pada masa Revolusi Prancis. Walaupun begitu, gejala yang serupa telah terjadi di wilayah lain dan pada lini waktu sebelumnya, dengan istilah dan pembacaan lain. Ia menyambung pada contoh lain yang terdekat. Ia melihat bagaimana istilah “seni” baru kita gunakan selama se-abad, dan sebelumnya masyarakat Solo lebih familier dengan penobatan “pengrawit” dibandingkan “seniman”(apalagi “komposer”). Hal ini melegakan saya, karena memberikan beberan fakta yang saya tangkap menggarisbawahi penyalahgunaan istilah. Walaupun begitu, elakan terlontar dari moderator walaupun belum tertera argumentasi setelahnya.
Pak Wahyu memberikan beberapa data tentang Homo Erectus yang berada di Sangiran. Seperti bagaimana lembah menjadi lokasi yang begitu strategis pada peradaban manusia di Sangiran, kala itu. Lalu ada penemuan arkeologis yang membuktikan bahwa para penghuni Bengawan Solo purba sangat bergantung dan mengembangkan teknologinya bersama air, sekaligus bukti bahwa mereka bermigrasi pada satu periode waktu. Migrasi tersebut menjadi lini akhir jejak Homo Erectus di lokasi Sangiran. Ia belum ditemukan kembali di lapisan tanah di atasnya. Sulit mengelaborasi dengan poin-poin pembicara sebelumnya, mengingat waktu hadir mereka yang berjarak.
—
Diskusi ini bagi saya menggelisahkan, sekaligus memberikan saya pelajaran bahwa penjajahan dimulai sejak dalam pikiran. Saya tidak setuju sejak frasa “Vandalisme Prasejarah”dan “Nenek Moyang Seniman” digunakan sebagai fondasi diskusi (walaupun mungkin, dimaknai penyelenggara sebagai “teh hangat yang manis”). Saya merasa ada pembohongan sekaligus kecenderungan untuk mendangkalkan makna dari arsip-arsip tersebut.
Ayah saya seorang montir, kerjanya nyetak, memperbaiki, dan merakit mesin, khususnya transmisi automatic dari beberapa manufaktur mesin di Jerman seperti ZF, atau General Motor. Jika saya, sebagai praktisi seni, mengatakan bahwa bapak saya adalah seniman patung (atau modernnya; seniman instalasi, instalasi kinetis), jelas dijitak bapak saya.
Sayangnya, Malam itu Homo Erectus tidak duduk bersama kita di diskusi tersebut untuk menjitak siapa pun yang melontarkan asumsi yang keliru, tanpa bertanya terlebih dahulu.
Saya tidak keberatan jika topik vandalisme dibicarakan untuk membicarakan mural di toilet-toilet SPBU, atau di jalan Gatot Subroto berserta Kemlayan. Pembicaraan itu akan mengalir, berkelok, dan berhilir mengikuti wawasan dan opini moderator, narasumber, dan peserta diskusi. Keberatan saya muncul ketika gambar gua dibaptis sebagai Vandalisme Prasejarah, atau jika masakan daging yang mereka makan dilantik sebagai Tengkleng Solo Purbakala. Rasanya menyematkan kesan bahwa Homo Erectus tidak hanya makhluk purbakala, namun juga makhluk yang lebih-tidak bisa berpikir daripada kita sebagai sebuah kelompok spesies.
Pengalaman bekerja dengan data purbakala pada proses penciptaan seni selalu menarik karena ia mengajak kita menyusuri menyusuri gorong-gorong yang lama ditinggal, meraba lubang-lubang kosong yang gelap bagi disiplin ilmu lain. keputusan dan kemampuan masing-masing seniman untuk memberi “nama” pada lubang-lubang tersebut. Kecenderungan praktisi seni untuk menjadi pseudo-scientist menggiurkan, kita tergugah untuk membaca arsip dengan teori-teori tertentu. Bagaimanapun saya khawatir jika tidak hati-hati, itu akan mengulang kemelesetan ilmu dan makna pada masa penjajahan di Nusantara. Masa di mana kita terlalu cepat dituduh.
Pragina adalah satu istilah yang erat dengan masyarakat di Bali. Perannya penting dalam penyelenggaraan upacara dan ritual, membawakan laku dan daya tubuh dalam bergerak, bersuara, dan menjadi. Mengingat dengan pembicaraan saya dengan bli Agus dan bli Suma, adanya penyusutan makna dan pendangkalan fungsi atas pragina. Kini, orang menerjemahkan gamblang bahwa pragina adalah penari atau aktor teater, orang pentas-lah. Hal ini sebetulnya meleset dari ikatan pragina dengan ruang hidup dan kebergunaannya. Salah satu kontributor dari pendangkalan ini justru muncul dari lingkungan akademik, seperti jurnal ilmiah dan pendidikan tinggi, baik pada masa kolonial maupun hari ini. Kemelesetan ini menjadi masalah karena secara sistematik menghapus kemungkinan pengetahuan lain untuk tumbuh. Kita punya kemungkinan lain dalam memaknai laku tubuh di luar fungsi pertunjukan /pementasan, namun lenyap dan yang tersisa adalah gairah mengawinkan peristiwa di sekitar dengan teori “bule”.
Bukan berarti seniman tidak bisa bekerja dengan sains, atau menjadi ilmuwan, atau sebaliknya. Renungan saya terhadap penciptaan karya “Harga Mahal yang Dibayar Murah”, dan mengamati kerja-kerja seni yang berkelindan dengan arsip lampau, secara bertahap membangun pikiran dan mental untuk memperhatikan pengalaman rasa, hasrat, dan kata hati secermat mungkin. Mengenali pengalaman rasa, hasrat, dan kata hati yang muncul ketika bekerja dengan arsip dapat menghindarkan kita dari pembaptisan, pendangkalan makna, menutup lubang ketidaktahuan dengan papan tulis penuh teori. Arsip dapat mengajak kita masuk ke dalam lubang tersebut. Dalam gelap, kita menyentuh dinding beserta isinya, menghirup aromanya, jika beruntung menapaki dasarnya. Kepala kita lalu dipenuhi imajinasi. Imajinasi yang tidak fantastis, namun binarnya menjadi cahaya. Terangnya melebur bersama lubang tersebut. Setidak-tidaknya bekerja dengan arsip masa lampau membantu saya untuk mengenali diri dan dunia sekitar saya. Jika ramu-padunya manjur, bisa saja ia melampaui waktu. Menawarkan gagasan dan pemikiran baru dari bangunan berpikir kita saat ini (lalu, penamaan setelahnya).
Kolektif, deformatif, vandalisme, seni, artistik, demokrasi, tengkleng, dan AI merupakan nama-nama yang muncul pada zamannya masing-masing. Ia menggandeng peristiwa yang melahirkannya. Penting kehadirannya sebagai alamat untuk mengenali pemahaman tertentu. Namun jika digunakan untuk mengenali ruang-waktu yang lain, kita bisa salah alamat. Saya yakin ada sirat-sirat pengetahuan yang canggih, yang dapat kita pinjam dari peradaban masa lampau. Walaupun sampai saat ini masih disebut “prasejarah”, ia meninggalkan arsip-arsip historis untuk mengembangkan atau menggugat nama-nama di atas, memantulkan pengetahuan-pengetahuan baru yang berguna untuk masa yang akan datang.
----