Sajak-Sajak Angga Wijaya
Kopi Dini Hari
Duduk manis di beranda
Rembulan terang di barat
Sinarnya di tengah alis
Pusat segala kesadaran
Cahaya segala cahaya
Lembut, sangat halus
Tempat arwah berumah
Sebelum lahir kembali
Kunyalakan api diri ini
Bakar segala dosa-dosa
Engkau begitu perkasa
Wahai penguasa alam
Kuhangatkan tubuhku
Secangkir kopi tubruk
Meditasi di beranda hari
Waktu berlalu tak kurasa
Kota Tanpa Purnama
kenangan itu datang lagi
mengajak kita mengenangnya
bukan hitam bukan putih
hanya kelam
kelam yang tak sungguh kelam
telah jauh setapak kita lewati
aku tak memungut sesuatu pun
sebab aku tahu itu akan lepas
genggamanku tak erat
malam ini tak ada purnama
mendung telah menelannya
seperti malam kemarin
hujan terus membasahi kota
kota tanpa purnama.
Purnama Merindu
Aku merindukan-Mu
Pada hening meditasi
Doa kuhaturkan di altar
Tarian kupersembahkan
Mengundang-Mu datang
Di sudut hati berbunga
Kudengar seruling-Mu
Di tepi sungai Yamuna
Para gopi berkumpul
Bersama kerinduan
Begitu membuncah
Dia datang tersenyum
Nyanyian menggema
Seribu bayang-Mu
Peluk tubuh merindu
Pada terang purnama
Pertemuan illahi, Dia
dan hanya Dia
Govinda! Kesava!
Sang Pencuri Hati
Di kaki-Mu aku
bersujud. Hari Bol!
Cinta Rembulan
Bulan sabit di langit barat
Membuka kenangan kita
Menjadi manusia baru
Melepas baju-baju lama
Awan menutupi sinar-Nya
Tak ada cahaya di kamar
Temaram merkuri jalanan
Sisakan lolongan anjing
Hening menjadi bening
Pintu hati terbuka lebar
Kita berjalan ke surga
Bersama cahaya-Nya
Rembulan Terbenam
Baik. Akan kuantar Kau terbenam
Hyang Chandra, Kekasih-Ku.
Akankah kita bertemu lagi, Cintaku
Kutunggu malam-malam purnama
Hingga penuh hati dengan rindu
Bersinar penuh, liputi jiwa gersang
Di ujung kepala-Ku kau bertahta
Menjadi air suci menjelma Gangga
Jangan pergi sekarang, KEKASIH!
TUNGGU HINGGA MALAM TIBA
Aku menari di ujung jalan panjang
Bagai orang sinting tak tahu arah
Biarkan mereka membicarakan kita
Cinta-Mu Cinta-Ku hanya kita berdua
Rayakan malam ini dengan cahaya
Semesta tak pernah berdusta. Kau.
Purnama Belum Usai
“Masa laluku begitu buruk,
bisakah aku menuju tuhan?”
Siang menyengat matahari
Kita berbincang amat jauh
Menembus relung hati nun
Waktu berhenti di ruang ini
Pertanyaan itu entah siapa
Kisah lama di halaman asa
Akulah perampok pendosa
Penjahat biadab abad lalu
Ingin kutanyakan paduka
Siapa berkhianat padaku
“Hidup dan mati ilusi abadi,
mengejar bayangan sendiri”
Di bukit semut pencerahan
Resi melupakan masa lalu
Malam Sebelum Purnama
Awan-awan pergi ke timur
Tutupi bulan yang kucinta
Putih dan hitam berjelaga
Berlalu terbawa angin itu
Hyang Chandra tak marah
Ia penuh kasih dan sayang
Cahaya keluar dari celah
Menjelma lukisan langit
Di kanvas horison dini hari
Aku duduk melihat semua
Hingga purnama kembali
Sinarnya lembutkan hati
Esok sempurnalah dirimu
Kubersujud pada-Mu Ibu
Purnama Kesepuluh
Perempuan datangi malam
Langit bertabur gemintang
Kubasuh muka di keran air
Wajah penuh kebahagiaan
Siapakah Kau hadir di sini
Wajah Ibu lama kukenang
Mendekatlah, Kekasihku!
Kita menari cahaya bulan
Jalanan sepi tak ada debu
Seruling-Mu merdu telinga
Sungai meluap akan rindu
Ikan berlompatan gembira
Ribuan mantra kunyanyikan
Rayakan rembulan tubuhmu
Purnama
ribuan nyala
pantai senja
disana
cahaya merah
bulan merah
aku biru
tubuh memerah
bibirmu
*I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Mengawali karir kepengarangan sebagai penulis puisi sejak SMA tahun 2001 saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya di kota kelahirannya, tempat ia menimba banyak ilmu bersama Nanoq da Kansas, guru pertama yang mengajarinya menulis, bermain teater, membaca kehidupan, dan melihat dunia dari sisi lain.
Sejak 2018 ia telah menulis 6 (enam) buku kumpulan puisi, Catatan Pulang (Pustaka Ekspresi, 2018), Dua Kota Dua Ingatan (Basabasi, 2019), Taman Bermain (Purata Publishing, 2019), Notes Going Home (Pustaka Ekspresi, 2019) dan Tidur di Hari Minggu (Mahima Institute Indonesia, 2020), Menulis Halusinasi (Lire Publisher, 2021). Juga empat kumpulan esai Masa Depan itu Nisbi (Pustaka Larasan, 2020), Aku Tak Lagi Mendengar Bisikan Suara (Megalitera, 2020), Umbu, Simfoni, Sunyi (Narulis Publisher, 2021), dan Gawai, Pandemi, Kesurupan (Penerbit Lutfi Gilang, 2023)
Ia meyakini menulis adalah terapi dan medium katarsis, membawanya menemukan diri dan kembali menyusun kepingan diri yang dulu pernah hilang. Sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan sembari terus menulis dan bergiat pada beberapa komunitas di Denpasar. Ia bisa dijumpai di akun Instagram @anggawijaya548.